Minggu, 22 Desember 2013

Nepotisme Dalam Perspektif Hadis



                                                                           PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Islam diturunkan oleh Allah swt. untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam hubungan keluarga, hubungan masyarakat, dan hubungan negara. Aturan atau konsep itu bersifat mengikat bagi setiap orang yang mengaku muslim.[1] Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprehensif, tidak boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan sebagian umat Islam. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela dalam pandangan Islam.[2] Salah satu aturan Islam yang bersifat individual adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada umatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syariat.[3]
Salah satu jalan pintu menuju arah rezeki yang haram adalah melakukan  epotisme. Istilah nepotisme yang dalam bahasa arabnya biasa disebut al-muh{a>bah atau al-as\arah dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam pandangan hadis, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli pada bidang yang ditawarkan, bahkan penyerahan jabatan kepada yang bukan ahlinya merupakan salah satu tanda akhir zaman (asyra>t} al-Sa>‘ah).[4]
Mayarakat masih dilema menyikapi nepotisme, sebagian mereka menganggap bahwa penunjukkan keluarga meskipun kompoten di bidangnya tetap dikatakan nepotisme. Sedangkan sebagian yang lain berfikiran bahwa bukan disebut nepotisme jika mengangkat kerabat dekat yang memenuhi kompetensi. Namun bagaimana dengan Islam, khususnya hadis Nabi saw. yang menjadi salah satu sumber utama ajaran Islam.[5] Prinsip apa yang ditanamkan dalam hadis, apakah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan ataukah ada tidaknya hubungan kekerabatan?. Padahal jika prinsip kekerabatan sebagai landasan, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu.
Dengan demikian, pembahasan tentang nepotisme dalam perspektif hadis Nabi saw. sangat layak untuk dikaji dan didalami dengan salah satu metodologi penelitian hadis Nabi saw., yaitu berdasarkan maud}u>‘iy/tematik.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang, rumusan masalah pokok dalam makalah ini adalah bagaimana nepotisme dalam perspketif hadis Nabi saw. Untuk  menjawab masalah pokok, dibuatlah sub-sub masalah sebagai
berikut:
  1. Bagaimana kualitas dan pemahaman hadis tentang hakikat nepotisme?
  2. Bagaimana pemahaman hadis tentang karakteristik nepotisme?
  3. Bagaimana pemahaman hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme
  4. Bagaimana pemahaman hadis tentang hal-hal yang mencegah terjadinya nepotisme?
  5. Bagaimana pemahaman hadis tentang dampak nepotisme?      
C.      Metode Pendekatan dan Teknik Analisis
  1. Metode yang digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maud}u>‘iy.[6] Dengan demikian, langkah-langkahnya pun mengacu pada langkah-langkah metode hadis maud}u>‘iy. Di samping itu, penelitian ini bersifat kualitatif karena data yang dikaji bersifat deskriptif berupa pernyataan verbal. Berikut langkah-langkahnya:
a.      Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas. Dalam makalah ini, pemakalah membahas tentang nepotisme, sehingga hadis-hadis yang dikaji adalah hadis-hadis tentang nepotisme.
b.      Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafal maupun secara makna melalui kegiatan takhri>j al-h{adi>s\.
c.      Melakukan kategorisasi dan klasifikasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya hadis (tanawwu>‘) dan perbedaan periwayatan hadis (lafal dan makna). Dalam makalah ini, peneliti telah melakukan pengelompok hadis-hadis tentang nepotisme dalam lima kelompok besar, yaitu; 1) hadis tentang pengertian nepotisme, 2) hadis tentang karakteristik nepotisme, 3) hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme, 4) hadis tentang hal-hal yang mencegah terjadinya nepotisme dan 5) hadis tentang dampak nepotisme.
d.      Melakukan kegiatan i’tiba>r dengan tujuan melacak keberadaan sya>hid dan muta>bi‘ yang dilengkapi dengan skema sanad.
e.      Melakukan penelitian sanad yang meliputi: penelitian kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang menjadi sanad hadis bersangkutan, serta metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat.
f.       Melakukan penelitian matan yang meliputi: kemungkinan adanya illat (cacat) dan terjadinya sya>z\ (kejanggalan).
g.      Mempelajari terma-terma yang mengandung pengertian serupa sehingga hadis tersebut bertemu pada satu muara tanpa ada perbedaan dan kontradiksi, juga pemaksaan makna kepada makna yang tidak tepat.
h.      Membandingkan berbagai syarah hadis dari berbagai kitab-kitab syarah dengan tidak meninggalkan syarah kosa kata, frase dan klausa.
i.       Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung dan data yang relevan.
j.        Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep (grand concept) sebagai bentuk laporan hasil penelitian dan sebuah karya penelitian atau syarah hadis.[7]
  1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan pemakalah dalam makalah ini, mengarah pada dua pendekatan, yaitu pendekatan klasik dan pendekatan kontemporer. Dari tiga jenis pendekatan klasik, pemakalah menggunakan ketiga pendekatan, yaitu a) Pendekatan naqliyyah yang mengedepankan penggunaan nus{u>s} atau naskah-naskah dalam memahami sebuah matan hadis, dalam hal ini matan hadis yang berkaitan dengan nepotisme, b) Pendekatan ‘aqliyyah yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memahami sebuah matan hadis, dan c) Pendekatan sufistik yaitu pendekatan yang menggunakan intuisi dan kekuatan qalb  dalam menelaah dan memahami sebuah matan hadis atau yang lebih dikenal dengan istilah bi al-isya>ri> dalam ilmu tafsir.
Sementara pendekatan kontemporer yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan multi disipliner, yaitu menghubungkan matan hadis tentang nepotisme dengan dengan pendekatan sosial, eksakta, humaniora, dan agama. Keempat ilmu tersebut dibutuhkan untuk mengaitkan nepotisme dengan keempat ilmu tersebut sehingga akan terlacak bagaimana sebenarnya nepotisme pada masa Nabi saw. sekaligus praktek dan dampaknya di tengah-tengah masyarakat.
  1. Teknik Analisis
Untuk memahami makna dari ungkapan verbal, yaitu matan hadis Nabi saw. yang mencakup kosa kata, frase, klausa dan kalimat, dibutuhkan teknik analisis dan interpretasi sebagai cara kerja memahami hadis Nabi saw., khususnya dalam pengkajian hadis tematik sebagai berikut:
a.       Tekstual berasal dari kata dasar teks. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang atau kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan atau bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan sebagainya atau wacana tertulis.[8] Dengan demikian, teknik interpretasi adalah pemahaman terhadap matan hadis berdasarkan teksnya semata atau memperhatikan bentuk dan cakupan makna teks dengan mengabaikan asba>b al-wuru>d dan dalil-dalil yang lain.[9]
b.      Intertekstual berasal dari kata dasar inter dan teks. Dalam Kamus Bahasa Indonesia inter diartikan sebagai di antara dua atau di antara atau di tengah. Jadi intertekstual adalah di antara naskah atau wacana tertulis.[10] Dengan demikian, interpretasi intertekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan hadis lain atau ayat-ayat al-Qur’an yang terkait.[11]
c.       Kontekstual berasal dari kata dasar konteks. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.[12] Jadi interpretasi kontekstual yaitu pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan asba>b al-wuru>d  atau konteks masa Nabi, pelaku sejarah dan peristiwanya dengan memperhatikan konteks kekinian.[13]
d.      Interpretasi logis yaitu pemahaman matan hadis dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dengan cara deduktif, induktif atau komparatif dengan alasan bahwa penelitian ini termasuk kegiatan ilmiah.[14]
D.     Takhri>j al-H{adi>s\
Takhri>j al-h{adi>s\ terdiri dari dua suku kata yang keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata takhri>j merupakan mas}d{ar dari fi’il ma>d}i> mazi>d yang akar katanya terdiri dari huruf kha’, ra’ dan jim memiliki dua makna, yaitu sesuatu yang terlaksana atau dua warna yang berbeda.[15] Kata takhri>j memiliki makna memberitahukan dan mendidik atau bermakna memberikan warna berbeda.[16] Sedangkan menurut Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, takhri>j pada dasarnya mempetemukan dua perkara yang berlawanan dalam satu bentuk.[17] Kata Hadis berasal dari bahasa Arab al-hadi>s|, jamaknya adalah al-ah}a>di>s\ berarti sesuatu yang sebelumnya tidak ada (baru).[18] Sedangkan dalam istilah muhaddis\u>n,  hadis adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan ( taqrir ), sifat, atau sejarah hidup.[19]
Dari gabungan dua kata tersebut, ulama mendefinisikan takhri>j al-h}adi>s\ secara beragam, meskipun subtansinya sama. Ibnu al-S}ala>h} misalnya, mendefinisikannya dengan “Mengeluarkan hadis dan menjelaskan kepada orang lain dengan menyebutkan mukharrij (penyusun kitab hadis sumbernya)”.[20] Al-Sakha>wi mendefinisikannya dengan muh}addis\ mengeluarkan hadis dari sumber kitab, al-ajza>’, guru-gurunya dan sejenisnya serta semua hal yang terkait dengan hadis tersebut”.[21] Sedangkan ‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi mendefinisikannya sebagai “Mengkaji dan melakukan ijtihad untuk membersihkan hadis dan menyandarkannya kepada mukharrij-nya dari kitab-kitab al-ja>mi‘, al-sunan dan al-musnad setelah melakukan penelitian dan pengkritikan terhadap keadaan hadis dan perawinya”.[22]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diuraikan bahwa kegitan takhri>j al-h}adi>s| adalah kegiatan penelusuran suatu hadis, mencari dan mengeluarkannya dari kitab-kitab sumbernya dengan maksud untuk mengetahui; 1) eksistensi suatu hadis benar atau tidaknya termuat dalam kitab-kitab hadis, 2) mengetahui kitab-kitab- sumber autentik suatu hadis, 3) Jumlah tempat hadis dalam sebuah kitab atau beberapa kitab dengan sanad yang berbeda.
Sedangkan metode yang digunakan dalam takhri>j al-h}adi>s\ sebagaimana yang diungkapkan Abu> Muh{ammad ada lima macam, yaitu:
1.        Takhri>j al-h}adi>s\ dengan menggunakan lafaz pertama matan hadis sesuai dengan urutan-urutan huruf hijaiyah seperti kitab al-Ja>mi‘ al-S}agi>r karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.
2.        Takhri>j al-h}adi>s\ dengan menggunakan salah satu lafaz matan hadis, baik dalam bentuk isim maupun fi’il, dengan mencari akar katanya. 
3.        Takhri>j al-h}adi>s\ dengan menggunakan perawi terakhir atau sanad pertama yaitu sahabat dengan syarat nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut diketahui. Kitab-kitab yang menggunakan metode ini seperti al-at}ra>f dan al-musnad.
4.        Takhri>j al-h}adi>s\ dengan menggunakan topik tertentu dalam kitab hadis, seperti kitab-kitab yang disusun dalam bentuk bab-bab fiqhi atau al-targi>b wa al-tarhi>b.
5.        Takhri>j al-h}adi>s\ dengan menggunakan hukum dan derajat hadis, semisal statusnya (s}ah}i>h}, h}asan, d}ai>f dan maud}u>).[23]    
Namun dalam makalah ini, pemakalah menggunakan empat metode, yaitu: 1) metode dengan menggunakan lafal pertama matan hadis; 2) metode dengan menggunakan salah satu lafal matan hadis; 3) metode dengan menggunakan periwayat pertama; 4) dan metode dengan menggunakan tema hadis.
Dari keempat metode yang digunakan dalam tulisan ini, pemakalah merujuk pada kitab Mausu>‘at At}ra>f al-H}adi>s\ al-Nabawiy karya Zaglu>l yang digunakan dalam metode dengan lafal pertama matan hadis, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\ karya A.J. Weinsinck yang dialihbahasakan Muhamamd Fua>d Abd al-Ba>qi> yang digunakan dalam metode dengan salah satu lafal matan hadis, Tuhfat al-Asyra>f bi Ma‘rifat al-At}ra>f karya al-Mizziy dalam metode dengan periwayat pertama dan Mifta>h} Kunu>z al-Sunnah karya A.J. Weinsinck yang juga dialihbahasakan oleh Muhamamd Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>.
Adapun petunjuk yang ditemukan dengan metode lafal pertama matan hadis dengan kitab Masu>‘at At}ra>f al-H{adi>s\ adalah sebagai berikut:
إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة خ 1: 23، 8: 129، هق 10: 118، مشكاة 5439، كنز 38508، بغوى 6: 179، منثور 6: 50، فتح 1: 142، 11: 333.[24]    
إنكم ستجدون بعدى أثرة شديدة حم 3: 166، هق 6: 337، لا 2: 160، كشاف 86، نبوة 5: 176. أو (إنكم ستجدون أثرة شديدة) م الزكاة 132، حم 3: 224.[25]
إنكم سترون بعدي أثرة فاصبروا خ 3: 150، 4: 115، 387 –حم 1: 119، 433، 9: 60 – هق 6: 145، 8: 159، 10: 131، طسب 10: 118، حلية 4: 146، منحة 2506 – فتح 5: 49، 13: 5 – مشكاة 3672، كر 5: 44، 45 – حميدى 1195 – عاصم 2: 350 – تمهيد 2: 306 – كنز 30818– ش 11: 242، 12: 162، 15: 93.[26]
إنكم سترون بعدي أثرة وأمورا تنكرونها خ 9: 59 – ت 2190 – حم 1: 384، 387 – منحة 2619 – بغوي 3: 75 – فتح 13: 75، 13: 5 –تجريد 950 – منثور 2: 178 –كنز 30978، 37570.[27]
إنكم ستلقون أثرة بعدي حب 2298، مجمع 10: 33 -كر 3: 53.[28]
Petunjuk yang ditemukan dengan metode salah satu lafal matan hadis dengan menggunakan kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\ al-Nabawiy sebagai berikut:
أثرة وجدت هذه الكلمة فى قول النبي "فإنه ستصيبكم أثرة بعدى" فى خ: مناقب الأنصار، م: إمارة 45، 48، ثم فى قوله صلى الله عليه وسلم "إنكم سترون بعدى أثرة" فى خ: فتن 3 مساقاة 14، 15، خمس 19، جزية 4، مناقب الأنصار 8، مغازى 56، م: زكاة 133، 139، وإمارة 48، ت: فتن 35**، ن: قضاة 4، حم:1: 384، 387، 433، 3: 57، 89، 111، 166، 167، 171، 182، 224، 4: 42، 292، 351، 353، 5: 304. [29]
محاباة وجدت فى قول النبي "فتحابي به غيره" فى حم: 6: 380، 423، ثم فى قوله "فأمر عليهم محاباة" فى حم: 1: 6.[30]    
وسد او توسد وجدت فى قول النبي "إذا وسد الأمر إلى غير أهله" فى خ: علم 2 وفى "توسد الأمر غير أهله" فى حم: 2: 361.[31]                         
Petunjuk yang ditemukan dalam dengan metode periwayat pertama dan sanad terakhir adalah dengan menggunakan kitab Tuh}fat al-Asyra>f li Ma‘rifat al-At}ra>f adalah sebagai berikut:
أبى ذر الغفارى عن سفيان بن هانئ (يا أبا ذر إنى أراك ضعيفا...) م فى المغازى (2:57) عن إسحاق بن إبراهيم – وزهير بن حرب – د فى الوصايا (4) عن الحسن بن علي – س فيه (الوصايا 9) عن ابن عباس بن محمد – أربعتهم عن أبى عبد الرحمن المقرئ عن سعيد بن أبى أيوب عن عبيد الله بن أبى جعفر عن سالم بن أبى سالم الجيشانى عن أبيه به.[32]
وأبى ذر عن عبد الرحمن الخولانى "يا رسول الله! ألا تستعملنى؟ فضرب بيده على صدره م فى المغازى (1:57) عن عبد الملك بن شعيب بن الليث بن سعد أبيه  عن جده عن يزيد بن أبي حبيب عن بكر بن عمرو عن الحارث بن يزيد عن ابن حجيرة الأكبر عن أبي ذر به. ز رواه ابن لهيعة عن الحارث بن يزيد عن ابن حجيرة قال: أخبرنى من يسمع أبا ذر... فذكره.[33]
عمرو بن العاص (أي الناس أحب إليك؟ قال (عائشة)) خ فى فضائل أبى بكر (المناقب 4:24) عن معلى بن أسد عن عبد العزيز بن المختار عن خالد الحذاء عنه به. وفى المغازى (63) عن اسحاق بن شاهين عن خالد بن عد الله عن خالد الحذاء عن أبى عثمان: أن النبي ص م بعث عمرا قال: فأتيته...فذكره. م فى الفضائل (9:47) عن يحيى بن يحيى عن خالد بن عبد الله عن خالد الحذاء عن أبى عثمان عن عمرو به. ت فى المناقب (7:135) عن إبراهيم بن يعقوب وبندار كلاهما عن يحيى بن حماد عن عد العزيز بن المختار به وقال : حسن صحيح. س فيه (المناقب الكبرى 7:2) عن أبى قدامة عبيد الله بن سعيد السرخسي، عن يحيى بن حماد به.[34]
Sedangkan petunjuk yang ditemukan dengan metode tematik dengan Mifta>h} Kunu>z al-Sunnah sebagai berikut:
استحقاق الوالى الغاش لرعيته النار فى مس: ك 1 ح 229 قا، ثم حم: ثان ص 425، 431، 479، 521، وثالث ص 441، 480 ورابع ص 231/4 وخامس ص 25، 27، 238، 329، 362، 366.[35] 
اللعنة تكون فى الأرض إذا كان أمراؤنا الصبيان فى حم ثالث ص 428.[36]
Di samping  itu, peneliti memperkaya keempat metode tersebut dengan menggunakan metode digital, baik dalam bentuk CD-ROM al-Kutub al-Tis‘ah, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah maupun CD-ROM dalam bentuk PDF sehingga ditemukan beberapa hadis yang belum didapatkan melalui keempat metode sebelumnya, tetapi tetap merujuk kepada kitab-kitab sumber.
E.   Klasifikasi Hadis
Dari keempat petunjuk kitab takhri>j tersebut ditemukan bahwa hadis-hadis tentang nepotisme dapat diklasifikasi sebagai berikut:
  1. Hadis tentang pengertian nepotisme
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنِي شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[37]
  1. Hadis-hadis tentang karakteristik nepotisme
a.       Tidak mempunyai profesionalitas
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[38]
b.      Tidak mempunyai kredibilitas
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.[39]
c.       Bukan untuk kebijakan politis   
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَطْعُنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعُنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ.[40]
  1. Hadis-hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme
a.       Hadis-hadis tentang Dugaan nepotisme pada kelompok tertentu
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ي َحْيَى عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا فَكَأَنَّهُمْ وَجَدُوا إِذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ فَخَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ لَوْ شِئْتُمْ قُلْتُمْ جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا أَتَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَذْهَبُونَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رِحَالِكُمْ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ الْأَنْصَارِ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا وَشِعْبًا لَسَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ وَشِعْبَهَا الْأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[41]
b.      Nepotisme pada jabatan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا وَلَمْ تَسْتَعْمِلْنِي قَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي.[42]
  1. Hal-hal yang dapat mencegah terjadinya nepotisme
a.       Keimanan
حَدَّثَنَا بَهْزٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ وَعَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَزْنِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَغُلُّ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ حِينَ يَنْتَهِبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.[43]
b.      Tidak fanatik
أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللهِ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ مُوْسَى الْعَدَلُ ثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ أَيُّوْبَ أَنْبَأَ يَزِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ الطَّيَالِسِي ثَنَا خَالِدٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْوَاسِطِي عَنْ حُسَيْنٍ بْنِ قَيْسِ الرَّحَبِي عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا مِنْ عَصَابَةٍ وَفِي تِلْكَ الْعَصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى للهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ الْمُؤْمِنِيْنَ.[44]
c.       Tidak ambisius
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَهُ فَقَالَ إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ.[45]
d.      Mempunyai sifat malu
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ عَنْ زُهَيْرٍ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ عُقْبَةُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ.[46]
  1. Hadis-hadis tentang Dampak nepotisme
a.       Kerusakan di dunia
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[47]
b.      Azab di akhirat
1)      Laknat Allah
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنِي شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[48]
2)      Tidak masuk surga
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ قَالَ زَائِدَةُ ذَكَرَهُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ: أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.[49]
3)      Penyesalan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.[50]


4)      Pertanggungjawaban
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[51]
F.   I’tiba>r al-Sanad
I‘tiba>r merupakan bagian dari langkah-langkah kritik hadis. Salah satu fungsinya adalah melacak secara kuantitas sanad sebuah hadis sehingga akan terlihat apakah hadis yang menjadi obyek kajian merupakan hadis gari>b, masyhu>r, atau mencapai derajat mutawa>tir.[52]
Dari hasil takhri>j dan klasifikasi hadis tersebut di atas akan dilakukan i‘tiba>r.[53] Melalui i‘tiba>r, akan terlihat dengan jelas seluruh sanad hadis, ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus sya>hid  (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu sahabat) atau muta>bi’ (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu ta>bi‘i>n).[54]
Jika ditelusuri lebih jauh tentang hadis yang menjadi objek kajian dalam al-kutub al-mutu>n, ditemukan 4 riwayat, antara lain 1 riwayat dalam Musnad Ah{mad bin H{anbal>, 1 riwayat dalam al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>hain, 1 riwayat dalam Musnad al-Sya>miyyi>n li al-T}abra>niy, 1 riwayat Ga>yat al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad.[55]
Dari 4 riwayat tersebut, tidak satupun yang bisa menjadi sya>hid karena pada level sahabat hanya satu yaitu Abu> Bakar al-S{iddi>q. sedangkan muta>bi‘ juga tidak ditemukan karena pada level setelah sahabat juga sendiri yaitu Yazi>d bin Abi> Sufya>n. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah skema sanad dari hadis yang menjadi objek kajian: 



Skema hadis tentang hakikat nepotisme:
محمد رسول الله
أبو بكر الصديق
يزيد بن أبى سفيان
جنادة بن أبى أمية
رجاء بن حيوة
شيخ من قريش
بقية بن الوليد
يزيد بن عبد ربه
أحمد بن حنبل
بكر بن خنيس
موسى بن أعين
جدي
الحاكم النيسابوري
أبو بكر بن إسحاق
الهيثمي
مكحول
موسى بن يسار
عمرو بن واقد
القاسم بن الوليد
الوليد بن الفضل
الطبراني

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Nepotisme
Nepotisme berasal dari bahasa latin yaitu nepos atau nepotis yang berarti cucu (arti kiasan) keturunan dan atau keponakan.[56] Baik kerabat langsung maupun hanya hubungan perkawinan dan bahkan bisa meningkat pada relasi atau teman (konco-konco).[57] Jadi nepotisme dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri terutama dalam masalah jabatan, pangkat di lingkungan pemerintahan[58] di luar ukuran mereka. Dalam pandangan Kamaruddin Hidayat, nepotisme adalah menejemen kepegawaian yang menggambarkan sistim pengangkatan, penempatan, penunjukan dan kenaikan pangkat  atas dasar pertalian darah, keluarga atau kawan.[59] Maksudnya adalah nepotisme berarti lebih memilih saudara, keluarga atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Mau tidak mau, suka tidak suka, maka nepotisme ini identik dengan sesuatu yang negatif.
Dalam sebuah hadis terdapat terma أثرة yang berasal dari akar kata أثر yang berarti إختار لنفسه دونهم[60] (mengutamakan dirinya atas orang lain). Makna ini, walau dalam redaksi yang berbeda, dikemukakan pula dalam salah satu syarah Sunan al-Turmudziy. Dalam syarah al-Turmudziy itu disebutkan bahwa makna dari term أثرة  adalah يفضل نفسه .[61]
Dari makna akar katanya tersebut, maka kata أثرة dapat diartikan dengan mengutamakan kepentingan diri sendiri (individualistis) dan bila dikaji lebih jauh maka kata itu pun dapat dimaknai dengan "menganut sistem famili (nepotis)." Menurut Hassan Sadiliy, praktek dari sikap nepotis merupakan kecenderungan untuk memberikan prioritas kepada sanak famili dalam hal pekerjaan, jabatan, dan pangkat di lingkungan kekuasaan.[62]
Istilah lain yang digunakan pada makna nepotisme adalah al-muh}a>bah yang berasal dari akar kata h{abba yang menunjukkan beberapa makna antara lain: mantap dan kokoh, biji-bijian dan sifat pendek.[63] Makna yang sepadan dengan nepotisme adalah makna yang ketiga yakni sifat pendek karena hanya membatasi sesuatu hanya kepada keluarga atau rekan-rekannya semata.
Pada abad pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup -yang telah mengambil janji chastity, sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung- memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.[64]
Menurut Amien Rais, nepotisme adalah bagian dari korupsi dimana salah satu bagiannya adalah korupsi dalam tiga Jenis: Pertama, ekstrortif korupsi, yaitu merujuk pada situasi di mana seseoarang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi/perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Kedua, korupsi manipulatif, yaitu merujuk pada usaha kotor yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, kemenakan, saudara dari pejabat. Diharapkan perlakuan istimewa tersebut dapat membagi rejeki antar mereka saja.[65]
B.  Landasan Normatif
  1. Al-Qur’an
Salah satu ayat yang menjadi landasan tentang nepotisme adalah ayat yang memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada ahlinya. Salah satu amanah itu adalah jabatan, sehingga sikap nepotisme yang mendahulukan keluarga tanpa mempertimbangkan keahliannya bertentangan dengan al-Qur’an Q.S. al-Nia>’/4: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.


  1. Hadis

Ada beberapa hadis yang menujukan bahwa nepotisme adalah sebuah sikap yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Salah satu dari nepotisme tersebut adalah hadis tentang Nabi saw. diindikasikan oleh sebagian sahabat telah berlaku nepotisme terhadap sekelompok suku Qurasiy:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَنَّ نَاسًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَمْوَالِ هَوَازِنَ مَا أَفَاءَ فَطَفِقَ يُعْطِي رِجَالًا مِنْ قُرَيْشٍ الْمِائَةَ مِنْ الْإِبِلِ فَقَالُوا يَغْفِرُ اللَّهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي قُرَيْشًا وَيَدَعُنَا وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ قَالَ أَنَسٌ فَحُدِّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَقَالَتِهِمْ فَأَرْسَلَ إِلَى الْأَنْصَارِ فَجَمَعَهُمْ فِي قُبَّةٍ مِنْ أَدَمٍ وَلَمْ يَدْعُ مَعَهُمْ أَحَدًا غَيْرَهُمْ فَلَمَّا اجْتَمَعُوا جَاءَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا كَانَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي عَنْكُمْ قَالَ لَهُ فُقَهَاؤُهُمْ أَمَّا ذَوُو آرَائِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَقُولُوا شَيْئًا وَأَمَّا أُنَاسٌ مِنَّا حَدِيثَةٌ أَسْنَانُهُمْ فَقَالُوا يَغْفِرُ اللَّهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي قُرَيْشًا وَيَتْرُكُ الْأَنْصَارَ وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي أُعْطِي رِجَالًا حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ أَمَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالْأَمْوَالِ وَتَرْجِعُوا إِلَى رِحَالِكُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَاللَّهِ مَا تَنْقَلِبُونَ بِهِ خَيْرٌ مِمَّا يَنْقَلِبُونَ بِهِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ رَضِينَا فَقَالَ لَهُمْ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً شَدِيدَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْا اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَوْضِ قَالَ أَنَسٌ فَلَمْ نَصْبِرْ.[66]
Artinya:
Al-Bukha>riy berkata: Telah bercerita kepada kami Abu> al-Yama>n telah mengabarkan kepada kami Syu‘aib telah bercerita kepada kami al-Zuhriy berkata telah mengabarkan kepadaku Anas bin Ma>lik bahwa orang-orang dari kalangan Anshar berbicara dengan Rasulullah saw. ketika Allah mengkaruniakan harta fa’iy suku Hawa>zin kepada Rasulullah saw. Saat itu Beliau sedang memberikan bagian kepada orang-orang Quraisy berupa seratus unta. Mereka berkata; Semoga Allah mengampuni Rasulullah saw. karena beliau memberikan bagian kepada orang Quraisy dan meninggalkan kita padahal pedang-pedang kitalah yang menumpahkan darah-darah mereka. Anas berkata; kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. apa yang diperbincangkan oleh mereka. Maka dikirimlah utusan kepada kaum Anshar dan mengumpulkan mereka pada suatu kemah terbuat dari kulit yang telah disamak dan tidak mengijinkan seorangpun bergabung selain kalangan mereka. Ketika mereka sudah berkumpul maka Rasulullah saw. datang menemui mereka lalu berkata: Ada apa dengan berita yang telah sampai kepadaku tentang kalian. Orang faqih mereka berkata kepada beliau; Orang-orang bijak dari kami tidaklah mengatakan sesuatupun wahai Rasulullah. Namun memang ada anak-anak muda yang berkata; Semoga Allah mengampuni Rasulullah karena beliau memberikan bagian kepada orang Quraisy dan meninggalkan kaum Anshar padahal pedang-pedang kitalah yang menumpahkan darah-darah mereka. Maka Rasulullah saw. bersabda: Sungguh aku memberi bagian kepada orang-orang yang masa hidup mereka masih dekat dengan kekafiran. Apakah kalian ridla orang-orang itu pulang dengan membawa harta, sebaliknya kalian kembali ke tempat tinggal kalian dengan membawa Rasulullah saw. Demi Allah, sungguh apa yang kalian bawa pulang lebih baik dari apa yang mereka bawa. Kaum Anshar berkata; Kami ridla wahai Rasulullah. Kemudian beliau bersabda lagi: Sungguh sepeninggalku nanti kalian akan melihat banyak perkara yang sangat berat. Untuk itu bershabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan Rasul-Nya saw. di telaga al-haudl. Anas berkata; Ternyata di kemudian hari kami tidak sabar.
  1. Perundang-undangan
Sementara undang-undang yang membahas tentang nepotisme adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam BAB I tentang Ketentuan Umum dikatakan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam BAB IV tentang Hak dan Kewajiban Penyelenggara Negara pasal 5 ayat 4 tentang kewajiban penyelenggara Negara untuk tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme dan ayat 7 bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara dalam BAB VIII tentang Sanksi pasal 22 dikatakan bahwa setiap penyelenggara Negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).[67]


C.  Deskripsi Sanad dan Matan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hadis yang menjadi obyek naqd al-h}adi>s\ dalam makalah ini adalah hadis tentang pengertian nepotisme dengan deskripsi sanad dan matan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنِي شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[68]
Artinya:
Ahmad berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazi>d bin ‘Abd Rabbih dia berkata; telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al-Wali>d dia berkata; telah menceritakan kepadaku seorang syaikh dari Quraisy dari Raja>’ bin H{aiwah dari Juna>dah bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n dia berkata; Abu> Bakar berkata ketika mengutusku ke Syam; Wahai Yazi>d sesungguhnya kamu memiliki kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan mereka dalam kepemimpinan, dan hal itulah yang paling aku takutkan darimu, karena Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin, kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan juga amal perbuatan Nafilah darinya, sampai Dia memasukkannya kedalam neraka jahannam, dan barangsiapa memberikan kepada seseorang batasan Allah, kemudian melanggar sesuatu di dalam batasan Allah tanpa haknya, maka baginya laknat dari Allah, atau dia berkata: Terlepaslah darinya jaminan Allah.
Setelah melakukan takhri>j terhadap hadis di atas, pemakalah tidak menemukan sanad lain dalam al-kutub al-tis‘ah selain dalam Musnad Ah}mad bin H{anbal. Namun pemakah menemukan sanad lain dengan matan yang sama terdapat dalam kitab al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ain dengan sanad dan matan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ إِسْحَاقَ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْحَرَانِي ثَنَا جَدِّيْ ثَنَا مُوْسَى بْنُ أَعْيُنٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ خُنَيْسٍ عَنْ رَجَاءٍ بْنِ حَيَوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيْدٍ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ لِي أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حِيْنَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ: يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ ذَلِكَ أَكْثَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَقَدْ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ.[69]
Artinya:
Al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy, Telah dikabarkan kami oleh Abu> Bakar bin Ish}a>q, telah diceritakan kepada kami oleh ‘Abdullah bin al-H{asan bin Ah}mad al-H{ara>niy, telah diceritakan kepada kami oleh kakekku, telah diceritakan kepada kami oleh Mu>sa> bin A‘yun dari Bakar bin Khunais dari Raja>’ bin H{aywah dari Juna>dah bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n berkata: Abu> Bakar al-S{iddi>q ra. Berkata kepadaku ketika mengirimku ke Syam. Wahai Yazi>d, sesungguhnya kamu mempunyai kerabat yang dikhawatirkan mempengaruhimu dalam kepemimpinan. Hal tersebut yang paling aku khawatirkan kepadamu maka sungguh Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang menguasai urusan orang-orang Islam lalu mengangkat seseorang karena dasar kecintaan/nepotisme, maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan juga amal perbuatan na>filah darinya hingga Allah swt. memasukannya ke dalam neraka jahannam.          
Begitu juga, hadis yang sedikit berbeda namun dengan peristiwa yang sama[70] terdapat dalam kitab Musnad al-Sya>miyyi>n karya al-T{abra>niy dengan sanad dan matan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ حَمْدَانٍ الْحَنَفِي ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ وَهَبٍ الْعِلاَفِ ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ الْفَضَلِ ثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ أَبِي الْوَلِيْدِ ثَنَا عَمْرٌو بْنُ وَاقِدٍ عَنْ مُوْسَى بْنِ يَسَارٍ عَنْ مَكْحُوْلٍ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيْدٍ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: شَيَّعَنِي أَبُوْ بَكْرٍ حِيْنَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ:  فَقَالَ يَا يَزِيْدُ إِنَّكَ رَجُلٌ تُحِبُّ ذَوِي قَرَابَتِكَ وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ وَلِىَ ذَا قَرَابَةٍ مُحَابَاةً وَهُوَ يَجِدُ خَيْرًا مِنْهُ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.[71] 
Artinya:
Al-T{abra>niy berkata: Telah diceritakan kepada kami oleh al-‘Abba>s bin H{amda>n al-H{anafiy, telah diceritakan kepada kami oleh Ish{a>q bin Wahab al-‘Ila>f, telah diceritakan kepada kami al-Wali>d bin al-Fad}al, diceritakan kepada kami oleh al-Qa>sim bin Abi> al-Wali>d, telah diceritakan kepada kami ‘Amar bin Wa>qid dari Mu>sa> bin Yasa>r dari Makh}u>l dari Juna>dah bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n berkata: Abu> Bakar ketika mengutusku ke Syam: lalu ia berkata: Wahai Yazi>d, sesungguhnya kamu ada seorang yang mencintai keluargamu dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang mengangkat keluarga dekatnya karena dasar kecintaan, padahal dia menemukan orang yang lebih baik dari pada orang tersebut, maka ia tidak akan mencium keharuman surga.    
Sedangkan dalam kitab Ga>yat al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad karya al-Hais\amiy dengan sanad dan matan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِى شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَنْ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِى أُمَيَّةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ حِينَ بَعَثَنِى إِلَى الشَّامِ: يَا يَزِيدُ، إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالإِمَارَةِ، وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ، لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً، حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ، وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ، فَقَدِ انْتَهَكَ فِى حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ، أَوْ قَالَ: "تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[72]
Artinya:
Al-Hais\amiy berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazi>d bin ‘Abd Rabbih dia berkata; telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al-Wali>d dia berkata; telah menceritakan kepadaku seorang syaikh dari Quraisy dari Raja>’ bin H{aiwah dari Juna>dah bin Abi> Umayyah dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n dia berkata; Abu> Bakar berkata ketika mengutusku ke Syam; Wahai Yazi>d sesungguhnya kamu memiliki kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan mereka dalam kepemimpinan, dan hal itulah yang paling aku takutkan darimu, karena Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin, kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan juga amal perbuatan Nafilah darinya, sampai Dia memasukkannya kedalam neraka jahannam, dan barangsiapa memberikan kepada seseorang batasan Allah, kemudian melanggar sesuatu di dalam batasan Allah tanpa haknya, maka baginya laknat dari Allah, atau dia berkata: Terlepaslah darinya jaminan Allah.
D.  Kritik Hadis
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kritik hadis mencakup dua aspek, yakni kritik sanad dan kritik matan. 
  1. Kritik Sanad
Metode kritik sanad mencakup beberapa aspek, antara lain uji ketersambungan proses periwayatan hadis dengan mencermati silsilah guru-murid yang ditandai dengan s}igah al-tah}ammul (lambang penerimaan hadis), menguji integritas perawi (al-‘ada>lah) dan intelegensianya (al-d}abt}) dan jaminan aman dari syuz\uz\ dan ‘illah.
Jika terjadi kontradiksi penilaian ulama terhadap seorang perawi, peneliti kemudian memberlakukan kaedah-kaedah al-jarh{ wa al-ta‘di>l dengan berusaha membandingkan penilaian tersebut kemudian menerapkan kaedah berikut:
1.         الجرح مقدم على التعديل (Penilaian cacat didahulukan dari pada penilian adil)
Penilaian jarh}/cacat didahulukan dari pada penilaian ta‘di>l jika terdapat unsur-unsur berikut:
a.         Jika al-jarh} dan al-ta‘di>l sama-sama samar/tidak dijelaskan kecacatan atau keadilan perawi dan jumlahnya sama, karena pengetahuan orang yang menilai cacat lebih kuat dari pada orang yang menilainya adil. Di samping itu, hadis yang menjadi sumber ajaran Islam tidak bisa didasarkan pada hadis yang diragukan.[73]
b.        Jika al-jarh{ dijelaskan, sedangkan al-ta‘di>l tidak dijelaskan, meskipun jumlah al-mu‘addil (orang yang menilainya adil) lebih banyak, karena orang yang menilai cacat lebih banyak pengetahuannya terhadap perawi yang dinilai dibanding orang yang menilainya adil.
c.         Jika al-jarh{ dan al-ta‘di>l sama-sama dijelaskan sebab-sebab cacat atau keadilannya, kecuali jika al-mu‘addil menjelaskan bahwa kecacatan tersebut telah hilang atau belum terjadi saat hadis tersebut diriwayatkan atau kecacatannya tidak terkait dengan hadis yang diriwayatkan.[74]
2.         التعديل مقدم على الجرح (Penilaian adil didahulukan dari pada penilian cacat)
Sebaliknya, penilaian al-ta‘di>l didahulukan dari pada penilaian jarh}/cacat jika terdapat unsur-unsur berikut:
a.         Jika al-ta‘dil dijelaskan sementara al-jarh} tidak, karena pengetahuan orang yang menilainya adil jauh lebih kuat dari pada orang yang menilainya cacat, meskipun al-ja>rih/orang yang menilainya cacat lebih banyak.
Jika al-jarh} dan al-ta‘dil sama-sama tidak dijelaskan, akan tetapi orang yang menilainya adil lebih banyak jumlahnya, karena jumlah orang yang menilainya adil mengindikasikan bahwa perawi tersebut dan adil dan jujur.[75]
Berikut adalah aplikasi kritik hadis. Jika merujuk pada hadis yang telah dipaparkan di atas, maka hadis tersebut mempunyai empat sanad. Namun sanad yang menjadi obyek kajian adalah hadis yang terdapat dalam Musnad Ah}mad dengan nama-nama periwayat sebagai berikut:
a.       Ah{mad bin H{anbal
Ah{mad bin H{anbal bernama lengkap Ah{mad bin Muh{ammad bin H{anbal bin Hila>l bin Asad bin Idri>s bin ‘Abdillah al-Syaiba>ni al-Marwazi>. Dia lahir pada bulan Rabi’ al-Awal tahun 164 H. di Bagda>d. Ada juga yang berpendapat di Marwin dan wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.[76] Dia adalah seorang muh{addis\ sekaligus mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1 juta hadis dan pernah berguru kepada al-Sya>fi‘i>. Dialah penyusun kitab Musnad Ah}mad.[77] Di antara gurunya adalah Bisyr ibn al-Mufad}d}al, Sufya>n bin ‘Uyainah, Yazi>d bin ‘Abd Rabbih, Muh{ammad bin Ja‘far, ‘Abdullah al-Khari>bi> menilainya afd}al zama>nih. Al-‘Abba>s al-‘Anbari> h{ujjah. Qutaibah berkata: Ah{mad ima>m al-dunya>. Al-‘Ijli> mengatakan: Ah}mad s\iqah s\abit fi> al-h{adi>s\. Abu> Zur‘ah mengatakan bahwa Ah{mad menghafal 1 juta hadis. Bin Sa‘ad mengatakan Ah{mad s\iqah s\abit s}adu>q kas\i>r al-h}adi>s\.[78]
b.      Yazi>d bin ‘Abd Rabbih
Yazi>d bin ‘Abd Rabbih bernama lengkap Yazi>d bin ‘Abd Rabbih al-Jurjusiy al-Ha>jj al-Ima>m al-H{a>fiz} Abu> al-Fad}al al-Zubaidiy al-H{ims}iy al-Muaz\z\in. Ia bermukin di Kani>sah Jurjis salah daerah di H{ims}. Ia lahir pada tahun 168 H. Ia juga termasuk salah satu ahli hadis pada masanya. Ia wafat pada tahun 224 dalam usia 56 tahun.[79]
Di antara gurunya adalah Ayyu>b bin Suwaid al-Ramliy, Bisyr bin Syu‘aib, Baqiyyah bin al-Wali>d. Sedangan muridnya antara lain adalah Abu> Da>wud, Muslim, al-Nasa>iy Ah{mad bin H{anbal yang lebih tua darinya.[80]
Yah}ya> bin Ma‘i>n menilainya s\iqah s}a>h}ib h}adi>s\, al-‘Ijliy menilainya s\iqah ka>na kayyis, Abu> H{a>tim menilainya s}adu>q aiqaz} (lebih hafal) daripada H{aywah bin Syuraih}, Abu> Bakar bin Abi> Da>wud menilainya s\iqah bahkan yang riwayat paling s\iqah dari Baqiyyah bin al-Wali>d, al-‘Asqala>niy menilainya s\iqah, Ibn H{ibba>n memasukannya dalam kelompok al-s\iqa>t.[81]    
Dengan demikian jarak antara Yazi>d bin ‘Abd Rabbih (w. 224 H) dan Ah}mad bin H{anbal (w. 241 H) adalah 17 tahun, bahkan Ah{mad lebih tua usianya. Di samping itu, Ah}mad bin H{anbal pernah melakukan rih}lah ‘ilmiyah ke Sya>m tempat tinggal Yazi>d. Dengan demikian, riwayat Ah{mad dari Yazi>d dengan s}i>qah h{addas\ana> sah dan sambung karena jarak antarkeduanya berdekatan, bahkan semasa.      
c.       Baqiyyah bin al-Wali>d
Baqiyyah bin al-Wali>d bernama lengkap Baqiyyah bin al-Wali>d bin S}a>id bin Ka‘ab bin Khari>z al-Kala>‘iy Abu> Yah{mid al-H{ims}iy. Dia lahir pada tahun 110 H/728 M. Dia termasuk tinggal di H{ims} salah satu daerah di Sya>m dan termasuk ahli hadis pada masanya. Dia wafat pada tahun 197 H/812 M.[82]
Di antara gurunya adalah Ish{a>q bin S|a‘labah, Hari>r bin Yazi>d, Syu‘bah bin al-H{ajja>j. Sedangkan muridnya antara lain adalah H{amma>d bin Zaid, Suwaid bin Sa‘i>d, Yazi>d bin ‘Abd Rabbih.
Ibn al-Muba>rak menilainya s}adu>q hanya saja terkadang menulis hadis dari orang sebelum dan sesudanya, Ah}mad menilainya jika Baqiyyah bin al-Wali>d meriwayatkan hadis dari kaum yang tidak dikenal maka janganlah terima hadisnya, Yah}ya> bin Ma‘i>n menilainya jika dia meriwayatkan dari orang s\iqah maka terimalah hadisnya, namun jika dia meriwayatkan hadis orang yang tidak dikenal maka janganlah terima hadisnya. Ya‘qu>b menilainya s\iqah h}asan al-h}adi>s\ jika dia meriwayatkan hadis orang yang dikenal, namun dia juga meriwayatkan hadis dari kaum yang ditolak hadisnya atau dari periwayat lemah. Ibn Sa‘ad dan al-‘Ijliy menilainya s\iqah jika dia meriwayatkan hadis dari orang yang dikenal dan dianggap d}a‘i>f jika dia meriwayatkan hadis dari orang yang tidak s\iqah. Abu> H{a>tim menilainya yuktab h}adi>s\uh wa la> yuh{tajj bih. Al-Nasa>iy mengatakan jika dia berkata h}addas\ana> atau akhbarana> maka dia termasuk s\iqah, namun jika dia mengatakan ‘an fula>n maka hadisnya tidak dipakai karena dia tidak tahu dari siapa hadis tersebut. Al-‘Asqala>niy menilainya s}adu>q kas\i>r al-tadli>s ‘an al-d}u‘afa>’.[83]
Jarak antara Baqiyyah bin al-Wali>d (w. 197 H) dan Yazi>d bin ‘Abd Rabbih (w. 224 H) adalah 27 tahun. Pemakalah melihat riwayat Yazi>d dari Baqiyyah bin al-Wali>d dengan s}i>gah h}addas\ana> sah dan dapat dipertanggungjawabkan karena mereka semasa dan sedaerah di Sya>m.
d.      Syaikh min Quraisy
Syaikh nama mubham/samar yang tidak diketahui siapa dia, dan tidak ditemukan sanad yang dapat mengungkap namanya. Dengan demikian, riwayat Baqiyyah bin al-Wali>d dari Syaikh meskipun menggunakan s}i>gah h}addas\aniy tidak sah dan terputus karena tidak ditemukan riwayat lain yang dapat mengungkap namanya.
e.       Raja>’ bin H{aywah
Raja>’ bin H{iywah bernama lengkap Raja>’ bin H{aywah bin Jarwul atau Jundul bin al-Ah}naf bin al-Samt} bin Imri’ al-Qais bin ‘Amar bin Mu‘a>wiyah bin al-H{a>ris\ al-Kindiy Abu> al-Miqda>m. Dia wafat pada tahun 112 H.
Di antara gurunya adalah Ja>bir bin ‘Abdulla>h, Juna>dah bin Umayyah, al-H{a>ris\ bin H{armal. Sedangkan muridnya adalah Ibra>hi>m bin Abi> ‘Aliyyah, H}umaid al-T{awi>l, anaknya ‘A<s}im bin Raja>’.
Muh{ammad bin Sa‘ad menilainya s\iqah fa>d}il kas\i>r al-‘ilm, al-‘Ijliy dan al-Nasa>iy menilainya s\iqah, Ibn H{ibba>n menilainya min ‘ubba>d ahl al-Sya>m wa fuqaha>ihim wa zuhha>dihim.[84]
Pemakalah kesulitan melacak jarak wafat antara Raja>’ bin H{aywah (w. 112 H.) dengan periwayat setelahnya, karena periwayat setelahnya termasuk mubham, terlebih lagi tidak ada sanad yang dapat menjelaskan siapa sebenarnya syaikh dalam sanad tersebut. Dengan demikian, riwayat Juna>dah kepada Syaikh tidak dapat diterima.
f.        Juna>dah bin Abi> Umayyah
Juna>dah bin Abi> Umayyah bernama lengkap Juna>dah bin Abi> Umayyah Ma>lik al-Azdiy al-Zahra>niy. Ia termasuk salah seorang panglima besar pada masa Mu‘a>wiyah. Dia wafat pada tahun 67 H. Sebagian juga berpendapat bahwa dia wafat pada tahun 80 H./699 M. pada masa pemerintahan ‘Abd al-Ma>lik bin Marwa>n.[85] Sementara ulama berbeda pendapat tentang statusnya sebagai sahabat atau seorang tabi’in.[86]
Di antara gurunya Rasulullah saw. ‘Uba>dah bin al-S}a>mit, ‘Ali bin Abi> T{a>lib, sedangkan muridnya antara lain al-H{a>ris\ bin Yazi>d, Raja>’ bin H}aiwah, Sulaima>n bin Juna>dah.[87]
Muh}ammad bin Sa‘ad menempatkannya pada t}abaqah pertama tabi’in dari Sya>m. al-‘Ijliy menilainya s\iqah min kiba>r al-ta>bi‘i>n, al-Wa>qidiy menilainya s\iqah s}a>h}ib Gazw.[88]        
Jarak antara Juna>dah (w. 67 H. atau 80 H) dengan Raja>’ bin H{aiwah (w. 112) adalah 45 atau 48 tahun, namun dijelaskan dalam beberapa kitab t}abaqa>t, seperi Tahz\i>b al-Kama>l hubungan antar keduanya, terlebih lagi mereka berdua bermukim di daerah yang sama yaitu Sya>m. Dengan demikian, riwayat antar keduanya meskipun dengan s}i>gat ‘an dapat diterima. 
g.      Yazi>d bin Abi> Sufya>n
Yazi>d bin Abi> Sufya>n bernama lengkap Yazi>d bin Abi> Sufya>n bin H{arab Abu> kha>lid al-Umawiy. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw. dan saudara dari Mu‘a>wiyah dan termasuk anak terbaik dari Abu> Sufya>n. Ia wafat di Sya>m pada tahun 18 setelah wafatnya Abu> ‘Ubaidah bin al-Jarra>h} pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b.
Di antara gurunya adalah Rasulullah saw., Abu> Bakar al-S}iddi>q. Sedangkan muridnya antara lain Juna>dah bin Abi> Umayyah, ‘Iya>d} al-Asy‘ariy.
Tidak banyak ditemukan penilaian ulama terhadap dirinya karena ia termasuk salah seorang sahabat Nabi saw.
Jarak antara Yazi>d (w. 18 H.) dan Juna>dah (w. 67 H. atau 80 H.) adalah 48 tahun. Banyak kitab tara>jum dan t}abaqah yang menjelaskan hubungan antarkeduanya. Dengan demikian, pemakalah menerima riwayat Juna>dah dari Yazi>d, meskipun dengan s}i>gat ‘an.  
h.      Abu> Bakar
Abu> Bakar bernama lengkap ‘Abdullah bin ‘Utsma>n bin ‘A<mir bin ‘Amar bin Ka‘ab bin Sa‘ad bin Tami>m bin Murrah bin Ka‘ab bin Luaiy bin Ga>lib bin Fihr bin Ma>lik bin al-Nad}ar al-Taimiy. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw., sekaligus khalifah pertama dalam Islam. Ia juga orang pertama yang masuk Islam dari kalangan dewasa. Ia menjadi khalifah selama 2 tahun lebih. Ia wafat pada hari senin Jumad al-Ula> 13 H. dalam usia 63 tahun dan dikuburkan di samping Rasulullah saw.[89]
Di antara gurunya adalah Rasulullah saw., sedangkan muridnya antara lain ‘Umar bin al-Khat}t}a>b, ‘A<isyah, ‘Abdullah bin ‘Umar, Yazi>d bin Abi> Sufya>n dan lain-lain.[90]
Tidak banyak penilaian ulama terhadapnya karena ia adalah salah seorang sahabat paling dekat dengan Nabi saw. dan termasuk salah satu dari 10 orang sahabat yang dikabarkan masuk surga.
Jika dibandingkan jarak antara Abu> Bakar (13 H.) dan Yazi>d (w. 18 H.) maka selisih wafatnya hanya 5 tahun saja. Dengan demikian riwayat yang terjadi antar keduanya sah dan dapat diterima, terlebih lagi Yazi>d adalah pegawai dari Abu> Bakar pada masa pemerintahannya.    
Setelah melakukan langkah-langkah kritik sanad dan mempertimbangkan penilaian ulama terhadap periwayat, pemakalah berkesimpulan bahwa hadis riwayat Ah{mad bin H{anbal di atas dinilai d}a‘i>f karena tidak memenuhi kaidah kesahihan sanad. Alasan ketidaksahihan tersebut terletak pada ketidaksambungan sanad karena salah satu periwayatnya mubham. Di samping itu, kritikus hadis menganggap Baqiyyah bin al-Wali>d sebagai perawi yang d}a‘i>f jika meriwayatkan dari orang yang tidak dikenal sebagaimana penilaian Yah{ya> bin Ma‘i>n, Ibn Sa‘ad, Ya‘qu>n dan al-‘Ijliy.
Aspek lain yang dapat memunculkan hadis ini adalah kecurigaan terhadap Baqiyyah bin al-Wali>d yang hidup pada era kekuasaan dan pemerintahan di Syam yang cenderung mewariskan kekhalifahan terhadap keluarganya, baik pada masa pemerintahan Amawiyyah maupun ‘Abba>siyah.
  1. Kritik Matan
Metode kritik matan meliputi dua hal, yaitu terhindar dari sya>z\[91] dan ‘illah[92]. M. Syuhudi Ismail menjadikan terhindar dari kedua hal tersebut sebagai kaidah mayor matan. Tolak ukur untuk mengetahui sya>z\ matan hadis antara lain: a) Sanad hadis bersangkutan menyendiri. b) Matan hadis bersangkutan bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat. c) Matan hadis bersangkutan bertentangan dengan al-Qur’an. d) Matan hadis bersangkutan bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[93]
Sedangkan tolok ukur mengetahui ‘illah matan hadis antara lain adalah a) Sisipan/idra>j yang dilakukan oleh perawi s\iqah pada matan. b) Penggabungan matan hadis, baik sebagian atau seluruhnya pada matan hadis yang lain oleh perawi s\iqah. c) Penambahan satu lafal atau kalimat yang bukan bagian dari hadis yang dilakukan oleh perawi s\iqah. d) Pembalikan lafal-lafal pada matan hadis/inqila>b. e) Perubahan huruf atau syakal pada matan hadis (al-tah}ri>f atau al-tas}h{i>f), f) Kesalahan lafal dalam periwayatan hadis secara makna.[94]
Menurut Syuhudi, untuk mengetahui terhindar tidaknya matan hadis dari sya>z\ dan ‘illah dibutuhkan langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan yang dapat dikelompokkan dalam tiga bagian penelitian matan dengan melihat kualitas sanadnya, penelitian susunan lafal berbagai matan yang semakna dan penelitian kandungan matan.[95]
Arifuddin Ahmad menambahkan bahwa penelitian matan hadis dibutuhkan dalam tiga hal tersebut karena beberapa faktor, antara lain keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad, terjadi periwayatan makna dalam hadis, dan penelitian kandungan hadis acapkali memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip dasar Islam.[96]
Dari uraian dan langkah-langkah metodologis dalam penelitian matan yang telah dipaparkan di atas, kemudian dikaitkan dengan hadis yang menjadi obyek kajian, pemakalah berkesimpulan bahwa kritik matan tidak dapat dilakukan karena langkah pertama, yakni memastikan kesahihan sanad tidak terpenuhi, sehingga kritik matan tidak perlu dilanjutkan.[97]
E.   Syarh al-Hadis
  1. Pemahaman hadis tentang hakikat nepotisme
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa istilah nepotisme dalam Bahasa Indonesia adalah mengarah pada tiga aspek, yaitu a) Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; b) Kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; c) Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.[98]
Dengan demikian, pemakalah berusaha mencari kosa kata yang biasa digunakan pada makna-makna di atas. Setelah melakukan pelacakan dalam kamus-kamus, ditemukan ada dua istilah yang biasa diarahkan pada makna nepotisme, yaitu المحاباة dan الأثرة. Dari kedua kosa kata tersebut, pemakalah melacak hadis-hadis yang menggunakan kedua kosa kata tersebut. Salah satu hadis yang menggunakna keduanya adalah hadis riwayat Ah}mad dari Abu> Bakar:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ بَعَثَنِي إِلَى الشَّامِ يَا يَزِيدُ إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ...[99]
Artinya:
Dari Yazi>d bin Abi> Sufya>n dia berkata; Abu> Bakar berkata ketika mengutusku ke Syam: Wahai Yazi>d sesungguhnya kamu memiliki kerabat, semoga kamu tidak mengedepankan mereka dalam kepemimpinan, dan hal itulah yang paling aku takutkan darimu, karena Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin, kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan juga amal perbuatan nafilah darinya, sampai dia memasukkannya ke dalam neraka jahannam....
Untuk memahami teks hadis di atas, maka penting untuk melakukan pengelompokan kalimat terlebih dahulu. Kelompok pertama adalah terkait dengan ucapan Abu> Bakar terhadap Yazi>d dan kelompok kedua adalah sabda Nabi saw.
Ucapan Abu> Bakar adalah:
إِنَّ لَكَ قَرَابَةً عَسَيْتَ أَنْ تُؤْثِرَهُمْ بِالْإِمَارَةِ وَذَلِكَ أَكْبَرُ مَا أَخَافُ عَلَيْكَ.
 Ucapan Abu> Bakar tersebut menggunakan kata تُؤَثِّرَ yang satu derivasi dengan أثرة. Dalam Kamus Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, kata أثرة mempunyai tiga makna asal yaitu mendahulukan sesuatu, menyebutkan sesuatu dan memberi bekas pada sesuatu yang tersisa.[100] Ketiga makna tersebut dapat dikaitkan dengan makna nepotisme. Oleh karena itu, dalam al-Mu‘jam al-Wasi>t}, أثرة dimaknai dengan mengutamakan diri sendiri dari pada orang lain,[101] bahkan al-Nawawiy memaknai أثرة dengan الإنفراد بالشيئ المشترك (menguasai sesuatu yang menjadi hak bersama).[102]
Sementara sabda Nabi saw. adalah:
مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ.
Dalam sabda Nabi saw. di atas, ditemukan penggunaan istilah محاباة. Dalam Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah ditemukan makna yang sama bagi lafal المحاباة, yaitu kedekatan atau kekerabatan.
Dengan demikian, kedua kosa kata tersebut mempunyai kedekatan makna etimologi, akan tetapi jika diperhatikan dengan baik antara ungkapan Abu> Bakar dan Sabda Nabi saw. dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya keduanya mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut sangat tampak, karena المحاباة pada dasarnya menunjukan makna mengutamakan orang lain yang mempunyai hubungan dengan dirinya dan mendahulukannya dari yang lain, sementara الأثرة menekankan pada makna mengutamakan diri sendiri dan mendahulukannya atas orang lain. Dengan demikian, المحاباة jauh lebih tepat digunakan pada makna nepotisme ketimbang الأثرة yang sebenarnya lebih bermakna monopoli.
Peristiwa yang menyebabkan Abu> Bakar menyebutkan sabda Nabi saw. adalah wasiat atau pesan Abu> Bakar kepada panglimanya yang mau dikirim ke Syam agar jangan sampai dipengaruhi oleh keluarga dalam menjalankan pemerintahannya, sebab jika hal tersebut dilakukan maka dikhawatirkan memunculkan nepotisme dalam pemerintahan yang bisa jadi mengarah pada sistem kerajaan yang menyerahkan kepemimpinan pada anak dan keluarganya.
Hadis di atas sejalan dengan hadis lain tentang larangan Nabi saw. menerima tebusan atas pamannya al-‘Abba>s yang menjadi tawanan perang.
أَنَّ رِجَالًا مِنْ الْأَنْصَارِ اسْتَأْذَنُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ائْذَنْ لَنَا فَلْنَتْرُكْ لِابْنِ أُخْتِنَا عَبَّاسٍ فِدَاءَهُ فَقَالَ لَا تَدَعُونَ مِنْهُ دِرْهَمًا.[103]
Artinya:
Ada orang-orang dari kalangan Anshar meminta izin kepada Rasulullah saw. dan mereka berkata: Izinkanlah kami untuk memberi tebusan atas anak saudara perempuan kami, yakni ‘Abba>s. Maka Beliau bersabda: Janganlah kalian tinggalkan untuknya satu dirhampun.
Menurut al-‘Asqala>niy, larangan Nabi saw. untuk menebus al-‘Abba>s agar dalam agama ini tidak terjadi nepotisme. Menurutnya, Nabi saw. tidak mau menerima tebusan al-‘Abba>s karena khawatir akan muncul nepotisme karan al-‘Abba>s adalah pamannya. Langkah Nabi saw. ini sebagai bukti bahwa kekerabatan tidak boleh mempengaruhi keputusan, meskipun hal tersebut menyakitkan.[104]      
  1. Pemahaman hadis tentang karakteristik nepotisme
a.       Tidak profesional
Seseorang yang ingin diberikan jabatan, padahal dia tidak profesional di bidangnya, akan tetapi hanya karena ada hubungan kekeluargaan sehingga ia diberikan jabatan, maka hal semacam ini termasuk nepotisme. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan umatnya agar menyerahkan setiap urusan kepada orang yang profesional di bidangnya masing-masing:  
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[105]
Artinya:
Maka apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat. Orang itu bertanya: Bagaimana hilangnya amanat itu? Nabi saw. menjawab: Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat.
Untuk mengungkap kandungan hadis tersebut, maka perlu mengkaji apa yang dimaksud dengan الأمر, غير أهله dan الساعة. ‘Abd al-Rau>f dalam kitab syarahnya menjelaslan bahwa yang dimaksud dengan الأمر adalah segala sesuatu yang terkait dengan agama seperti pemerintahan, kehakiman, fatwa dan pengajaran serta yang lain-lain.[106] Sementara yang dimaksud dengan غير أهله adalah orang-orang yang fasik, penyeleweng dan bukan keturunan baik-baik (tidak punya pengaruh dalam masyarakat).[107]
Berangkat dari penjelasan teks tersebut dapat ditarik sebuah pemahaman dalam hadis ini bahwa kehancuran, kekacauan dan ketikadilan akan terjadi jika suatu pekerjaan atau jabatan apapun, terlebih lagi urusan agama jika diberikan kepada orang yang tidak amanah dan tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, bukan hanya pemimpin atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya berupa kekacauan karena tidak menunaikan amanah akan tetapi umat atau masyarakat juga dianggap menyia-nyiakan amanah karena memilih dan mengangkat orang-orang yang tidak amanah pada suatu jabatan,[108]
Dan dalam hadis tersebut tidak ada penjelasan tentang siapa yang berhak diangkat menjadi pejabat, apakah harus orang lain ataukah boleh keluarga, sebab penekanan hadis itu hanya pada profesionalitas semata yang ditunjukkan oleh kata غير أهله (tidak kompoten). Sehingga  jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan, yang penting orang tersebut memenuhi persyaratan. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam hadis ini adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan.
Ungkapan hadis tersebut diperkuat oleh Allah swt. dalam firman-Nya Q.S. al-Nisa>’/4: 58 yang memerintahkan kepada setiap manusia agar memberikan amanah kepada ahlinya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.[109]
Muh{ammad ‘Abduh ketika menafsirkan ayat tersebut mengungkapkan bahwa amanah merupakan hak bagi setiap mukallaf dan terkait dengan hak orang lain. Dengan demikian, amanah seringkali dititipkan dan diberikan kepada orang lain agar disampaikan kepada orang yang mempunyai hak, baik terkait dengan ilmu pengetahuan maupun harta benda. Artinya, seorang alim wajib menyampaikan ilmunya kepada orang lain, sebagaimana orang yang kaya wajib menyampaikan hartanya kepada orang lain.[110]        
Wahbah al-Zuhailiy menyebutkan bahwa amanah dalam ayat tersebut adalah setiap dipercayakan kepada seseorang dan berlaku pada semua jenis kewajiban, baik kepada Allah swt., kepada manusia maupun kepada diri sendiri.[111]
Ayat dan hadis tersebut sepakat memerintahkan untuk menyerahkan urusan kepada ahlinya. Untuk merealisasikan hal itu, Rasulullah saw. tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan atau mengejar jabatan atau dalam bahasa gamblangnya adalah orang-orang yang ambisius. Hal tersebut pernah dilakukan Nabi saw. kepada seseorang yang miminta jabatan kepadanya, namun Nabi saw. balik menasihatinya dengan sabdanya:
قَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي غَدًا عَلَى الْحَوْضِ.[112]
Artinya:
Seorang suku Ans}a>r berkata: Wahai Rasulullah saw. tidakah engkau memberikan jabatan kepadaku sebagaimana engkau memberikan jabatan kepada si fulan? Rasulullah saw. menjawab: kalian akan menemui sikap-sikap egoistis dan individualistis sepeninggalku, maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku di telaga di kemudian hari.     
Kalau melihat syarah hadis tersebut, diketahui bahwa nama orang Ans}a>r yang bertanya kepada Nabi tersebut adalah Usayd bin Umayr.[113] Sedangkan si-fulan yang disebutkan dalam materi hadis adalah Amr bin al-A<s} yang pernah ditunjuk oleh Nabi untuk menjadi gubernur di Yaman.[114] Pada masa Rasul jabatan gubernur meliputi segala bidang termasuk mengurusi persoalan zakat. Pengangkatan Nabi terhadap Amar bin al-A<s} memang terkesan nepotism karena masih banyak yang lebih bisa dari pada ‘Amar bin al-‘A<s}, akan tetapi, hal tersebut didasarkan atas kapabilitas dan loyalitas yang dimiliki oleh Amar.
Sabda Nabi saw. agar tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan diperkuat oleh sabda Nabi saw. yang lain bahwa seseorang yang meminta jabatan akan diberikan sepenuhnya jabatan tersebut kepadanya tanpa ada pertolongan dari Allah swt.[115]
Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi saw. sangat enggan memberikan jabatan kepada seseorang yang menginginkan jabatan karena bisa jadi hal itu menjadi cerminan ketidakamanahannya, terlebih lagi pertolongan Allah swt. juga tidak diberikan kepada orang semacam ini, sehingga profesionalitasnya akan hilang atau paling tidak diragukan.            
Badr al-Di>n al-H{anafiy sebagaimana yang dikutip al-Mala> ‘Ali al-Qa>riy menjelaskan bahwa ketidakbolehan mengangkat seseorang yang menginginkan jabatan bisa jadi karena orang tersebut mempunyai maksud atau niat tertentu atau bisa jadi karena gajinya yang diincar, bukan untuk mengabdikan diri dan menunaikannya dengan baik.[116]    
Dari pemaparan di atas, penekanan hadis-hadis tersebut adalah bagaimana memberikan tugas kepada orang yang kompoten dan tidak memberikannya kepada orang yang meminta jabatan.[117] sekaligus informasi dari Nabi bahwa suatu saat nanti, akan muncul kelompok yang suka melakukan nepotisme, maka pada saat itulah, setiap orang membutuhkan kesabaran agar tetap selamat dunia dan akhirat. 
Sikap Nabi saw. yang memberikan jabatan kepada ahlinya tercermin ketika Nabi saw. mengutus Mu‘a>z\ bin Jabal bersama Abu> Mu>sa> al-Asy‘ariy ke Yaman dengan pesannya  [118]يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا ، وَبَشِّرَا وَلاَ تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا. (Permudahlah kalian berdua dan janganlah mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang lari dan bekerjasamalah kalian berdua dan jangan berselisih). Pengutusan Mu‘a>z\ bin Jabal sangat tepat karena Mu‘a>z\ adalah orang yang paling mengerti tentang halal dan haram.[119]    
b.      Tidak mempunyai integritas
Salah satu karakteristik nepotisme adalah orang yang diberikan jabatan tidak mampu menjalankan dan merealisasikan jabatan yang diberikan kepadanya. Artinya, terkadang seseorang yang mempunyai kemampuan dalam aspek praktek, akan tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam aspek teori. Integritas dibutuhkan dalam rangka melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang yang diberikan jabatan. Oleh karena itu, Nabi saw. tidak mau memberikan jabatan kepada Abu> Z|arr, meskipun yang bersangkutan terkenal sebagai sosok yang saleh, terpercaya dengan sabdanya:     
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.[120]
Artinya:
Wahai Abu Z|arr, sungguh saya melihatmu sangat lemah, dan saya menginginkan untukmu seperti yang saya inginkan untuk kamu. Jangan kamu menjadi pemimpin di antara dua orang dan jangan kamu menguasai harta anak yatim.
Alasan Nabi saw. tidak memberikan jabatan kepada Abu> Z|arr bukan karena Nabi saw. tidak percaya kepadanya, padahal ia salah seorang sahabat yang paling dipercaya dan paling jujur, akan tetapi Abu> Z|arr terkenal mempunyai sikap zuhud sehingga ia pernah memberikan fatwa tentang keharaman mengumpulkan harta benda, meskipun zakatnya telah dikeluarkan.[121]
Sikap inilah yang dikhawatirkan Nabi saw. mendominasi sikapnya pada saat ia diberikan jabatan. Hal tersebut dapat dipahami dari teks tersebut yang melarangnya menjadi pejabat, meskipun rakyat atau anak buahnya hanya dua orang saja (لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ).
Al-Qurt}ubiy sebagaimana yang dikutip al-Sanadiy ketika menjelaskan kalimat إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا mengatakan bahwa Abu> Z|arr lemah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai ami>r/pejabat, seperti menjaga kemaslahatan rakyatnya, baik yang terkait dengan urusan duniawi maupun urusan ukhrawi dikarenakan sikapnya yang zuhud dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang hina dibanding akhirat.[122]
Oleh karena itu, Nabi saw. senantiasa mengangkat Kha>lid bin al-Wali>d selaku panglima perang sejak ia bergabung dalam Islam, karena kemampuannya dalam berperang sehingga Nabi saw. pernah berkata: Sesungguhnya Kha>lid adalah pedang yang menjadi kunci Allah terhadap orang-orang musyrik,[123] padahal pada sisi yang lain, Kha>lid sering kali melakukan kesalahan yang tidak dapat dibenarkan oleh Nabi saw., bahkan Nabi saw. pernah berdoa:     
اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ.[124]
Artinya:
Ya Allah, sungguh aku terbebas dari apa yang dilakukan Kha>lid bin al-Wali>d.[125]
Di antara indikator seseorang tidak mempunyai integritas adalah karena usianya masih sangat belia atau terlalu tua atau karena bodoh. Oleh karena itu, Nabi saw. mengingatkan umatnya untuk tidak mengangkat seseorang yang sudah berusia 70 tahun atau masih anak-anak atau karena bodoh.[126]
Logikanya adalah seseorang yang masih belia tentu ia sangat kesusahan dalam melaksanakan tugasnya atau bisa jadi karena belum mengetahuinya karena pengalaman dan fikiran yang masih sangat terbatas, sementara orang yang terlalu tua dikhawatirkan lupa terhadap apa yang dikatakan atau dikerjakan atau tidak bisa lagi memikirkan masalah-masalah yang rumit atau masalah yang terlalu banyak yang semuanya membutuhkan pemikiran yang dalam dan fisik yang prima, sedangkan orang bodoh tidak mengetahui sesuatu yang bersifat politik, baik terkait agama maupun dunia, sehingga bisa jadi ia diperalat orang-orang yang ingin melakukan kazaliman,[127] bahkan Allah swt. menyuruh orang adil untuk mencatat transaksi yang dilakukan oleh orang bodoh, orang lemah dan orang tidak mampu.[128]     
c.       Hadis tentang kebijakan politis
Dalam sebuah urusan-urusan yang sangat urgen, seseorang terkadang melakukan hal-hal yang bersifat kebijakan politis, dengan sedikit mengabaikan faktor profesionalitas dan integritas. Hal tersebut dilakukan jika ada hal yang lebih besar kemaslahatannya untuk kepentingan halayak banyak, bukan kepentingan individu atau golongan tertentu.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengangkat Usa>mah bin Zaid padahal usianya masih sangat muda yaitu 18 tahun, sementara yang lain masih banyak yang lebih profesional dan mempunyai kemampuan yang lebih.
Pengangkatan Usa>mah kemudian dikecam oleh banyak sahabat karena mereka melihat sisi luarnya, sementara Nabi saw. melihat sisi yang lebih jauh lagi. Para sahabat melihat bahwa Usa>mah masih sangat muda dan ia seorang anak dari mantan budak, meskipun sangat dekat dengan Nabi saw. sementara Nabi saw. melihat bakat Usa>mah yang terpendam. Hal tersebut dapat dilihat dari hadisnya:          
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَطْعُنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعُنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ.[129]
Artinya:
Nabi saw. mengutus satu pasukan dan mengangkat Usa>mah bin Zaid sebagai pemimpin mereka. Lalu sebagian orang ada yang mencela kepemimpinannya, maka Nabi saw. bersabda: Kalian mencela kepemimpinannya? sungguh sebelum ini kalian pernah pula mencela kepemimpinan ayahnya. Demi Allah, sungguh dia patut memegang kepemimpinan karena dia adalah manusia yang paling aku cintai dan sekarang, (Usa>mah) adalah manusia yang paling aku cintai setelah (ayah)-nya.
Ungkapan Nabi saw. وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ (demi Allah, dia tercipta untuk menjadi pemimpin). Di samping bakatnya sebagai seorang ami>r, Nabi saw. juga mengirim pasukan ke tempat di mana ayahnya tewas.[130] Dapat dibayangkan jika seseorang dikirim ke tempat di mana ayahnya wafat, maka motivasi untuk menang dapat berlipatganda sebagai bentuk bakti anak terhadap ayahnya, sekaligus memperlihatkan kemampuannya.
Model pengangkatan Usa>mah sebenarnya juga pernah dilakukan Nabi saw. kepada ‘Amar bin al-‘A<s} dalam perang Z|a>t al-Sala>sil[131] yang terjadi setelah perang Mu’tah.[132] Pengangkatan ‘Amar tidak dapat dilepaskan dari medan yang dituju, yaitu Z|a>t al-Sala>sil. Penduduknya mayoritas adalah paman-paman ‘Amar.[133] Dengan mengirim ‘Amar, Rasulullah saw. ingin melakukan diplomasi dengan pendekatan kekeluargaan sehingga yang muncul bukan perang fisik, akan tetapi perdamaian.
Dengan demikian, penting bagi seorang pejabat memperhatikan setiap jabatan agar diberikan kepada orang yang paling dibutuhkan. Misalnya, jika ada dua orang yang satu lebih dominan amanahnya, sedangkan yang lain lebih dominan kemampuannya maka yang didahulukan adalah orang yang paling dibutuhkan pada posisi tersebut dan paling sedikit mudaratnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Abu> Bakar al-S{iddi>q dan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang berbeda dalam memposisikan Kha>lid bin al-Wali>d. Abu> Bakar tetap mempertahankan Kha>lid sebagai panglima perang dalam berbagai perang pada masanya, meskipun Kha>lid terkadang melakukan kesalahan. Sementara ‘Umar ketika terpilih menjadi khalifah, ia mengganti Kha>lid dengan Abu> ‘Ubaidah bin al-Jarra>h}.
Sikap keduanya berbeda karena memang karakter keduanya juga berbeda. Abu> Bakar terkenal kalem atau lembut maka sewajarnya jika dia membutuhkan panglima yang sedikit tegas, seperti Kha>lid. Sementara ‘Umar mempunyai karakter yang tegas dan sama dengan Kha>lid, sehigga dikhawatirkan kebijakan-kebijakan terlalu tegas yang pada akhirnya tidak terjadi i‘tida>l atau tengah-tengah.[134]
  1. Pemahaman hadis tentang bentuk-bentuk nepotisme
a.       Hadis tentang dugaan nepotisme pada golongan
Praktek nepotisme terhadap satu golongan yang dimaksud dalam beragam matan hadis yang telah dikemukakan terdahulu adalah masalah pembagian harta rampasan perang yang hanya diperuntukkan kepada kaum tertentu, seperti kaum mu’allaf. Sementara itu, yang lainnya misalnya segolongan sahabat Nabi saw. dari kaum Ans}a>r tidak mendapatkan bagian dari harta rampasan perang.
Hal tersebut terekam dalam hadis Nabi saw.:
لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا فَكَأَنَّهُمْ وَجَدُوا إِذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ فَخَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ لَوْ شِئْتُمْ قُلْتُمْ جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا أَتَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَذْهَبُونَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رِحَالِكُمْ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ الْأَنْصَارِ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا وَشِعْبًا لَسَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ وَشِعْبَهَا الْأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[135]
Artinya:
Ketika Allah memberi Rasul-Nya saw. rampasan (fa’iy) pada perang H{unain, beliau membagi rampasan itu untuk orang-orang yang hatinya masih perlu ditarbiyah (mu’allaf), dan beliau sama sekali tidak memberi bagian sahabat Anshar. Rupanya sahabat Anshar ini emosi karena tidak memperoleh bagian sebagaimana yang lain memperolehnya. Maka kemudian Rasulullah menyampaikan pidato: Hadirin kaum Anshar, bukankah aku dahulu menjumpai kalian dalam keadaan sesat lantas Allah memberi kalian petunjuk dengan perantaraanku? dahulu kalian dalam keadaan terpecah-belah lantas Allah mendamaikan kalian dengan perantaraanku? dan kalian dalam keadaan miskin lantas Allah mengayakan kalian dengan perantaraanku? Setiap kali Nabi menyampaikan sesuatu, mereka jawab; Allah dan rasul-Nya lebih terpercaya. Beliau meneruskan: Lantas alasan apa yang menghalangi kalian menerima Rasulullah saw.? Kata Zaid, setiap kali Rasulullah mengatakan sesuatu mereka jawab; Allah dan rasul-Nya lebih terpercaya! Kata Nabi: Silahkan kalian mengatakan; Anda datang kepada kami dengan demikian dan demikian. Tidakkah kalian puas manusia membawa kambing dan unta, sedang kalian membawa Nabi saw. ke persinggahan kalian? kalaulah bukan karena hijrah, aku pasti menjadi orang Anshar, kalaulah manusia mengarungi sebuah lembah dan lereng, niscaya aku mengarungi lembah dan lereng Anshar. Anshar adalah pakaian luar -maksudnya primer dan utama- sedang manusia lain hanyalah pakaian dalam -maksudnya sekunder, kurang utama- sepeninggalku, akan kalian temui sikap-sikap egoistis dan individualistis, maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku di telaga.
Hadis di atas memberikan informasi tentang sikap nepotisme Nabi saw. dalam pembagian harta rampasan perang.[136] Harta rampasan tersebut hanya diperuntukkan kepada golongan muallaf. Hal ini tergambar dari potongan matan hadis sebagai berikut;
لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا...[137]
Artinya:
Ketika Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk membagi harta rampasan dari hasil perang H{unain, beliau membagikannya kepada orang-orang mu’allaf. Sementara itu, kaum Ans}a>r tidak mendapatkan bagian sedikit pun.
Secara tekstual, matan hadis di atas menunjukkan sikap nepotisme yang dipraktekkan oleh Nabi saw. yang ditujukan hanya kepada kaum mu’allaf sedangkan  kaum Ans}a>r seakan-akan tidak diperhatikan keberadaannya.
Al-Sya>fi‘iy sebagaimana yang dikutip oleh Muh}ammad Ami>n al-Kurdy menyatakan bahwa al-mu’allaf dapat diklasifikasi dalam empat kelompok; a) Orang yang baru masuk Islam, dan imannya belum teguh, b) Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dengan harapan kalau  ia diberi zakat, akan mempengaruhi kaum lain untuk memeluk Islam, c) Orang Islam yang berpengaruh terhadap orang kafir, d) Orang yang menolak kejahatan.7 Klasifikasi yang dikemukakan al-Sya>fi‘iy tersebut, jika dikaitkan dengan matan hadis, maka batasan yang dapat diterima adalah sebagaimana yang termaktub dalam point 1. Muallaf adalah orang yang baru masuk Islam, dan imannya belum teguh. Dinyatakan demikian, karena batasan tersebut sesuai dengan syarah hadis yang menyatakan bahwa المؤلفة قلوبهم هنا ناس حدثوا العهد بالإسلام.[138] al-Mu’allaf qulu>buhum dalam matan hadis di atas adalah mereka yang tergolong baru memeluk agama Islam.[139]
Sementara pihak yang dimaksud orang-orang Ans}a>r di sini adalah umat Islam yang menetap di Madinah dan menerima kedatangan Nabi saw. beserta sahabatnya dari Mekah ketika hijrah.[140]
Sehubungan dengan hadis yang dikaji ini, mengapa Nabi saw. terkesan tega tidak memberikan harta rampasan perang ketika terjadi perang H{unain bagi kaum Ans}a>r, padahal mereka adalah penopang utama bagi Nabi saw. dalam mengembangkan Islam.
Oleh karena itu, sebagian kaum Ans}a>r menganggap bahwa perilaku Nabi saw. terkesan bersikap nepotisme. Karena demikian, maka muncul konfirmasi dari kaum Ans}a>r. Mereka menganggap bahwa kami dianaktirikan. Untuk mengantisipasi keadaan yang demikian, maka Nabi saw. mangadakan dialog dengan tokoh-tokoh kaum Ans}a>r lalu bersabda:
يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي...[141]
Artinya:
(Nabi saw. bersabda): “Wahai pemuka Ans}a>r, saya melihat kalian dalam kesesatan dan Allah memberikan kalian petunjuk karena aku, saya melihat kalian bercerai berai dan Allah menyatukan kalian karena aku, saya melihat kalian dalam kemiskinan dan Allah menganugerahkan kekayaan kepada kalian karena aku.
Jawaban Nabi saw. tersebut sangat arif dan bijaksana. Potongan hadis tersebut dapat dipahami bahwa oarang-orang Ans}a>r telah diberikan materi atau kekayaan yang cukup, sedangkan orang-orang mu’allaf masih dalam kemiskinan. Karenanya, sangat wajar jika Nabi saw. memperuntukan harta tersebut kepada oraang-orang mu’allaf.
Atas jawaban Nabi saw. di atas, kaum Ans}a>r kembali menjawab; قالوا الله ورسوله أمن (kami percaya kepada Allah dan Rasul-Nya). Jawaban kaum Ans}a>r ini menandakan bahwa mereka menerima ketetapan Nabi saw. dengan penuh keimanan. Maksudnya, mereka merelakan harta rampasan perang tersebut diperoleh oleh kaum mu’allaf.
Berdasarkan teks hadis di atas, dapat dipahami bahwa pada mulanya kaum Ans}a>r menganggap Nabi saw. bersikap nepotisme dalam arti negatif. Akan tetapi, setelah mendapat jawaban dari Nabi saw. sendiri, barulah mereka sadar bahwa Nabi saw. bersikap nepotisme dalam arti yang positif. Dengan demikian, sikap nepotisme yang dipraktekkan Nabi saw.  jauh beda dengan sikap nepotisme yang telah menjadi perbincangan publik ini.
Pada akhir matan hadis, Nabi saw. kembali memberikan ultimatum bahwa;
....إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[142]
Artinya:
Sungguh kalian akan mendapatkan pemimpin sesudahku yang bersikap nepotisme, maka bersabarlah niscya engkau menemukanku di telaga.
Pernyataan Nabi saw. di atas secara eksplisit mengandung makna bahwa suatu saat nanti pasti ditemukan pemimpin yang bersikap mementingkan diri sendiri atau mementingkan golongannya saja. Dalam keadaan yang demikian ini, Nabi saw. menganjurkan kepada umatnya untuk tetap bersabar.
Dalam kasus yang lain, Nabi saw. juga terkesan melakukan hal yang terbalik dengan mengutamakan kaum Ans}a>r dan mengacuhkan kaum Muha>jirin. Oleh karen itu, kaum Ans}a>r tidak rela jika Nabi saw. tidak memberikan hak yang sama kepada mereka. Hal tersebut terungkap dalam hadis tentang dugaan nepotisme dalam pembagian harta negeri Bah{rain:
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَنْصَارَ لِيَكْتُبَ لَهُمْ بِالْبَحْرَيْنِ فَقَالُوا لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَكْتُبَ لِإِخْوَانِنَا مِنْ قُرَيْشٍ بِمِثْلِهَا فَقَالَ ذَاكَ لَهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ عَلَى ذَلِكَ يَقُولُونَ لَهُ قَالَ فَإِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.[143]
Artinya:
Nabi saw. memanggil kaum Ans}a>r untuk menetapkan bagian mereka (harta fa’iy) negeri Bah{rain, maka mereka berkata; Tidak, demi Allah, hingga tuan menetapkan juga (bagian yang sama) buat saudara-saudara kami dari Quraisy. Maka beliau jawab ucapan mereka sekehendak Allah. Selanjutnya beliau bersabda: Kelak kalian akan melihat setelahku sikap-sikap egoism, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga al-h}aud}.
b.      Hadis tentang nepotisme pada jabatan
Salah satu praktek nepotisme yang dimaksudkan dalam beberapa teks hadis adalah pengangkatan pegawai pada suatu jabatan di masa Nabi saw.:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا وَلَمْ تَسْتَعْمِلْنِي قَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي.[144]
Artinya:
Ada seseorang yang menemui Nabi saw. dan berujar; Wahai Rasulullah, engkau mempekerjakan si fulan namun engkau tidak mempekerjakan aku? maka Nabi menjawab; kalian sepeninggalku akan melihat sifat-sifat egoisme, maka bersabarlah hingga kalian menemuiku.
Teks hadis di atas menginformasikan bahwa Nabi saw. telah mengangkat pegawai pada satu jabatan, sementara itu seseorang dari kaum Ans}a>r merasa mampu untuk jabatan tersebut. Karenanya, ia mengadu kepada Nabi saw.: Kenapa engkau tidak mengangkatku menjadi pegawai sebagaimana si fulan?.
Dalam berbagai kitab syarah hadis, diketahui bahwa orang dari kaum Ans}a>r yang mengadu kepada Nabi saw. adalah Usaid bin H{ud}air.19 Informasi lain yang ditemukan menyebutkan ia bernama Usaid al-Ra>wiy.20 Akan tetapi, dua nama tersebut tetap menunjukkan satu orang, yakni, Usaid bin H{ud}air dan biasa juga disebut Usaid bin al-Ra>wiy.21 Namun, nama yang terkenal adalah sebutan nama Usaid bin H{ud{air. Yang melatarbelakangi Usaid bin H{ud{air sehingga melontarkan pernyataan di atas adalah; karena ia melihat Nabi saw. bersikap nepotisme terhadap seseorang pada satu jabatan.
Pertanyaan tersebut terungkap dalam kalimat “ألا تستعملني كما استعملت فلان “yang bermakna أي الا تجعلني عاملا علي الصدق أو علي بلد [145]. Maksudnya, Usaid bin H{ud}air meminta kepada Nabi saw. agar ia diangkat menjadi gubernur pada suatu daerah.
Keinginan Usaid bin H{ud}air untuk diangkat pada suatu jabatan yang ia inginkan, karena Nabi saw. telah mengangkat seseorang dalam suatu jabatan sebagaimana yang termaktub dalam suatu jabatan dalam kalimat كما استعملت فلانا. Maksudnya, Nabi saw. telah mengangkat si fulan yakni ‘Amr bin al-‘A<s}.[146]
Nabi saw. kemudian meredam sikap ambisius yang dikemukakan Usaid bin H{ud{air untuk diangkat dalam suatu jabatan. Secara arif dan bijaksana Nabi saw. bersabda ; إنكم ستلقون بعدي أثرة فاصبروا حتى تلقوني على الحوض
Sabda Nabi saw. tersebut dapat dikontekstulkan sebagai upaya penolakan halus atas permintaan Usaid bin H{ud}air.
  1. Pemahaman hadis tentang hal-hal yang mencegah terjadinya nepotisme
a.       Keimanan
Nepotisme adalah sebuah kejahatan karena merampas hak orang lain dan memberikannya kepada kerabat atau sanak famili yang tidak layak mendapatkannya. Salah satu pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan adalah karena tidak memiliki iman pada saat melakukan hal tersebut. Karena dengan iman, setiap orang meyakini bahwa ia selalu diawasi oleh Yang Mahakuasa, sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang negatif apalagi dosa besar. Hal itu sesuai dengan Sabda Rasulullah saw.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَزْنِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَغُلُّ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ حِينَ يَنْتَهِبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.[147]
Artinya:
Dari Abu> Hurairah berkata; Bahwasanya Nabi saw. bersabda: Tidak disebut sebagai mukmin seorang pencuri ketika ia mencuri, tidaklah disebut sebagai mukmin seorang pezina ketika ia berzina, tidaklah disebut sebagai mukmin seorang peminum khamar ketika ia meminum khamar, tidaklah disebut sebagai mukmin seorang pencuri ghanimah ketika melakukannya, dan tidaklah disebut sebagai mukmin seorang perampok ketika ia merampok.
Meskipun ulama beragam pendapat dalam menanggapi hadis ini, akan tetapi paling tidak ada sebuah indikasi kuat bahwa para pelaku kejahatan, khususnya kejahatan yang berdampak besar dan luas tidak memiliki iman atau paling tidak keimanannya dipertanyakan pada saat dia melakukan kejahatan tersebut.[148]
Keimanan yang sempurna akan mendorong seseorang untuk melakukan apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Maka seseorang tidak mungkin melakukan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban kecuali karena dorongan hawa nafsu untuk melakukannya dan pada saat yang sama keimanan terkalahkan oleh hawa nafsu.
Seandainya seseorang paham dan mengerti akibat dari kemaksiatan niscaya dia tidak akan melakukannya. Begitu juga jika seseorang menyadari kemaksiatan ketika melakukannya maka niscaya dia akan berhenti melakukannya.         
Potongan teks hadis وَلَا يَغُلُّ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ dapat dipahami bahwa tidak mungkin bersamaan kemaksiatan kepada Allah dan keimanan kepada-Nya. Meskipun demikian, ulama berbeda pendapat tentang apakah keimanannya hilang ataukah keimanannya tidak sempurna atau pujian tentang keimanan hilang darinya.[149] Yang pasti bahwa seseorang tidak akan melakukan kemaksiatan jika saja keimanannya sempurna, karena pada saat itulah akal terkalahkan dan terkikis.     


b.      Tidak fanatik
Salah satu cara untuk menghindarkan diri terhadap sikap nepotisme adalah menghilangkan fanatisme dalam diri masing-masing, sebab seseorang terkadang mengangkat atau memberikan keutungan kepada keluarga karena dorongan fanatisme yang berlebihan kepada keluarga atau sanak famili.
Dengan demikian, setiap orang diharuskan membebaskan diri dari fanatisme golongan, kelompok, suku, daerah dan keluarga. Oleh karena itu, Nabi saw. mengingatkan seseorang untuk menghidarinya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا مِنْ عَصَابَةٍ وَفِي تِلْكَ الْعَصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى للهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ الْمُؤْمِنِيْنَ.[150]
Artinya:
Dari Ibn ‘Abba>s r.a. berkata: Rasululla>h saw. bersabda: Barang siapa yang mengangkat seseorang karena dasar fanatisme, padahal ada orang yang lebih diridai dari padanya maka sungguh ia telah berkhianat kepada Allah, berkhianat kepada Rasululla>h dan berkhianat kepada orang-orang mukmin.
Sebenarnya fanatik penting dalam kehidupan beragama dan berbangsa, namun yang penting dihilangkan adalah fanatisme yang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar, karena hal itu merupakan perbuatan jahiliyah.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa setiap individu berkewajiban menolong saudaranya dengan pertolongan yang benar. Artinya, pertolongan terhadap saudara yang melakukan kezaliman adalah mencegahnya melakukan kezaliman, sedangkan saudara yang dizalimi ditolong dengan menghindarkannya dari orang zalim tersebut.[151]     
c.       Tidak ambisius
Salah satu cara menghindari sikap nepotisme adalah dengan menghilangkan sifat ambisi dalam diri masing-masing. Ambisius mendapatkan jabatan atau mempertahankannya akan mendorong seseorang untuk melakukan segala cara untuk mencapai tujuan. Salah satunya dengan cara nepotisme dengan mengangkat keluarganya untuk menduduki posisi strategis. Oleh karena itu, Nabi saw. sangat enggan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَهُ فَقَالَ إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ.[152]
Artinya:
Dari Abu> Mu>sa> ra. mengatakan; aku menemui Nabi saw. bersama dua orang kaumku, lantas satu diantara kedua orang itu mengatakan; Jadikanlah kami pejabat ya Rasulullah? orang kedua juga mengatakan yang sama. Secara spontan Rasulullah saw. bersabda; Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya, tidak juga kepada orang yang ambisi terhadapnya.
Hadis ini menjadi petunjuk bahwa seseorang yang mengambil sebuah jabatan dan menggoda dirinya bahwa dia mampu melaksanakannya pada umumnya dia akan gagal melakukannya.
Ungkapan Nabi saw. dengan kata al-h}irs} menjadi indikator bahwa seseorang yang menjalankan jabatan ketika khawatir akan punah atau semakin rusak bagaikan orang yang diberikan jabatan tanpa meminta karena saat itu keinginan dan ambisi menjadi hilang.
Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah saw. mengingatkan setiap orang agar dalam memperoleh jabatan sekali-kali tidak melalui cara-cara lobi, terlebih lagi jika mengeluarkan uang demi mendapatkan jabatan, sebab hal itu sangat dikecam dan ditentang oleh Nabi saw., bahkan orang-orang yang melakukannya tidak akan mendapatkan bantuan dan pertolongan dari Allah swt., sebagaimana pesan Nabi saw. kepada ‘Abd al-Rah}ma>n bin Samurah:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.[153]
Artinya:
Dari ‘Abd al-Rah}ma>n bin Samurah mengatakan, Nabi saw. berkata kepadaku: "Wahai ‘Abd al-Rah}ma>n bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik".
Hadis memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa seseorang yang ahli dalam bidang tertentu tidak perlu mencari jabatan, akan tetapi biarkan jabatan tersebut yang datang menghampirinya. oleh karena itu, setiap lembaga atau organisasi, baik pemerintahan atau swasta seharusnya mencari orang-orang yang mempunyai kompetensi, profesionalitas dan integritas untuk menduduki jabatan-jabatan sesuai dengan keahliannya.     
Dengan demikian, seseorang yang mempunyai kemampuan dan bertujuan untuk memberikan manfaat kepada Islam dan orang Islam atau halayak umum maka meminta jabatan tidaklah menjadi larangan, seperti yang dilakukan Nabi Yu>suf as. dalam QS. Yu>suf/12: 55:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55)
Artinya:
Yu>suf berkata: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.[154]
Nabi Yu>suf as. meminta jabatan tersebut atas dasar demi kemaslahatan, memberi petunjuk kepada manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Ucapan Nabi Yu>suf bahwa dia mampu bukan tanpa bukti. Di antara buktinya adalah kemampuannya menjaga amanah dengan terbebas dari segala tipu daya dan kejahatan, padahal dia mempunyai kesempatan yang sangat besar. Di samping itu, dia mempunyai sifat yang sudah dikenal masyarakat, bahkan dia rela berkorban dengan masuk penjara demi menghindari fitnah yang lebih besar dan demi menjaga wibawa negara.[155]      
Dengan demikian, Ibnu ‘Abd al-Sala>m memberikan dua syarat bagi seseorang yang ingin menjadi pejabat, yaitu ilmu pengetahuan atau profesionalitas dan kemampuan mendatangkan kemaslahatan dan meninggalkan kerusakan. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, menurutnya haram menduduki sebuah jabatan apapun.[156]   
d.      Sifat malu
Kejahatan yang terjadi di seluruh pelosok dunia tidak lepas dari kemorosotan atau ketidakadaan akhlak. Indonesia misalnya terjadi peningkatan kejahatan itu karena akhlak sudah amat langka ditemukan pada penduduk atau warga Negara. Oleh karena itu, keberhasilan dakwah Rasulullah karena menggunakan pendekatan akhlak sehingga Nabi mengatakan “Aku diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak”[157]. Di samping itu, pejabat yang tidak punya malu akan melakukan apapun sesuka hatinya. Hal itu sesuai dengan pesan Nabi saw.:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ.[158]
Artinya:
Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya diantara yang didapatkan manusia dari perkataan (yang disepakati) para Nabi adalah; Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.
Dalam menjelaskan hadis di atas, ulama menggunakan dua takwil. Pertama; Jika kamu tidak termasuk orang yang malu melakukan kejahatan yang dianggap aib oleh orang baik dan mayoritas manusia maka lakukanlah sesukamu. Artinya, hadis ini, meskipun menggunakan fi‘l al-amr akan tetapi ia bersifat celaan atau dampratan. Kedua; jika apa yang kamu lakukan tidak termasuk pekerjaan yang dianggap aib atau perbuatan memalukan maka lakukanlah sesukamu. Artinya, hadis di atas sebagai izin bagi seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak dianggap aib.[159]            
Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. menegur seorang sahabat Ans}a>r agar membiarkan saudaranya mempunyai sifat malu dengan sabdanya:
دَعْهُ؟ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ.
Artinya:
Biarkanlah dia karena malu bagian dari iman.
Sebagian orang menyangsikan makna malu dalam pengaplikasiannya. Seorang terkadang meninggalkan kewajiban amr ma‘ru>f nahy munkar dengan alasan malu. Terkadang seorang tidak menyampaikan kebenaran karena alasan malu. Ibn al-S}ala>h} dan ulama lainnya menjelaskan bahwa sikap semacam itu bukanlah sifat malu yang sebenarnya, akan tetapi adalah ketidakmampuan, kelamahan dan kerendahan. Sikap semacam itu sering dikatakan sifat malu oleh masyarakat karena ada kemiripan dengan sifat malu, karena sifat yang sejati adalah sifat yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan jelek dan mencegahnya sembrono terhadap hak-hak orang lain.[160]        
Malu terhadap Allah swt. akan mencegah seseorang untuk melakukan kejelekan yang bersifat agama, sedangkan malu terhadap manusia akan mencegah dirinya melakukan kejelekan yang bersifat etika atau kebiasaan, sehingga jika sifat malu telah hilang dari seseorang maka dirinya tidak peduli lagi terhadap apa saja yang dilakukannya.
Di antara akhlak yang tidak terpuji adalah tidak malu meminta jabatan padahal dia tidak layak untuk mendudukinya, sebab orang yang meminta atau menginginkan jabatan tentu memiliki motivasi atau tujuan-tujuan tertentu yang dapat merusak tujuan utama dari sebuah jabatan yaitu kemaslahatan kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, bukan terbatas kepada keluarga semata.
  1. Pemahaman hadis tentang dampak nepotisme
Pemerintahan yang baik dan amanah dalam pandangan hadis sesuai dengan harapan al-Qur’an dan hadis Nabi saw. adalah pemerintahan yang mampu memenuhi hak-hak segenap warga dan menegakkan keadilan di antara mereka.[161] Oleh karena itu, pemerintahan yang menjalankan penyelewengan akan berdampak dalam kehidupan, baik dampak duniawi maupun dalam ukhrawi.
Salah satu penyelewengan yang dapat dilakukan oleh para pejabat adalah melakukan nepotisme. Di antara dampak yang akan dirasakan oleh orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis nabi sebagai berikut:
a.       Dampak duniawi
Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh nepotisme adalah tersebarnya kerusakan di tengah-tengah masyarakat, terjadinya kekacauan aturan agama dan dunia hingga akan tampak dengan jelas kerusakan, baik dalam aspek keamanan, politik, akhlak karena amanah telah sirna dari para pemangku jabatan, hingga seakan-akan terjadi kiamat. Hal tersebut tergambar dalam sabda Nabi saw.:   
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.[162]
Artinya:
Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat. Orang itu bertanya: Bagaimana hilangnya amanat itu? Nabi saw. menjawab: Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat.
Kata الساعة bukan semata-mata diartikan sebagai hari kiamat, akan tetapi itu bisa jadi merupakan perumpamaan tentang sebuah kehancuran, kecarut-marutan, kebodohan yang merajalela, kelamahan Islam,  ketidakmampuan orang-orang yang professional dan kompoten untuk menegakkan kebenaran dan merealisasikannnya dalam kehidupan dunia, laksana hari kiamat yang dahsyat.[163]
Tidak dapat dibayangkan jika urusan suatu kaum diberikan kepada orang yang bukan ahlinya. Hak-hak akan sirna, kemaslahatan umat menjadi terbengkalai, tersebarnya fitnah di mana-mana, kekalutan akan menghantui masyarakat karena semua aturan tidak lagi berjalan sebagai mestinya.  
Nepotisme juga mempunyai dampak buruk bagi kehidupan sendiri maupun kehidupan orang lain. Dampak buruk bagi diri pelaku nepotisme yaitu orang tersebut akan dikucilkan karena semua orang tahu kalau dia tidak profesional dalam melaksanakan tugas yang dia emban, bahkan bisa jadi jabatannya diturunkan dan sulit dipercaya kembali oleh orang lain, sehingga nama baik dirinya akan tercemar. 
b.      Dampak ukhrawi
Dampak maksiat yang dilakukan seseorang sangatlah dahsyat, sehingga seseorang akan disiksa dengan siksaan yang dahsyat, yaitu berpaling dari agama Allah dan berbagai macam siksaan yang diberikan. Di antara dampak nepotisme adalah:    
1)      Laknat
Salah satu sanksi yang diperoleh oleh pelaku nepotisme adalah laknat Allah swt. karena telah memberikan sesuatu bukan pada orang yang berhak sehingga dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menyengsarakan khalayak, merugikan rakyat, merugikan perekonomian dan manajemen Negara, merendahkan martabat manusia dan bangsa di mata Allah maupun bangsa-bangsa lain di dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka hadis melarangnya dan mengancam pelakunya dengan laknat, tidak diterima segala amal baiknya dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam api neraka, sebagaimana tindakan preventif ketika Allah melarang mendekati perbuatan zina.
مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ وَمَنْ أَعْطَى أَحَدًا حِمَى اللَّهِ فَقَدْ انْتَهَكَ فِي حِمَى اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ أَوْ قَالَ تَبَرَّأَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[164]
Artinya:
Barangsiapa memimpin suatu urusan kaum muslimin, kemudian mengangkat seseorang untuk mereka atas dasar kecintaan, maka baginya laknat dari Allah, dan Allah tidak akan menerima amal perbuatan wajibnya dan juga amal perbuatan nafilah darinya, sampai dia memasukkannya ke dalam neraka jahannam, dan barangsiapa memberikan kepada seseorang batasan Allah, kemudian melanggar sesuatu di dalam batasan Allah tanpa haknya, maka baginya laknat dari Allah, atau dia berkata: terlepaslah darinya jaminan Allah.
Laknat bukan sekedar diartikan sebagai siksaan yang diberikan kepada orang yang melakukan kemaksiatan atas dosa-dosanya dan dijauhkan dari surga sejak awal, akan tetapi laknat juga dapat diartikan sebagai bentuk Allah swt. menjauhkan dari hamba-Nya dari rahmat Allah swt.
2)      Diharamkan surga
Pejabat yang melakukan penipuan seperti nepotisme akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai konsekwensi dari kutukan Allah swt. Hal itu terjadi, karena mereka tidak mengindahkan perintah-perintah Allah dengan melakukan kezaliman terhadap orang lain.
Jika seorang pejabat yang telah diberikan amanah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik maka ia telah melakukan khianat dan penipuan sehingga layak masuk ke dalam api neraka. Hal tersebut tergambar dalam sabdanya: 
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.[165]
Artinya:
Tidaklah seorang pemimpin memimpin masyarakat muslimin, lantas dia meninggal dalam keadaan menipu mereka, selain Allah mengharamkan surga baginya.
Di antara bentuk-bentuk penipuan seorang pejabat terhadap rakyatnya adalah melakukan kezaliman dengan lebih mengutamakan keluarganya, padahal masih ada orang lain yang lebih membutuhkan, bahkan ancaman bagi pelakunya sama dengan ancaman yang diberikan kepada orang kafir, yakni haram masuk surga.[166]
Makna yang tercantum dalam kalimat حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ yakni tidak masuk ke dalam surga bersama orang-orang yang selamat atau bisa jadi maknanya adalah mustahil bagi pelakunya masuk ke dalam surga atau ini merupakan ancaman keras tentang su>’ al-kha>timah.[167]      
3)      Penyesalan
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa jabatan bukanlah hadiah yang harus dirayakan, tetapi ia adalah amanah yang harus dilaksanakan dan memberikannya kepada ahlinya. Hal tersebut dapat dilihat pada sabdanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.[168]
Artinya:
Pada hari kiamat jabatan adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.
Oleh karena itu, seorang yang menerima jabatan, padahal dia bukan ahlinya akan menjadi penyesalan besar kelak di akhirat. Oleh karena itu, seorang harus mendapatkan jabatan sesuai dengan ketentuan atas asas keilmuan, keaslian, bukan atas asas kekuasaan dan kezaliman. Oleh karena itu, bagi orang yang cerdas tidak akan mau menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan, bahkan al-Nawawiy berpendapat bahwa hadis di atas menjadi dasar pokok dalam menjauhi jabatan, terlebih lagi bagi orang yang tidak kompoten.[169]       
4)      Tanggungjawab
Sebagaimana kejahatan-kejahatan yang lain, nepotisme juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Mahakuasa atas kejahatan yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban itu akan disesuaikan dengan kejahatan yang telah dilakukan seperti ungkapan hadis Nabi berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[170]
Artinya:
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, maka dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya dan dia akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dia akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya.
Meskipun hadis ini menunjuk pelaku korupsi bukan pelaku nepotisme akan tetapi ada kesamaan di antara keduanya yakni sama-sama menyalahgunakan jabatan untuk melakukan kejahatan. Dengan menelaah hadis di atas, maka sanksi yang akan dirasakan nanti oleh pelaku nepotisme adalah dikalungi kejahatan apa saja yang telah dilakukannya. Semisal pernah memberikan jabatan kepada sanak keluarga, maka jabatan dan isinya akan dikalungkan di lehernya kelak.
Setiap pejabat akan bertanggungjawab terhadap rakyat yang dipimpinnya, maka setiap orang yang mempunyai tanggung jawab maka dia dituntut untuk berlaku adil, tidak memilah-milih rakyatnya berdasarkan pertimbangan lain, dan konsisten menjalankan tugasnya demi meraih kemaslahatan rakyatnya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang dunia.
Dengan demikian, seorang pejabat harus mengedepankan kemaslahatan umum ketimbang kemaslahatan individu atau kelompok, sebab seorang pejabat dianggap sebagai wakil umat dalam mengurus urusan agama dan menjalankan roda kehidupan negara sesuai dengan syariat yang ditetapkan Allah swt. dan rasul-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu, syahwat dan kemaslahat individu, keluarga, suku dan sejenisnya.        


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pemarapan-pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Adapun kualitas hadis yang menjadi obyek naqd al-h}adi>s\ dalam makalah ini dinilai d}a‘i>f karena tidak memenuhi unsur kesahihan hadis. Kelemahan itu terjadi pada sanad, karena salah satu periwayatnya termasuk mubham sehingga ittis}a>l al-sanad tidak terjadi. Di samping itu, Baqiyyah bin al-Wali>d juga dianggap d}a‘i>f jika menerima hadis dari orang yang tidak dikenal, sehinga dapat dipastikan kaidah kesahihan sanad tidak terpenuhi yang pada akhirnya matan juga ikut terpengaruh. Nepotisme secara etimologi adalah kemanakan, sanak keluarga dan orang terdekat sedangkan menurut hadis, nepotisme adalah memberikan jabatan atau tugas apapun kepada orang lain (baik keluarga atau konco-konconya) bukan atas dasar kredibilitas dan kapabilitas serta kemaslahatan dalam mengemban tugas atau jabatannya sehingga dapat menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Hal tersebut dipahami dari kosa kata yang digunakan, yakni المحاباة dan الأثرة.
2.      Karakteristik orang-orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi antara lain adalah tidak adanya profesionalitas atau keahlian pada tugas yang diberikan, tidak adanya intgritas, yakni tidak mampu merealisasikan ide dan fikiran-fikirannya demi kepentingan khalayak banyak dan tidak mempunyai tujuan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, menurut hadis Nabi, nepotisme bisa terjadi jika ketiga hal (kredibilitas, kapabilitas dan kemaslahatan) tidak terwujud dalam pengangkatan atau pemberian jabatan.
3.      Bentuk-bentuk nepotisme dalam hadis dapat dikelompokan dalam  dua bagian besar, yakni nepotisme pada kelompok atau golongan tertentu dan nepotisme pada jabatan. Nepotisme pada kelompok seperti yang dicurigakan kaum Ans}a>r terhadap Rasulullah saw. ketika mengistimewakan orang-orang mu’allaf, atau ketika orang Ans}a>r diberikan bagian dari harta rampasan, akan tetapi orang-orang muhajir tidak diberikan, sehingga orang Ans}a>r menolak menerima pembagian tersebut hingga Muhajirin mendapatkan bagian juga. Sementara nepotisme dalam jabatan dapat terjadi ketika memberikan jabatan kepada orang yang memintanya tanpa memperhatikan kemampuannya atau memberikan kepada orang yang terlalu tua atau kepada anak-anak atau orang-orang bodoh.        
4.      Faktor-faktor yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan nepotisme adalah memiliki keimanan yang bagus sehingga keimanan tersebut dapat mencegahnya melakukan nepotisme, tidak fanatik, sebab fanatisme yang berlebihan akan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh agama, tidak ambisius untuk mendapatkan jabatan, sebab orang yang ambisius berarti dia mempunyai target yang ingin dicapai dan sifat malu, sehingga dirinya dapat menahan diri dari segala yang tidak elok menurut masyarakat.
5.      Semnatara dampak yang akan dirasakan oleh orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi di antaranya adalah kekacauan di dunia dan siksaan di akhirat. Di antara siksaan di akhirat adalah laknat Allah swt. karena telah memberikan sesuatu bukan pada orang yang berhak sehingga dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menyengsarakan khalayak dan merugikan rakyat serta merugikan perekonomian dan manajemen Negara, haram masuk surge atau lebih tepatnya masuk neraka, dan bertanggung jawab atas kejahatannya di akhirat nanti.
B.   Implikasi
Dengan mengkaji hadis-hadis tentang nepotisme dan melihat definisi nepotisme, mengetahui karakteristiknya, bentuk-bentuknya, faktor-faktor yang mencegah terjadinya nepotisme dan dampaknya, baik di dunia maupun di akhirat, maka selayaknya setiap orang paling tidak mampu mengaplikasikan hadis-hadis tersebut dengan cara tidak melakukan nepotisme karena dapat merugikan diri sendiri terlebih lagi orang lain. Dan lebih baiknya lagi jika hadis itu mampu ditularkan kepada anggota keluarga, khususnya keluarga yang kebetulan menjadi pejabat atau menduduki jabatan atau pengaruh di sebuah lembaga.
Jika apa yang dianjurkan atau yang dilarang oleh Rasulullah melalui hadis-hadisnya mampu direalisasikan minimal oleh setiap individu, maka kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan dan kenyamanan layaknya kehidupan surga akan dirasakan di dunia ini meskipun tidak seindah dan semudah di surga kelak.
Akhirnya, makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, siapapun yang menemukan kesalahan penulisan atau kesalahan interpretasi, baik disengaja atau tidak, seyogyanya untuk memperbaiki langsung maupun melalui saran dan kritikan kepada penulis. Semoga makalah bisa berguna, minimal bagi penulis sendiri dan menjadi sebuah amal jariyah yang dicacat di sisi Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemaaf. Amin!.


DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Ainiy, Badr al-Di>n Abu> Muh}ammad Mah}mu>d bin Ah}mad. ‘Umdat al-Qa>riy Syarh} S}ah}i>h{ al-Bukha>riy. t.t.; Da>r al-Fikr, t.th.
Al -‘Ala>iy, Abu> Sa‘i>d bin Khali>l. Ja>mi‘ al-Tah}s}i>l fi> Ah{ka>m al-Mara>sil. Cet. II; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1407 H./1986 M.
Al -‘Asqala>niy, Abu> al-Fad{al Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar. Taqri>b al-Tahz\i>b. Cet. I; Su>riya>: Da>r al-Rasyi>d, 1406 H/1986 M.
------------------------, Lisa>n al-Mi>za>n. Cet. III; Beirut: Muassasah al-A‘lamiy li al-Mat}bu>‘a>t, 1406 H./1986 M.
---------------------, Tahz\i>b al-Tahz\i>b. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.
----------------------, Fath} al-Ba>riy Syarh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.
----------------------, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah. Cet. I; Beirut: Da>r al-Jail, 1412 H.
Al-‘Ijliy, Abu> al-H{asan Ah{mad bin ‘Abdulla>h bin S}a>lih{. Ma‘rifat al-S|iqa>t. Cet. I; al-Madi>nah al-Munawwarah: Maktabat al-Da>r, 1405 H/1985 M.
Al-‘Us\aimi>n, Muh{ammad ibn S}a>lih}. Mus}at}alah} al-h}adi>s\. Cet. IV; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah: Wiza>rah al-Ta‘li>m al-‘A<li>, 1410 H.
Al-Afrīqiy, Muh{ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r. Lisān al-‘Arab. Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.
Ahmad, Arifuddin. Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Makassar: UIN Alauddin, 31 Mei 2007.
-----------------, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Cet. I: Jakarta: Renaisan, 2005 M.
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Cet. I; Jakarta: Hikmah, 2009.
Asa, Noor Faja. “Ahlul Korup wal Jama’ah” Dikutip dari internet. www.kotasantri.com   yang dimuat pada tanggal 27-11-2008, 09:09.   
Al-Ba>jiy, Abu> al-Wali>d Sulaima>n ibn Khalaf ibn Sa‘ad. al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h. Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’, 1406 H./1986 M.
Ba>ju>, Abu> Sufya>n Mus}t}afa>. al-‘Illat wa Ajna>suha> ‘ind al-Muh}addis\i>n. Cet. I; T{ant}a>: Maktabah al-D{iya>’, 1426 H./2005 M.
Al-Bas{riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Sa‘ad. al-T}abaqa>t al-Kubra>. Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, 1968 M.
Al-Bukha>riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>riy. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M.
Al-Buqa>‘iy, Ibra>hi>m bin ‘Umar bin H{asan. Naz}m al-Durar fi Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1995 M.
Al-Da>rimiy, Abu> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n. Sunan al-Da>rimiy. Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 1407 H.
Al-Dahlawiy, ‘Abd al-H}aq bin Saif al-Di>n bin Sa‘dulla>h. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\. Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madinah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li T}iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418 H.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Gie, The Liang. dkk, Ensiklopedi Administrasi. Jakarta: CV. Haji Masabung, 1989.
H{usain, Abu> Luba>bah. al-Jarh} wa al-Ta‘di>l. Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’, 1399 H./1979 M.
Al-Ha>di>, ‘Abd al-Mahdi> ibn ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd. ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta‘di>l Qawa>‘idih wa Aimmatih. Cet. II: Mesir: Ja>mi‘ah al-Azhar, 1419 H./1998 M.
Al-Ha>diy. Abu> Muh}ammad Mahdiy ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd. T}uruq Takhri>j H}adi>s\ Rasulillah saw. diterjemahkan oleh Said Aqil Husain Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar. Metode Takhrij Hadis. Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1994 M. 
Ha>syim, Ah{mad ‘Umar. Qawa>‘id Us}u>l al-H}adi>s\. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1404 H./1984 M.
Al-Hais\amiy, ‘Ali bin Abi> Bakar bin Sulaima>n. Ga>yat al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad. CD ROM al-Maktabat al-Sya>milah.
Hanbal, Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh}ammad bin. Musnad Ah}mad. Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H/1998 M.
Al-Hindiy, ‘Ali bin H{isa>m al-Di>n al-Muttaqiy. Kanz al-‘Umma>l fi Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1989 M.
Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Keshahihan Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
-------------------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Jauziy, Abu> al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n bin. Kasyf al-Musykil min H}adi>s\ al-S}ah}i>h}ain. al-Riya>d}: Da>r al-Nasyr, 1418 H./1997 M.
Khalka>n, Abu> al-‘Abba>s Syams al-Di>n Ah}mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn. Wafaya>t al-A‘ya>n wa Abna>’ Abna>’ al-Zama>n. Beirut: Da>r S}a>dir, 1900 M.
Al-Khat}i>b, Muhammad ‘Ajja>j. Us}u>l al-H}adi>s\. Beirut: Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.
Ma'louf, Louis. Al-Munjid fi al-Lughah. Cet. XII; Beirut: Dar al-Masyriq, 1977.
Al-Mana>wiy, ‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
---------------------, al-Taisir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir. Cet. III; Riyad: Dar al-Nasyr, 1408 H./1988 M.
----------------------, Faid} al-Qadi>r. Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1994 M.
Al-Mizziy, Abu> al-H{ajja>j Yu>suf bin al-Zakiy ‘Abd al-Rah}ma>n. Tuh}fat al-Asyra>f li Ma‘rifat al-At}ra>f. Cet. II; Beirut: al-Maktab al-Isla>miy, 1403 H/1983 M.
--------------------, Tahz\i>b al-Kama>l. Cet. I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1400 H/1980 M.
Mu>sa>, Abu> Muh}ammad Mah{mu>d bin Ah{mad bin. Maga>niy al-Akhba>r. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-Mubarakfuriy, Abu 'Aliy Muhammad 'Abd al-Rahman. Tuhfat al-Ahwadziy liy Syarh al-Turmudziy. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Muslim, Mus}t}afa>. Maba>his\ fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’iy. Cet. I; Dimasyq: Da>r al-Qalam, 1410 H./1989 M.
Al-Naisa>bu>riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin ‘Abdulla>h al-H{a>kim. al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ain. Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H/1990 M.
------------------, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\. Mesir: Maktabah al-Mutanabbi>, t.th.
Al-Naisa>bu>riy, Abu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Naisabu>riy, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn ‘Abdillah ibn Muh{ammad al-H{a>kim. Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\. Mesir: Maktabah al-Mutanabbi>, t.th.
Al-Namariy, Abu> ‘Umar Yu>suf bin ‘Abdulla>h. al-Tamhi>d lima> fi al-Muwat}t}a’ min al-Ma‘a>niy wa al-Asa>ni>d. al-Magrib: Wiza>rat ‘Umu>m al-Awqa>f, 1387 H.
Al-Nasa>iy, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah{mad bin Syu‘aib. Sunan al-Nasa>iy. Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M.
Al-Nasir, Syed Mahmud. Islam, its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi, Islam, Konsepsi dam Sejarahnya. Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994 M.
Nasution, Harun. et. Al. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992 M.
Al-Nawawiy, Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf bin Mura>. Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim. Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.
-------------------, Tah}ri>r Alfa>z} al-Tanbi>h, Lugat al-Fiqh. Cet. I; Damaskus: Da>r al-Qalam, 1408 H.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, t.th..
Al-Qa>riy, Nu>r al-Di>n ‘Ali bin Sult}a>n al-H{arawiy al-Mala> ‘Ali. Mirqa>t al-Mafa>ti>h} Syarh} Misyka>t al-Mas}a>bi>h}. Beirut: Da>r al-Fikr, 1992 M.
Al-Qat}t}a>n, Manna>'. Maba>hi>s| fi> Ulu>m al-Hadi>s\. Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.
Al-Qurt}ubiy, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Ah{mad. al-Ja>mi‘ li Ah{ka>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1405 H./1985 M.
Rasyid, Daud. Hukum tentang Korupsi (09 Agustus 2008) Diakses pada tanggal 26 Desember 2008). 
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali. Tafsi>r al-Mana>r. Mesir: al-Hai’at al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.
Al-S}ala>h}, Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syaira>ziy Ibn. ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Cet. II; al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1973 M.
Al-Sakha>wiy>, Syams al-Di>n Muh}ammad ibn ‘Abd al-Rah{ma>n. Fath} al-Mugi>s\ Syarh} Alfiyah al-H}adi>s\. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.
Salim, H. Abd. Muin. Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistimologis. Pidato Pengukuhan Guru Besar,  Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 28 April 1999.
Al-Sanadiy, Abu> al-H{asan Nu>r al-Di>n bin ‘Abd al-Ha>diy. H{a>syiyah al-Sanadiy ‘ala> al-Nasa>iy. Cet. II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.
Shadily,Hassan. dkk, Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983.
Al-Sijista>niy, Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy‘ats. Sunan Abi> Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Suyu>t}iy, Abu> al-Fad}al ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakar. Syarh} al-Suyu>t}iy li Sunan al-Nasa>iy. Cet. II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.
----------------------, al-Di>ba>j ‘ala> S}ah}i>h} Muslim. Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah, 1416 H./1996 M.
Syahbah, Muh{ammad bin Muh{ammad Abu>. al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s\. t.t.: ‘A<lam al-Ma‘rifah, t.th.
Al-Syaira>zi>, Abu> Ish{a>q. T{abaqa>t al-Fuqaha>’. Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.
---------------, Mugniy al-Muh}ta>j ila> Ma‘rifat Alfa>z} al-Minha>j. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-T{abra>niy, Abu> al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah}mad bin Ayyu>b. Musnad al-Sya>miyyi>n. Cet. I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1405 H./1984 M.
Al-T}ah}h}a>n, Mah}mu>d. Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d. Cet. III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M.
Al-Taha>nawiy, Ah}mad al-‘Us\ma>niy. Qawa>‘id fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\. Cet. II; al-Riya>d{: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1404 H./1984 M.
Al-Taimiy, Abu> H{a>tim Muh{ammad bin H}ibba>n bin Ah{mad. Masya>hir ‘Ulama>’ al-Ams}a>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.
Al-Tami>miy, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H{a>tim al-Ra>ziy. al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l. Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.
---------------, al-S|iqa>t. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.
Taymiyah, Taqiy al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m bin. al-Siya>sah al-Syar‘iyah. Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah: Wiza>rat al-Syu’u>n al-Isla>miyah, 1418 H.
-------------------, Majmu>‘ al-Fata>wa>. Cet. III; t.t.: Da>r al-Wafa>’, 1426 H./2005 M.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Al-Turmuz\iy, Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa>. Sunan al-Turmuz\iy. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999.
Weinsinck, A.J. terj. Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\ al-Nabawiy. Laeden: I.J Brill, 1969 M.
Weinsinck, A.J. terj. Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, Mifta>h{ Kunu>z al-Sunnah. Lahor: Suhail Kedimiy, 1391 H/1941 M.
Wikipedia Ensiklopedi Bebas, Nepotisme. dikutip dati Internet yang dimuat pada tanggal 22 Nopember 2008.
Al-Z|ahabiy, Sya>ms al-Di>n Muh{ammad bin Ah{mad bin ‘Us\ma>n. Siyar A‘la>m al-Nubala>’. Cet. IX; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1413 H/1993 M.
Zaglu>l, Abu> Ha>jir Muh}ammad bin Sa’i>d Basyu>niy. Mausu>‘at At}ra>f al-H{adi>s\ al-Nabawiy. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Zakariya>, Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1423 H./2002 M.
Al-Zuh}ailiy, Wahbah bin Mus}t}afa>. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘at wa al-Manhaj. Cet. II; Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.


Lampiran:
Penjelasan tentang skema sanad
Untuk lebih mempermudah pengetahuan tentang t}abaqa>t al-ra>wi> yang tercantum dalam skema sanad, berikut penjelasannya secara berurutan:
1.        T}abaqah al-s}ah}a>bah yang dijadikan satu tingkatan yang dimulai sejak masa Nabi saw. hingga masa sahabat yang terakhir wafat (110 H.).
2.        T}abaqah kiba>r al-ta>bi‘i>n yaitu ta>bi‘i>n yang paling banyak meriwayatkan hadis dari sahabat dan paling sering bertatap muka dengan mereka.
3.        T}abaqah wust}a> al-ta>bi‘i>n yaitu ta>bi‘i>n yang banyak meriwayatkan hadis dari sahabat dan dari pembesar ta>bi‘i>n.
4.        T}abaqah s}iga>r al-ta>bi‘i>n yaitu ta>bi‘i>n yang paling banyak meriwayatkan hadis dari ta>bi‘i>n dan sedikit sekali bertemu dengan sahabat.
5.        T}abaqah kiba>r atba>‘ al-ta>bi‘i>n yaitu seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadis dari ta>bi’i>n dan banyak bertemu mereka.
6.        T}abaqah wust}a> atba>‘ al-ta>bi‘i>n yaitu seseorang yang banyak meriwayatkan hadis dari ta>bi‘i>n dan dan pembesar ta>bi‘i>n.
7.        T}abaqah siga>r atba>‘ al-ta>bi‘i>n yaitu seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadis dari kalangan atba>‘ ta>bi‘i>n akan tetapi tidak banyak bertemu dengan para ta>bi‘i>n.       
8.        T}abaqah kiba>r ta>bi‘ al-atba>‘ yaitu seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadis dari kalangan atba>‘ al-ta>bi‘i>n dan banyak berjumpa dengan mereka.
9.        T}abaqah wust}a> ta>bi‘ al-atba>‘ yaitu seseorang banyak meriwayatkan hadis dari kalangan atba>‘ al-ta>bi‘i>n dan pembesar ta>bi‘ atba>‘.[171]
Sedangkan tingkatan penilaian kritikus hadis atau lebih dikenal dengan istilah al-jarh wa al-ta‘di>l yang digunakan dalam skripsi ini dapat diklasifikasi dalam 12 tingkatan secara berurutan, mulai dari al-ta‘di>l yang tertinggi hingga al-jarh} yang paling rendah.
Adapun mara>tib al-ta‘di>l dari tingkatan tertinggi hingga terendah adalah sebagai berikut:
1.        Setiap ungkapan pujian yang menggunakan ism al-tafd}i>l atau s}i>gah al-muba>lagah, seperti أوثق الناس، إليه المنتهى فى التثبيت، فلان لا يسأل عنه، لا أعرف له نظيرا، لا أحد أثبت منه،  dan sejenisnya.
2.        Setiap ungkapan pujian yang mengulang-ulangi kosa katanya, seperti ثقة ثقة، ثقة ثبت، ثقة حافظ حجة، ثبت حجة dan sejenisnya.
3.        Setiap pujian yang menggunakan satu kata yang menunjukkan intelegensia dan keadilan yang kuat, seperti ثقة، ثبت، متقن، حجة، إمام، ضابط، ثقة حافظ، صحيح الحديث dan sejenisnya.
4.        Setiap pujian yang menggunakan satu kata yang menunjukkan intelegensi yang kurang sempurna, seperti صدوق، مأمون، لا بأس به، خيار الناس، dan yang semakna.
5.        Setiap pujian yang menunjukkan sedikit berkurang kejujuran dan amanahnya, seperti شيخ، صالح الحديث، حسن الحديث، محله الصدق، مقارب الحديث dan sejenisnya.
6.        Setiap pujian yang menunjukkan keraguan terhadap keadilannya, seperti مقبول صدوق إن شاء الله dan sejenisnya.[172]
Sedangkan mara>tib al-jarh} dari tingkatan yang lemah hingga yang paling kuat/parah adalah sebagai berikut:
7.        Setiap kritikan/celaan yang menunjukkan sedikit kelemahan perawi, seperti ليس بذاك القوي، فيه مقال، ليس بحجة، فيه ضعف، غيره أوثق منه dan sejenisnya.
8.        Setiap kritikan yang menunjukkan kelemahan perawi dan keguncangan intelegensianya, seperti مضطرب الحديث، لا يحتج بحديثه، ضعفوه، ضعيف، له مناكير، فى حديثه شيئ dan sejenisnya.
9.        Setiap kritikan yang menunjukkan sangat lemahnya perawi, seperti رد حديثه، مطروح الحديث، ضعيف جدا، لا يكتب حديثه، لا شيئ dan kata yang semakna.
10.    Setiap kritikan yang menunjukkan pada kecurigaan dusta atau pemalsuan hadis terhadap perawi, seperti متهم بالكذب، متهم بالوضع، يسرق الحديث، هالك، متروك، ليس بثقة dan sejenisnya.
11.    Setiap kritikan yang menunjukkan pada kedustaan perawi atau pemalsuan hadis darinya seperti كذاب، وضاع، دجال، يكذب، يضع dan sejenisnya.  
12.    Setiap kritikan yang menunjukkan pada puncak kedustaan atau pemalsuan hadis seperti أكذب الناس، أوضع الناس، إليه المنتهى فى الوضع، إليه المنتهى فى الكذب dan sejenisnya.[173] 


[1]Daud Rasyid, Hukum tentang Korupsi (09 Agustus 2008) Diakses pada tanggal 26 Desember 2008). 
[2]Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 85.
[3]Abu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j al-Naisa>bu>riy, S}ah}i>h} Muslim, Juz. III (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 85.
[4]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz. I (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M), h. 33.
[5]M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
[6]Dalam Kamus Ilmiah Popular, kata tematik diartikan dengan mengenai tema; yang pokok; mengenai lagu pokok, sementara dalam bahasa Arab, kata tematik diistilahkan dengan maud}u>’iy yang berarti menurunkan sesuatu atau meletakkannya, Mus}t}afa> Muslim mengatakan bahwa maud{u>‘ adalah meletakkan sesuatu di manapun, baik meletakkan atau menurunkan maupun menetapkan atau memantapkan pada suatu tempat. Sementara Arifuddin Ahmad dalam pidato pengukuhannya mengatakan bahwa hadis maud}u>‘iy adalah pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontologisnya maupun aspek epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu aspeknya. Lihat: Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.th.), h. 743; Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz. VI (Beirut: Da>r al-Fikr, 1423 H./2002 M.), h. 89. Selanjutnya disebut Ibn Zakariya>, Mus}t}afa> Muslim, Maba>his\ fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i (Cet. I; Dimasyq: Da>r al-Qalam, 1410 H./1989 M.), h. 16. Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, (Pidato Pengukuhan Guru Besar, Makassar: UIN Alauddin, 31 Mei 2007), h. 4.
[7]Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 20.
[8]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 1474.  
[9]Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 24.
[10]Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., h. 560.  
[11]Arifuddin Ahmad, op.cit., h. 24.
[12]Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., h. 751.  
[13]Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 24.
[14]Definisi tersebut dikutip dari Muin Salim dengan merubah obyeknya dari tafsir ke hadis, karena menurut pemaklah, keduanya sama dalam bidang kajian teks. Lihat: H. Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistimologis (Pidato Pengukuhan Guru Besar,  Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 28 April 1999), h. 35.
[15]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. II, h. 140.
[16]Muh{ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afrīqiy, Lisān al-‘Arab, Juz. II (Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.), h. 249. Selanjutnya disebut Ibn Manz}u>r.
[17]Mah}mu>d al-T}ah}h}a>n, Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet. III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M), h. 7.
[18]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. II, h. 28.
[19]Manna>' al-Qat}t}a>n, Maba>hi>s| fi> Ulu>m al-Hadi>s|. (Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.), h. 15.
[20]Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syaira>ziy Ibn al-S}ala>h}, ‘Ulu>m al-H}adi>s\ (Cet. II; al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1973 M), h. 228.
[21]Syams al-Di>n Muh}ammad ibn ‘Abd al-Rah{ma>n al-Sakha>wiy>, Fath} al-Mugi>s\ Syarh} Alfiyah al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.), h. 10.
[22]‘Abd al-Rau>f al-Mana>wiy, Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz. I (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.), h. 17.
[23]Abu> Muh}ammad Mahdiy ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd al-Ha>diy. T}uruq Takhri>j H}adi>s\ Rasulillah saw. diterjemahkan oleh Said Aqil Husain Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar. Metode Takhrij Hadis (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1994 M.), h. 15. 
[24]Abu> Ha>jir Muh}ammad bin Sa’i>d Basyu>niy Zaglu>l, Mausu>‘at At}ra>f al-H{adi>s\ al-Nabawiy, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 347.
[25]Ibid., Juz. III, h. 499.
[26]Ibid., Juz. III, h. 500.
[27]Ibid., Juz. III, h. 500.
[28]Ibid., Juz. III, h. 501. Adapun penjelasan rumus-rumus yang terdapat dalam tulisan di atas dapat dijelaskan sebagai: خ= S}ah}i>h} al-Bukha>riy, م= S}ah}i>h} Muslim, ت= Sunan al-Turmuz\iy, هق= al-Sunan al-Kubra>  karya al-Baihaqiy, مشكاة= Misyka>t al-Mas}a>bi>h} karya al-Tari>ziy, كنر= Kanz al-‘Umma>l karya al-Hindiy, منثور= al-Durr al-Mans\u>r karya al-Suyu>t}iy, فتح= Fath} al-Ba>riy karya Ibn H}ajar, حم= Musnad Ah}mad, كشاف = al-Ka>f al-Sya>fiy fi Takhri>j Ah}a>di>s\ al-Kassya>f karya Ibn H{ajar, نبوة= Dala>il al-Nubuwwah karya al-Baihaqiy, حلية=H{ulyat al-Auliya>’ karya Abu> Nu‘aim, منحة= Minh{at al-Ma‘bu>d karya al-Sa>‘a>tiy, كر= Tahz\i>b Ta>ri>kh Dimasyq karya Ibn ‘Asa>kir, حميدي= Musnad al-H{umaidiy, عاصم= al-Sunnah karya Ibn Abi> ‘A<s{im, تمهيد= al-Tamhi>d karya Ibn ‘Abd al-Barr, ش= Mus}annaf Ibn Abi> Syaibah, تجريد= Tajri>d al-Tamhi>d karya Ibn ‘Abd al-Barr, حب= Mawa>rid al-Z}am’a>n karya al-Hais\amiy, مجمع= Majma‘ al-Zawa>id karya al-Hais\amiy.
[29]A.J. Weinsinck terj. Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\ al-Nabawiy, Juz. I (Laeden: I.J Brill, 1969 M), h. 14.
[30]Ibid., Juz. I, h. 416.
[31]Ibid., Juz. VII, h. 204. Kode-kode yang digunakan dalam kitab tersebut adalah: خ= S}ah{i>h{ al-Bukha>riy, م= S}ah}i>h Muslim, ت= Sunan al-Turmuz\iy, ن= Sunan al-Nasa>iy, د= Sunan Abi> Da>wud, جه= Sunan Ibn Ma>jah, ط= Muwat}t}a’ Ma>lik, حم= Musnad Ah}mad, دي= Sunan al-Da>rimiy.
[32]Abu> al-H{ajja>j Yu>suf bin al-Zakiy ‘Abd al-Rah}ma>n al-Mizziy, Tuh}fat al-Asyra>f li Ma‘rifat al-At}ra>f, Juz. IX (Cet. II; Beirut: al-Maktab al-Isla>miy, 1403 H/1983 M), h. 164.
[33]Ibid., Juz. IX, h. 177.
[34]Ibid., Juz. VIII, h. 154. Sedangkan kode-kode yang digunakan dalam kitab ini sama dengan kode yang terdapat dalam kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawiy.
[35]A.J. Weinsinck, terj. Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, Mifta>h{ Kunu>z al-Sunnah (Lahor: Suhail Kedimiy, 1391 H/1941 M), h. 61-62.
[36]Ibid., h. 62. Kode-kode yang digunakan adalah: بخ= S}ah}i>h} al-Bukha>riy, مس= S{ah{i>h{ Muslim, بد= Sunan Abi> Da>wud, تر=\ Sunan al-Turmuz\iy, نس= Sunan al-Nasa>iy, مج= Sunan Ibn Ma>jah, مي= Sunan al-Da>rimiy, ما= Muwat}t}a’ Ma>lik, ز= Musnad Zaid bin ‘Ali, عد= T{abaqa>t Ibn Sa‘ad, حم= Musnad Ah{mad, ط= Musnad al-T{aya>lisiy, هش= Si>rah Ibn Hisya>m, قد= Maga>ziy al-Wa>qidiy. Sedangkan kode yang terletak setelah kode-kode di atas adalah: ك= Kita>b, ب= Ba>b, ح= h}adi>s\, ص= halaman.
[37]Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh}ammad bin Hanbal, Musnad Ah}mad, Juz. I (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H/1998 M), h. 6. Selanjutnya disebut Ah}mad bin H{anbal.  
[38]Al-Bukha>riy, op.cit., Juz. I, h. 33; Ah}mad bin H{ambal, op. cit., Juz. II, h. 361.
[39]Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1457; Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy‘ats al-Sijista>niy, Sunan Abi> Da>wud, Juz. II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 127. Selanjutnya disebut Abu> Da>wud. Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah{mad bin Syu‘aib al-Nasa>iy, Sunan al-Nasa>iy, Juz. VI (Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M), h. 255. Selanjutnya disebut al-Nasa>iy.
[40]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. III, h. 1365, Juz. IV, h. 1551, 1620, Juz. VI, h. 2628; Muslim, op. cit., Juz. IV, h. 1884; dan Ah}mad, op. cit., Juz. II, h. 20, 89, 106 dan 110.  
[41]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. IV, h. 1574; Muslim, op. cit., Juz. II, h. 738; dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 42.  
[42]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II, h. 2589, Juz. III, h. 1381, Juz. VI, h. 2589; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1474; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VIII, h. 224; Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Turmuz\iy, Sunan al-Turmuz\iy, Juz. IV (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 482. Selanjutnya disebut al-Turmuz\iy; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 351, 352.  
[43]Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 386. Muslim, op. cit., Juz. I, h. 76, Juz. II, h. 317 dan 386.  
[44]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin ‘Abdulla>h al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ain, Juz. IV (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H/1990 M), h. 104.
[45]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI, h. 2614; Juz. II, h. 789; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1454; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 324, 531; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. I, h. 9; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 409.    
[46]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. V, h. 2268; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 668; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 121, Juz. V, h. 273.
[47]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I, h. 33, Juz. V, h. 2382; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 361.
[48]Ah}mad bin Hanbal, op. cit., Juz. I, h. 6.  
[49]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI, h. 2614; Muslim, op. cit., Juz. I, h. 125, Juz. III, h. 1459; Abu> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Da>rimiy, Sunan al-Da>rimiy, Juz. II (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 1407 H), h. 417. Selanjutnya disebut al-Da>rimiy.  
[50]Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1457.
[51]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I, h. 304, Juz. II, h. 848, 901, 902, Juz. III, h. 1010, Juz. V, h. 1988, 1996, Juz. VI, h. 2611; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1459; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 145; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. IV, h. 208; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 5, 54, 111, 121.  
[52]Hadis gari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada seluruh level sanad, sendiri pada sebagian level sanad maupun hanya sendiri pada satu level sanad. Hadis masyhu>r adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok periwayat dari awal hingga akhir hanya saja jumlahnya tidak mencapai level hadis mutawa>tir, semisal hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang saja. Hadis mutawa>tir adalah hadis yang diriwayatkan sekelompok orang dari awal hingga akhir sanad yang mustahil melakukan kesepakatan dusta atas hadis yang diriwayatkan. Dengan demikian, syarat sebuah hadis mutawa>tir adalah periwayatnya harus banyak minimal 10 orang pada setiap level sanad, mustahil secara uruf melakukan kesepakatan dusta untuk membuat hadis, sigat yang digunakan jelas. Mah{mu>d al-T{ah}h}a>n, op. cit., h. 20. Lihat juga: Muh{ammad bin Muh{ammad Abu> Syahbah, al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (t.t.: ‘A<lam al-Ma‘rifah, t.th.), h. 201. Ah}mad al-‘Us\ma>niy al-Taha>nawiy, Qawa>‘id fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (Cet. II; al-Riya>d{: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1404 H./1984 M.), h. 33. Bandingkan dengan: Ah{mad ‘Umar Ha>syim, Qawa>‘id Us}u>l al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1404 H./1984 M.), h. 158. Menurut hemat penulis, definisi hadis masyhu>r tersebut perlu dikaji kembali karena pada dasarnya bukan kuantitasnya yang menyebabkan sebuah hadis divonis mutawa>tir atau tidak akan tetapi lebih penekanan kualitas individuanya, jadi bisa jadi sebuah hadis divonis mutawa>tir meskipun hanya diriwayatkan oleh 3 orang saja. Mah{mu>d al-T{ah}h}a>n, op.cit., h. 14. Muh{ammad bin Muh{ammad Abu> Syahbah, op.cit., h. 195. Ah}mad al-‘Us\ma>niy al-Taha>nawiy, op.cit., h. 32. Ah{mad ‘Umar Ha>syim, op.cit., h. 143.           
[53]Dari aspek kebahasaan kata i‘tiba>r  merupakan mas}dar dari kata i‘tabara yang berarti menguji, memperhitungkan. Sedangkan dari aspek peristilahan i‘tiba>r adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, agar dapat diketahui apakah da periwayatan lain, ataukah tidak ada bagian sanad hadis dimaksud. Lihat: Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, op. cit., h. 140. Lihat juga: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 51-52.
[54]‘Abd al-H}aq bin Saif al-Di>n bin Sa‘dulla>h al-Dahlawiy, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\ (Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.), h. 56-57.   
[55]Untuk mengetahui 4 teks hadis tersebut dan sumber kitabnya, lihat pembahasan berikutnya pada deskripsi tentang lafal-lafal hadis yang semakna.
[56]Hassan Shadily, dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983), h. 2361.
[57]The Liang Gie, dkk, Ensiklopedi Administrasi, Cet. VI (Jakarta: CV. Haji Masabung, 1989), h. 292.
[58]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 613.
[59]Dikutip dari internet dengan judul Nepotisme, Bagaimana Sebaiknya Disikapi, www. Just Another Blogdetik.com weblog. Yang disadur dari Ensiklopedi Menejemen. 
[60]Louis Ma'louf, Al-Munjid fi al-Lughah (Cet. XII; Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 3.
[61]Abu 'Aliy Muhammad 'Abd al-Rahman al-Mubarakfuriy (al-Mubarakfuriy), Tuhfat al-Ahwadziy liy Syarh al-Turmudziy (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz.VI, h. 359.
[62]Hasan Sadiliy, op. cit., h. 2361.
[63]Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid II (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr) h. 20.
[64]Wikipedia Ensiklopedi Bebas, Nepotisme, (dikutip dati Internet yang dimuat pada tanggal 22 Nopember 2008, 18: 52. 
[65]Noor Fajar Asa, Ahlul Korup wal Jama’ah, (dikutip dari internet. www. KotaSantri.com yang dimuat pada tanggal 27-11-2008, 09:09).   
[66]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. III, h. 1147, Juz. IV, h. 1574; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. III, h. 166.
[67]UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999.
[68]Abu> ‘Abdillah Ah}mad bin Muh}ammad bin Hanbal, Musnad Ah}mad, Juz. I (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H/1998 M), h. 6.  
[69]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin ‘Abdulla>h al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy, al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah{i>h}ain, Juz. IV (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.), h. 104.
[70]Salah satu indikator yang dijadikan pemakalah untuk mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai peristiwa yang sama (tidak terjadi tanawwu‘) adalah bahwa penyampai hadis tersebut sama, yakni Abu> Bakar al-S{iddi>q, sedangkan panglima pasukannya adalah Yazi>d bin Abi> Sufya>n dengan peristiwa pengiriman pasukan ke Yaman.     
[71]Abu> al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah}mad bin Ayyu>b al-T{abra>niy, Musnad al-Sya>miyyi>n, Juz. IV (Cet. I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1405 H./1984 M.), h. 366.
[72]‘Ali bin Abi> Bakar bin Sulaima>n al-Hais\amiy, Ga>yat al-Maqs}ad fi> Zawa>id al-Musnad, Juz. I (CD ROM al-Maktabat al-Sya>milah), h. 3304.
[73]Abu> Luba>bah H{usain, al-Jarh} wa al-Ta‘di>l (Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’, 1399 H./1979 M.), h. 138. 
[74]Hal tersebut diungkapkan Muh{ammad ibn S}a>lih} al-‘Us\aimi>n, Mus}at}alah} al-h}adi>s\ (Cet. IV; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah: Wiza>rah al-Ta‘li>m al-‘A<li>, 1410 H.), h. 34. Lihat juga: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I: Jakarta: Renaisan, 2005 M.), h. 97.
[75]Hal tersebut diungkapkan ‘Abd al-Mahdi> ibn ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd al-Ha>di>, ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta‘di>l Qawa>‘idih wa Aimmatih (Cet. II: Mesir: Ja>mi‘ah al-Azhar, 1419 H./1998 M.), h. 89.
[76]Abu> Ish{a>q al-Syaira>zi>, T{abaqa>t al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.), h. 91.
[77]Abu> al-‘Abba>s Syams al-Di>n Ah}mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t al-A‘ya>n wa Abna>’ Abna>’ al-Zama>n, Juz I (Beirut: Da>r S}a>dir, 1900 M.), h. 63. Selanjutnya disebut Ibn Khalka>n.
[78]Abu> al-Fad}al Ah{mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz I (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.), h. 387. Selanjutnya disebut al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b. Abu> al-Wali>d Sulaima>n ibn Khalaf ibn Sa‘ad al-Ba>jiy, al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h}, Juz I (Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’, 1406 H./1986 M.), h. 320. Selanjutnya disebut al-Ba>jiy.  Abu> H}a>tim Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad al-Tami>mi>, al-S|iqa>t, Juz VIII (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.), h. 18. Selanjutnya disebut Ibn H{ibba>n, al-S|iqa>t. ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H{a>tim al-Ra>ziy al-Tami>miy, al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l, Juz II (Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.), h. 68. Selanjutnya disebut Abu> H{a>tim al-Ra>ziy.
[79]Sya>ms al-Di>n Muh{ammad bin Ah{mad bin ‘Us\ma>n al-Z|ahabiy, Siyar A‘la>m al-Nubala>’, Juz. X (Cet. IX; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1413 H/1993 M), h. 667. Selanjutnya disebut al-Z|ahabiy. Lihat juga: Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Sa‘ad al-Bas{riy, al-T}abaqa>t al-Kubra>, Juz. VII (Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, 1968 M), h. 475. Selanjutnya disebut Ibn Sa‘ad.
[80]Abu> al-H{ajja>j Yu>suf bin al-Zakiy ‘Abd al-Rah}ma>n al-Mizziy, Tahz\i>b al-Kama>l, Juz. XXXII (Cet. I; Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1400 H/1980 M), h. 182. Selanjutnya disebut al-Mizziy.
[81]Abu> H{a>tim al-Ra>ziy, op. cit., Juz. IX, h. 279; Abu> al-H{asan Ah{mad bin ‘Abdulla>h bin S}a>lih{ al-‘Ijliy, Ma‘rifat al-S|iqa>t, Juz. II (Cet. I; al-Madi>nah al-Munawwarah: Maktabat al-Da>r, 1405 H/1985 M), h. 364. Selanjutnya disebut al-‘Ijliy. Ibn H{ibba>n, al-S|iqa>t, Juz. IX, h. 274; al-Mizziy, op. cit., Juz. XXXII, h. 182; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op.cit., Juz. XI, h. 301; Abu> al-Fad{al Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar al-‘Asqala>niy, Taqri>b al-Tahz\i>b (Cet. I; Su>riya>: Da>r al-Rasyi>d, 1406 H/1986 M), h. 603. Selanjutnya disebut al-‘Asqala>niy, Taqri>b.     
[82]Al-Mizziy, op. cit., Juz. IV, h. 192; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. I, h. 416; al-‘Asqala>niy, Taqri>b...op.cit., h. 126; al-Zarkaliy, op. cit., Juz. II, h. 60.  
[83]Al-Mizziy, op. cit., Juz. IV, h. 192; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. I, h. 416; al-‘Asqala>niy, Taqri>b...op.cit., h. 126; al-Zarkaliy, op. cit., Juz. II, h. 60.  
[84]Al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. III, h. 229; al-Mizziy, op. cit., Juz. IX, h. 151; Abu> Muh}ammad Mah{mu>d bin Ah{mad bin Mu>sa>, Maga>niy al-Akhba>r (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah), h. 331; Ibn Khalka>n, op. cit., Juz. II, h. 301; al-Zarkaliy, op. cit., Juz. III, h. 17.
[85]Al-Zarkaliy, op. cit., Juz. II, h. 140. Lihat juga: Ibn Sa‘ad, op. cit., Juz. VII, h. 439.  
[86]Al-‘Ijliy, op. cit., Juz. I, h. 272. Bandingkan dengan: Abu> al-Fad}al Ah}mad bin ‘Ali bin H}ajar al-‘Asqala>niy, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah, Juz. I (Cet. I; Beirut: Da>r al-Jail, 1412 H.), h. 502. Selanjutnya disebut al-‘Asqala>niy, al-Is}a>bah. Abu> Sa‘i>d bin Khali>l al-‘Ala>iy, Ja>mi‘ al-Tah}s}i>l fi> Ah{ka>m al-Mara>sil (Cet. II; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1407 H./1986 M.), h. 156. Selanjutnya disebut al-‘Ala>iy.
[87]Abu> H{a>tim al-Ra>ziy, op. cit., Juz. II, h. 515. Lihat juga: Abu> al-Wali>d Sulaima>n bin Khalaf bin Sa‘ad al-Ba>jiy, al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h}, Juz. I (Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’ li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1406 H./1986 M.), h. 468.  
[88]Abu> H{a>tim Muh{ammad bin H}ibba>n bin Ah{mad al-Taimiy, Masya>hir ‘Ulama>’ al-Ams}a>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M), h. 112. Lihat juga: Abu> al-Fad}al Ah{mad bin ‘Ali bin H}ajar al-‘Asqala>niy, Lisa>n al-Mi>za>n, Juz. II (Cet. III; Beirut: Muassasah al-A‘lamiy li al-Mat}bu>‘a>t, 1406 H./1986 M.), h. 139. Selanjutnya disebut al-‘Asqala>niy, Lisa>n. Al-Mizziy, op. cit., Juz. V, h. 133; al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b..., op. cit., Juz. II, h. 99.  
[89]Al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. V, h. 276; al-‘Asqala>niy, Taqri>b, op. cit., h. 313; al-Ba>jiy, op. cit., Juz. II, h. 798; al-Bukha>riy, al-Ta>rikh...op. cit., Juz. I, h. 32; al-‘Asqala>niy, al-Is}a>bah...op. cit., Juz. IV, h. 169; Abu> Ish}a>q al-Syaira>ziy, T}abaqa>t al-Fuqaha>’ (Cet. I; Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabiy, 1970 M), h. 36.
[90]Al-‘Asqala>niy, Tahz\i>b...op. cit., Juz. V, h. 276; al-‘Asqala>niy, Taqri>b, op. cit., h. 313; al-Ba>jiy, op. cit., Juz. II, h. 798.
[91]Ulama berbeda pendapat tentang pengertian sya>z\. secara garis besar adalah tiga pendapat yang yang menonjol. Al-Sya>fi‘i> berpandangan bahwa sya>z\ adalah suatu hadis yang diriwayatkan seorang s\iqah tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan orang yang lebih s\iqah atau banyak periwayat s\iqah. Al-H{a>kim mengatakan bahwa sya>z\ adalah hadis yang diriwayatkan orang s\iqah dan tidak ada periwayat s\iqah lain yang meriwayatkannya, sedangkan Abu> Ya‘la> al-Khali>li> berpendapat bahwa sya>z\ adalah hadis yang sanadnya hanya satu macam, baik periwayatnya bersifat s\iqah maupun tidak. Lihat: Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syairu>zi Ibn al-S}ala>h}, op. cit., h. 48 dan 69. Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn ‘Abdillah ibn Muh{ammad al-H{a>kim al-Naisabu>ri>, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (Mesir: Maktabah al-Mutanabbi>, t.th.), h. 119. Namun dalam tesis ini, peneliti menggunakan definisi al-Sya>fi‘i>.  
[92]‘illah adalah sebab-sebab yang samar/tersembunyi yang dapat menyebabkan kecacatan sebuah hadis yang kelihatannya selamat dari berbagai kekurangan. Lihat: Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.), h. 291.
[93]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I: Jakarta: Renaisan, 2005 M.), h. 117. Bandingkan dengan Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (cet. I; Jakarta: Hikmah, 2009), h. 58.
[94]Abu> Sufya>n Mus}t}afa> Ba>ju>, al-‘Illat wa Ajna>suha> ‘ind al-Muh}addis\i>n (Cet. I; T{ant}a>: Maktabah al-D{iya>’, 1426 H./2005 M.), h. 288-397.
[95]M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 113.
[96]Arifuddin Ahmad, Paradigma... op. cit., h. 109.
[97]Sebenarnya, langkah yang harus diambil oleh pemakalah adalah meneliti sanad lain yang berbeda dengan sanad yang telah dikritik untuk memastikan apakah sanad lain juga bermasalah atau tidak. Namun karen keterbatasan waktu dan sanad lainnya terdapat di luar al-kutub al-tis‘ah, khususnya sanad yang terdapat pada kitab al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ain yang secara lahiriah lengkap dan tidak ada periwayat yang mubham, maka pemakalah merasa cukup dengan hasil di atas.
[98]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 1001.
[99] Ah}mad bin Hanbal, op. cit., Juz. I, h. 6.
[100]Ibnu Fa>ris, op. cit., Juz. I, h. 75.
[101]Ibra>hi>m Mus}t}afa> dkk., op. cit., Juz. I, h. 11.  
[102]Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf al-Nawawiy, Tah}ri>r Alfa>z} al-Tanbi>h, Lugat al-Fiqh (Cet. I; Damaskus: Da>r al-Qalam, 1408 H.), h. 238.
[103]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II, h. 896.
[104]Abu> al-Fad}al Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy Syarh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz. VII (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.), h. 323.
[105]Al-Bukha>riy, op.cit., Juz. I, h. 33; Ah}mad bin H{ambal, op. cit., Juz. II, h. 361.
[106]Muh}ammad Abd al-Rau>f al-Mana>wiy, Faid} al-Qadi>r, Juz. I (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1994 M.) , h. 578
[107]Muh}ammad ‘Abd al-Rauf al-Mana<wiy, al-Taisi>r bi Syarh} al-Ja>mi al-S}agi>r, Juz. I (Cet. III; Riya>d}: Da>r al-Nasyr, 1408 H./1988 M.), h. 264. 
[108]Badr al-Di>n Abu> Muh}ammad Mah}mu>d bin Ah}mad al-‘Ainiy, ‘Umdat al-Qa>riy Syarh} S}ah}i>h{ al-Bukha>riy, Juz. II (t.t.; Da>r al-Fikr, t.th.), h. 378. Selanjutnya disebut al-‘Ainiy.
[109]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madinah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li T}iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418 H.), h. 128.
[110]Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz. V (Mesir: al-Hai’at al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M), h. 138.  
[111]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘at wa al-Manhaj, Juz. V (Cet. II; Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.), h. 120.
[112]Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 351.  
[113]Lihat: al-Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy... op. cit., Juz. V, h. 117-118.
[114]Al-'Asqalaniy, Fath al-Bariy. Op.Cit. Juz V, h. 117-118.
[115]Hadisnya secara lengkap dapat dilihat pada: al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI, h. 2443; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1273.    
[116]Nu>r al-Di>n ‘Ali bin Sult}a>n al-H{arawiy al-Qa>riy, Mirqa>t al-Mafa>ti>h} Syarh} Misyka>t al-Mas}a>bi>h}, Juz. XVIII (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992 M), h. 253.   
[117]Oleh karena itu, al-Nasa>iy mengkhususkan hadis tersebut dalam satu bab yang berjudul tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan karena salah satu indikasi seseorang itu tidak kompoten dan tidak bertanggung jawab terhadap jabatannya adalah meminta atau memaksakan kehendak untuk menjadi pejabat. Baca: al-Nasa>iy, op. cit., Juz. I, h. 16.
[118]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. III, h. 1104.  
[119]Al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. V, h. 664.
[120]Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1457; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 127. al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VI, h. 255.
[121]Abu> al-Fad}al ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakar al-Suyu>t}iy, Syarh} al-Suyu>t}iy li Sunan al-Nasa>iy, Juz. VI (Cet. II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.), h. 255.  
[122]Abu> al-H{asan Nu>r al-Di>n bin ‘Abd al-Ha>diy al-Sanadiy, H{a>syiyah al-Sanadiy ‘ala> al-Nasa>iy, Juz. VI (Cet. II; H{alab: Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.), h. 255.
[123]Taqiy al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m bin Taymiyah, al-Siya>sah al-Syar‘iyah (Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah: Wiza>rat al-Syu’u>n al-Isla>miyah, 1418 H.), h. 10. Selanjutnya disebut Ibn Taymiyah.
[124]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. III, h. 1157; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VIII, h. 236; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. V, h. 349 dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 150.
[125]Doa tersebut dibaca Nabi saw. ketika ia mengutus Kha>lid ke Bani> Jaz\i>mah agar mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka kurang bagus dalam melafalkan aslamna>, sehingga terdengar s}aba’na> maka Kha>lid kemudian membunuhnya dan mengambil harta mereka, namun Nabi saw. mengganti semua harta yang diambilnya. Lihat: Ibn Taymiyah, op. cit., h. 11. Lihat juga: al-‘Asqala>niy, Fath{ al-Ba>riy, op. cit., Juz. XIII, h. 182. 
[126]Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 326 dan Juz. III, h. 321.
[127]Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Ah{mad al-Qurt}ubiy, al-Ja>mi‘ li Ah{ka>m al-Qur’a>n, Juz. V (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1405 H./1985 M.), h. 30.
[128]Al-Baqarah/2: 282.
[129]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. III, h. 1365, Juz. IV, h. 1551, 1620, Juz. VI, h. 2628; Muslim, op. cit., Juz. IV, h. 1884; dan Ah}mad, op. cit., Juz. II, h. 20, 89, 106 dan 110.  
[130]Abu> al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n bin al-Jauziy, Kasyf al-Musykil min H}adi>s\ al-S}ah}i>h}ain, Juz. I (al-Riya>d}: Da>r al-Nasyr, 1418 H./1997 M.), h. 657.
[131]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. III, h. 1339; Muslim, op. cit., Juz. IV, h. 1856; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. I, h. 145; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. V, h. 706; dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. I, h. 196.   
[132]Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah{ma>n bin Abi> Bakar al-Suyu>t}iy, al-Di>ba>j ‘ala> S}ah}i>h} Muslim, Juz. V (Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa‘u>diyah, 1416 H./1996 M.), h. 373. Selanjutnya disebut al-Suyu>t}iy.
[133]‘Ali bin H{isa>m al-Di>n al-Muttaqiy al-Hindiy, Kanz al-‘Umma>l fi Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l, Juz. X (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1989 M.), h. 790.  
[134]Taqiy al-Di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m bin Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>, Juz. XXVIII (Cet. III; t.t.: Da>r al-Wafa>’, 1426 H./2005 M.), h. 256.
[135]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. IV, h. 1574; Muslim, op. cit., Juz. II, h. 738; dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 42.  
[136]Rampasan perang tersebut diperoleh dari perang H{unain yang terjadi pada tahun 630 M. Perang H{unain bermula dengan takluknya Mekah, kekuasaan dan penentangan kaum Quraisy berkahir, akan tetapi kegiatan-kegiatan dan persiapan-persiapan musuh dari kota-kota yang berdekatan menuntut perhatian yang segera. Ma>lik bin ‘Au>f, ketua suku Khawa>zin mengumpulkan orang-orangnya dan orang-orang dari suku T{a>if yang bersekutu dengan meraka. Mereka diambil sumpahnya dan harus bergabung untuk melawan Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi mengetahui perkembangan itu, dia menegaskan Abdullah al-Aslamiy untuk pergi ke sana dan melaporkan keadaan yang sebenarnya. Dia membawa kabar bahwa Bani> Khawa>zin dan suku-suku lainnya sedang bersiap-siap berperang. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerang mereka dengan memimpin 12.000 pengikut. Di antaranya 10.000 orang berasal dari Madinah dan yang 2000 orang dari Mekah. Sedangkan musuh mempunyai kekuatan 20.000 orang kemudian kedua Pasukan ini bertemu di  lembah H{unain. Untuk lebih lengkapnya, lihat: Syed Mahmud al-Nasir, Islam, its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi, Islam, Konsepsi dam Sejarahnya (Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994 M.), h. 144-145.
[137]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. V, h. 157.
[138]Badr al-Di>n Abu> Muh}ammad Mah}mu>d bin Ah}mad al-‘Ainiy, ‘Umdat al-Qa>riy Syarh} S}ah}i>h{ al-Bukha>riy, Juz. XVII (t.t.; Da>r al-Fikr, t.th.), h. 308. Selanjutnya disebut al-‘Ainiy.
[139]Uraian lebih lanjut, lihat Harun Nasution, et. Al. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992 M.), h. 130. 
[140]Al-‘Ainiy, op. cit., Juz. XVII, h. 308. 
[141]Lihat: al-Bukhariy, op. cit., Juz. V, h. 157.
[142]Ibid., Juz. V, h. 157.   
[143]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II, h. 838, Juz. III, h. 1154; dan Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz. III, h. 167.
[144]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II, h. 2589, Juz. III, h. 1381, Juz. VI, h. 2589; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1474; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. VIII, h. 224; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. IV, h. 482; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 351, 352.  
[145]Lihat: Al-Asqala>niy, Fath} al- Bariy, op. cit., Juz. VIII, h. 154.
[146]Al-‘Ainiy, op. cit., Juz. VIII, h. 262.
[147]Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 386. Muslim, op. cit., Juz. I, h. 76, Juz. II, h. 317 dan 386.  
[148]Mengenai perdebatan ulama tentang hadis tersebut dapat dilihat: Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf bin Mura> al-Nawawiy, Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim, Juz. II (Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.), h. 148. dan al-Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy, op. cit., Juz. II h. 32.
[149]Al-Nawawiy, op. cit., Juz. I, h. 148; Badr al-Di>n al-H{anafiy, op. cit., Juz. XIX, h. 326; al-Muba>rakfu>riy, op. cit., Juz. VII, h. 313.   
[150]Al-H{a>kim al-Naisa>bu>riy, op. cit., Juz. IV, h. 104.
[151]Adapun teks hadisnya dapat dilihat: al-Bukha>riy, op. cit., Juz. II, h. 863; Muslim, op. cit., Juz. IV, h. 1998.
[152]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI, h. 2614; Juz. II, h. 789; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1454; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 324, 531; al-Nasa>iy, op. cit., Juz. I, h. 9; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 409.    
[153]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz VI, h. 2443.
[154]Departemen Agama RI, op. cit., h. 357.
[155]Ibra>hi>m bin ‘Umar bin H{asan al-Buqa>‘iy, Naz}m al-Durar fi Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar, Juz. IV (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1995 M.), h. 269.
[156]Al-Syaira>ziy, op. cit., Juz. XIX, h. 10.
[157]Teksnya dapat dilihat pada: Ma>lik bin Anas, op. cit., Juz. II, h. 381.
[158]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. V, h. 2268; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 668; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. IV, h. 121, Juz. V, h. 273.
[159]Abu> ‘Umar Yu>suf bin ‘Abdulla>h al-Namariy, al-Tamhi>d lima> fi al-Muwat}t}a’ min al-Ma‘a>niy wa al-Asa>ni>d, Juz. IX (al-Magrib: Wiza>rat ‘Umu>m al-Awqa>f, 1387 H.), h. 236.
[160]Al-Suyu>t}iy, al-Di>ba>j...op. cit., Juz. I, h. 53.
[161]Lihat: Q.S> al-Nisa>/4: 8.
[162]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I, h. 33, Juz. V, h. 2382; dan Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 361.
[163]al-Mana>wiy, Faid{... op. cit., Juz. I, h. 578.
[164]Ah}mad bin Hanbal, op. cit., Juz. I, h. 6.  
[165]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. VI, h. 2614; Muslim, op. cit., Juz. I, h. 125, Juz. III, h. 1459; al-Da>rimiy, op. cit., Juz. II, h. 417.
[166]Al-Ma>idah/5: 72.
[167]Al-Mala> ‘Ali al-Qa>riy, op. cit., Juz. IX, h. 322.
[168]Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1457.
[169]Al-Nawawiy, op. cit., Juz. XII, h. 210.
[170]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz. I, h. 304, Juz. II, h. 848, 901, 902, Juz. III, h. 1010, Juz. V, h. 1988, 1996, Juz. VI, h. 2611; Muslim, op. cit., Juz. III, h. 1459; Abu> Da>wud, op. cit., Juz. II, h. 145; al-Turmuz\iy, op. cit., Juz. IV, h. 208; Ah}mad bin H{anbal, op. cit., Juz. II, h. 5, 54, 111, 121.  
[171]Muhammad ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sakha>wi>, op. cit., Juz. I, h. 149. