A.
Latar Belakang Masalah
Islam
diturunkan oleh Allah
swt. untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam hubungan keluarga,
hubungan masyarakat,
dan hubungan negara. Aturan atau konsep itu
bersifat mengikat bagi
setiap orang yang mengaku muslim.[1]
Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprehensif, tidak
boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan sebagian umat Islam. Mengambil
sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela dalam pandangan
Islam.[2]
Salah satu aturan Islam yang bersifat individual adalah mencari kehidupan dari
sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada umatnya agar dalam mencari
nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam
pandangan syariat.[3]
Salah
satu jalan pintu menuju arah rezeki
yang haram adalah melakukan epotisme.
Istilah nepotisme yang dalam bahasa arabnya biasa disebut al-muh{a>bah
atau al-as\arah
dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum
yang mendahulukan kepentingan keluarga untuk mendapatkan suatu kesempatan.
Dalam pandangan hadis, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang
berkompeten, ahli pada bidang yang ditawarkan, bahkan penyerahan jabatan kepada
yang bukan ahlinya merupakan salah satu tanda akhir zaman (asyra>t}
al-Sa>‘ah).[4]
Mayarakat masih dilema menyikapi
nepotisme, sebagian mereka menganggap bahwa penunjukkan keluarga meskipun kompoten
di bidangnya tetap dikatakan nepotisme. Sedangkan
sebagian yang lain berfikiran bahwa bukan disebut nepotisme jika mengangkat
kerabat dekat yang memenuhi kompetensi. Namun bagaimana dengan Islam, khususnya
hadis Nabi saw. yang
menjadi salah satu sumber utama ajaran Islam.[5]
Prinsip
apa yang ditanamkan dalam hadis, apakah soal kompetensi seseorang atas sesuatu
jabatan ataukah ada tidaknya hubungan kekerabatan?. Padahal jika prinsip
kekerabatan sebagai
landasan, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara
hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia
berkompeten dalam urusan itu.
Dengan demikian, pembahasan tentang
nepotisme dalam perspektif hadis Nabi saw. sangat layak untuk dikaji dan
didalami dengan salah satu metodologi penelitian hadis Nabi saw., yaitu
berdasarkan maud}u>‘iy/tematik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan dalam latar belakang, rumusan masalah pokok dalam makalah ini adalah
bagaimana nepotisme dalam perspketif hadis Nabi saw. Untuk
menjawab masalah pokok, dibuatlah sub-sub
masalah sebagai
berikut:
berikut:
- Bagaimana kualitas dan pemahaman hadis tentang hakikat nepotisme?
- Bagaimana pemahaman hadis tentang karakteristik nepotisme?
- Bagaimana pemahaman hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme
- Bagaimana pemahaman hadis tentang hal-hal yang mencegah terjadinya nepotisme?
- Bagaimana pemahaman hadis tentang dampak nepotisme?
C.
Metode Pendekatan dan Teknik Analisis
- Metode yang digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode maud}u>‘iy.[6]
Dengan demikian, langkah-langkahnya pun
mengacu pada langkah-langkah metode hadis maud}u>‘iy.
Di samping itu, penelitian ini bersifat kualitatif karena data yang dikaji
bersifat deskriptif berupa pernyataan verbal. Berikut langkah-langkahnya:
a.
Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas. Dalam
makalah ini, pemakalah membahas tentang nepotisme, sehingga hadis-hadis yang
dikaji adalah hadis-hadis tentang nepotisme.
b.
Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang
terkait dalam satu tema, baik secara lafal maupun secara makna melalui kegiatan
takhri>j al-h{adi>s\.
c.
Melakukan kategorisasi dan klasifikasi berdasarkan
kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya
hadis (tanawwu>‘) dan perbedaan
periwayatan hadis (lafal dan makna). Dalam makalah ini, peneliti telah
melakukan pengelompok hadis-hadis tentang nepotisme dalam lima kelompok besar,
yaitu; 1) hadis tentang pengertian nepotisme, 2) hadis tentang karakteristik
nepotisme, 3) hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme, 4) hadis tentang hal-hal
yang mencegah terjadinya nepotisme dan 5) hadis tentang dampak nepotisme.
d.
Melakukan kegiatan i’tiba>r dengan tujuan
melacak keberadaan sya>hid dan muta>bi‘ yang dilengkapi dengan
skema sanad.
e.
Melakukan penelitian sanad yang meliputi: penelitian
kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang menjadi sanad
hadis bersangkutan, serta metode periwayatan yang digunakan masing-masing
periwayat.
f.
Melakukan penelitian matan yang meliputi: kemungkinan
adanya ‘illat (cacat)
dan terjadinya sya>z\ (kejanggalan).
g.
Mempelajari terma-terma yang mengandung pengertian serupa
sehingga hadis tersebut bertemu pada satu muara tanpa ada perbedaan dan
kontradiksi, juga pemaksaan makna kepada makna yang tidak tepat.
h.
Membandingkan berbagai syarah hadis dari berbagai kitab-kitab syarah dengan tidak meninggalkan syarah kosa kata, frase dan
klausa.
i.
Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat
pendukung dan data yang relevan.
j.
Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep (grand
concept) sebagai bentuk laporan hasil penelitian dan sebuah karya
penelitian atau syarah hadis.[7]
- Pendekatan
Pendekatan yang digunakan pemakalah
dalam makalah ini, mengarah pada dua pendekatan, yaitu pendekatan klasik dan
pendekatan kontemporer. Dari tiga jenis pendekatan klasik, pemakalah
menggunakan ketiga pendekatan, yaitu a) Pendekatan naqliyyah yang
mengedepankan penggunaan nus{u>s} atau naskah-naskah dalam memahami
sebuah matan hadis, dalam hal ini matan hadis yang berkaitan dengan nepotisme,
b) Pendekatan ‘aqliyyah yang mengedepankan penggunaan rasio dalam
memahami sebuah matan hadis, dan c) Pendekatan sufistik yaitu pendekatan yang menggunakan intuisi dan
kekuatan qalb dalam menelaah dan
memahami sebuah matan hadis atau yang lebih dikenal dengan istilah bi
al-isya>ri> dalam ilmu tafsir.
Sementara pendekatan kontemporer
yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan multi disipliner, yaitu
menghubungkan matan hadis tentang nepotisme dengan dengan pendekatan sosial,
eksakta, humaniora, dan agama. Keempat ilmu tersebut dibutuhkan untuk
mengaitkan nepotisme dengan keempat ilmu tersebut sehingga akan terlacak
bagaimana sebenarnya nepotisme pada masa Nabi saw. sekaligus praktek dan
dampaknya di tengah-tengah masyarakat.
- Teknik Analisis
Untuk memahami makna dari ungkapan
verbal, yaitu matan hadis Nabi saw. yang mencakup kosa kata, frase, klausa dan
kalimat, dibutuhkan teknik analisis dan interpretasi sebagai cara kerja
memahami hadis Nabi saw., khususnya dalam pengkajian hadis tematik sebagai berikut:
a. Tekstual
berasal dari kata dasar teks. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang atau kutipan
dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan atau bahan tertulis untuk
dasar memberikan pelajaran, berpidato dan sebagainya atau wacana tertulis.[8]
Dengan demikian, teknik interpretasi adalah pemahaman
terhadap matan hadis berdasarkan teksnya semata atau memperhatikan bentuk dan
cakupan makna teks dengan mengabaikan asba>b al-wuru>d dan
dalil-dalil yang lain.[9]
b. Intertekstual
berasal dari kata dasar inter dan teks. Dalam Kamus Bahasa Indonesia inter
diartikan sebagai di antara dua atau di antara atau di tengah. Jadi
intertekstual adalah di antara naskah atau wacana tertulis.[10]
Dengan demikian, interpretasi intertekstual adalah pemahaman
terhadap matan hadis dengan memperhatikan hadis lain atau ayat-ayat al-Qur’an
yang terkait.[11]
c. Kontekstual berasal dari kata dasar
konteks. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konteks adalah bagian suatu
uraian atau kalimat yang
dapat mendukung atau menambah kejelasan makna atau situasi yang
ada hubungannya dengan
suatu kejadian.[12] Jadi
interpretasi kontekstual yaitu pemahaman terhadap
matan hadis dengan memperhatikan asba>b al-wuru>d atau konteks masa Nabi, pelaku sejarah dan
peristiwanya dengan memperhatikan konteks kekinian.[13]
d. Interpretasi logis yaitu pemahaman
matan hadis dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dengan cara deduktif, induktif
atau komparatif
dengan alasan bahwa penelitian ini termasuk kegiatan
ilmiah.[14]
D.
Takhri>j al-H{adi>s\
Takhri>j
al-h{adi>s\ terdiri dari dua suku kata
yang keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata takhri>j merupakan mas}d{ar
dari fi’il ma>d}i> mazi>d yang akar katanya terdiri dari
huruf kha’, ra’ dan jim memiliki dua makna, yaitu sesuatu yang terlaksana
atau dua warna yang berbeda.[15]
Kata takhri>j memiliki makna memberitahukan dan mendidik atau
bermakna memberikan warna berbeda.[16]
Sedangkan menurut Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, takhri>j pada
dasarnya mempetemukan dua perkara yang berlawanan dalam satu bentuk.[17]
Kata Hadis berasal
dari bahasa Arab al-hadi>s|, jamaknya adalah al-ah}a>di>s\
berarti sesuatu yang sebelumnya tidak ada (baru).[18] Sedangkan dalam istilah muhaddis\u>n, hadis adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk
perkataan, perbuatan, persetujuan ( taqrir ), sifat, atau sejarah hidup.[19]
Dari
gabungan dua kata tersebut, ulama mendefinisikan takhri>j al-h}adi>s\
secara beragam, meskipun subtansinya sama. Ibnu al-S}ala>h} misalnya,
mendefinisikannya dengan “Mengeluarkan hadis dan menjelaskan kepada orang lain
dengan menyebutkan mukharrij (penyusun kitab hadis sumbernya)”.[20]
Al-Sakha>wi mendefinisikannya dengan muh}addis\
mengeluarkan hadis dari sumber kitab, al-ajza>’, guru-gurunya dan
sejenisnya serta semua hal yang terkait dengan hadis tersebut”.[21]
Sedangkan ‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi mendefinisikannya sebagai “Mengkaji
dan melakukan ijtihad untuk membersihkan hadis dan menyandarkannya kepada mukharrij-nya
dari kitab-kitab al-ja>mi‘, al-sunan dan al-musnad setelah
melakukan penelitian dan pengkritikan terhadap keadaan hadis dan perawinya”.[22]
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat diuraikan bahwa kegitan takhri>j al-h}adi>s| adalah kegiatan
penelusuran suatu hadis, mencari dan mengeluarkannya dari kitab-kitab sumbernya
dengan maksud untuk mengetahui; 1) eksistensi suatu hadis benar atau tidaknya
termuat dalam kitab-kitab hadis, 2) mengetahui kitab-kitab- sumber autentik
suatu hadis, 3) Jumlah tempat hadis dalam sebuah kitab atau beberapa kitab
dengan sanad yang berbeda.
Sedangkan
metode yang digunakan dalam takhri>j al-h}adi>s\ sebagaimana yang
diungkapkan Abu> Muh{ammad ada lima macam, yaitu:
1.
Takhri>j
al-h}adi>s\ dengan menggunakan lafaz
pertama matan hadis sesuai dengan urutan-urutan huruf hijaiyah seperti kitab al-Ja>mi‘
al-S}agi>r karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.
2.
Takhri>j
al-h}adi>s\ dengan menggunakan salah satu
lafaz matan hadis, baik dalam bentuk isim maupun fi’il, dengan mencari akar
katanya.
3.
Takhri>j
al-h}adi>s\ dengan menggunakan perawi
terakhir atau sanad pertama yaitu sahabat dengan syarat nama sahabat yang
meriwayatkan hadis tersebut diketahui. Kitab-kitab yang menggunakan metode ini
seperti al-at}ra>f dan al-musnad.
4.
Takhri>j
al-h}adi>s\ dengan menggunakan topik
tertentu dalam kitab hadis, seperti kitab-kitab yang disusun dalam bentuk
bab-bab fiqhi atau al-targi>b wa al-tarhi>b.
5.
Takhri>j
al-h}adi>s\ dengan menggunakan hukum dan
derajat hadis, semisal statusnya (s}ah}i>h}, h}asan, d}a‘i>f
dan maud}u>‘).[23]
Namun
dalam makalah ini,
pemakalah
menggunakan empat metode,
yaitu: 1) metode
dengan menggunakan lafal
pertama matan hadis; 2) metode dengan menggunakan salah
satu lafal matan hadis; 3) metode dengan menggunakan periwayat
pertama; 4) dan metode dengan menggunakan tema hadis.
Dari keempat metode yang digunakan
dalam tulisan ini, pemakalah merujuk pada kitab Mausu>‘at At}ra>f
al-H}adi>s\ al-Nabawiy karya Zaglu>l yang digunakan dalam metode
dengan lafal pertama matan hadis, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z}
al-H}adi>s\ karya A.J. Weinsinck yang dialihbahasakan Muhamamd Fua>d
Abd al-Ba>qi> yang digunakan dalam metode dengan salah satu lafal matan
hadis, Tuhfat al-Asyra>f bi Ma‘rifat al-At}ra>f karya al-Mizziy
dalam metode dengan periwayat pertama dan Mifta>h} Kunu>z al-Sunnah karya
A.J. Weinsinck yang juga dialihbahasakan oleh Muhamamd Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>.
Adapun petunjuk yang ditemukan
dengan metode lafal pertama matan hadis dengan kitab Masu>‘at At}ra>f
al-H{adi>s\ adalah sebagai berikut:
إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة خ 1:
23، 8: 129، هق 10: 118، مشكاة 5439، كنز 38508، بغوى
6: 179، منثور 6: 50، فتح 1: 142، 11: 333.[24]
إنكم ستجدون بعدى أثرة شديدة حم
3: 166، هق 6: 337، لا 2: 160، كشاف 86، نبوة 5: 176.
أو (إنكم ستجدون أثرة شديدة) م الزكاة 132، حم 3: 224.[25]
إنكم سترون بعدي أثرة فاصبروا خ 3:
150، 4: 115، 387 –حم 1: 119، 433، 9: 60 – هق 6: 145، 8: 159، 10:
131، طسب 10: 118، حلية 4: 146، منحة 2506 – فتح 5:
49، 13: 5 – مشكاة 3672، كر 5: 44، 45 – حميدى 1195 – عاصم
2: 350 – تمهيد 2: 306 – كنز 30818– ش 11: 242، 12: 162، 15:
93.[26]
إنكم سترون بعدي أثرة وأمورا تنكرونها خ
9: 59 – ت 2190 – حم 1: 384، 387 – منحة 2619 – بغوي
3: 75 – فتح 13: 75، 13: 5 –تجريد 950 – منثور 2: 178 –كنز
30978، 37570.[27]
إنكم ستلقون أثرة بعدي حب 2298،
مجمع 10: 33 -كر 3: 53.[28]
Petunjuk yang ditemukan dengan
metode salah satu lafal matan hadis dengan menggunakan kitab al-Mu‘jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\ al-Nabawiy sebagai berikut:
أثرة وجدت هذه الكلمة فى قول النبي
"فإنه ستصيبكم أثرة بعدى" فى خ: مناقب الأنصار، م: إمارة
45، 48، ثم فى قوله صلى الله عليه وسلم "إنكم سترون بعدى أثرة" فى خ:
فتن 3 مساقاة 14، 15، خمس 19، جزية 4، مناقب الأنصار 8، مغازى 56، م: زكاة
133، 139، وإمارة 48، ت: فتن 35**، ن: قضاة 4، حم:1:
384، 387، 433، 3: 57، 89، 111، 166، 167، 171، 182، 224، 4: 42،
292، 351، 353، 5: 304. [29]
محاباة وجدت فى قول النبي "فتحابي
به غيره" فى حم: 6: 380، 423، ثم فى قوله "فأمر عليهم
محاباة" فى حم: 1: 6.[30]
وسد او توسد وجدت فى قول النبي
"إذا وسد الأمر إلى غير أهله" فى خ: علم 2 وفى "توسد الأمر
غير أهله" فى حم: 2: 361.[31]
Petunjuk yang ditemukan dalam dengan
metode periwayat pertama dan sanad terakhir adalah dengan menggunakan kitab Tuh}fat
al-Asyra>f li Ma‘rifat al-At}ra>f adalah sebagai berikut:
أبى ذر الغفارى عن سفيان بن هانئ (يا
أبا ذر إنى أراك ضعيفا...) م فى المغازى (2:57) عن إسحاق بن إبراهيم –
وزهير بن حرب – د فى الوصايا (4) عن الحسن بن علي – س فيه (الوصايا 9) عن ابن عباس
بن محمد – أربعتهم عن أبى عبد الرحمن المقرئ عن سعيد بن أبى أيوب عن عبيد الله بن
أبى جعفر عن سالم بن أبى سالم الجيشانى عن أبيه به.[32]
وأبى ذر عن عبد الرحمن الخولانى
"يا رسول الله! ألا تستعملنى؟ فضرب بيده على صدره م فى المغازى (1:57)
عن عبد الملك بن شعيب بن الليث بن سعد أبيه
عن جده عن يزيد بن أبي حبيب عن بكر بن عمرو عن الحارث بن يزيد عن ابن حجيرة
الأكبر عن أبي ذر به. ز رواه ابن لهيعة عن الحارث بن يزيد عن ابن حجيرة
قال: أخبرنى من يسمع أبا ذر... فذكره.[33]
عمرو بن العاص (أي الناس أحب إليك؟ قال
(عائشة)) خ فى فضائل أبى بكر (المناقب 4:24) عن معلى بن أسد عن عبد العزيز
بن المختار عن خالد الحذاء عنه به. وفى المغازى (63) عن اسحاق بن شاهين عن خالد بن
عد الله عن خالد الحذاء عن أبى عثمان: أن النبي ص م بعث عمرا قال: فأتيته...فذكره.
م فى الفضائل (9:47) عن يحيى بن يحيى عن خالد بن عبد الله عن خالد الحذاء
عن أبى عثمان عن عمرو به. ت فى المناقب (7:135) عن إبراهيم بن يعقوب وبندار
كلاهما عن يحيى بن حماد عن عد العزيز بن المختار به وقال : حسن صحيح. س فيه
(المناقب الكبرى 7:2) عن أبى قدامة عبيد الله بن سعيد السرخسي، عن يحيى بن حماد
به.[34]
Sedangkan
petunjuk yang ditemukan dengan metode tematik dengan Mifta>h} Kunu>z
al-Sunnah sebagai berikut:
استحقاق الوالى الغاش لرعيته النار فى مس:
ك 1 ح 229 قا، ثم حم: ثان ص 425، 431، 479، 521، وثالث ص 441، 480 ورابع ص
231/4 وخامس ص 25، 27، 238، 329، 362، 366.[35]
اللعنة تكون فى الأرض إذا كان أمراؤنا
الصبيان فى حم ثالث ص 428.[36]
Di
samping itu, peneliti memperkaya keempat
metode tersebut dengan menggunakan metode digital, baik dalam bentuk CD-ROM al-Kutub
al-Tis‘ah, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah maupun CD-ROM dalam
bentuk PDF sehingga ditemukan beberapa hadis yang belum didapatkan melalui keempat
metode sebelumnya, tetapi tetap merujuk kepada kitab-kitab sumber.
E.
Klasifikasi Hadis
Dari
keempat petunjuk
kitab takhri>j tersebut ditemukan bahwa hadis-hadis tentang nepotisme dapat
diklasifikasi sebagai
berikut:
- Hadis tentang pengertian nepotisme
حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنِي
شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ
بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا
فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ
اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى
أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ.[37]
- Hadis-hadis tentang karakteristik nepotisme
a.
Tidak mempunyai profesionalitas
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ
قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي
هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ
جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ
مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ
أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا
قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[38]
b.
Tidak mempunyai kredibilitas
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ
الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ
لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ
يَتِيمٍ.[39]
c.
Bukan untuk kebijakan politis
حَدَّثَنَا خَالِدُ
بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَعَثَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ تَطْعُنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعُنُونَ فِي إِمَارَةِ
أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ
لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ.[40]
- Hadis-hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme
a.
Hadis-hadis tentang Dugaan nepotisme pada kelompok tertentu
حَدَّثَنَا مُوسَى
بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ي َحْيَى عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا فَكَأَنَّهُمْ وَجَدُوا إِذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا
أَصَابَ النَّاسَ فَخَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ
ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ
بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمَنُّ قَالَ مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ
لَوْ شِئْتُمْ قُلْتُمْ جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا أَتَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ
بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَذْهَبُونَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَى رِحَالِكُمْ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ الْأَنْصَارِ وَلَوْ
سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا وَشِعْبًا لَسَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ وَشِعْبَهَا الْأَنْصَارُ
شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى
تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[41]
b.
Nepotisme pada jabatan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَرْعَرَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ
أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا وَلَمْ تَسْتَعْمِلْنِي قَالَ
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي.[42]
- Hal-hal yang dapat mencegah terjadinya nepotisme
a.
Keimanan
حَدَّثَنَا بَهْزٌ
وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ وَعَطَاءٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْرِقُ
حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَزْنِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا
يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَغُلُّ حِينَ يَغُلُّ
وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ حِينَ يَنْتَهِبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.[43]
b.
Tidak fanatik
أَخْبَرَنِي
عَبْدُ اللهِ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ مُوْسَى الْعَدَلُ ثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ أَيُّوْبَ
أَنْبَأَ يَزِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ الطَّيَالِسِي ثَنَا خَالِدٌ بْنُ عَبْدِ
اللهِ الْوَاسِطِي عَنْ حُسَيْنٍ بْنِ قَيْسِ الرَّحَبِي عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا مِنْ عَصَابَةٍ وَفِي تِلْكَ الْعَصَابَةِ مَنْ
هُوَ أَرْضَى للهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ الْمُؤْمِنِيْنَ.[44]
c.
Tidak ambisius
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ
أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ أَمِّرْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَهُ فَقَالَ إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا
مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ.[45]
d.
Mempunyai sifat malu
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ
بْنُ يُونُسَ عَنْ زُهَيْرٍ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ حَدَّثَنَا
أَبُو مَسْعُودٍ عُقْبَةُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ
مَا شِئْتَ.[46]
- Hadis-hadis tentang Dampak nepotisme
a.
Kerusakan di dunia
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ
قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي
هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ
جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ
مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ
أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا
قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[47]
b.
Azab di akhirat
1)
Laknat Allah
حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنِي
شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ
بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا
فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ
اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى
أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ.[48]
2)
Tidak masuk surga
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ قَالَ زَائِدَةُ ذَكَرَهُ عَنْ هِشَامٍ
عَنْ الْحَسَنِ قَالَ: أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً
مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ.[49]
3)
Penyesalan
حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ
حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ
بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ
بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا
أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.[50]
4)
Pertanggungjawaban
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ
عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[51]
F.
I’tiba>r al-Sanad
I‘tiba>r
merupakan bagian dari langkah-langkah kritik hadis. Salah satu fungsinya adalah
melacak secara kuantitas sanad sebuah hadis sehingga akan terlihat apakah hadis
yang menjadi obyek kajian merupakan hadis gari>b, masyhu>r,
atau mencapai derajat mutawa>tir.[52]
Dari
hasil takhri>j dan klasifikasi hadis tersebut di atas akan dilakukan i‘tiba>r.[53]
Melalui i‘tiba>r, akan terlihat dengan jelas seluruh sanad hadis, ada
atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus sya>hid (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu
sahabat) atau muta>bi’ (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu
ta>bi‘i>n).[54]
Jika ditelusuri lebih jauh tentang
hadis yang menjadi objek kajian dalam al-kutub al-mutu>n, ditemukan 4
riwayat, antara lain 1 riwayat dalam Musnad Ah{mad bin H{anbal>, 1
riwayat dalam al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>hain, 1 riwayat dalam Musnad
al-Sya>miyyi>n li al-T}abra>niy, 1 riwayat Ga>yat al-Maqs}ad
fi> Zawa>id al-Musnad.[55]
Dari 4 riwayat tersebut, tidak
satupun yang bisa menjadi sya>hid karena pada level sahabat hanya
satu yaitu Abu> Bakar al-S{iddi>q. sedangkan muta>bi‘ juga
tidak ditemukan karena pada level setelah sahabat juga sendiri yaitu Yazi>d
bin Abi> Sufya>n. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah skema sanad dari
hadis yang menjadi objek kajian:
Skema hadis tentang hakikat
nepotisme:
محمد رسول الله
|
أبو
بكر الصديق
|
يزيد بن أبى سفيان
|
جنادة بن أبى أمية
|
رجاء بن حيوة
|
شيخ من قريش
|
بقية بن الوليد
|
يزيد بن عبد ربه
|
أحمد بن حنبل
|
بكر بن خنيس
|
موسى بن أعين
|
جدي
|
الحاكم
النيسابوري
|
أبو بكر بن إسحاق
|
الهيثمي
|
مكحول
|
موسى بن يسار
|
عمرو بن واقد
|
القاسم بن الوليد
|
الوليد بن الفضل
|
الطبراني
|
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nepotisme
Nepotisme
berasal dari bahasa latin yaitu nepos atau nepotis yang berarti
cucu (arti kiasan) keturunan dan atau keponakan.[56]
Baik kerabat langsung maupun hanya hubungan perkawinan dan bahkan bisa
meningkat pada relasi atau teman (konco-konco).[57]
Jadi nepotisme dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan untuk mengutamakan
atau menguntungkan sanak saudara sendiri terutama dalam masalah jabatan,
pangkat di lingkungan pemerintahan[58]
di luar ukuran mereka. Dalam pandangan Kamaruddin Hidayat, nepotisme adalah
menejemen kepegawaian yang menggambarkan sistim pengangkatan, penempatan,
penunjukan dan kenaikan pangkat atas dasar pertalian darah, keluarga atau
kawan.[59]
Maksudnya adalah nepotisme berarti lebih memilih saudara, keluarga
atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata
ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Mau tidak mau, suka tidak
suka, maka nepotisme ini identik dengan sesuatu yang negatif.
Dalam sebuah hadis terdapat terma أثرة yang berasal
dari akar kata أثر
yang berarti إختار لنفسه دونهم[60] (mengutamakan dirinya atas orang
lain). Makna ini, walau dalam redaksi yang
berbeda, dikemukakan pula dalam salah satu syarah Sunan al-Turmudziy. Dalam
syarah al-Turmudziy itu disebutkan bahwa makna dari term أثرة adalah يفضل نفسه .[61]
Dari
makna akar katanya tersebut, maka kata أثرة dapat
diartikan dengan mengutamakan kepentingan diri sendiri (individualistis) dan
bila dikaji lebih jauh maka kata itu pun dapat dimaknai dengan "menganut
sistem famili (nepotis)." Menurut Hassan Sadiliy, praktek dari sikap
nepotis merupakan kecenderungan untuk memberikan prioritas kepada sanak famili
dalam hal pekerjaan, jabatan, dan pangkat di lingkungan kekuasaan.[62]
Istilah lain yang digunakan pada
makna nepotisme adalah al-muh}a>bah yang berasal dari akar kata h{abba
yang menunjukkan beberapa makna antara lain: mantap dan kokoh, biji-bijian
dan sifat pendek.[63] Makna yang sepadan dengan nepotisme
adalah makna yang ketiga yakni sifat pendek karena hanya membatasi sesuatu
hanya kepada keluarga atau rekan-rekannya semata.
Pada abad pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup -yang telah mengambil janji chastity,
sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung- memberikan kedudukan khusus
kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa
paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali,
penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan.
Contohnya, Paus Kallistus III,
dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah
satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu
loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI.
Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya,
menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III.
Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun
dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius
XII yang mengeluarkan bulla kepausan
Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini
melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau
pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang
paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.[64]
Menurut
Amien Rais, nepotisme adalah bagian dari korupsi dimana salah satu bagiannya
adalah korupsi dalam tiga Jenis: Pertama, ekstrortif korupsi, yaitu merujuk
pada situasi di mana seseoarang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu
atau mendapatkan proteksi/perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Kedua,
korupsi manipulatif, yaitu merujuk pada usaha kotor yang dilakukan seseorang
untuk mempengaruhi kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh
keuntungan setinggi-tingginya. Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu merujuk pada
perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, kemenakan, saudara dari
pejabat. Diharapkan perlakuan istimewa tersebut dapat membagi rejeki antar
mereka saja.[65]
B.
Landasan Normatif
- Al-Qur’an
Salah satu ayat yang menjadi
landasan tentang nepotisme adalah ayat yang memerintahkan untuk menyerahkan
amanah kepada ahlinya. Salah satu amanah itu adalah jabatan, sehingga sikap
nepotisme yang mendahulukan keluarga tanpa mempertimbangkan keahliannya
bertentangan dengan al-Qur’an Q.S. al-Nia>’/4: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
- Hadis
Ada beberapa hadis yang menujukan
bahwa nepotisme adalah sebuah sikap yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Salah satu dari nepotisme tersebut adalah hadis tentang Nabi saw. diindikasikan
oleh sebagian sahabat telah berlaku nepotisme terhadap sekelompok suku Qurasiy:
حَدَّثَنَا أَبُو
الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ
بْنُ مَالِكٍ: أَنَّ نَاسًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ أَمْوَالِ هَوَازِنَ مَا أَفَاءَ فَطَفِقَ يُعْطِي رِجَالًا مِنْ قُرَيْشٍ
الْمِائَةَ مِنْ الْإِبِلِ فَقَالُوا يَغْفِرُ اللَّهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي قُرَيْشًا وَيَدَعُنَا وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ
قَالَ أَنَسٌ فَحُدِّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَقَالَتِهِمْ
فَأَرْسَلَ إِلَى الْأَنْصَارِ فَجَمَعَهُمْ فِي قُبَّةٍ مِنْ أَدَمٍ وَلَمْ يَدْعُ
مَعَهُمْ أَحَدًا غَيْرَهُمْ فَلَمَّا اجْتَمَعُوا جَاءَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا كَانَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي عَنْكُمْ قَالَ لَهُ
فُقَهَاؤُهُمْ أَمَّا ذَوُو آرَائِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَقُولُوا شَيْئًا
وَأَمَّا أُنَاسٌ مِنَّا حَدِيثَةٌ أَسْنَانُهُمْ فَقَالُوا يَغْفِرُ اللَّهُ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي قُرَيْشًا وَيَتْرُكُ الْأَنْصَارَ
وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنِّي أُعْطِي رِجَالًا حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ أَمَا تَرْضَوْنَ أَنْ
يَذْهَبَ النَّاسُ بِالْأَمْوَالِ وَتَرْجِعُوا إِلَى رِحَالِكُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَاللَّهِ مَا تَنْقَلِبُونَ بِهِ خَيْرٌ مِمَّا
يَنْقَلِبُونَ بِهِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ رَضِينَا فَقَالَ لَهُمْ
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً شَدِيدَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَوْضِ قَالَ أَنَسٌ فَلَمْ
نَصْبِرْ.[66]
Artinya:
Al-Bukha>riy berkata: Telah
bercerita kepada kami Abu> al-Yama>n telah mengabarkan kepada kami
Syu‘aib telah bercerita kepada kami al-Zuhriy berkata telah mengabarkan
kepadaku Anas bin Ma>lik bahwa orang-orang dari kalangan Anshar berbicara
dengan Rasulullah saw. ketika Allah mengkaruniakan harta fa’iy suku
Hawa>zin kepada Rasulullah saw. Saat itu Beliau sedang memberikan bagian
kepada orang-orang Quraisy berupa seratus unta. Mereka berkata; Semoga Allah
mengampuni Rasulullah saw. karena beliau memberikan bagian kepada orang Quraisy
dan meninggalkan kita padahal pedang-pedang kitalah yang menumpahkan
darah-darah mereka. Anas berkata; kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw.
apa yang diperbincangkan oleh mereka. Maka dikirimlah utusan kepada kaum Anshar
dan mengumpulkan mereka pada suatu kemah terbuat dari kulit yang telah disamak
dan tidak mengijinkan seorangpun bergabung selain kalangan mereka. Ketika
mereka sudah berkumpul maka Rasulullah saw. datang menemui mereka lalu berkata:
Ada apa dengan berita yang telah sampai kepadaku tentang kalian. Orang faqih
mereka berkata kepada beliau; Orang-orang bijak dari kami tidaklah mengatakan
sesuatupun wahai Rasulullah. Namun memang ada anak-anak muda yang berkata;
Semoga Allah mengampuni Rasulullah karena beliau memberikan bagian kepada orang
Quraisy dan meninggalkan kaum Anshar padahal pedang-pedang kitalah yang
menumpahkan darah-darah mereka. Maka Rasulullah saw. bersabda: Sungguh aku
memberi bagian kepada orang-orang yang masa hidup mereka masih dekat dengan
kekafiran. Apakah kalian ridla orang-orang itu pulang dengan membawa harta,
sebaliknya kalian kembali ke tempat tinggal kalian dengan membawa Rasulullah
saw. Demi Allah, sungguh apa yang kalian bawa pulang lebih baik dari apa yang
mereka bawa. Kaum Anshar berkata; Kami ridla wahai Rasulullah. Kemudian beliau
bersabda lagi: Sungguh sepeninggalku nanti kalian akan melihat banyak perkara
yang sangat berat. Untuk itu bershabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah
dan Rasul-Nya saw. di telaga al-haudl. Anas berkata; Ternyata di kemudian
hari kami tidak sabar.
- Perundang-undangan
Sementara undang-undang yang membahas tentang nepotisme
adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam BAB
I tentang Ketentuan Umum dikatakan bahwa nepotisme
adalah setiap perbuatan penyelenggara Negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam BAB IV tentang Hak dan Kewajiban Penyelenggara Negara pasal 5
ayat 4 tentang kewajiban penyelenggara Negara untuk tidak melakukan korupsi,
kolusi dan nepotisme dan ayat 7 bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi,
kolusi dan nepotisme. Sementara dalam BAB VIII tentang Sanksi pasal 22
dikatakan bahwa setiap penyelenggara Negara atau anggota komisi pemeriksa
yang melakukan
nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).[67]
C.
Deskripsi Sanad dan Matan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa hadis yang menjadi obyek naqd al-h}adi>s\ dalam makalah ini adalah
hadis tentang pengertian nepotisme dengan deskripsi sanad dan matan sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنِي
شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ
بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا
فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ
اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى
أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ.[68]
Artinya:
Ahmad berkata: Telah menceritakan
kepada kami Yazi>d bin ‘Abd Rabbih dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Baqiyyah bin al-Wali>d dia berkata; telah menceritakan kepadaku seorang
syaikh dari Quraisy dari Raja>’ bin H{aiwah dari Juna>dah bin Abi>
Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n dia berkata; Abu> Bakar
berkata ketika mengutusku ke Syam; Wahai Yazi>d sesungguhnya kamu memiliki
kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan mereka dalam kepemimpinan, dan hal
itulah yang paling aku takutkan darimu, karena Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin, kemudian mengangkat seseorang
untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya laknat dari Allah, dan Allah
tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan juga amal perbuatan Nafilah
darinya, sampai Dia memasukkannya kedalam neraka jahannam, dan barangsiapa
memberikan kepada seseorang batasan Allah, kemudian melanggar sesuatu di dalam
batasan Allah tanpa haknya, maka baginya laknat dari Allah, atau dia berkata:
Terlepaslah darinya jaminan Allah.
Setelah melakukan takhri>j
terhadap hadis di atas, pemakalah tidak menemukan sanad lain dalam al-kutub
al-tis‘ah selain dalam Musnad Ah}mad bin H{anbal. Namun pemakah
menemukan sanad lain dengan matan yang sama terdapat dalam kitab al-Mustadrak
‘ala> al-S}ah}i>h}ain dengan sanad dan matan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ إِسْحَاقَ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْحَرَانِي ثَنَا جَدِّيْ ثَنَا مُوْسَى بْنُ أَعْيُنٍ عَنْ
بَكْرِ بْنِ خُنَيْسٍ عَنْ رَجَاءٍ بْنِ حَيَوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ
عَنْ يَزِيْدٍ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ لِي أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِيْنَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ: يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ
بِالْإِمَارَةِ ذَلِكَ أَكْثَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَقَدْ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا
فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ
اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ.[69]
Artinya:
Al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy,
Telah dikabarkan kami oleh Abu> Bakar bin Ish}a>q, telah diceritakan
kepada kami oleh ‘Abdullah bin al-H{asan bin Ah}mad al-H{ara>niy, telah
diceritakan kepada kami oleh kakekku, telah diceritakan kepada kami oleh
Mu>sa> bin A‘yun dari Bakar bin Khunais dari Raja>’ bin H{aywah dari
Juna>dah bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n berkata:
Abu> Bakar al-S{iddi>q ra. Berkata kepadaku ketika mengirimku ke Syam.
Wahai Yazi>d, sesungguhnya kamu mempunyai kerabat yang dikhawatirkan mempengaruhimu
dalam kepemimpinan. Hal tersebut yang paling aku khawatirkan kepadamu maka
sungguh Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang menguasai urusan
orang-orang Islam lalu mengangkat seseorang karena dasar kecintaan/nepotisme,
maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan
wajibnya dan juga amal perbuatan na>filah darinya hingga Allah swt.
memasukannya ke dalam neraka jahannam.
Begitu juga, hadis yang sedikit
berbeda namun dengan peristiwa yang sama[70]
terdapat dalam kitab Musnad al-Sya>miyyi>n karya al-T{abra>niy
dengan sanad dan matan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ بْنُ حَمْدَانٍ الْحَنَفِي ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ وَهَبٍ الْعِلاَفِ ثَنَا
الْوَلِيْدُ بْنُ الْفَضَلِ ثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ أَبِي الْوَلِيْدِ ثَنَا عَمْرٌو
بْنُ وَاقِدٍ عَنْ مُوْسَى بْنِ يَسَارٍ عَنْ مَكْحُوْلٍ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي
أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيْدٍ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: شَيَّعَنِي
أَبُوْ بَكْرٍ حِيْنَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ: فَقَالَ يَا يَزِيْدُ إِنَّكَ رَجُلٌ تُحِبُّ
ذَوِي قَرَابَتِكَ وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ وَلِىَ ذَا قَرَابَةٍ
مُحَابَاةً وَهُوَ يَجِدُ خَيْرًا مِنْهُ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.[71]
Artinya:
Al-T{abra>niy berkata: Telah
diceritakan kepada kami oleh al-‘Abba>s bin H{amda>n al-H{anafiy, telah
diceritakan kepada kami oleh Ish{a>q bin Wahab al-‘Ila>f, telah
diceritakan kepada kami al-Wali>d bin al-Fad}al, diceritakan kepada kami
oleh al-Qa>sim bin Abi> al-Wali>d, telah diceritakan kepada kami ‘Amar
bin Wa>qid dari Mu>sa> bin Yasa>r dari Makh}u>l dari Juna>dah
bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n berkata: Abu>
Bakar ketika mengutusku ke Syam: lalu ia berkata: Wahai Yazi>d, sesungguhnya
kamu ada seorang yang mencintai keluargamu dan sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang mengangkat keluarga dekatnya karena
dasar kecintaan, padahal dia menemukan orang yang lebih baik dari pada orang
tersebut, maka ia tidak akan mencium keharuman surga.
Sedangkan dalam kitab Ga>yat
al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad karya al-Hais\amiy dengan sanad dan
matan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِى شَيْخٌ مِنْ
قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِى أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيدَ
بْنِ أَبِى سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ حِينَ بَعَثَنِى إِلَى الشَّامِ: يَا
يَزِيدُ، إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالإِمَارَةِ، وَذَلِكَ
أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
"مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا
مُحَابَاةً، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ، لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ
عَدْلاً، حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ، وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ، فَقَدِ
انْتَهَكَ فِى حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ،
أَوْ قَالَ: "تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[72]
Artinya:
Al-Hais\amiy berkata: Telah
menceritakan kepada kami Yazi>d bin ‘Abd Rabbih dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al-Wali>d dia berkata; telah
menceritakan kepadaku seorang syaikh dari Quraisy dari Raja>’ bin H{aiwah
dari Juna>dah bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n dia
berkata; Abu> Bakar berkata ketika mengutusku ke Syam; Wahai Yazi>d
sesungguhnya kamu memiliki kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan mereka
dalam kepemimpinan, dan hal itulah yang paling aku takutkan darimu, karena
Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin,
kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya
laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan
juga amal perbuatan Nafilah darinya, sampai Dia memasukkannya kedalam neraka
jahannam, dan barangsiapa memberikan kepada seseorang batasan Allah, kemudian
melanggar sesuatu di dalam batasan Allah tanpa haknya, maka baginya laknat dari
Allah, atau dia berkata: Terlepaslah darinya jaminan Allah.
D.
Kritik Hadis
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kritik hadis
mencakup dua aspek, yakni kritik sanad dan kritik matan.
- Kritik Sanad
Metode kritik sanad mencakup
beberapa aspek, antara lain uji ketersambungan proses periwayatan hadis dengan
mencermati silsilah guru-murid yang ditandai dengan s}igah al-tah}ammul (lambang
penerimaan hadis), menguji integritas perawi (al-‘ada>lah) dan
intelegensianya (al-d}abt}) dan jaminan aman dari syuz\uz\ dan ‘illah.
Jika terjadi
kontradiksi penilaian ulama terhadap seorang perawi, peneliti kemudian
memberlakukan kaedah-kaedah al-jarh{ wa al-ta‘di>l dengan berusaha
membandingkan penilaian tersebut kemudian menerapkan kaedah berikut:
1.
الجرح مقدم على التعديل (Penilaian cacat didahulukan dari
pada penilian adil)
Penilaian jarh}/cacat
didahulukan dari pada penilaian ta‘di>l jika terdapat unsur-unsur
berikut:
a.
Jika al-jarh}
dan al-ta‘di>l sama-sama samar/tidak dijelaskan kecacatan atau
keadilan perawi dan jumlahnya sama, karena pengetahuan orang yang menilai cacat
lebih kuat dari pada orang yang menilainya adil. Di
samping itu, hadis yang menjadi sumber ajaran Islam tidak bisa didasarkan pada
hadis yang diragukan.[73]
b.
Jika
al-jarh{ dijelaskan, sedangkan al-ta‘di>l tidak dijelaskan,
meskipun jumlah al-mu‘addil (orang yang menilainya adil) lebih banyak,
karena orang yang menilai cacat lebih banyak pengetahuannya terhadap perawi
yang dinilai dibanding orang yang menilainya adil.
c.
Jika
al-jarh{ dan al-ta‘di>l sama-sama dijelaskan sebab-sebab cacat
atau keadilannya, kecuali jika al-mu‘addil menjelaskan bahwa kecacatan
tersebut telah hilang atau belum terjadi saat hadis tersebut diriwayatkan atau
kecacatannya tidak terkait dengan hadis yang diriwayatkan.[74]
2.
التعديل مقدم على الجرح (Penilaian adil didahulukan dari
pada penilian cacat)
Sebaliknya,
penilaian al-ta‘di>l
didahulukan dari pada penilaian jarh}/cacat jika terdapat
unsur-unsur berikut:
a.
Jika al-ta‘dil dijelaskan sementara al-jarh}
tidak, karena pengetahuan orang yang menilainya adil jauh lebih kuat dari
pada orang yang menilainya cacat, meskipun al-ja>rih/orang yang
menilainya cacat lebih banyak.
Jika al-jarh} dan al-ta‘dil
sama-sama tidak dijelaskan, akan tetapi orang yang menilainya adil lebih banyak
jumlahnya, karena jumlah orang yang menilainya adil mengindikasikan bahwa
perawi tersebut dan adil dan jujur.[75]
Berikut adalah aplikasi kritik
hadis. Jika merujuk pada hadis yang telah dipaparkan di atas, maka hadis
tersebut mempunyai empat sanad. Namun sanad yang menjadi obyek kajian adalah
hadis yang terdapat dalam Musnad Ah}mad dengan nama-nama periwayat
sebagai berikut:
a.
Ah{mad bin H{anbal
Ah{mad
bin H{anbal bernama lengkap Ah{mad bin Muh{ammad bin H{anbal bin
Hila>l bin Asad bin Idri>s bin ‘Abdillah al-Syaiba>ni al-Marwazi>.
Dia lahir pada bulan Rabi’ al-Awal tahun 164 H. di Bagda>d. Ada juga yang
berpendapat di Marwin dan wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.[76]
Dia adalah seorang muh{addis\ sekaligus mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1
juta hadis dan pernah berguru kepada al-Sya>fi‘i>. Dialah penyusun kitab Musnad
Ah}mad.[77]
Di antara gurunya adalah Bisyr ibn al-Mufad}d}al, Sufya>n bin ‘Uyainah, Yazi>d bin ‘Abd Rabbih,
Muh{ammad bin Ja‘far, ‘Abdullah al-Khari>bi> menilainya afd}al
zama>nih. Al-‘Abba>s al-‘Anbari> h{ujjah. Qutaibah berkata:
Ah{mad ima>m al-dunya>. Al-‘Ijli> mengatakan: Ah}mad s\iqah
s\abit fi> al-h{adi>s\. Abu> Zur‘ah mengatakan bahwa Ah{mad
menghafal 1 juta hadis. Bin Sa‘ad mengatakan Ah{mad s\iqah s\abit s}adu>q
kas\i>r al-h}adi>s\.[78]
b.
Yazi>d bin ‘Abd Rabbih
Yazi>d bin ‘Abd Rabbih bernama
lengkap Yazi>d bin ‘Abd Rabbih al-Jurjusiy al-Ha>jj al-Ima>m
al-H{a>fiz} Abu> al-Fad}al al-Zubaidiy al-H{ims}iy al-Muaz\z\in. Ia
bermukin di Kani>sah Jurjis salah daerah di H{ims}. Ia lahir pada tahun 168
H. Ia juga termasuk salah satu ahli hadis pada masanya. Ia wafat pada tahun 224
dalam usia 56 tahun.[79]
Di antara gurunya adalah Ayyu>b
bin Suwaid al-Ramliy, Bisyr bin Syu‘aib, Baqiyyah bin al-Wali>d.
Sedangan muridnya antara lain adalah Abu> Da>wud, Muslim, al-Nasa>iy
Ah{mad bin H{anbal yang lebih tua darinya.[80]
Yah}ya> bin Ma‘i>n menilainya s\iqah
s}a>h}ib h}adi>s\, al-‘Ijliy menilainya s\iqah ka>na kayyis,
Abu> H{a>tim menilainya s}adu>q aiqaz} (lebih hafal) daripada
H{aywah bin Syuraih}, Abu> Bakar bin Abi> Da>wud menilainya s\iqah
bahkan yang riwayat paling s\iqah dari Baqiyyah bin al-Wali>d,
al-‘Asqala>niy menilainya s\iqah, Ibn H{ibba>n memasukannya dalam
kelompok al-s\iqa>t.[81]
Dengan demikian jarak antara
Yazi>d bin ‘Abd Rabbih (w. 224 H) dan Ah}mad bin H{anbal (w. 241 H) adalah
17 tahun, bahkan Ah{mad lebih tua usianya. Di samping itu, Ah}mad bin H{anbal
pernah melakukan rih}lah ‘ilmiyah ke Sya>m tempat tinggal Yazi>d.
Dengan demikian, riwayat Ah{mad dari Yazi>d dengan s}i>qah
h{addas\ana> sah dan sambung karena jarak antarkeduanya berdekatan,
bahkan semasa.
c.
Baqiyyah bin al-Wali>d
Baqiyyah bin al-Wali>d bernama
lengkap Baqiyyah bin al-Wali>d bin S}a>id bin Ka‘ab bin Khari>z
al-Kala>‘iy Abu> Yah{mid al-H{ims}iy. Dia lahir pada tahun 110 H/728 M.
Dia termasuk tinggal di H{ims} salah satu daerah di Sya>m dan termasuk ahli
hadis pada masanya. Dia wafat pada tahun 197 H/812 M.[82]
Di antara gurunya adalah Ish{a>q
bin S|a‘labah, Hari>r bin Yazi>d, Syu‘bah bin al-H{ajja>j. Sedangkan
muridnya antara lain adalah H{amma>d bin Zaid, Suwaid bin Sa‘i>d,
Yazi>d bin ‘Abd Rabbih.
Ibn al-Muba>rak menilainya s}adu>q
hanya saja terkadang menulis hadis dari orang sebelum dan sesudanya, Ah}mad
menilainya jika Baqiyyah bin al-Wali>d meriwayatkan hadis dari kaum yang tidak
dikenal maka janganlah terima hadisnya, Yah}ya> bin Ma‘i>n menilainya
jika dia meriwayatkan dari orang s\iqah maka terimalah hadisnya, namun
jika dia meriwayatkan hadis orang yang tidak dikenal maka janganlah terima
hadisnya. Ya‘qu>b menilainya s\iqah h}asan al-h}adi>s\ jika dia
meriwayatkan hadis orang yang dikenal, namun dia juga meriwayatkan hadis dari
kaum yang ditolak hadisnya atau dari periwayat lemah. Ibn Sa‘ad dan al-‘Ijliy
menilainya s\iqah jika dia meriwayatkan hadis dari orang yang dikenal dan
dianggap d}a‘i>f jika dia meriwayatkan hadis dari orang yang tidak s\iqah.
Abu> H{a>tim menilainya yuktab h}adi>s\uh wa la> yuh{tajj bih.
Al-Nasa>iy mengatakan jika dia berkata h}addas\ana> atau akhbarana>
maka dia termasuk s\iqah, namun jika dia mengatakan ‘an fula>n
maka hadisnya tidak dipakai karena dia tidak tahu dari siapa hadis
tersebut. Al-‘Asqala>niy menilainya s}adu>q kas\i>r al-tadli>s
‘an al-d}u‘afa>’.[83]
Jarak antara Baqiyyah bin
al-Wali>d (w. 197 H) dan Yazi>d bin ‘Abd Rabbih (w. 224 H) adalah 27
tahun. Pemakalah melihat riwayat Yazi>d dari Baqiyyah bin al-Wali>d
dengan s}i>gah h}addas\ana> sah dan dapat dipertanggungjawabkan
karena mereka semasa dan sedaerah di Sya>m.
d.
Syaikh min Quraisy
Syaikh nama mubham/samar
yang tidak diketahui siapa dia, dan tidak ditemukan sanad yang dapat mengungkap
namanya. Dengan demikian, riwayat Baqiyyah bin al-Wali>d dari Syaikh
meskipun menggunakan s}i>gah h}addas\aniy tidak sah dan terputus
karena tidak ditemukan riwayat lain yang dapat mengungkap namanya.
e.
Raja>’ bin H{aywah
Raja>’ bin H{iywah bernama
lengkap Raja>’ bin H{aywah bin Jarwul atau Jundul bin al-Ah}naf bin al-Samt}
bin Imri’ al-Qais bin ‘Amar bin Mu‘a>wiyah bin al-H{a>ris\ al-Kindiy
Abu> al-Miqda>m. Dia wafat pada tahun 112 H.
Di antara gurunya adalah Ja>bir
bin ‘Abdulla>h, Juna>dah bin Umayyah, al-H{a>ris\ bin H{armal.
Sedangkan muridnya adalah Ibra>hi>m bin Abi> ‘Aliyyah, H}umaid
al-T{awi>l, anaknya ‘A<s}im bin Raja>’.
Muh{ammad bin Sa‘ad menilainya s\iqah
fa>d}il kas\i>r al-‘ilm, al-‘Ijliy dan al-Nasa>iy menilainya s\iqah,
Ibn H{ibba>n menilainya min ‘ubba>d ahl al-Sya>m wa
fuqaha>ihim wa zuhha>dihim.[84]
Pemakalah kesulitan melacak jarak
wafat antara Raja>’ bin H{aywah (w. 112 H.) dengan periwayat setelahnya,
karena periwayat setelahnya termasuk mubham, terlebih lagi tidak ada
sanad yang dapat menjelaskan siapa sebenarnya syaikh dalam sanad tersebut.
Dengan demikian, riwayat Juna>dah kepada Syaikh tidak dapat diterima.
f.
Juna>dah bin Abi> Umayyah
Juna>dah bin Abi> Umayyah
bernama lengkap Juna>dah bin Abi> Umayyah Ma>lik al-Azdiy
al-Zahra>niy. Ia termasuk salah seorang panglima besar pada masa
Mu‘a>wiyah. Dia wafat pada tahun 67 H. Sebagian juga berpendapat bahwa dia
wafat pada tahun 80 H./699 M. pada masa pemerintahan ‘Abd al-Ma>lik bin
Marwa>n.[85]
Sementara ulama berbeda pendapat tentang statusnya sebagai sahabat atau seorang
tabi’in.[86]
Di antara gurunya Rasulullah saw.
‘Uba>dah bin al-S}a>mit, ‘Ali bin Abi> T{a>lib, sedangkan muridnya
antara lain al-H{a>ris\ bin Yazi>d, Raja>’ bin H}aiwah,
Sulaima>n bin Juna>dah.[87]
Muh}ammad bin Sa‘ad menempatkannya
pada t}abaqah pertama tabi’in dari Sya>m. al-‘Ijliy menilainya s\iqah
min kiba>r al-ta>bi‘i>n, al-Wa>qidiy menilainya s\iqah
s}a>h}ib Gazw.[88]
Jarak antara Juna>dah (w. 67 H.
atau 80 H) dengan Raja>’ bin H{aiwah (w. 112) adalah 45 atau 48 tahun, namun
dijelaskan dalam beberapa kitab t}abaqa>t, seperi Tahz\i>b
al-Kama>l hubungan antar keduanya, terlebih lagi mereka berdua bermukim
di daerah yang sama yaitu Sya>m. Dengan demikian, riwayat antar keduanya
meskipun dengan s}i>gat ‘an dapat diterima.
g.
Yazi>d bin Abi> Sufya>n
Yazi>d bin Abi> Sufya>n
bernama lengkap Yazi>d bin Abi> Sufya>n bin H{arab Abu> kha>lid
al-Umawiy. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw. dan saudara dari
Mu‘a>wiyah dan termasuk anak terbaik dari Abu> Sufya>n. Ia wafat di
Sya>m pada tahun 18 setelah wafatnya Abu> ‘Ubaidah bin al-Jarra>h}
pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b.
Di antara gurunya adalah Rasulullah
saw., Abu> Bakar al-S}iddi>q. Sedangkan muridnya antara lain Juna>dah
bin Abi> Umayyah, ‘Iya>d} al-Asy‘ariy.
Tidak banyak ditemukan penilaian
ulama terhadap dirinya karena ia termasuk salah seorang sahabat Nabi saw.
Jarak antara Yazi>d (w. 18 H.)
dan Juna>dah (w. 67 H. atau 80 H.) adalah 48 tahun. Banyak kitab tara>jum
dan t}abaqah yang menjelaskan hubungan antarkeduanya. Dengan
demikian, pemakalah menerima riwayat Juna>dah dari Yazi>d, meskipun
dengan s}i>gat ‘an.
h.
Abu> Bakar
Abu> Bakar bernama lengkap
‘Abdullah bin ‘Utsma>n bin ‘A<mir bin ‘Amar bin Ka‘ab bin Sa‘ad bin Tami>m
bin Murrah bin Ka‘ab bin Luaiy bin Ga>lib bin Fihr bin Ma>lik bin
al-Nad}ar al-Taimiy. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw., sekaligus
khalifah pertama dalam Islam. Ia juga orang pertama yang masuk Islam dari
kalangan dewasa. Ia menjadi khalifah selama 2 tahun lebih. Ia wafat pada hari
senin Jumad al-Ula> 13 H. dalam usia 63 tahun dan dikuburkan di samping
Rasulullah saw.[89]
Di antara gurunya adalah Rasulullah
saw., sedangkan muridnya antara lain ‘Umar bin al-Khat}t}a>b,
‘A<isyah, ‘Abdullah bin ‘Umar, Yazi>d bin Abi> Sufya>n dan
lain-lain.[90]
Tidak banyak penilaian ulama
terhadapnya karena ia adalah salah seorang sahabat paling dekat dengan Nabi
saw. dan termasuk salah satu dari 10 orang sahabat yang dikabarkan masuk surga.
Jika dibandingkan jarak antara
Abu> Bakar (13 H.) dan Yazi>d (w. 18 H.) maka selisih wafatnya hanya 5
tahun saja. Dengan demikian riwayat yang terjadi antar keduanya sah dan dapat
diterima, terlebih lagi Yazi>d adalah pegawai dari Abu> Bakar pada masa
pemerintahannya.
Setelah melakukan langkah-langkah
kritik sanad dan mempertimbangkan penilaian ulama terhadap periwayat, pemakalah
berkesimpulan bahwa hadis riwayat Ah{mad bin H{anbal di atas dinilai d}a‘i>f
karena tidak memenuhi kaidah kesahihan sanad. Alasan ketidaksahihan tersebut
terletak pada ketidaksambungan sanad karena salah satu periwayatnya mubham.
Di samping itu, kritikus hadis menganggap Baqiyyah bin al-Wali>d sebagai
perawi yang d}a‘i>f jika meriwayatkan dari orang yang tidak dikenal
sebagaimana penilaian Yah{ya> bin Ma‘i>n, Ibn Sa‘ad, Ya‘qu>n dan
al-‘Ijliy.
Aspek lain yang dapat memunculkan
hadis ini adalah kecurigaan terhadap Baqiyyah bin al-Wali>d yang hidup pada
era kekuasaan dan pemerintahan di Syam yang cenderung mewariskan kekhalifahan
terhadap keluarganya, baik pada masa pemerintahan Amawiyyah maupun
‘Abba>siyah.
- Kritik Matan
Metode
kritik matan meliputi dua hal, yaitu terhindar dari sya>z\[91]
dan ‘illah[92].
M. Syuhudi Ismail menjadikan terhindar dari kedua hal tersebut sebagai kaidah mayor matan. Tolak ukur untuk mengetahui
sya>z\ matan hadis antara lain: a) Sanad hadis bersangkutan
menyendiri. b) Matan hadis bersangkutan bertentangan dengan matan hadis yang
sanadnya lebih kuat. c) Matan hadis bersangkutan bertentangan dengan al-Qur’an.
d) Matan hadis bersangkutan bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[93]
Sedangkan
tolok ukur
mengetahui ‘illah matan hadis antara lain adalah a) Sisipan/idra>j
yang dilakukan oleh perawi s\iqah pada matan. b) Penggabungan matan
hadis, baik sebagian atau seluruhnya pada matan hadis yang lain oleh perawi s\iqah.
c) Penambahan satu lafal atau kalimat yang bukan bagian dari hadis yang
dilakukan oleh perawi s\iqah. d) Pembalikan lafal-lafal pada matan
hadis/inqila>b. e) Perubahan huruf atau syakal pada matan hadis (al-tah}ri>f
atau al-tas}h{i>f), f) Kesalahan lafal dalam periwayatan hadis
secara makna.[94]
Menurut
Syuhudi, untuk mengetahui terhindar tidaknya matan hadis dari sya>z\
dan ‘illah dibutuhkan langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian
matan yang dapat dikelompokkan dalam tiga bagian penelitian matan dengan
melihat kualitas sanadnya, penelitian susunan lafal berbagai matan yang semakna
dan penelitian kandungan matan.[95]
Arifuddin Ahmad menambahkan bahwa
penelitian matan hadis dibutuhkan dalam tiga hal tersebut karena beberapa faktor,
antara lain keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad,
terjadi periwayatan makna dalam hadis, dan penelitian kandungan hadis acapkali
memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip dasar Islam.[96]
Dari uraian dan langkah-langkah
metodologis dalam penelitian matan yang telah dipaparkan di atas, kemudian
dikaitkan dengan hadis yang menjadi obyek kajian, pemakalah berkesimpulan bahwa
kritik matan tidak dapat dilakukan karena langkah pertama, yakni memastikan
kesahihan sanad tidak terpenuhi, sehingga kritik matan tidak perlu dilanjutkan.[97]
E.
Syarh al-Hadis
- Pemahaman hadis tentang hakikat nepotisme
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa istilah nepotisme dalam Bahasa Indonesia adalah mengarah pada tiga aspek,
yaitu a) Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat
dekat; b) Kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; c) Tindakan
memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.[98]
Dengan demikian, pemakalah berusaha
mencari kosa kata yang biasa digunakan pada makna-makna di atas. Setelah
melakukan pelacakan dalam kamus-kamus, ditemukan ada dua istilah yang biasa
diarahkan pada makna nepotisme, yaitu المحاباة dan الأثرة. Dari kedua kosa kata tersebut,
pemakalah melacak hadis-hadis yang menggunakan kedua kosa kata tersebut. Salah
satu hadis yang menggunakna keduanya adalah hadis riwayat Ah}mad dari Abu>
Bakar:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ
قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ
أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ...[99]
Artinya:
Dari Yazi>d bin Abi>
Sufya>n dia berkata; Abu> Bakar berkata ketika mengutusku ke Syam: Wahai
Yazi>d sesungguhnya kamu memiliki kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan
mereka dalam kepemimpinan, dan hal itulah yang paling aku takutkan darimu,
karena Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum
muslimin, kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka
baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan
wajibnya dan juga amal perbuatan nafilah darinya, sampai dia
memasukkannya ke dalam neraka jahannam....
Untuk memahami teks hadis di atas,
maka penting untuk melakukan pengelompokan kalimat terlebih dahulu. Kelompok
pertama adalah terkait dengan ucapan Abu> Bakar terhadap Yazi>d dan
kelompok kedua adalah sabda Nabi saw.
Ucapan Abu> Bakar adalah:
إِنَّ لَكَ قَرَابَةً
عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ.
Ucapan Abu> Bakar tersebut menggunakan kata
تُؤَثِّرَ
yang satu derivasi dengan أثرة. Dalam Kamus Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, kata
أثرة
mempunyai tiga makna asal yaitu mendahulukan sesuatu, menyebutkan sesuatu dan
memberi bekas pada sesuatu yang tersisa.[100]
Ketiga makna tersebut dapat dikaitkan dengan makna nepotisme. Oleh karena itu,
dalam al-Mu‘jam al-Wasi>t}, أثرة dimaknai dengan mengutamakan diri
sendiri dari pada orang lain,[101]
bahkan al-Nawawiy memaknai أثرة dengan الإنفراد بالشيئ
المشترك (menguasai sesuatu yang menjadi hak bersama).[102]
Sementara sabda Nabi saw. adalah:
مَنْ وَلِيَ مِنْ
أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ
جَهَنَّمَ.
Dalam sabda Nabi saw. di atas,
ditemukan penggunaan istilah محاباة. Dalam Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah ditemukan
makna yang sama bagi lafal المحاباة, yaitu kedekatan atau kekerabatan.
Dengan demikian, kedua kosa kata
tersebut mempunyai kedekatan makna etimologi, akan tetapi jika diperhatikan
dengan baik antara ungkapan Abu> Bakar dan Sabda Nabi saw. dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebenarnya keduanya mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut
sangat tampak, karena المحاباة pada dasarnya menunjukan makna mengutamakan orang
lain yang mempunyai hubungan dengan dirinya dan mendahulukannya dari yang lain,
sementara الأثرة
menekankan pada makna mengutamakan diri sendiri dan mendahulukannya atas orang
lain. Dengan demikian, المحاباة jauh lebih tepat digunakan pada makna nepotisme
ketimbang الأثرة
yang sebenarnya lebih bermakna monopoli.
Peristiwa yang menyebabkan Abu>
Bakar menyebutkan sabda Nabi saw. adalah wasiat atau pesan Abu> Bakar kepada
panglimanya yang mau dikirim ke Syam agar jangan sampai dipengaruhi oleh
keluarga dalam menjalankan pemerintahannya, sebab jika hal tersebut dilakukan
maka dikhawatirkan memunculkan nepotisme dalam pemerintahan yang bisa jadi
mengarah pada sistem kerajaan yang menyerahkan kepemimpinan pada anak dan
keluarganya.
Hadis di atas sejalan dengan hadis
lain tentang larangan Nabi saw. menerima tebusan atas pamannya al-‘Abba>s
yang menjadi tawanan perang.
أَنَّ رِجَالًا مِنْ
الْأَنْصَارِ اسْتَأْذَنُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا
ائْذَنْ لَنَا فَلْنَتْرُكْ لِابْنِ أُخْتِنَا عَبَّاسٍ فِدَاءَهُ فَقَالَ لَا تَدَعُونَ
مِنْهُ دِرْهَمًا.[103]
Artinya:
Ada orang-orang dari kalangan Anshar meminta izin kepada Rasulullah saw. dan
mereka berkata: Izinkanlah kami untuk memberi tebusan atas anak saudara
perempuan kami, yakni ‘Abba>s. Maka Beliau bersabda: Janganlah kalian
tinggalkan untuknya satu dirhampun.
Menurut al-‘Asqala>niy, larangan
Nabi saw. untuk menebus al-‘Abba>s agar dalam agama ini tidak terjadi
nepotisme. Menurutnya, Nabi saw. tidak mau menerima tebusan al-‘Abba>s
karena khawatir akan muncul nepotisme karan al-‘Abba>s adalah pamannya.
Langkah Nabi saw. ini sebagai bukti bahwa kekerabatan tidak boleh mempengaruhi
keputusan, meskipun hal tersebut menyakitkan.[104]
- Pemahaman hadis tentang karakteristik nepotisme
a.
Tidak profesional
Seseorang yang ingin diberikan
jabatan, padahal dia tidak profesional di bidangnya, akan tetapi hanya karena
ada hubungan kekeluargaan sehingga ia diberikan jabatan, maka hal semacam ini
termasuk nepotisme. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan umatnya agar
menyerahkan setiap urusan kepada orang yang profesional di bidangnya
masing-masing:
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ
كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ
السَّاعَةَ.[105]
Artinya:
Maka apabila sudah hilang amanah
maka tunggulah terjadinya kiamat. Orang itu bertanya: Bagaimana hilangnya
amanat itu? Nabi saw. menjawab: Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya,
maka akan tunggulah terjadinya kiamat.
Untuk mengungkap kandungan hadis
tersebut, maka perlu mengkaji apa yang dimaksud dengan الأمر,
غير أهله dan الساعة. ‘Abd al-Rau>f
dalam kitab syarahnya menjelaslan bahwa yang dimaksud dengan الأمر adalah segala
sesuatu yang terkait dengan agama seperti pemerintahan, kehakiman, fatwa dan
pengajaran serta yang lain-lain.[106] Sementara yang dimaksud dengan غير أهله adalah
orang-orang yang fasik, penyeleweng dan bukan keturunan baik-baik (tidak punya
pengaruh dalam masyarakat).[107]
Berangkat dari penjelasan teks
tersebut dapat ditarik sebuah pemahaman dalam hadis ini bahwa kehancuran,
kekacauan dan ketikadilan akan terjadi jika suatu pekerjaan atau jabatan
apapun, terlebih lagi urusan agama jika diberikan kepada orang yang tidak
amanah dan tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, bukan hanya
pemimpin atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya
berupa kekacauan karena tidak menunaikan amanah akan tetapi umat atau
masyarakat juga dianggap menyia-nyiakan amanah karena memilih dan mengangkat
orang-orang yang tidak amanah pada suatu jabatan,[108]
Dan dalam hadis tersebut tidak ada
penjelasan tentang siapa yang berhak diangkat menjadi pejabat, apakah harus
orang lain ataukah boleh keluarga, sebab penekanan hadis itu hanya pada
profesionalitas semata yang ditunjukkan oleh kata غير
أهله (tidak kompoten). Sehingga jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat
dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan, yang penting
orang tersebut memenuhi persyaratan. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam hadis
ini adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya
hubungan kekerabatan.
Ungkapan hadis tersebut diperkuat
oleh Allah swt. dalam firman-Nya Q.S. al-Nisa>’/4: 58 yang memerintahkan
kepada setiap manusia agar memberikan amanah kepada ahlinya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا
بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا (58)
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.[109]
Muh{ammad ‘Abduh ketika menafsirkan
ayat tersebut mengungkapkan bahwa amanah merupakan hak bagi setiap mukallaf dan
terkait dengan hak orang lain. Dengan demikian, amanah seringkali dititipkan
dan diberikan kepada orang lain agar disampaikan kepada orang yang mempunyai
hak, baik terkait dengan ilmu pengetahuan maupun harta benda. Artinya, seorang
alim wajib menyampaikan ilmunya kepada orang lain, sebagaimana orang yang kaya
wajib menyampaikan hartanya kepada orang lain.[110]
Wahbah al-Zuhailiy menyebutkan bahwa
amanah dalam ayat tersebut adalah setiap dipercayakan kepada seseorang dan
berlaku pada semua jenis kewajiban, baik kepada Allah swt., kepada manusia
maupun kepada diri sendiri.[111]
Ayat dan hadis tersebut sepakat
memerintahkan untuk menyerahkan urusan kepada ahlinya. Untuk merealisasikan hal
itu, Rasulullah saw. tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan
atau mengejar jabatan atau dalam bahasa gamblangnya adalah orang-orang yang
ambisius. Hal tersebut pernah dilakukan Nabi saw. kepada seseorang yang miminta
jabatan kepadanya, namun Nabi saw. balik menasihatinya dengan sabdanya:
قَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ
اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى
تَلْقَوْنِي غَدًا عَلَى الْحَوْضِ.[112]
Artinya:
Seorang suku Ans}a>r berkata:
Wahai Rasulullah saw. tidakah engkau memberikan jabatan kepadaku sebagaimana
engkau memberikan jabatan kepada si fulan? Rasulullah saw. menjawab: kalian
akan menemui sikap-sikap egoistis dan individualistis sepeninggalku, maka bersabarlah
kalian hingga kalian menemuiku di telaga di kemudian hari.
Kalau
melihat syarah
hadis tersebut, diketahui bahwa nama orang Ans}a>r yang bertanya kepada Nabi tersebut adalah
Usayd bin
‘Umayr.[113] Sedangkan si-fulan yang
disebutkan dalam materi hadis adalah ‘Amr bin al-‘A<s} yang pernah ditunjuk oleh
Nabi untuk menjadi gubernur di Yaman.[114] Pada masa Rasul jabatan
gubernur meliputi segala bidang termasuk mengurusi persoalan zakat.
Pengangkatan Nabi terhadap ‘Amar bin al-‘A<s} memang terkesan nepotism karena masih banyak yang lebih bisa
dari pada ‘Amar bin al-‘A<s}, akan
tetapi, hal tersebut didasarkan atas kapabilitas dan loyalitas yang dimiliki
oleh ‘Amar.
Sabda Nabi saw. agar tidak
memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan diperkuat oleh sabda Nabi
saw. yang lain bahwa seseorang yang meminta jabatan akan diberikan sepenuhnya
jabatan tersebut kepadanya tanpa ada pertolongan dari Allah swt.[115]
Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi
saw. sangat enggan memberikan jabatan kepada seseorang yang menginginkan
jabatan karena bisa jadi hal itu menjadi cerminan ketidakamanahannya, terlebih
lagi pertolongan Allah swt. juga tidak diberikan kepada orang semacam ini,
sehingga profesionalitasnya akan hilang atau paling tidak diragukan.
Badr al-Di>n al-H{anafiy sebagaimana
yang dikutip al-Mala> ‘Ali al-Qa>riy menjelaskan bahwa ketidakbolehan
mengangkat seseorang yang menginginkan jabatan bisa jadi karena orang tersebut
mempunyai maksud atau niat tertentu atau bisa jadi karena gajinya yang diincar,
bukan untuk mengabdikan diri dan menunaikannya dengan baik.[116]
Dari
pemaparan di atas, penekanan hadis-hadis tersebut adalah bagaimana memberikan
tugas kepada orang yang kompoten dan tidak memberikannya kepada orang yang
meminta jabatan.[117]
sekaligus informasi dari Nabi bahwa suatu saat nanti, akan muncul kelompok yang
suka melakukan nepotisme, maka pada saat itulah, setiap orang membutuhkan
kesabaran agar tetap selamat dunia dan akhirat.
Sikap Nabi saw. yang memberikan
jabatan kepada ahlinya tercermin ketika Nabi saw. mengutus Mu‘a>z\ bin Jabal
bersama Abu> Mu>sa> al-Asy‘ariy ke Yaman dengan pesannya
[118]يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا ، وَبَشِّرَا
وَلاَ تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا. (Permudahlah
kalian berdua dan janganlah mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang
lari dan bekerjasamalah kalian berdua dan jangan berselisih). Pengutusan Mu‘a>z\
bin Jabal sangat tepat karena Mu‘a>z\ adalah orang yang paling mengerti
tentang halal dan haram.[119]
b.
Tidak mempunyai integritas
Salah satu karakteristik nepotisme
adalah orang yang diberikan jabatan tidak mampu menjalankan dan merealisasikan
jabatan yang diberikan kepadanya. Artinya, terkadang seseorang yang mempunyai
kemampuan dalam aspek praktek, akan tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam
aspek teori. Integritas dibutuhkan dalam rangka melaksanakan apa yang
seharusnya dilaksanakan oleh seorang yang diberikan jabatan. Oleh karena itu,
Nabi saw. tidak mau memberikan jabatan kepada Abu> Z|arr, meskipun yang
bersangkutan terkenal sebagai sosok yang saleh, terpercaya dengan
sabdanya:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي
أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى
اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.[120]
Artinya:
Wahai Abu Z|arr, sungguh saya
melihatmu sangat lemah, dan saya menginginkan untukmu seperti yang saya
inginkan untuk kamu. Jangan kamu menjadi pemimpin di antara dua orang dan
jangan kamu menguasai harta anak yatim.
Alasan Nabi saw. tidak memberikan
jabatan kepada Abu> Z|arr bukan karena Nabi saw. tidak percaya kepadanya,
padahal ia salah seorang sahabat yang paling dipercaya dan paling jujur, akan
tetapi Abu> Z|arr terkenal mempunyai sikap zuhud sehingga ia pernah
memberikan fatwa tentang keharaman mengumpulkan harta benda, meskipun zakatnya
telah dikeluarkan.[121]
Sikap inilah yang dikhawatirkan Nabi
saw. mendominasi sikapnya pada saat ia diberikan jabatan. Hal tersebut dapat
dipahami dari teks tersebut yang melarangnya menjadi pejabat, meskipun rakyat
atau anak buahnya hanya dua orang saja (لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ
يَتِيمٍ).
Al-Qurt}ubiy sebagaimana yang
dikutip al-Sanadiy ketika menjelaskan kalimat إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا mengatakan
bahwa Abu> Z|arr lemah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai ami>r/pejabat,
seperti menjaga kemaslahatan rakyatnya, baik yang terkait dengan urusan duniawi
maupun urusan ukhrawi dikarenakan sikapnya yang zuhud dan menganggap
dunia sebagai sesuatu yang hina dibanding akhirat.[122]
Oleh karena itu, Nabi saw.
senantiasa mengangkat Kha>lid bin al-Wali>d selaku panglima perang sejak
ia bergabung dalam Islam, karena kemampuannya dalam berperang sehingga Nabi
saw. pernah berkata: Sesungguhnya Kha>lid adalah pedang yang menjadi kunci
Allah terhadap orang-orang musyrik,[123]
padahal pada sisi yang lain, Kha>lid sering kali melakukan kesalahan yang
tidak dapat dibenarkan oleh Nabi saw., bahkan Nabi saw. pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا
صَنَعَ خَالِدٌ.[124]
Artinya:
Ya Allah, sungguh aku terbebas dari
apa yang dilakukan Kha>lid bin al-Wali>d.[125]
Di antara indikator seseorang tidak
mempunyai integritas adalah karena usianya masih sangat belia atau terlalu tua
atau karena bodoh. Oleh karena itu, Nabi saw. mengingatkan umatnya untuk tidak
mengangkat seseorang yang sudah berusia 70 tahun atau masih anak-anak atau
karena bodoh.[126]
Logikanya adalah seseorang yang
masih belia tentu ia sangat kesusahan dalam melaksanakan tugasnya atau bisa
jadi karena belum mengetahuinya karena pengalaman dan fikiran yang masih sangat
terbatas, sementara orang yang terlalu tua dikhawatirkan lupa terhadap apa yang
dikatakan atau dikerjakan atau tidak bisa lagi memikirkan masalah-masalah yang
rumit atau masalah yang terlalu banyak yang semuanya membutuhkan pemikiran yang
dalam dan fisik yang prima, sedangkan orang bodoh tidak mengetahui sesuatu yang
bersifat politik, baik terkait agama maupun dunia, sehingga bisa jadi ia diperalat
orang-orang yang ingin melakukan kazaliman,[127]
bahkan Allah swt. menyuruh orang adil untuk mencatat transaksi yang dilakukan
oleh orang bodoh, orang lemah dan orang tidak mampu.[128]
c.
Hadis tentang kebijakan politis
Dalam sebuah urusan-urusan yang
sangat urgen, seseorang terkadang melakukan hal-hal yang bersifat kebijakan
politis, dengan sedikit mengabaikan faktor profesionalitas dan integritas. Hal
tersebut dilakukan jika ada hal yang lebih besar kemaslahatannya untuk
kepentingan halayak banyak, bukan kepentingan individu atau golongan tertentu.
Oleh karena itu, Rasulullah saw.
mengangkat Usa>mah bin Zaid padahal usianya masih sangat muda yaitu 18
tahun, sementara yang lain masih banyak yang lebih profesional dan mempunyai
kemampuan yang lebih.
Pengangkatan Usa>mah kemudian
dikecam oleh banyak sahabat karena mereka melihat sisi luarnya, sementara Nabi
saw. melihat sisi yang lebih jauh lagi. Para sahabat melihat bahwa Usa>mah
masih sangat muda dan ia seorang anak dari mantan budak, meskipun sangat dekat
dengan Nabi saw. sementara Nabi saw. melihat bakat Usa>mah yang terpendam.
Hal tersebut dapat dilihat dari hadisnya:
بَعَثَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ تَطْعُنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعُنُونَ فِي إِمَارَةِ
أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ
لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ.[129]
Artinya:
Nabi saw. mengutus satu pasukan dan
mengangkat Usa>mah bin Zaid sebagai pemimpin mereka. Lalu sebagian orang ada
yang mencela kepemimpinannya, maka Nabi saw. bersabda: Kalian mencela
kepemimpinannya? sungguh sebelum ini kalian pernah pula mencela kepemimpinan
ayahnya. Demi Allah, sungguh dia patut memegang kepemimpinan karena dia adalah
manusia yang paling aku cintai dan sekarang, (Usa>mah) adalah manusia yang
paling aku cintai setelah (ayah)-nya.
Ungkapan Nabi saw. وَايْمُ اللَّهِ إِنْ
كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ (demi Allah, dia tercipta untuk
menjadi pemimpin). Di samping bakatnya sebagai seorang ami>r, Nabi
saw. juga mengirim pasukan ke tempat di mana ayahnya tewas.[130]
Dapat dibayangkan jika seseorang dikirim ke tempat di mana ayahnya wafat, maka
motivasi untuk menang dapat berlipatganda sebagai bentuk bakti anak terhadap
ayahnya, sekaligus memperlihatkan kemampuannya.
Model pengangkatan Usa>mah
sebenarnya juga pernah dilakukan Nabi saw. kepada ‘Amar bin al-‘A<s} dalam
perang Z|a>t al-Sala>sil[131]
yang terjadi setelah perang Mu’tah.[132]
Pengangkatan ‘Amar tidak dapat dilepaskan dari medan yang dituju, yaitu
Z|a>t al-Sala>sil. Penduduknya mayoritas adalah paman-paman ‘Amar.[133]
Dengan mengirim ‘Amar, Rasulullah saw. ingin melakukan diplomasi dengan
pendekatan kekeluargaan sehingga yang muncul bukan perang fisik, akan tetapi
perdamaian.
Dengan demikian, penting bagi
seorang pejabat memperhatikan setiap jabatan agar diberikan kepada orang yang
paling dibutuhkan. Misalnya, jika ada dua orang yang satu lebih dominan
amanahnya, sedangkan yang lain lebih dominan kemampuannya maka yang didahulukan
adalah orang yang paling dibutuhkan pada posisi tersebut dan paling sedikit
mudaratnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari
sikap Abu> Bakar al-S{iddi>q dan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang berbeda
dalam memposisikan Kha>lid bin al-Wali>d. Abu> Bakar tetap mempertahankan
Kha>lid sebagai panglima perang dalam berbagai perang pada masanya, meskipun
Kha>lid terkadang melakukan kesalahan. Sementara ‘Umar ketika terpilih
menjadi khalifah, ia mengganti Kha>lid dengan Abu> ‘Ubaidah bin
al-Jarra>h}.
Sikap keduanya berbeda karena memang
karakter keduanya juga berbeda. Abu> Bakar terkenal kalem atau lembut maka
sewajarnya jika dia membutuhkan panglima yang sedikit tegas, seperti
Kha>lid. Sementara ‘Umar mempunyai karakter yang tegas dan sama dengan
Kha>lid, sehigga dikhawatirkan kebijakan-kebijakan terlalu tegas yang pada
akhirnya tidak terjadi i‘tida>l atau tengah-tengah.[134]
- Pemahaman hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme
a.
Hadis tentang dugaan nepotisme pada golongan
Praktek nepotisme terhadap satu
golongan yang dimaksud dalam beragam matan hadis yang telah dikemukakan
terdahulu adalah masalah pembagian harta rampasan perang yang hanya
diperuntukkan kepada kaum tertentu, seperti kaum mu’allaf. Sementara
itu, yang lainnya misalnya segolongan sahabat Nabi saw. dari kaum Ans}a>r
tidak mendapatkan bagian dari harta rampasan perang.
Hal tersebut terekam dalam hadis
Nabi saw.:
لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ
عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَسَمَ فِي النَّاسِ
فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا فَكَأَنَّهُمْ
وَجَدُوا إِذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ فَخَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ
الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ
فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا
قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُوا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ لَوْ شِئْتُمْ قُلْتُمْ جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا أَتَرْضَوْنَ
أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَذْهَبُونَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رِحَالِكُمْ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً
مِنْ الْأَنْصَارِ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا وَشِعْبًا لَسَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ
وَشِعْبَهَا الْأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي
أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[135]
Artinya:
Ketika Allah memberi Rasul-Nya saw.
rampasan (fa’iy) pada perang H{unain, beliau membagi rampasan itu untuk
orang-orang yang hatinya masih perlu ditarbiyah (mu’allaf), dan beliau
sama sekali tidak memberi bagian sahabat Anshar. Rupanya sahabat Anshar ini
emosi karena tidak memperoleh bagian sebagaimana yang lain memperolehnya. Maka
kemudian Rasulullah menyampaikan pidato: Hadirin kaum Anshar, bukankah aku
dahulu menjumpai kalian dalam keadaan sesat lantas Allah memberi kalian
petunjuk dengan perantaraanku? dahulu kalian dalam keadaan terpecah-belah
lantas Allah mendamaikan kalian dengan perantaraanku? dan kalian dalam keadaan
miskin lantas Allah mengayakan kalian dengan perantaraanku? Setiap kali Nabi
menyampaikan sesuatu, mereka jawab; Allah dan rasul-Nya lebih terpercaya.
Beliau meneruskan: Lantas alasan apa yang menghalangi kalian menerima
Rasulullah saw.? Kata Zaid, setiap kali Rasulullah mengatakan sesuatu mereka
jawab; Allah dan rasul-Nya lebih terpercaya! Kata Nabi: Silahkan kalian
mengatakan; Anda datang kepada kami dengan demikian dan demikian. Tidakkah
kalian puas manusia membawa kambing dan unta, sedang kalian membawa Nabi saw.
ke persinggahan kalian? kalaulah bukan karena hijrah, aku pasti menjadi orang Anshar,
kalaulah manusia mengarungi sebuah lembah dan lereng, niscaya aku mengarungi
lembah dan lereng Anshar. Anshar adalah pakaian luar -maksudnya primer dan
utama- sedang manusia lain hanyalah pakaian dalam -maksudnya sekunder, kurang
utama- sepeninggalku, akan kalian temui sikap-sikap egoistis dan
individualistis, maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku di telaga.
Hadis di atas memberikan informasi tentang sikap
nepotisme Nabi saw. dalam pembagian harta rampasan perang.[136]
Harta rampasan tersebut hanya diperuntukkan kepada golongan muallaf. Hal ini
tergambar dari potongan matan hadis sebagai berikut;
لَمَّا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ
قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا...[137]
Artinya:
Ketika Allah memerintahkan kepada
Rasul-Nya untuk membagi harta rampasan dari hasil perang H{unain, beliau
membagikannya kepada orang-orang mu’allaf. Sementara itu, kaum Ans}a>r tidak
mendapatkan bagian sedikit pun.
Secara tekstual, matan hadis di atas menunjukkan sikap
nepotisme yang dipraktekkan oleh Nabi saw. yang ditujukan hanya kepada kaum
mu’allaf sedangkan kaum Ans}a>r
seakan-akan tidak diperhatikan keberadaannya.
Al-Sya>fi‘iy sebagaimana yang dikutip oleh Muh}ammad
Ami>n al-Kurdy menyatakan bahwa al-mu’allaf dapat diklasifikasi dalam
empat kelompok; a) Orang yang baru masuk Islam, dan imannya belum teguh, b) Orang
Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dengan harapan kalau ia diberi zakat, akan mempengaruhi kaum lain
untuk memeluk Islam, c) Orang Islam yang berpengaruh terhadap orang kafir, d) Orang
yang menolak kejahatan.7 Klasifikasi yang dikemukakan al-Sya>fi‘iy
tersebut, jika dikaitkan dengan matan hadis, maka batasan yang dapat diterima
adalah sebagaimana yang termaktub dalam point 1. Muallaf adalah orang yang baru
masuk Islam, dan imannya belum teguh. Dinyatakan demikian, karena batasan
tersebut sesuai dengan syarah hadis yang menyatakan bahwa المؤلفة قلوبهم هنا ناس حدثوا العهد
بالإسلام.[138]
al-Mu’allaf qulu>buhum dalam matan hadis di atas adalah mereka yang
tergolong baru memeluk agama Islam.[139]
Sementara pihak yang dimaksud orang-orang Ans}a>r di
sini adalah umat Islam yang menetap di Madinah dan menerima kedatangan Nabi saw.
beserta sahabatnya dari Mekah ketika hijrah.[140]
Sehubungan dengan hadis yang dikaji ini, mengapa Nabi
saw. terkesan tega tidak memberikan harta rampasan perang ketika terjadi perang
H{unain bagi kaum Ans}a>r, padahal mereka adalah penopang utama bagi Nabi
saw. dalam mengembangkan Islam.
Oleh karena itu, sebagian kaum Ans}a>r menganggap
bahwa perilaku Nabi saw. terkesan bersikap nepotisme. Karena demikian, maka
muncul konfirmasi dari kaum Ans}a>r. Mereka menganggap bahwa kami dianaktirikan.
Untuk mengantisipasi keadaan yang demikian, maka Nabi saw. mangadakan dialog dengan
tokoh-tokoh kaum Ans}a>r lalu bersabda:
يَا
مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ
مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي...[141]
Artinya:
(Nabi saw. bersabda): “Wahai pemuka
Ans}a>r, saya melihat kalian dalam kesesatan dan Allah memberikan kalian
petunjuk karena aku, saya melihat kalian bercerai berai dan Allah menyatukan
kalian karena aku, saya melihat kalian dalam kemiskinan dan Allah
menganugerahkan kekayaan kepada kalian karena aku.
Jawaban Nabi saw. tersebut sangat arif dan bijaksana. Potongan
hadis tersebut dapat dipahami bahwa oarang-orang Ans}a>r telah diberikan
materi atau kekayaan yang cukup, sedangkan orang-orang mu’allaf masih dalam
kemiskinan. Karenanya, sangat wajar jika Nabi saw. memperuntukan harta tersebut
kepada oraang-orang mu’allaf.
Atas jawaban Nabi saw. di atas, kaum Ans}a>r kembali
menjawab; قالوا الله ورسوله أمن
(kami percaya kepada Allah dan Rasul-Nya). Jawaban kaum Ans}a>r ini
menandakan bahwa mereka menerima ketetapan Nabi saw. dengan penuh keimanan. Maksudnya,
mereka merelakan harta rampasan perang tersebut diperoleh oleh kaum mu’allaf.
Berdasarkan teks hadis di atas, dapat dipahami bahwa pada
mulanya kaum Ans}a>r menganggap Nabi saw. bersikap nepotisme dalam arti
negatif. Akan tetapi, setelah mendapat jawaban dari Nabi saw. sendiri, barulah
mereka sadar bahwa Nabi saw. bersikap nepotisme dalam arti yang positif. Dengan
demikian, sikap nepotisme yang dipraktekkan Nabi saw. jauh beda dengan sikap nepotisme yang telah
menjadi perbincangan publik ini.
Pada akhir matan hadis, Nabi saw. kembali memberikan
ultimatum bahwa;
....إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي
عَلَى الْحَوْضِ.[142]
Artinya:
Sungguh kalian akan mendapatkan
pemimpin sesudahku yang bersikap nepotisme, maka bersabarlah niscya engkau
menemukanku di telaga.
Pernyataan Nabi saw. di atas secara eksplisit mengandung
makna bahwa suatu saat nanti pasti ditemukan pemimpin yang bersikap
mementingkan diri sendiri atau mementingkan golongannya saja. Dalam keadaan
yang demikian ini, Nabi saw. menganjurkan kepada umatnya untuk tetap bersabar.
Dalam kasus yang lain, Nabi saw. juga terkesan melakukan
hal yang terbalik dengan mengutamakan kaum Ans}a>r dan mengacuhkan kaum
Muha>jirin. Oleh karen itu, kaum Ans}a>r tidak rela jika Nabi saw. tidak
memberikan hak yang sama kepada mereka. Hal tersebut terungkap dalam hadis
tentang dugaan nepotisme dalam pembagian harta negeri Bah{rain:
دَعَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَنْصَارَ لِيَكْتُبَ لَهُمْ بِالْبَحْرَيْنِ
فَقَالُوا لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَكْتُبَ لِإِخْوَانِنَا مِنْ قُرَيْشٍ بِمِثْلِهَا
فَقَالَ ذَاكَ لَهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ عَلَى ذَلِكَ يَقُولُونَ لَهُ قَالَ فَإِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[143]
Artinya:
Nabi saw. memanggil kaum Ans}a>r
untuk menetapkan bagian mereka (harta fa’iy) negeri Bah{rain, maka
mereka berkata; Tidak, demi Allah, hingga tuan menetapkan juga (bagian yang
sama) buat saudara-saudara kami dari Quraisy. Maka beliau jawab ucapan mereka
sekehendak Allah. Selanjutnya beliau bersabda: Kelak kalian akan melihat setelahku
sikap-sikap egoism, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga al-h}aud}.
b.
Hadis tentang nepotisme pada jabatan
Salah satu praktek nepotisme yang
dimaksudkan dalam beberapa teks hadis adalah pengangkatan pegawai pada suatu
jabatan di masa Nabi saw.:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلْتَ
فُلَانًا وَلَمْ تَسْتَعْمِلْنِي قَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا
حَتَّى تَلْقَوْنِي.[144]
Artinya:
Ada seseorang yang menemui Nabi saw.
dan berujar; Wahai Rasulullah, engkau mempekerjakan si fulan namun engkau tidak
mempekerjakan aku? maka Nabi menjawab; kalian sepeninggalku akan melihat
sifat-sifat egoisme, maka bersabarlah hingga kalian menemuiku.
Teks hadis di atas menginformasikan bahwa Nabi saw. telah
mengangkat pegawai pada satu jabatan, sementara itu seseorang dari kaum
Ans}a>r merasa mampu untuk jabatan tersebut. Karenanya, ia mengadu kepada
Nabi saw.: Kenapa engkau tidak mengangkatku menjadi pegawai sebagaimana si fulan?.
Dalam berbagai kitab syarah hadis, diketahui bahwa orang
dari kaum Ans}a>r yang mengadu kepada Nabi saw. adalah Usaid bin H{ud}air.19
Informasi lain yang ditemukan menyebutkan ia bernama Usaid al-Ra>wiy.20
Akan tetapi, dua nama tersebut tetap menunjukkan satu orang, yakni, Usaid bin
H{ud}air dan biasa juga disebut Usaid bin al-Ra>wiy.21 Namun,
nama yang terkenal adalah sebutan nama Usaid bin H{ud{air. Yang
melatarbelakangi Usaid bin H{ud{air sehingga melontarkan pernyataan di atas
adalah; karena ia melihat Nabi saw. bersikap nepotisme terhadap seseorang pada
satu jabatan.
Pertanyaan tersebut terungkap dalam kalimat “ألا تستعملني كما استعملت فلان
“yang bermakna أي الا تجعلني عاملا علي الصدق أو علي بلد [145]. Maksudnya, Usaid bin H{ud}air
meminta kepada Nabi saw. agar ia diangkat menjadi gubernur pada suatu daerah.
Keinginan Usaid bin H{ud}air untuk diangkat pada suatu
jabatan yang ia inginkan, karena Nabi saw. telah mengangkat seseorang dalam
suatu jabatan sebagaimana yang termaktub dalam suatu jabatan dalam kalimat كما استعملت
فلانا. Maksudnya, Nabi saw. telah mengangkat si fulan yakni
‘Amr bin al-‘A<s}.[146]
Nabi saw. kemudian meredam sikap ambisius yang
dikemukakan Usaid bin H{ud{air untuk diangkat dalam suatu jabatan. Secara arif
dan bijaksana Nabi saw. bersabda ; إنكم ستلقون بعدي أثرة فاصبروا
حتى تلقوني على الحوض
Sabda Nabi saw. tersebut dapat dikontekstulkan sebagai
upaya penolakan halus atas permintaan Usaid bin H{ud}air.
- Pemahaman hadis tentang hal-hal yang mencegah terjadinya nepotisme
a.
Keimanan
Nepotisme
adalah sebuah kejahatan karena merampas hak orang lain dan memberikannya kepada
kerabat atau sanak famili yang tidak layak mendapatkannya. Salah satu pendorong
seseorang untuk melakukan kejahatan adalah karena tidak memiliki iman pada saat
melakukan hal tersebut. Karena dengan iman, setiap orang meyakini bahwa ia
selalu diawasi oleh Yang Mahakuasa, sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang
negatif apalagi dosa besar. Hal itu sesuai dengan Sabda Rasulullah saw.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ
وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَزْنِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ
حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَغُلُّ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا
يَنْتَهِبُ حِينَ يَنْتَهِبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.[147]
Artinya:
Dari Abu> Hurairah berkata;
Bahwasanya Nabi saw. bersabda: Tidak disebut sebagai mukmin seorang pencuri
ketika ia mencuri, tidaklah disebut sebagai mukmin seorang pezina ketika ia berzina,
tidaklah disebut sebagai mukmin seorang peminum khamar ketika ia meminum
khamar, tidaklah disebut sebagai mukmin seorang pencuri ghanimah ketika
melakukannya, dan tidaklah disebut sebagai mukmin seorang perampok ketika ia
merampok.
Meskipun ulama beragam pendapat
dalam menanggapi hadis ini, akan tetapi paling tidak ada sebuah indikasi kuat
bahwa para pelaku kejahatan, khususnya kejahatan yang berdampak besar dan luas
tidak memiliki iman atau paling tidak keimanannya dipertanyakan pada saat dia
melakukan kejahatan tersebut.[148]
Keimanan yang sempurna akan
mendorong seseorang untuk melakukan apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa
yang dilarang-Nya. Maka seseorang tidak mungkin melakukan kemaksiatan atau
meninggalkan kewajiban kecuali karena dorongan hawa nafsu untuk melakukannya
dan pada saat yang sama keimanan terkalahkan oleh hawa nafsu.
Seandainya seseorang paham dan
mengerti akibat dari kemaksiatan niscaya dia tidak akan melakukannya. Begitu
juga jika seseorang menyadari kemaksiatan ketika melakukannya maka niscaya dia
akan berhenti melakukannya.
Potongan teks hadis وَلَا يَغُلُّ حِينَ
يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ dapat dipahami bahwa tidak mungkin
bersamaan kemaksiatan kepada Allah dan keimanan kepada-Nya. Meskipun demikian,
ulama berbeda pendapat tentang apakah keimanannya hilang ataukah keimanannya
tidak sempurna atau pujian tentang keimanan hilang darinya.[149]
Yang pasti bahwa seseorang tidak akan melakukan kemaksiatan jika saja
keimanannya sempurna, karena pada saat itulah akal terkalahkan dan terkikis.
b.
Tidak fanatik
Salah satu cara untuk menghindarkan
diri terhadap sikap nepotisme adalah menghilangkan fanatisme dalam diri
masing-masing, sebab seseorang terkadang mengangkat atau memberikan keutungan
kepada keluarga karena dorongan fanatisme yang berlebihan kepada keluarga atau
sanak famili.
Dengan demikian, setiap orang
diharuskan membebaskan diri dari fanatisme golongan, kelompok, suku, daerah dan
keluarga. Oleh karena itu, Nabi saw. mengingatkan seseorang untuk
menghidarinya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا
مِنْ عَصَابَةٍ وَفِي تِلْكَ الْعَصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى للهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ
اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ الْمُؤْمِنِيْنَ.[150]
Artinya:
Dari Ibn ‘Abba>s r.a. berkata:
Rasululla>h saw. bersabda: Barang siapa yang mengangkat seseorang karena
dasar fanatisme, padahal ada orang yang lebih diridai dari padanya maka sungguh
ia telah berkhianat kepada Allah, berkhianat kepada Rasululla>h dan
berkhianat kepada orang-orang mukmin.
Sebenarnya fanatik penting dalam
kehidupan beragama dan berbangsa, namun yang penting dihilangkan adalah
fanatisme yang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana
yang salah dan mana yang benar, karena hal itu merupakan perbuatan jahiliyah.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadis
dikatakan bahwa setiap individu berkewajiban menolong saudaranya dengan
pertolongan yang benar. Artinya, pertolongan terhadap saudara yang melakukan
kezaliman adalah mencegahnya melakukan kezaliman, sedangkan saudara yang
dizalimi ditolong dengan menghindarkannya dari orang zalim tersebut.[151]
c.
Tidak ambisius
Salah satu cara menghindari sikap
nepotisme adalah dengan menghilangkan sifat ambisi dalam diri masing-masing.
Ambisius mendapatkan jabatan atau mempertahankannya akan mendorong seseorang
untuk melakukan segala cara untuk mencapai tujuan. Salah satunya dengan cara
nepotisme dengan mengangkat keluarganya untuk menduduki posisi strategis. Oleh
karena itu, Nabi saw. sangat enggan memberikan jabatan kepada orang yang
memintanya:
عَنْ أَبِي مُوسَى
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَهُ فَقَالَ إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ
وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ.[152]
Artinya:
Dari Abu> Mu>sa> ra.
mengatakan; aku menemui Nabi saw. bersama dua orang kaumku, lantas satu
diantara kedua orang itu mengatakan; Jadikanlah kami pejabat ya Rasulullah?
orang kedua juga mengatakan yang sama. Secara spontan Rasulullah saw. bersabda;
Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya, tidak juga
kepada orang yang ambisi terhadapnya.
Hadis ini menjadi petunjuk bahwa
seseorang yang mengambil sebuah jabatan dan menggoda dirinya bahwa dia mampu
melaksanakannya pada umumnya dia akan gagal melakukannya.
Ungkapan Nabi saw. dengan kata al-h}irs}
menjadi indikator bahwa seseorang yang menjalankan jabatan ketika khawatir akan
punah atau semakin rusak bagaikan orang yang diberikan jabatan tanpa meminta
karena saat itu keinginan dan ambisi menjadi hilang.
Dalam salah satu hadisnya,
Rasulullah saw. mengingatkan setiap orang agar dalam memperoleh jabatan
sekali-kali tidak melalui cara-cara lobi, terlebih lagi jika mengeluarkan uang
demi mendapatkan jabatan, sebab hal itu sangat dikecam dan ditentang oleh Nabi
saw., bahkan orang-orang yang melakukannya tidak akan mendapatkan bantuan dan
pertolongan dari Allah swt., sebagaimana pesan Nabi saw. kepada ‘Abd
al-Rah}ma>n bin Samurah:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ
عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ
عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.[153]
Artinya:
Dari
‘Abd al-Rah}ma>n bin Samurah mengatakan, Nabi saw. berkata kepadaku:
"Wahai ‘Abd al-Rah}ma>n bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan,
sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong,
dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika
kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah
kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik".
Hadis
memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa seseorang yang ahli dalam bidang
tertentu tidak perlu mencari jabatan, akan tetapi biarkan jabatan tersebut yang
datang menghampirinya. oleh karena itu, setiap lembaga atau organisasi, baik
pemerintahan atau swasta seharusnya mencari orang-orang yang mempunyai
kompetensi, profesionalitas dan integritas untuk menduduki jabatan-jabatan
sesuai dengan keahliannya.
Dengan demikian, seseorang yang
mempunyai kemampuan dan bertujuan untuk memberikan manfaat kepada Islam dan
orang Islam atau halayak umum maka meminta jabatan tidaklah menjadi larangan,
seperti yang dilakukan Nabi Yu>suf as. dalam QS. Yu>suf/12: 55:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55)
Artinya:
Yu>suf berkata: Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir), Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan.[154]
Nabi Yu>suf as. meminta jabatan
tersebut atas dasar demi kemaslahatan, memberi petunjuk kepada manusia dengan
kemampuan yang dimilikinya. Ucapan Nabi Yu>suf bahwa dia mampu bukan tanpa
bukti. Di antara buktinya adalah kemampuannya menjaga amanah dengan terbebas
dari segala tipu daya dan kejahatan, padahal dia mempunyai kesempatan yang
sangat besar. Di samping itu, dia mempunyai sifat yang sudah dikenal masyarakat,
bahkan dia rela berkorban dengan masuk penjara demi menghindari fitnah yang
lebih besar dan demi menjaga wibawa negara.[155]
Dengan demikian, Ibnu ‘Abd
al-Sala>m memberikan dua syarat bagi seseorang yang ingin menjadi pejabat,
yaitu ilmu pengetahuan atau profesionalitas dan kemampuan mendatangkan
kemaslahatan dan meninggalkan kerusakan. Jika salah satu syarat tersebut tidak
terpenuhi, menurutnya haram menduduki sebuah jabatan apapun.[156]
d.
Sifat malu
Kejahatan yang terjadi di seluruh
pelosok dunia tidak lepas dari kemorosotan atau ketidakadaan akhlak. Indonesia
misalnya terjadi peningkatan kejahatan itu karena akhlak sudah amat langka
ditemukan pada penduduk atau warga Negara. Oleh karena itu, keberhasilan dakwah
Rasulullah karena menggunakan pendekatan akhlak sehingga Nabi mengatakan “Aku
diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak”[157].
Di samping itu, pejabat yang tidak punya malu akan melakukan apapun sesuka
hatinya. Hal itu sesuai dengan pesan Nabi saw.:
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ.[158]
Artinya:
Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya
diantara yang didapatkan manusia dari perkataan (yang disepakati) para Nabi
adalah; Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.
Dalam menjelaskan hadis di atas,
ulama menggunakan dua takwil. Pertama; Jika kamu tidak termasuk orang yang malu
melakukan kejahatan yang dianggap aib oleh orang baik dan mayoritas manusia maka
lakukanlah sesukamu. Artinya, hadis ini, meskipun menggunakan fi‘l al-amr
akan tetapi ia bersifat celaan atau dampratan. Kedua; jika apa yang kamu
lakukan tidak termasuk pekerjaan yang dianggap aib atau perbuatan memalukan
maka lakukanlah sesukamu. Artinya, hadis di atas sebagai izin bagi seseorang
untuk melakukan hal-hal yang tidak dianggap aib.[159]
Dalam kesempatan lain, Rasulullah
saw. menegur seorang sahabat Ans}a>r agar membiarkan saudaranya mempunyai
sifat malu dengan sabdanya:
دَعْهُ؟ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ.
Artinya:
Biarkanlah dia karena malu bagian
dari iman.
Sebagian orang menyangsikan makna
malu dalam pengaplikasiannya. Seorang terkadang meninggalkan kewajiban amr
ma‘ru>f nahy munkar dengan alasan malu. Terkadang seorang tidak
menyampaikan kebenaran karena alasan malu. Ibn al-S}ala>h} dan ulama lainnya
menjelaskan bahwa sikap semacam itu bukanlah sifat malu yang sebenarnya, akan
tetapi adalah ketidakmampuan, kelamahan dan kerendahan. Sikap semacam itu
sering dikatakan sifat malu oleh masyarakat karena ada kemiripan dengan sifat
malu, karena sifat yang sejati adalah sifat yang mendorong seseorang
meninggalkan perbuatan jelek dan mencegahnya sembrono terhadap hak-hak orang
lain.[160]
Malu terhadap Allah swt. akan
mencegah seseorang untuk melakukan kejelekan yang bersifat agama, sedangkan
malu terhadap manusia akan mencegah dirinya melakukan kejelekan yang bersifat
etika atau kebiasaan, sehingga jika sifat malu telah hilang dari seseorang maka
dirinya tidak peduli lagi terhadap apa saja yang dilakukannya.
Di antara akhlak yang tidak terpuji
adalah tidak malu meminta jabatan padahal dia tidak layak untuk mendudukinya, sebab
orang yang meminta atau menginginkan jabatan tentu memiliki motivasi atau
tujuan-tujuan tertentu yang dapat merusak tujuan utama dari sebuah jabatan
yaitu kemaslahatan kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, bukan terbatas
kepada keluarga semata.
- Pemahaman hadis tentang dampak nepotisme
Pemerintahan
yang baik dan amanah dalam pandangan hadis sesuai dengan harapan
al-Qur’an dan hadis
Nabi saw. adalah
pemerintahan yang mampu memenuhi hak-hak segenap warga dan menegakkan keadilan
di antara mereka.[161] Oleh
karena itu, pemerintahan yang menjalankan penyelewengan akan berdampak dalam kehidupan,
baik dampak duniawi maupun dalam ukhrawi.
Salah
satu penyelewengan yang dapat dilakukan oleh para pejabat adalah melakukan
nepotisme. Di antara dampak yang
akan dirasakan oleh orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis nabi
sebagai berikut:
a.
Dampak duniawi
Salah satu dampak yang ditimbulkan
oleh nepotisme adalah tersebarnya kerusakan di tengah-tengah masyarakat,
terjadinya kekacauan aturan agama dan dunia hingga akan tampak dengan jelas
kerusakan, baik dalam aspek keamanan, politik, akhlak karena amanah telah sirna
dari para pemangku jabatan, hingga seakan-akan terjadi kiamat. Hal tersebut
tergambar dalam sabda Nabi saw.:
فَإِذَا ضُيِّعَتْ
الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ
الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[162]
Artinya:
Apabila sudah hilang amanah maka
tunggulah terjadinya kiamat. Orang itu bertanya: Bagaimana hilangnya amanat
itu? Nabi saw. menjawab: Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan
tunggulah terjadinya kiamat.
Kata الساعة
bukan semata-mata diartikan sebagai hari kiamat, akan tetapi itu bisa jadi
merupakan perumpamaan tentang sebuah kehancuran, kecarut-marutan, kebodohan
yang merajalela, kelamahan Islam,
ketidakmampuan orang-orang yang professional dan kompoten untuk menegakkan
kebenaran dan merealisasikannnya dalam kehidupan dunia, laksana hari kiamat
yang dahsyat.[163]
Tidak dapat dibayangkan jika urusan
suatu kaum diberikan kepada orang yang bukan ahlinya. Hak-hak akan sirna,
kemaslahatan umat menjadi terbengkalai, tersebarnya fitnah di mana-mana,
kekalutan akan menghantui masyarakat karena semua aturan tidak lagi berjalan
sebagai mestinya.
Nepotisme juga mempunyai dampak
buruk bagi kehidupan sendiri maupun kehidupan orang lain. Dampak buruk
bagi diri pelaku nepotisme
yaitu orang tersebut
akan dikucilkan karena semua orang tahu kalau dia tidak profesional dalam
melaksanakan tugas yang dia emban, bahkan bisa jadi jabatannya diturunkan dan sulit
dipercaya kembali oleh orang
lain, sehingga nama baik dirinya akan tercemar.
b.
Dampak ukhrawi
Dampak maksiat yang dilakukan
seseorang sangatlah dahsyat, sehingga seseorang akan disiksa dengan siksaan
yang dahsyat, yaitu berpaling dari agama Allah dan berbagai macam siksaan yang
diberikan. Di antara dampak nepotisme adalah:
1)
Laknat
Salah satu sanksi yang diperoleh
oleh pelaku nepotisme adalah laknat Allah swt. karena telah memberikan sesuatu
bukan pada orang yang berhak sehingga dianggap sebagai sebuah kejahatan yang
menyengsarakan khalayak, merugikan rakyat, merugikan perekonomian dan manajemen
Negara, merendahkan martabat manusia dan bangsa di mata Allah maupun
bangsa-bangsa lain di dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka hadis
melarangnya dan mengancam pelakunya dengan laknat, tidak diterima segala amal
baiknya dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam api neraka, sebagaimana tindakan
preventif ketika Allah melarang mendekati perbuatan zina.
مَنْ وَلِيَ مِنْ
أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ
جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ
شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ
ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[164]
Artinya:
Barangsiapa memimpin suatu urusan
kaum muslimin, kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan,
maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan
wajibnya dan juga amal perbuatan nafilah darinya, sampai dia
memasukkannya ke dalam neraka jahannam, dan barangsiapa memberikan kepada
seseorang batasan Allah, kemudian melanggar sesuatu di dalam batasan Allah
tanpa haknya, maka baginya laknat dari Allah, atau dia berkata: terlepaslah
darinya jaminan Allah.
Laknat bukan sekedar diartikan
sebagai siksaan yang diberikan kepada orang yang melakukan kemaksiatan atas
dosa-dosanya dan dijauhkan dari surga sejak awal, akan tetapi laknat juga dapat
diartikan sebagai bentuk Allah swt. menjauhkan dari hamba-Nya dari rahmat Allah
swt.
2)
Diharamkan surga
Pejabat
yang melakukan penipuan seperti nepotisme akan dimasukkan ke dalam neraka
sebagai konsekwensi dari kutukan Allah swt. Hal itu terjadi, karena mereka
tidak mengindahkan perintah-perintah Allah dengan melakukan kezaliman terhadap
orang lain.
Jika seorang pejabat yang telah
diberikan amanah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik maka ia telah melakukan
khianat dan penipuan sehingga layak masuk ke dalam api neraka. Hal tersebut
tergambar dalam sabdanya:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي
رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.[165]
Artinya:
Tidaklah seorang pemimpin memimpin
masyarakat muslimin, lantas dia meninggal dalam keadaan menipu mereka, selain
Allah mengharamkan surga baginya.
Di antara bentuk-bentuk penipuan
seorang pejabat terhadap rakyatnya adalah melakukan kezaliman dengan lebih
mengutamakan keluarganya, padahal masih ada orang lain yang lebih membutuhkan,
bahkan ancaman bagi pelakunya sama dengan ancaman yang diberikan kepada orang
kafir, yakni haram masuk surga.[166]
Makna yang tercantum dalam kalimat حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ yakni tidak masuk ke dalam surga bersama orang-orang
yang selamat atau bisa jadi maknanya adalah mustahil bagi pelakunya masuk ke
dalam surga atau ini merupakan ancaman keras tentang su>’
al-kha>timah.[167]
3)
Penyesalan
Sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya bahwa jabatan bukanlah hadiah yang harus dirayakan, tetapi ia adalah
amanah yang harus dilaksanakan dan memberikannya kepada ahlinya. Hal tersebut
dapat dilihat pada sabdanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا
ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ
وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.[168]
Artinya:
Pada hari kiamat jabatan adalah
kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan
melaksanakan tugas dengan benar.
Oleh karena itu, seorang yang
menerima jabatan, padahal dia bukan ahlinya akan menjadi penyesalan besar kelak
di akhirat. Oleh karena itu, seorang harus mendapatkan jabatan sesuai dengan
ketentuan atas asas keilmuan, keaslian, bukan atas asas kekuasaan dan kezaliman.
Oleh karena itu, bagi orang yang cerdas tidak akan mau menjerumuskan dirinya
dalam kebinasaan, bahkan al-Nawawiy berpendapat bahwa hadis di atas menjadi
dasar pokok dalam menjauhi jabatan, terlebih lagi bagi orang yang tidak
kompoten.[169]
4)
Tanggungjawab
Sebagaimana kejahatan-kejahatan yang
lain, nepotisme juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Mahakuasa
atas kejahatan yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban
itu akan disesuaikan dengan kejahatan yang telah dilakukan seperti ungkapan
hadis Nabi berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[170]
Artinya:
Setiap kalian adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara),
dia adalah pemimpin manusia secara umum, maka dia akan diminta
pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin
dan akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Seorang isteri adalah
pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya dan dia akan
diminta pertanggung jawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin
dalam urusan harta tuannya dia akan diminta pertanggung jawaban atasnya.
Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan diminta
pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya.
Meskipun hadis ini menunjuk pelaku
korupsi bukan pelaku nepotisme akan tetapi ada kesamaan di antara keduanya
yakni sama-sama menyalahgunakan jabatan untuk melakukan kejahatan. Dengan
menelaah hadis di atas, maka sanksi yang akan dirasakan nanti oleh pelaku
nepotisme adalah dikalungi kejahatan apa saja yang telah dilakukannya. Semisal
pernah memberikan jabatan kepada sanak keluarga, maka jabatan dan isinya akan
dikalungkan di lehernya kelak.
Setiap pejabat akan bertanggungjawab
terhadap rakyat yang dipimpinnya, maka setiap orang yang mempunyai tanggung
jawab maka dia dituntut untuk berlaku adil, tidak memilah-milih rakyatnya
berdasarkan pertimbangan lain, dan konsisten menjalankan tugasnya demi meraih
kemaslahatan rakyatnya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang dunia.
Dengan demikian, seorang pejabat
harus mengedepankan kemaslahatan umum ketimbang kemaslahatan individu atau
kelompok, sebab seorang pejabat dianggap sebagai wakil umat dalam mengurus
urusan agama dan menjalankan roda kehidupan negara sesuai dengan syariat yang
ditetapkan Allah swt. dan rasul-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu, syahwat dan
kemaslahat individu, keluarga, suku dan sejenisnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pemarapan-pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Adapun kualitas
hadis yang menjadi obyek naqd al-h}adi>s\ dalam makalah ini dinilai d}a‘i>f
karena tidak memenuhi unsur kesahihan hadis. Kelemahan itu terjadi pada sanad,
karena salah satu periwayatnya termasuk mubham sehingga ittis}a>l
al-sanad tidak terjadi. Di samping itu, Baqiyyah bin al-Wali>d juga
dianggap d}a‘i>f jika menerima hadis dari orang yang tidak dikenal,
sehinga dapat dipastikan kaidah kesahihan sanad tidak terpenuhi yang pada
akhirnya matan juga ikut terpengaruh. Nepotisme secara etimologi adalah
kemanakan, sanak keluarga dan orang terdekat sedangkan menurut hadis, nepotisme
adalah memberikan jabatan atau tugas apapun kepada orang lain (baik keluarga atau
konco-konconya) bukan atas dasar kredibilitas dan kapabilitas serta
kemaslahatan dalam mengemban tugas atau jabatannya sehingga dapat menimbulkan
kekacauan dan kehancuran. Hal tersebut dipahami dari kosa kata yang digunakan,
yakni المحاباة dan الأثرة.
2.
Karakteristik orang-orang yang
melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi antara lain adalah tidak adanya profesionalitas
atau keahlian pada tugas yang diberikan, tidak adanya intgritas, yakni tidak
mampu merealisasikan ide dan fikiran-fikirannya demi kepentingan khalayak
banyak dan tidak mempunyai tujuan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, menurut
hadis Nabi, nepotisme bisa terjadi jika ketiga hal (kredibilitas, kapabilitas
dan kemaslahatan) tidak terwujud dalam pengangkatan atau pemberian jabatan.
3.
Bentuk-bentuk nepotisme dalam hadis dapat dikelompokan
dalam dua bagian besar, yakni nepotisme pada
kelompok atau golongan tertentu dan nepotisme pada jabatan. Nepotisme pada
kelompok seperti yang dicurigakan kaum Ans}a>r terhadap Rasulullah saw.
ketika mengistimewakan orang-orang mu’allaf, atau ketika orang Ans}a>r
diberikan bagian dari harta rampasan, akan tetapi orang-orang muhajir tidak
diberikan, sehingga orang Ans}a>r menolak menerima pembagian tersebut hingga
Muhajirin mendapatkan bagian juga. Sementara nepotisme dalam jabatan dapat
terjadi ketika memberikan jabatan kepada orang yang memintanya tanpa
memperhatikan kemampuannya atau memberikan kepada orang yang terlalu tua atau
kepada anak-anak atau orang-orang bodoh.
4.
Faktor-faktor yang dapat mencegah seseorang untuk
melakukan nepotisme adalah memiliki keimanan yang bagus sehingga keimanan
tersebut dapat mencegahnya melakukan nepotisme, tidak fanatik, sebab fanatisme
yang berlebihan akan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya
dilarang oleh agama, tidak ambisius untuk mendapatkan jabatan, sebab orang yang
ambisius berarti dia mempunyai target yang ingin dicapai dan sifat malu,
sehingga dirinya dapat menahan diri dari segala yang tidak elok menurut
masyarakat.
5.
Semnatara dampak yang akan dirasakan oleh orang yang
melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi di antaranya adalah kekacauan
di dunia dan siksaan di akhirat. Di antara siksaan di akhirat adalah laknat
Allah swt. karena telah memberikan sesuatu bukan pada orang yang berhak
sehingga dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menyengsarakan khalayak dan
merugikan rakyat serta merugikan perekonomian dan manajemen Negara, haram masuk
surge atau lebih tepatnya masuk neraka, dan bertanggung jawab atas kejahatannya
di akhirat nanti.
B. Implikasi
Dengan
mengkaji hadis-hadis tentang nepotisme dan melihat definisi nepotisme,
mengetahui karakteristiknya, bentuk-bentuknya, faktor-faktor
yang mencegah terjadinya nepotisme dan dampaknya, baik di dunia maupun di
akhirat, maka selayaknya setiap orang
paling tidak mampu mengaplikasikan hadis-hadis tersebut dengan cara tidak
melakukan nepotisme karena dapat merugikan diri sendiri terlebih lagi orang
lain. Dan lebih baiknya lagi jika hadis itu mampu ditularkan kepada anggota
keluarga, khususnya keluarga yang kebetulan menjadi pejabat atau menduduki
jabatan atau pengaruh di sebuah lembaga.
Jika apa yang dianjurkan atau yang
dilarang oleh Rasulullah melalui hadis-hadisnya mampu direalisasikan minimal
oleh setiap individu, maka kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan dan
kenyamanan layaknya kehidupan surga akan dirasakan di dunia ini meskipun tidak
seindah dan semudah di surga kelak.
Akhirnya, makalah ini tentu jauh
dari kesempurnaan, olehnya itu, siapapun yang menemukan kesalahan penulisan atau
kesalahan interpretasi, baik disengaja atau tidak, seyogyanya untuk memperbaiki
langsung maupun melalui saran dan kritikan kepada penulis. Semoga makalah bisa
berguna, minimal bagi penulis sendiri dan menjadi sebuah amal jariyah yang
dicacat di sisi Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemaaf. Amin!.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Ainiy, Badr al-Di>n
Abu>
Muh}ammad
Mah}mu>d bin Ah}mad.
‘Umdat al-Qa>riy
Syarh}
S}ah}i>h{
al-Bukha>riy. t.t.;
Da>r
al-Fikr, t.th.
Al -‘Ala>iy, Abu> Sa‘i>d bin Khali>l. Ja>mi‘
al-Tah}s}i>l fi> Ah{ka>m al-Mara>sil. Cet. II; Beirut:
‘A<lam al-Kutub, 1407 H./1986 M.
Al -‘Asqala>niy, Abu> al-Fad{al Ah}mad bin ‘Ali bin
H}ajar. Taqri>b al-Tahz\i>b. Cet. I; Su>riya>: Da>r
al-Rasyi>d, 1406 H/1986 M.
------------------------, Lisa>n al-Mi>za>n. Cet.
III; Beirut: Muassasah al-A‘lamiy li al-Mat}bu>‘a>t, 1406 H./1986 M.
---------------------, Tahz\i>b
al-Tahz\i>b. Cet.
I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.
----------------------, Fath} al-Ba>riy Syarh}
S}ah}i>h} al-Bukha>riy. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.
----------------------, al-Is}a>bah fi>
Tamyi>z al-S}ah}a>bah. Cet. I; Beirut: Da>r al-Jail, 1412 H.
Al-‘Ijliy, Abu> al-H{asan Ah{mad bin ‘Abdulla>h bin
S}a>lih{. Ma‘rifat al-S|iqa>t. Cet. I; al-Madi>nah
al-Munawwarah: Maktabat al-Da>r, 1405 H/1985 M.
Al-‘Us\aimi>n, Muh{ammad ibn
S}a>lih}. Mus}at}alah} al-h}adi>s\. Cet.
IV; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah: Wiza>rah al-Ta‘li>m
al-‘A<li>, 1410 H.
Al-Afrīqiy, Muh{ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r. Lisān al-‘Arab. Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t.
th.
Ahmad,
Arifuddin. Metode Tematik dalam
Pengkajian Hadis. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Makassar: UIN Alauddin, 31 Mei 2007.
-----------------, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi. Cet. I: Jakarta: Renaisan, 2005 M.
Amin, Kamaruddin.
Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Cet.
I; Jakarta: Hikmah, 2009.
Asa,
Noor Faja. “Ahlul
Korup wal Jama’ah” Dikutip
dari internet. www.kotasantri.com yang
dimuat pada tanggal 27-11-2008, 09:09.
Al-Ba>jiy, Abu>
al-Wali>d Sulaima>n ibn Khalaf ibn Sa‘ad. al-Ta‘di>l
wa al-Tajri>h. Cet.
I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’, 1406 H./1986 M.
Ba>ju>,
Abu> Sufya>n Mus}t}afa>. al-‘Illat
wa Ajna>suha> ‘ind al-Muh}addis\i>n. Cet. I; T{ant}a>: Maktabah
al-D{iya>’, 1426 H./2005 M.
Al-Bas{riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Sa‘ad. al-T}abaqa>t
al-Kubra>. Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, 1968 M.
Al-Bukha>riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin
Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>riy. Cet. III; Beirut: Da>r
Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M.
Al-Buqa>‘iy, Ibra>hi>m bin ‘Umar bin H{asan. Naz}m
al-Durar fi Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar. Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1995 M.
Al-Da>rimiy, Abu> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin ‘Abd
al-Rah}ma>n. Sunan al-Da>rimiy. Cet. I; Beirut: Da>r
al-Kita>b al-‘Arabiy, 1407 H.
Al-Dahlawiy, ‘Abd al-H}aq bin Saif al-Di>n bin
Sa‘dulla>h. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\. Cet.
II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya.
al-Madinah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li T}iba>‘a>t
al-Mus}h}af, 1418 H.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Gie, The Liang. dkk, Ensiklopedi
Administrasi. Jakarta:
CV. Haji Masabung, 1989.
H{usain,
Abu> Luba>bah. al-Jarh} wa al-Ta‘di>l. Cet.
I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’, 1399 H./1979 M.
Al-Ha>di>, ‘Abd
al-Mahdi> ibn ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd. ‘Ilm
al-Jarh} wa al-Ta‘di>l Qawa>‘idih wa Aimmatih. Cet. II: Mesir: Ja>mi‘ah
al-Azhar, 1419 H./1998 M.
Al-Ha>diy. Abu> Muh}ammad Mahdiy
‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd. T}uruq
Takhri>j H}adi>s\ Rasulillah saw. diterjemahkan
oleh Said Aqil Husain Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar. Metode Takhrij Hadis. Cet.
I; Semarang: Dina Utama, 1994 M.
Ha>syim,
Ah{mad ‘Umar. Qawa>‘id Us}u>l
al-H}adi>s\. Beirut:
Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1404 H./1984 M.
Al-Hais\amiy, ‘Ali bin Abi> Bakar bin Sulaima>n. Ga>yat
al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad. CD ROM al-Maktabat al-Sya>milah.
Hanbal, Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh}ammad bin. Musnad
Ah}mad. Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H/1998 M.
Al-Hindiy, ‘Ali bin H{isa>m al-Di>n al-Muttaqiy. Kanz
al-‘Umma>l fi Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l. Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1989 M.
Ismail,
M. Syuhudi. Kaedah Keshahihan Hadis;
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet.
II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
-------------------, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Jauziy, Abu> al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n bin. Kasyf
al-Musykil min H}adi>s\ al-S}ah}i>h}ain. al-Riya>d}: Da>r
al-Nasyr, 1418 H./1997 M.
Khalka>n,
Abu> al-‘Abba>s Syams al-Di>n Ah}mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar
ibn. Wafaya>t al-A‘ya>n wa
Abna>’ Abna>’ al-Zama>n. Beirut: Da>r S}a>dir,
1900 M.
Al-Khat}i>b, Muhammad
‘Ajja>j. Us}u>l al-H}adi>s\. Beirut:
Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.
Ma'louf, Louis. Al-Munjid
fi al-Lughah. Cet.
XII; Beirut: Dar al-Masyriq, 1977.
Al-Mana>wiy,
‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh}
al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet. I; Mesir: al-Maktabah
al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
---------------------, al-Taisir
bi Syarh al-Jami’ al-Shagir. Cet. III; Riyad: Dar al-Nasyr, 1408
H./1988 M.
----------------------, Faid}
al-Qadi>r. Cet.
I; Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1994 M.
Al-Mizziy, Abu> al-H{ajja>j Yu>suf bin al-Zakiy
‘Abd al-Rah}ma>n. Tuh}fat al-Asyra>f li Ma‘rifat al-At}ra>f.
Cet. II; Beirut: al-Maktab al-Isla>miy, 1403 H/1983 M.
--------------------, Tahz\i>b al-Kama>l. Cet.
I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1400 H/1980 M.
Mu>sa>, Abu> Muh}ammad Mah{mu>d bin Ah{mad bin.
Maga>niy al-Akhba>r. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-Mubarakfuriy, Abu 'Aliy Muhammad 'Abd
al-Rahman. Tuhfat al-Ahwadziy liy Syarh
al-Turmudziy. Beirut:
Dar al-Fikr, 1995.
Muslim,
Mus}t}afa>. Maba>his\ fi>
al-Tafsi>r al-Maud}u>’iy. Cet. I; Dimasyq: Da>r al-Qalam,
1410 H./1989 M.
Al-Naisa>bu>riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad
bin ‘Abdulla>h al-H{a>kim. al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ain. Cet.
I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H/1990 M.
------------------, Ma‘rifah
‘Ulu>m al-H{adi>s\. Mesir: Maktabah al-Mutanabbi>,
t.th.
Al-Naisa>bu>riy, Abu> al-H{usain Muslim bin
al-H{ajja>j. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Naisabu>riy, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn
‘Abdillah ibn Muh{ammad al-H{a>kim. Ma‘rifah
‘Ulu>m al-H{adi>s\. Mesir: Maktabah al-Mutanabbi>,
t.th.
Al-Namariy, Abu> ‘Umar Yu>suf bin ‘Abdulla>h. al-Tamhi>d
lima> fi al-Muwat}t}a’ min al-Ma‘a>niy wa al-Asa>ni>d. al-Magrib:
Wiza>rat ‘Umu>m al-Awqa>f, 1387 H.
Al-Nasa>iy, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah{mad bin
Syu‘aib. Sunan al-Nasa>iy. Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>‘a>t
al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M.
Al-Nasir, Syed Mahmud.
Islam, its Concepts and History, diterjemahkan
oleh Adang Affandi, Islam, Konsepsi dam Sejarahnya. Cet.
IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994 M.
Nasution,
Harun.
et. Al. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992 M.
Al-Nawawiy, Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf
bin Mura>. Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim. Cet. II;
Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.
-------------------, Tah}ri>r Alfa>z}
al-Tanbi>h, Lugat al-Fiqh. Cet. I; Damaskus: Da>r al-Qalam, 1408 H.
Partanto, Pius
A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, t.th..
Al-Qa>riy, Nu>r al-Di>n ‘Ali bin Sult}a>n
al-H{arawiy al-Mala> ‘Ali. Mirqa>t al-Mafa>ti>h} Syarh}
Misyka>t al-Mas}a>bi>h}. Beirut: Da>r al-Fikr, 1992 M.
Al-Qat}t}a>n, Manna>'. Maba>hi>s| fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s\. Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.
Al-Qurt}ubiy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Ah{mad.
al-Ja>mi‘ li Ah{ka>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r Ih{ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1405 H./1985 M.
Rasyid,
Daud. Hukum tentang
Korupsi (09 Agustus 2008) Diakses
pada tanggal 26 Desember 2008).
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali. Tafsi>r
al-Mana>r. Mesir: al-Hai’at al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b,
1990 M.
Al-S}ala>h}, Abu> ‘Amr
‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syaira>ziy Ibn. ‘Ulu>m
al-H}adi>s\. Cet.
II; al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1973 M.
Al-Sakha>wiy>, Syams al-Di>n Muh}ammad ibn ‘Abd
al-Rah{ma>n. Fath} al-Mugi>s\ Syarh} Alfiyah al-H}adi>s\. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.
Salim,
H. Abd. Muin. Metodologi Tafsir Sebuah
Rekonstruksi Epistimologis. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 28 April 1999.
Al-Sanadiy, Abu> al-H{asan Nu>r al-Di>n bin ‘Abd
al-Ha>diy. H{a>syiyah al-Sanadiy ‘ala> al-Nasa>iy. Cet. II;
H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.
Shadily,Hassan. dkk, Ensiklopedi
Indonesia. Jakarta:
Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983.
Al-Sijista>niy, Abu> Da>wud Sulaima>n bin
al-Asy‘ats. Sunan Abi> Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Suyu>t}iy, Abu> al-Fad}al ‘Abd al-Rah}ma>n
bin Abi> Bakar. Syarh} al-Suyu>t}iy li Sunan al-Nasa>iy. Cet.
II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.
----------------------, al-Di>ba>j ‘ala>
S}ah}i>h} Muslim. Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah,
1416 H./1996 M.
Syahbah, Muh{ammad bin Muh{ammad Abu>. al-Wasi>t}
fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s\. t.t.: ‘A<lam
al-Ma‘rifah, t.th.
Al-Syaira>zi>, Abu> Ish{a>q. T{abaqa>t
al-Fuqaha>’. Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.
---------------, Mugniy al-Muh}ta>j ila>
Ma‘rifat Alfa>z} al-Minha>j. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-T{abra>niy, Abu> al-Qa>sim Sulaima>n bin
Ah}mad bin Ayyu>b. Musnad al-Sya>miyyi>n. Cet. I; Beirut:
Muassasat al-Risa>lah, 1405 H./1984 M.
Al-T}ah}h}a>n, Mah}mu>d.
Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d. Cet.
III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M.
Al-Taha>nawiy, Ah}mad
al-‘Us\ma>niy. Qawa>‘id fi> ‘Ulu>m
al-H{adi>s\. Cet.
II; al-Riya>d{: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1404 H./1984
M.
Al-Taimiy, Abu> H{a>tim Muh{ammad bin H}ibba>n
bin Ah{mad. Masya>hir ‘Ulama>’ al-Ams}a>r. Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.
Al-Tami>miy, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi>
H{a>tim al-Ra>ziy. al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l. Cet. I;
Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.
---------------, al-S|iqa>t. Cet. I; Beirut:
Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.
Taymiyah, Taqiy al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m
bin. al-Siya>sah al-Syar‘iyah. Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah
al-Sa‘u>diyah: Wiza>rat al-Syu’u>n al-Isla>miyah, 1418 H.
-------------------, Majmu>‘ al-Fata>wa>.
Cet. III; t.t.: Da>r al-Wafa>’, 1426 H./2005 M.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Al-Turmuz\iy, Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin
‘I<sa>. Sunan al-Turmuz\iy. Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999.
Weinsinck, A.J. terj. Muh}ammad Fua>d ‘Abd
al-Ba>qiy, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\ al-Nabawiy.
Laeden: I.J Brill, 1969 M.
Weinsinck, A.J. terj. Muh}ammad Fua>d ‘Abd
al-Ba>qiy, Mifta>h{ Kunu>z al-Sunnah. Lahor: Suhail Kedimiy,
1391 H/1941 M.
Wikipedia
Ensiklopedi Bebas, Nepotisme. dikutip dati Internet yang
dimuat pada tanggal 22 Nopember 2008.
Al-Z|ahabiy, Sya>ms al-Di>n Muh{ammad bin Ah{mad
bin ‘Us\ma>n. Siyar A‘la>m al-Nubala>’. Cet. IX; Beirut:
Muassasat al-Risa>lah, 1413 H/1993 M.
Zaglu>l, Abu> Ha>jir Muh}ammad bin Sa’i>d
Basyu>niy. Mausu>‘at At}ra>f al-H{adi>s\ al-Nabawiy. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Zakariya>, Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1423 H./2002 M.
Al-Zuh}ailiy, Wahbah bin Mus}t}afa>. al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘at wa al-Manhaj. Cet.
II; Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.
Lampiran:
Penjelasan tentang skema sanad
Untuk lebih mempermudah pengetahuan
tentang t}abaqa>t al-ra>wi> yang tercantum dalam skema sanad,
berikut penjelasannya secara berurutan:
1.
T}abaqah
al-s}ah}a>bah yang
dijadikan satu tingkatan yang dimulai sejak masa Nabi saw. hingga masa sahabat
yang terakhir wafat (110 H.).
2.
T}abaqah
kiba>r al-ta>bi‘i>n yaitu
ta>bi‘i>n yang paling banyak meriwayatkan hadis dari sahabat dan
paling sering bertatap muka dengan mereka.
3.
T}abaqah
wust}a> al-ta>bi‘i>n yaitu
ta>bi‘i>n yang banyak meriwayatkan hadis dari sahabat dan dari
pembesar ta>bi‘i>n.
4.
T}abaqah
s}iga>r al-ta>bi‘i>n yaitu
ta>bi‘i>n yang paling banyak meriwayatkan hadis dari ta>bi‘i>n
dan sedikit sekali bertemu dengan sahabat.
5.
T}abaqah
kiba>r atba>‘ al-ta>bi‘i>n yaitu
seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadis dari ta>bi’i>n dan banyak
bertemu mereka.
6.
T}abaqah
wust}a> atba>‘ al-ta>bi‘i>n yaitu
seseorang yang banyak meriwayatkan hadis dari ta>bi‘i>n dan dan
pembesar ta>bi‘i>n.
7.
T}abaqah
siga>r atba>‘ al-ta>bi‘i>n yaitu
seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadis dari kalangan atba>‘
ta>bi‘i>n akan tetapi tidak banyak bertemu dengan para ta>bi‘i>n.
8.
T}abaqah
kiba>r ta>bi‘ al-atba>‘ yaitu
seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadis dari kalangan atba>‘
al-ta>bi‘i>n dan banyak berjumpa dengan mereka.
9.
T}abaqah
wust}a> ta>bi‘ al-atba>‘ yaitu
seseorang banyak meriwayatkan hadis dari kalangan atba>‘
al-ta>bi‘i>n dan pembesar ta>bi‘ atba>‘.[171]
Sedangkan tingkatan penilaian
kritikus hadis atau lebih dikenal dengan istilah al-jarh wa al-ta‘di>l yang
digunakan dalam skripsi ini dapat diklasifikasi dalam 12 tingkatan secara
berurutan, mulai dari al-ta‘di>l yang tertinggi hingga al-jarh}
yang paling rendah.
Adapun mara>tib al-ta‘di>l
dari tingkatan tertinggi hingga terendah adalah sebagai berikut:
1.
Setiap
ungkapan pujian yang menggunakan ism al-tafd}i>l atau s}i>gah
al-muba>lagah, seperti أوثق الناس، إليه
المنتهى فى التثبيت، فلان لا يسأل عنه، لا أعرف له نظيرا، لا أحد أثبت منه، dan sejenisnya.
2.
Setiap
ungkapan pujian yang mengulang-ulangi kosa katanya, seperti ثقة ثقة، ثقة ثبت، ثقة حافظ حجة، ثبت
حجة dan sejenisnya.
3.
Setiap
pujian yang menggunakan satu kata yang menunjukkan intelegensia dan keadilan yang kuat, seperti ثقة، ثبت، متقن، حجة، إمام، ضابط، ثقة
حافظ، صحيح الحديث dan sejenisnya.
4.
Setiap
pujian yang menggunakan satu kata yang menunjukkan intelegensi yang kurang
sempurna, seperti صدوق، مأمون، لا
بأس به، خيار الناس، dan yang semakna.
5.
Setiap
pujian yang menunjukkan sedikit berkurang kejujuran dan amanahnya, seperti شيخ، صالح الحديث، حسن الحديث، محله
الصدق، مقارب الحديث dan sejenisnya.
6.
Setiap
pujian yang menunjukkan keraguan terhadap keadilannya, seperti مقبول صدوق إن شاء الله dan
sejenisnya.[172]
Sedangkan mara>tib al-jarh}
dari tingkatan yang lemah hingga yang paling kuat/parah adalah sebagai berikut:
7.
Setiap
kritikan/celaan yang menunjukkan sedikit kelemahan perawi, seperti ليس بذاك القوي، فيه مقال، ليس بحجة،
فيه ضعف، غيره أوثق منه dan sejenisnya.
8.
Setiap
kritikan yang menunjukkan kelemahan perawi dan keguncangan intelegensianya,
seperti مضطرب الحديث، لا يحتج بحديثه، ضعفوه،
ضعيف، له مناكير، فى حديثه شيئ dan
sejenisnya.
9.
Setiap
kritikan yang menunjukkan sangat lemahnya perawi, seperti رد حديثه، مطروح الحديث، ضعيف جدا، لا
يكتب حديثه، لا شيئ dan kata yang semakna.
10.
Setiap
kritikan yang menunjukkan pada kecurigaan dusta atau pemalsuan hadis terhadap
perawi, seperti متهم بالكذب، متهم
بالوضع، يسرق الحديث، هالك، متروك، ليس بثقة dan
sejenisnya.
11.
Setiap
kritikan yang menunjukkan pada kedustaan perawi atau pemalsuan hadis darinya
seperti كذاب، وضاع، دجال، يكذب، يضع dan
sejenisnya.
12.
Setiap
kritikan yang menunjukkan pada puncak kedustaan atau pemalsuan hadis seperti أكذب الناس، أوضع الناس، إليه المنتهى
فى الوضع، إليه المنتهى فى الكذب dan
sejenisnya.[173]
[3]Abu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j
al-Naisa>bu>riy, S}ah}i>h} Muslim, Juz. III (Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 85.
[4]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin
Isma>‘i>l al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz. I
(Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M), h. 33.
[5]M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
[6]Dalam Kamus Ilmiah Popular, kata tematik
diartikan dengan mengenai tema; yang pokok; mengenai lagu pokok, sementara dalam bahasa Arab, kata tematik diistilahkan dengan maud}u>’iy yang berarti menurunkan sesuatu atau meletakkannya, Mus}t}afa> Muslim mengatakan bahwa maud{u>‘
adalah meletakkan sesuatu di manapun, baik meletakkan atau menurunkan maupun
menetapkan atau memantapkan pada suatu tempat. Sementara Arifuddin Ahmad dalam
pidato pengukuhannya mengatakan bahwa hadis maud}u>‘iy adalah
pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik
menyangkut aspek ontologisnya maupun aspek epistemologis dan aksiologisnya saja
atau salah satu sub dari salah satu aspeknya. Lihat: Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus
Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.th.), h. 743; Abu> al-H{usain Ah}mad ibn
Fa>ris ibn Zakariya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz. VI (Beirut: Da>r al-Fikr,
1423 H./2002 M.), h. 89.
Selanjutnya disebut Ibn Zakariya>, Mus}t}afa>
Muslim, Maba>his\ fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i (Cet. I;
Dimasyq: Da>r al-Qalam, 1410 H./1989 M.), h. 16. Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, (Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Makassar: UIN Alauddin, 31 Mei 2007), h. 4.
[7]Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 20.
[8]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008), h. 1474.
[11]Arifuddin
Ahmad, op.cit., h. 24.
[13]Arifuddin
Ahmad, op. cit., h. 24.
[14]Definisi
tersebut dikutip dari Muin Salim dengan merubah obyeknya dari tafsir ke hadis,
karena menurut pemaklah, keduanya
sama dalam bidang kajian teks. Lihat: H. Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir
Sebuah Rekonstruksi Epistimologis (Pidato Pengukuhan Guru Besar, Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 28 April 1999),
h. 35.
[16]Muh{ammad
ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afrīqiy, Lisān
al-‘Arab, Juz. II (Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t.
th.), h. 249. Selanjutnya disebut Ibn Manz}u>r.
[17]Mah}mu>d
al-T}ah}h}a>n, Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet.
III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M), h. 7.
[18]Ibn
Fa>ris, op. cit., Juz. II, h. 28.
[19]Manna>' al-Qat}t}a>n, Maba>hi>s| fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s|. (Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.), h. 15.
[20]Abu>
‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syaira>ziy Ibn al-S}ala>h}, ‘Ulu>m al-H}adi>s\ (Cet. II;
al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1973 M), h. 228.
[21]Syams
al-Di>n Muh}ammad ibn ‘Abd al-Rah{ma>n al-Sakha>wiy>, Fath} al-Mugi>s\ Syarh}
Alfiyah al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.), h.
10.
[22]‘Abd
al-Rau>f al-Mana>wiy, Faid}
al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz. I (Cet. I;
Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.), h. 17.
[23]Abu>
Muh}ammad Mahdiy ‘Abd
al-Qa>dir ibn ‘Abd al-Ha>diy.
T}uruq Takhri>j H}adi>s\ Rasulillah saw. diterjemahkan oleh Said
Aqil Husain Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar. Metode Takhrij Hadis (Cet.
I; Semarang: Dina Utama, 1994 M.), h. 15.
[24]Abu> Ha>jir Muh}ammad bin Sa’i>d
Basyu>niy Zaglu>l, Mausu>‘at At}ra>f al-H{adi>s\ al-Nabawiy, Juz.
I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 347.
[28]Ibid., Juz. III, h. 501. Adapun penjelasan rumus-rumus
yang terdapat dalam tulisan di atas dapat dijelaskan sebagai: خ= S}ah}i>h} al-Bukha>riy, م= S}ah}i>h} Muslim, ت=
Sunan al-Turmuz\iy, هق=
al-Sunan al-Kubra> karya al-Baihaqiy,
مشكاة= Misyka>t
al-Mas}a>bi>h} karya al-Tari>ziy, كنر= Kanz al-‘Umma>l karya al-Hindiy, منثور= al-Durr al-Mans\u>r karya al-Suyu>t}iy,
فتح= Fath} al-Ba>riy karya
Ibn H}ajar, حم= Musnad Ah}mad, كشاف = al-Ka>f al-Sya>fiy fi Takhri>j
Ah}a>di>s\ al-Kassya>f karya Ibn H{ajar, نبوة= Dala>il al-Nubuwwah karya al-Baihaqiy, حلية=H{ulyat al-Auliya>’ karya Abu> Nu‘aim, منحة= Minh{at al-Ma‘bu>d karya
al-Sa>‘a>tiy, كر= Tahz\i>b
Ta>ri>kh Dimasyq karya Ibn ‘Asa>kir, حميدي= Musnad al-H{umaidiy, عاصم= al-Sunnah karya Ibn Abi> ‘A<s{im, تمهيد= al-Tamhi>d karya Ibn ‘Abd al-Barr, ش= Mus}annaf Ibn Abi> Syaibah, تجريد= Tajri>d al-Tamhi>d karya Ibn ‘Abd
al-Barr, حب= Mawa>rid
al-Z}am’a>n karya al-Hais\amiy, مجمع=
Majma‘ al-Zawa>id karya al-Hais\amiy.
[29]A.J. Weinsinck terj. Muh}ammad Fua>d
‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\
al-Nabawiy, Juz. I (Laeden: I.J Brill, 1969 M), h. 14.
[31]Ibid., Juz. VII, h. 204. Kode-kode yang digunakan dalam
kitab tersebut adalah: خ= S}ah{i>h{
al-Bukha>riy, م= S}ah}i>h Muslim, ت= Sunan al-Turmuz\iy, ن=
Sunan al-Nasa>iy, د=
Sunan Abi> Da>wud, جه=
Sunan Ibn Ma>jah, ط=
Muwat}t}a’ Ma>lik, حم=
Musnad Ah}mad, دي= Sunan al-Da>rimiy.
[32]Abu> al-H{ajja>j Yu>suf bin
al-Zakiy ‘Abd al-Rah}ma>n al-Mizziy, Tuh}fat al-Asyra>f li Ma‘rifat
al-At}ra>f, Juz. IX (Cet. II; Beirut: al-Maktab al-Isla>miy, 1403
H/1983 M), h. 164.
[34]Ibid., Juz. VIII, h. 154. Sedangkan kode-kode yang
digunakan dalam kitab ini sama dengan kode yang terdapat dalam kitab al-Mu‘jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawiy.
[35]A.J. Weinsinck, terj. Muh}ammad Fua>d
‘Abd al-Ba>qiy, Mifta>h{ Kunu>z al-Sunnah (Lahor: Suhail
Kedimiy, 1391 H/1941 M), h. 61-62.
[36]Ibid., h. 62. Kode-kode yang digunakan adalah: بخ= S}ah}i>h} al-Bukha>riy, مس= S{ah{i>h{ Muslim, بد=
Sunan Abi> Da>wud, تر=\
Sunan al-Turmuz\iy, نس=
Sunan al-Nasa>iy, مج=
Sunan Ibn Ma>jah, مي=
Sunan al-Da>rimiy, ما=
Muwat}t}a’ Ma>lik, ز=
Musnad Zaid bin ‘Ali, عد=
T{abaqa>t Ibn Sa‘ad, حم=
Musnad Ah{mad, ط= Musnad
al-T{aya>lisiy, هش= Si>rah Ibn
Hisya>m, قد= Maga>ziy
al-Wa>qidiy. Sedangkan kode yang terletak setelah kode-kode di atas
adalah: ك= Kita>b, ب= Ba>b, ح=
h}adi>s\, ص= halaman.
[37]Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh}ammad
bin Hanbal, Musnad Ah}mad, Juz. I (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub,
1419 H/1998 M), h. 6. Selanjutnya disebut Ah}mad bin H{anbal.
[39]Muslim, op. cit., Juz. III, h.
1457; Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy‘ats al-Sijista>niy, Sunan
Abi> Da>wud, Juz. II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 127.
Selanjutnya disebut Abu> Da>wud. Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah{mad bin
Syu‘aib al-Nasa>iy, Sunan al-Nasa>iy, Juz. VI (Cet. II; Halb:
Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M), h. 255.
Selanjutnya disebut al-Nasa>iy.
[40]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz.
III, h. 1365, Juz. IV, h. 1551, 1620, Juz. VI, h. 2628; Muslim, op. cit., Juz.
IV, h. 1884; dan Ah}mad, op. cit., Juz. II, h. 20, 89, 106 dan 110.
[41]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. IV,
h. 1574; Muslim, op. cit., Juz. II, h. 738; dan Ah{mad bin H{anbal, op.
cit., Juz. IV, h. 42.
[42]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II,
h. 2589, Juz. III, h. 1381, Juz. VI, h. 2589; Muslim, op. cit., Juz.
III, h. 1474; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VIII, h. 224; Abu>
‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Turmuz\iy, Sunan al-Turmuz\iy, Juz.
IV (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 482.
Selanjutnya disebut al-Turmuz\iy; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz.
IV, h. 351, 352.
[43]Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz.
II, h. 386. Muslim, op. cit., Juz. I, h. 76, Juz. II, h. 317 dan 386.
[44]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin
‘Abdulla>h al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy, al-Mustadrak ‘ala>
al-S}ah}i>h}ain, Juz. IV (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1411 H/1990 M), h. 104.
[45]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI,
h. 2614; Juz. II, h. 789; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1454; Abu>
Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 324, 531; al-Nasa>iy, op. cit., Juz.
I, h. 9; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 409.
[46]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. V,
h. 2268; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 668; Ah}mad bin
H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 121, Juz. V, h. 273.
[47]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I,
h. 33, Juz. V, h. 2382; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h.
361.
[49]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI,
h. 2614; Muslim, op. cit., Juz. I, h. 125, Juz. III, h. 1459; Abu>
Muh}ammad ‘Abdulla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Da>rimiy, Sunan
al-Da>rimiy, Juz. II (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy,
1407 H), h. 417. Selanjutnya disebut al-Da>rimiy.
[51]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I,
h. 304, Juz. II, h. 848, 901, 902, Juz. III, h. 1010, Juz. V, h. 1988, 1996,
Juz. VI, h. 2611; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1459; Abu>
Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 145; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz.
IV, h. 208; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 5, 54, 111, 121.
[52]Hadis
gari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada
seluruh level sanad, sendiri pada sebagian level sanad maupun hanya sendiri
pada satu level sanad. Hadis masyhu>r adalah hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok periwayat dari awal hingga akhir hanya saja jumlahnya tidak
mencapai level hadis mutawa>tir, semisal hadis yang diriwayatkan oleh
3 orang saja. Hadis mutawa>tir
adalah hadis yang diriwayatkan sekelompok orang dari awal hingga akhir sanad
yang mustahil melakukan kesepakatan dusta atas hadis yang diriwayatkan. Dengan
demikian, syarat sebuah hadis mutawa>tir adalah periwayatnya harus banyak
minimal 10 orang pada setiap level sanad, mustahil secara uruf melakukan
kesepakatan dusta untuk membuat hadis, sigat yang digunakan jelas. Mah{mu>d al-T{ah}h}a>n, op. cit., h. 20. Lihat juga:
Muh{ammad bin Muh{ammad Abu> Syahbah, al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa
Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (t.t.: ‘A<lam al-Ma‘rifah, t.th.), h. 201.
Ah}mad al-‘Us\ma>niy al-Taha>nawiy, Qawa>‘id fi> ‘Ulu>m
al-H{adi>s\ (Cet. II; al-Riya>d{: Maktab al-Mat}bu>‘a>t
al-Isla>miyah, 1404 H./1984 M.), h. 33. Bandingkan dengan: Ah{mad ‘Umar
Ha>syim, Qawa>‘id Us}u>l al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r
al-Kita>b al-‘Arabi>, 1404 H./1984 M.), h. 158. Menurut hemat penulis, definisi hadis masyhu>r
tersebut perlu dikaji kembali karena pada dasarnya bukan kuantitasnya yang
menyebabkan sebuah hadis divonis mutawa>tir atau tidak akan tetapi
lebih penekanan kualitas individuanya, jadi bisa jadi sebuah hadis divonis mutawa>tir
meskipun hanya diriwayatkan oleh 3 orang saja. Mah{mu>d
al-T{ah}h}a>n, op.cit., h. 14. Muh{ammad bin Muh{ammad
Abu> Syahbah, op.cit., h. 195. Ah}mad al-‘Us\ma>niy
al-Taha>nawiy, op.cit., h. 32. Ah{mad ‘Umar Ha>syim, op.cit., h.
143.
[53]Dari
aspek kebahasaan kata i‘tiba>r merupakan mas}dar dari kata i‘tabara
yang berarti menguji, memperhitungkan. Sedangkan dari aspek peristilahan i‘tiba>r
adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, agar
dapat diketahui apakah da periwayatan lain, ataukah tidak ada bagian sanad
hadis dimaksud. Lihat:
Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, op.
cit., h. 140. Lihat juga: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 51-52.
[54]‘Abd
al-H}aq bin Saif al-Di>n bin Sa‘dulla>h al-Dahlawiy, Muqaddimah fi> Us}u>l
al-H{adi>s\ (Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah,
1406 H./1986 M.), h. 56-57.
[55]Untuk
mengetahui 4 teks hadis
tersebut dan sumber kitabnya, lihat pembahasan berikutnya pada deskripsi tentang lafal-lafal hadis yang
semakna.
[56]Hassan
Shadily, dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid IV (Jakarta:
Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983), h. 2361.
[57]The
Liang Gie, dkk, Ensiklopedi Administrasi, Cet. VI (Jakarta: CV. Haji
Masabung, 1989), h. 292.
[58]Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 613.
[59]Dikutip
dari internet dengan judul Nepotisme, Bagaimana Sebaiknya Disikapi, www.
Just Another Blogdetik.com weblog. Yang disadur dari Ensiklopedi Menejemen.
[60]Louis
Ma'louf, Al-Munjid fi al-Lughah (Cet. XII; Beirut: Dar al-Masyriq,
1977), h. 3.
[61]Abu
'Aliy Muhammad 'Abd al-Rahman al-Mubarakfuriy (al-Mubarakfuriy), Tuhfat
al-Ahwadziy liy Syarh al-Turmudziy (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz.VI, h.
359.
[62]Hasan
Sadiliy, op. cit., h.
2361.
[63]Abu
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid
II (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr) h. 20.
[64]Wikipedia
Ensiklopedi Bebas, Nepotisme, (dikutip dati Internet yang dimuat pada
tanggal 22 Nopember 2008, 18: 52.
[65]Noor
Fajar Asa, Ahlul Korup wal Jama’ah, (dikutip dari internet. www.
KotaSantri.com yang dimuat pada tanggal 27-11-2008, 09:09).
[66]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz.
III, h. 1147, Juz. IV, h. 1574; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. III,
h. 166.
[68]Abu> ‘Abdillah Ah}mad bin Muh}ammad bin
Hanbal, Musnad Ah}mad, Juz. I (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419
H/1998 M), h. 6.
[69]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin
‘Abdulla>h al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy, al-Mustadrak ‘ala>
al-S{ah{i>h}ain, Juz. IV (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1411 H./1990 M.), h. 104.
[70]Salah satu indikator yang dijadikan
pemakalah untuk mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai peristiwa yang sama
(tidak terjadi tanawwu‘) adalah bahwa penyampai hadis tersebut sama,
yakni Abu> Bakar al-S{iddi>q, sedangkan panglima pasukannya adalah
Yazi>d bin Abi> Sufya>n dengan peristiwa pengiriman pasukan ke
Yaman.
[71]Abu> al-Qa>sim Sulaima>n bin
Ah}mad bin Ayyu>b al-T{abra>niy, Musnad al-Sya>miyyi>n, Juz.
IV (Cet. I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1405 H./1984 M.), h. 366.
[72]‘Ali bin Abi> Bakar bin Sulaima>n
al-Hais\amiy, Ga>yat al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad, Juz. I
(CD ROM al-Maktabat al-Sya>milah), h. 3304.
[73]Abu>
Luba>bah H{usain, al-Jarh} wa al-Ta‘di>l (Cet. I; al-Riya>d}:
Da>r al-Liwa>’, 1399 H./1979 M.), h. 138.
[74]Hal
tersebut diungkapkan Muh{ammad ibn S}a>lih} al-‘Us\aimi>n, Mus}at}alah}
al-h}adi>s\ (Cet. IV; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah:
Wiza>rah al-Ta‘li>m al-‘A<li>, 1410 H.), h. 34. Lihat juga:
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I: Jakarta:
Renaisan, 2005 M.), h. 97.
[75]Hal
tersebut diungkapkan ‘Abd al-Mahdi> ibn ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd
al-Ha>di>, ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta‘di>l Qawa>‘idih wa Aimmatih (Cet.
II: Mesir: Ja>mi‘ah al-Azhar, 1419 H./1998 M.), h. 89.
[76]Abu> Ish{a>q al-Syaira>zi>, T{abaqa>t
al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.), h. 91.
[77]Abu> al-‘Abba>s Syams al-Di>n
Ah}mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t
al-A‘ya>n wa Abna>’ Abna>’ al-Zama>n, Juz I (Beirut:
Da>r S}a>dir, 1900 M.), h. 63. Selanjutnya disebut Ibn Khalka>n.
[78]Abu> al-Fad}al Ah{mad ibn ‘Ali> ibn
H{ajar al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz I (Cet. I;
Beirut: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.), h. 387. Selanjutnya disebut al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b. Abu> al-Wali>d Sulaima>n ibn
Khalaf ibn Sa‘ad al-Ba>jiy,
al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h}, Juz I (Cet. I; al-Riya>d}: Da>r
al-Liwa>’, 1406 H./1986 M.), h. 320.
Selanjutnya disebut al-Ba>jiy. Abu> H}a>tim Muh}ammad ibn H{ibba>n
ibn Ah}mad al-Tami>mi>, al-S|iqa>t, Juz VIII (Cet. I; Beirut:
Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.), h. 18. Selanjutnya disebut Ibn H{ibba>n, al-S|iqa>t.
‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H{a>tim al-Ra>ziy al-Tami>miy, al-Jarh{
wa al-Ta‘di>l, Juz II (Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.), h. 68. Selanjutnya disebut Abu> H{a>tim al-Ra>ziy.
[79]Sya>ms al-Di>n Muh{ammad bin Ah{mad
bin ‘Us\ma>n al-Z|ahabiy, Siyar A‘la>m al-Nubala>’, Juz. X
(Cet. IX; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1413 H/1993 M), h. 667. Selanjutnya
disebut al-Z|ahabiy. Lihat juga: Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Sa‘ad
al-Bas{riy, al-T}abaqa>t al-Kubra>, Juz. VII (Cet. I; Beirut:
Da>r S}a>dir, 1968 M), h. 475. Selanjutnya disebut Ibn Sa‘ad.
[80]Abu> al-H{ajja>j Yu>suf bin
al-Zakiy ‘Abd al-Rah}ma>n al-Mizziy, Tahz\i>b al-Kama>l, Juz.
XXXII (Cet. I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1400 H/1980 M), h. 182.
Selanjutnya disebut al-Mizziy.
[81]Abu> H{a>tim al-Ra>ziy, op.
cit., Juz. IX, h. 279; Abu> al-H{asan Ah{mad bin ‘Abdulla>h bin
S}a>lih{ al-‘Ijliy, Ma‘rifat al-S|iqa>t, Juz. II (Cet. I;
al-Madi>nah al-Munawwarah: Maktabat al-Da>r, 1405 H/1985 M), h. 364.
Selanjutnya disebut al-‘Ijliy. Ibn H{ibba>n, al-S|iqa>t, Juz. IX,
h. 274; al-Mizziy, op. cit., Juz. XXXII, h. 182; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op.cit.,
Juz. XI, h. 301; Abu> al-Fad{al Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar
al-‘Asqala>niy, Taqri>b al-Tahz\i>b (Cet. I; Su>riya>:
Da>r al-Rasyi>d, 1406 H/1986 M), h. 603. Selanjutnya disebut
al-‘Asqala>niy, Taqri>b.
[82]Al-Mizziy, op. cit., Juz. IV, h.
192; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. I, h. 416;
al-‘Asqala>niy, Taqri>b...op.cit., h. 126; al-Zarkaliy, op.
cit., Juz. II, h. 60.
[83]Al-Mizziy, op. cit., Juz. IV, h.
192; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. I, h. 416;
al-‘Asqala>niy, Taqri>b...op.cit., h. 126; al-Zarkaliy, op.
cit., Juz. II, h. 60.
[84]Al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op.
cit., Juz. III, h. 229; al-Mizziy, op. cit., Juz. IX, h. 151;
Abu> Muh}ammad Mah{mu>d bin Ah{mad bin Mu>sa>, Maga>niy
al-Akhba>r (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah), h. 331; Ibn
Khalka>n, op. cit., Juz. II, h. 301; al-Zarkaliy, op. cit., Juz.
III, h. 17.
[85]Al-Zarkaliy, op. cit., Juz. II, h.
140. Lihat juga: Ibn Sa‘ad, op. cit., Juz. VII, h. 439.
[86]Al-‘Ijliy, op. cit., Juz. I, h.
272. Bandingkan dengan: Abu> al-Fad}al Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar
al-‘Asqala>niy, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah, Juz.
I (Cet. I; Beirut: Da>r al-Jail, 1412 H.), h. 502. Selanjutnya disebut
al-‘Asqala>niy, al-Is}a>bah. Abu> Sa‘i>d bin Khali>l
al-‘Ala>iy, Ja>mi‘ al-Tah}s}i>l fi> Ah{ka>m al-Mara>sil (Cet.
II; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1407 H./1986 M.), h. 156. Selanjutnya disebut
al-‘Ala>iy.
[87]Abu> H{a>tim al-Ra>ziy, op. cit.,
Juz. II, h. 515. Lihat juga: Abu> al-Wali>d Sulaima>n bin Khalaf
bin Sa‘ad al-Ba>jiy, al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h}, Juz. I (Cet. I;
al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’ li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1406 H./1986
M.), h. 468.
[88]Abu> H{a>tim Muh{ammad bin
H}ibba>n bin Ah{mad al-Taimiy, Masya>hir ‘Ulama>’ al-Ams}a>r (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M), h. 112. Lihat juga: Abu> al-Fad}al
Ah{mad bin ‘Ali bin H}ajar al-‘Asqala>niy, Lisa>n al-Mi>za>n, Juz.
II (Cet. III; Beirut: Muassasah al-A‘lamiy li al-Mat}bu>‘a>t, 1406
H./1986 M.), h. 139. Selanjutnya disebut al-‘Asqala>niy, Lisa>n. Al-Mizziy,
op. cit., Juz. V, h. 133; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b..., op.
cit., Juz. II, h. 99.
[89]Al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op.
cit., Juz. V, h. 276; al-‘Asqala>niy, Taqri>b, op. cit., h.
313; al-Ba>jiy, op. cit., Juz. II, h. 798; al-Bukha>riy, al-Ta>rikh...op.
cit., Juz. I, h. 32; al-‘Asqala>niy, al-Is}a>bah...op. cit., Juz.
IV, h. 169; Abu> Ish}a>q al-Syaira>ziy, T}abaqa>t al-Fuqaha>’
(Cet. I; Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabiy, 1970 M), h. 36.
[90]Al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op.
cit., Juz. V, h. 276; al-‘Asqala>niy, Taqri>b, op. cit., h.
313; al-Ba>jiy, op. cit., Juz. II, h. 798.
[91]Ulama
berbeda pendapat tentang pengertian sya>z\. secara garis besar adalah tiga
pendapat yang yang menonjol. Al-Sya>fi‘i> berpandangan bahwa sya>z\
adalah suatu hadis yang diriwayatkan seorang s\iqah tetapi bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan orang yang lebih s\iqah atau banyak
periwayat s\iqah. Al-H{a>kim mengatakan bahwa sya>z\ adalah
hadis yang diriwayatkan orang s\iqah dan tidak ada periwayat s\iqah
lain yang meriwayatkannya, sedangkan Abu> Ya‘la> al-Khali>li>
berpendapat bahwa sya>z\ adalah hadis yang sanadnya hanya satu macam,
baik periwayatnya bersifat s\iqah maupun tidak. Lihat: Abu> ‘Amr
‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syairu>zi Ibn al-S}ala>h}, op.
cit., h. 48 dan 69. Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn ‘Abdillah ibn Muh{ammad
al-H{a>kim al-Naisabu>ri>, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\
(Mesir: Maktabah al-Mutanabbi>, t.th.), h. 119. Namun dalam tesis ini, peneliti
menggunakan definisi al-Sya>fi‘i>.
[92]‘illah
adalah sebab-sebab yang samar/tersembunyi yang dapat menyebabkan kecacatan
sebuah hadis yang kelihatannya selamat dari berbagai kekurangan. Lihat: Muhammad ‘Ajja>j
al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1409
H./1989 M.), h. 291.
[93]Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I: Jakarta: Renaisan,
2005 M.), h. 117. Bandingkan dengan Kamaruddin Amin, Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadis (cet. I; Jakarta: Hikmah, 2009), h. 58.
[94]Abu>
Sufya>n Mus}t}afa> Ba>ju>, al-‘Illat wa Ajna>suha> ‘ind
al-Muh}addis\i>n (Cet. I; T{ant}a>: Maktabah al-D{iya>’, 1426
H./2005 M.), h. 288-397.
[95]M.
Syuhudi Ismail, op. cit., h. 113.
[96]Arifuddin
Ahmad, Paradigma... op.
cit., h. 109.
[97]Sebenarnya, langkah yang harus diambil
oleh pemakalah adalah meneliti sanad lain yang berbeda dengan sanad yang telah
dikritik untuk memastikan apakah sanad lain juga bermasalah atau tidak. Namun
karen keterbatasan waktu dan sanad lainnya terdapat di luar al-kutub al-tis‘ah,
khususnya sanad yang terdapat pada kitab al-Mustadrak ‘ala>
al-S}ah}i>h}ain yang secara lahiriah lengkap dan tidak ada periwayat
yang mubham, maka pemakalah merasa cukup dengan hasil di atas.
[98]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008), h. 1001.
[99] Ah}mad bin Hanbal, op. cit., Juz.
I, h. 6.
[101]Ibra>hi>m Mus}t}afa> dkk., op.
cit., Juz. I, h. 11.
[102]Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin
Syaraf al-Nawawiy, Tah}ri>r Alfa>z} al-Tanbi>h, Lugat al-Fiqh
(Cet. I; Damaskus: Da>r al-Qalam, 1408 H.), h. 238.
[103]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II,
h. 896.
[104]Abu> al-Fad}al Ah}mad bin ‘Ali bin
H{ajar al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy Syarh} S}ah}i>h}
al-Bukha>riy, Juz. VII (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.), h. 323.
[106]Muh}ammad ‘Abd al-Rau>f
al-Mana>wiy, Faid} al-Qadi>r, Juz. I (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1994 M.)
, h. 578
[107]Muh}ammad ‘Abd al-Rauf al-Mana<wiy, al-Taisi>r
bi Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz. I (Cet. III; Riya>d}: Da>r
al-Nasyr, 1408 H./1988 M.), h. 264.
[108]Badr
al-Di>n Abu> Muh}ammad Mah}mu>d bin Ah}mad al-‘Ainiy, ‘Umdat al-Qa>riy Syarh} S}ah}i>h{
al-Bukha>riy, Juz. II (t.t.; Da>r al-Fikr, t.th.), h. 378. Selanjutnya disebut al-‘Ainiy.
[109]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya (al-Madinah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li
T}iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418 H.), h. 128.
[110]Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali Rid}a>, Tafsi>r
al-Mana>r, Juz. V (Mesir: al-Hai’at al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li
al-Kita>b, 1990 M), h. 138.
[111]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘at wa al-Manhaj, Juz. V
(Cet. II; Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.), h. 120.
[114]Al-'Asqalaniy,
Fath al-Bariy. Op.Cit. Juz V, h. 117-118.
[115]Hadisnya secara lengkap dapat dilihat
pada: al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI, h. 2443; Muslim, op. cit., Juz.
III, h. 1273.
[116]Nu>r al-Di>n ‘Ali bin Sult}a>n
al-H{arawiy al-Qa>riy, Mirqa>t al-Mafa>ti>h} Syarh} Misyka>t
al-Mas}a>bi>h}, Juz. XVIII (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992 M),
h. 253.
[117]Oleh karena itu, al-Nasa>iy
mengkhususkan hadis tersebut dalam satu bab yang berjudul tidak memberikan
jabatan kepada orang yang menginginkan karena salah satu indikasi seseorang itu
tidak kompoten dan tidak bertanggung jawab terhadap jabatannya adalah meminta
atau memaksakan kehendak untuk menjadi pejabat. Baca: al-Nasa>iy, op. cit., Juz. I, h. 16.
[120]Muslim, op. cit., Juz. III, h.
1457; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 127. al-Nasa>iy, op.
cit., Juz. VI, h. 255.
[121]Abu> al-Fad}al ‘Abd al-Rah}ma>n bin
Abi> Bakar al-Suyu>t}iy, Syarh} al-Suyu>t}iy li Sunan
al-Nasa>iy, Juz. VI (Cet. II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t
al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.), h. 255.
[122]Abu> al-H{asan Nu>r al-Di>n bin
‘Abd al-Ha>diy al-Sanadiy, H{a>syiyah al-Sanadiy ‘ala>
al-Nasa>iy, Juz. VI (Cet. II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t
al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.), h. 255.
[123]Taqiy al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd
al-H}ali>m bin Taymiyah, al-Siya>sah al-Syar‘iyah (Cet. I;
al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah: Wiza>rat al-Syu’u>n
al-Isla>miyah, 1418 H.), h. 10. Selanjutnya disebut Ibn Taymiyah.
[124]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz.
III, h. 1157; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VIII, h. 236; al-Turmuz\iy, op.
cit., Juz. V, h. 349 dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h.
150.
[125]Doa tersebut dibaca Nabi saw. ketika ia
mengutus Kha>lid ke Bani> Jaz\i>mah agar mengajak mereka masuk Islam,
tetapi mereka kurang bagus dalam melafalkan aslamna>, sehingga
terdengar s}aba’na> maka Kha>lid kemudian membunuhnya dan
mengambil harta mereka, namun Nabi saw. mengganti semua harta yang diambilnya.
Lihat: Ibn Taymiyah, op. cit., h. 11. Lihat juga: al-‘Asqala>niy, Fath{
al-Ba>riy, op. cit., Juz. XIII, h. 182.
[127]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Ah{mad
al-Qurt}ubiy, al-Ja>mi‘ li Ah{ka>m al-Qur’a>n, Juz. V (Beirut:
Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1405 H./1985 M.), h. 30.
[129]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz.
III, h. 1365, Juz. IV, h. 1551, 1620, Juz. VI, h. 2628; Muslim, op. cit., Juz.
IV, h. 1884; dan Ah}mad, op. cit., Juz. II, h. 20, 89, 106 dan 110.
[130]Abu> al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n bin
al-Jauziy, Kasyf al-Musykil min H}adi>s\ al-S}ah}i>h}ain, Juz. I
(al-Riya>d}: Da>r al-Nasyr, 1418 H./1997 M.), h. 657.
[131]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz.
III, h. 1339; Muslim, op. cit., Juz. IV, h. 1856; Abu> Da>wud, op.
cit., Juz. I, h. 145; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. V, h. 706; dan
Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. I, h. 196.
[132]Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah{ma>n
bin Abi> Bakar al-Suyu>t}iy, al-Di>ba>j ‘ala> S}ah}i>h}
Muslim, Juz. V (Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah, 1416
H./1996 M.), h. 373. Selanjutnya disebut al-Suyu>t}iy.
[133]‘Ali bin H{isa>m al-Di>n al-Muttaqiy
al-Hindiy, Kanz al-‘Umma>l fi Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l, Juz.
X (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1989 M.), h. 790.
[134]Taqiy al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd
al-H}ali>m bin Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>, Juz. XXVIII
(Cet. III; t.t.: Da>r al-Wafa>’, 1426 H./2005 M.), h. 256.
[135]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. IV,
h. 1574; Muslim, op. cit., Juz. II, h. 738; dan Ah{mad bin H{anbal, op.
cit., Juz. IV, h. 42.
[136]Rampasan perang tersebut diperoleh dari
perang H{unain yang terjadi pada tahun 630 M. Perang H{unain bermula dengan takluknya
Mekah, kekuasaan dan penentangan kaum Quraisy berkahir, akan tetapi
kegiatan-kegiatan dan persiapan-persiapan musuh dari kota-kota yang berdekatan
menuntut perhatian yang segera. Ma>lik bin ‘Au>f, ketua suku Khawa>zin mengumpulkan orang-orangnya
dan orang-orang dari suku T{a>if yang bersekutu dengan
meraka. Mereka diambil sumpahnya dan harus bergabung untuk melawan Nabi
Muhammad saw. Ketika Nabi mengetahui perkembangan itu, dia menegaskan ‘Abdullah al-Aslamiy untuk pergi ke sana dan melaporkan keadaan yang sebenarnya. Dia
membawa kabar bahwa Bani>
Khawa>zin dan suku-suku
lainnya sedang bersiap-siap berperang. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw.
tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerang mereka dengan memimpin 12.000
pengikut. Di antaranya 10.000 orang berasal dari Madinah dan yang 2000 orang
dari Mekah. Sedangkan musuh mempunyai kekuatan 20.000 orang kemudian kedua
Pasukan ini bertemu di lembah H{unain. Untuk lebih lengkapnya,
lihat: Syed Mahmud al-Nasir, Islam, its Concepts and History, diterjemahkan
oleh Adang Affandi, Islam, Konsepsi dam Sejarahnya (Cet. IV; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994 M.), h. 144-145.
[138]Badr
al-Di>n Abu> Muh}ammad Mah}mu>d bin Ah}mad al-‘Ainiy, ‘Umdat al-Qa>riy Syarh} S}ah}i>h{
al-Bukha>riy, Juz. XVII (t.t.; Da>r al-Fikr, t.th.), h. 308. Selanjutnya disebut al-‘Ainiy.
[139]Uraian
lebih lanjut, lihat Harun Nasution, et. Al. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992 M.), h. 130.
[143]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II,
h. 838, Juz. III, h. 1154; dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. III,
h. 167.
[144]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II,
h. 2589, Juz. III, h. 1381, Juz. VI, h. 2589; Muslim, op. cit., Juz.
III, h. 1474; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VIII, h. 224; al-Turmuz\iy, op.
cit., Juz. IV, h. 482; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h.
351, 352.
[147]Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz.
II, h. 386. Muslim, op. cit., Juz. I, h. 76, Juz. II, h. 317 dan 386.
[148]Mengenai perdebatan ulama tentang hadis
tersebut dapat dilihat: Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf bin
Mura> al-Nawawiy, Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim, Juz.
II (Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392
H.), h. 148. dan al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy, op. cit., Juz. II h. 32.
[149]Al-Nawawiy, op. cit., Juz. I, h.
148; Badr al-Di>n al-H{anafiy, op. cit., Juz. XIX, h. 326;
al-Muba>rakfu>riy, op. cit., Juz. VII, h. 313.
[151]Adapun teks hadisnya dapat dilihat:
al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II, h. 863; Muslim, op. cit., Juz.
IV, h. 1998.
[152]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI,
h. 2614; Juz. II, h. 789; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1454; Abu>
Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 324, 531; al-Nasa>iy, op. cit., Juz.
I, h. 9; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 409.
[153]Al-Bukha>riy,
op. cit., Juz VI, h. 2443.
[155]Ibra>hi>m bin ‘Umar bin H{asan
al-Buqa>‘iy, Naz}m al-Durar fi Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar,
Juz. IV (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1995 M.), h. 269.
[158]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. V,
h. 2268; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 668; Ah}mad bin
H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 121, Juz. V, h. 273.
[159]Abu> ‘Umar Yu>suf bin ‘Abdulla>h
al-Namariy, al-Tamhi>d lima> fi al-Muwat}t}a’ min al-Ma‘a>niy wa
al-Asa>ni>d, Juz. IX (al-Magrib: Wiza>rat ‘Umu>m al-Awqa>f,
1387 H.), h. 236.
[162]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I,
h. 33, Juz. V, h. 2382; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h.
361.
[165]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI,
h. 2614; Muslim, op. cit., Juz. I, h. 125, Juz. III, h. 1459;
al-Da>rimiy, op. cit., Juz. II, h. 417.
[170]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I,
h. 304, Juz. II, h. 848, 901, 902, Juz. III, h. 1010, Juz. V, h. 1988, 1996,
Juz. VI, h. 2611; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1459; Abu>
Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 145; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz.
IV, h. 208; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 5, 54, 111, 121.
[171]Muhammad
ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sakha>wi>, op. cit., Juz. I, h.
149. Lihat juga: Ma>hir Ya>sin al-Fah}l, Muh}a>d}ara>t fi>
‘Ulu>m al-H}adi>s\ (CD-ROM al-Maktabah al-sya>milah), begitu juga,
lihat buku yang berjudul Mus}t}alah} al-h}adi>s\ tanpa pengarang dan
penerbit yang dikutip dari CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah, h. 26.
[172]Abu>
‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu‘aib al-Nasa>i<, Kita>b al-D}u‘afa>’
wa al-Matru>ki>n (Cet. II; Beirut: Muassasah al-Kutub
al-S|aqa>fah, 1407 H./1987 M.), h. 16-17. Lihat juga: ‘Abd al-Mauju>d
Muhammad ‘Abd al-Lat}i>f, ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta’di>l, diterj.
Zarkasyi Humaidi, Ilmu Jarh wa Ta’dil (Cet. I; Bandung: Kima Media
Pusakatama, 2003 M), h. 60-67.
[173]Muhammad
ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sakha>wi>, op. cit., Juz. I, h. 372.
Lihat juga: Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, op. cit., h. 276 dan
‘Abd al-Mauju>d Muhammad ‘Abd al-Lat}i>f, op. cit., h. 70-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar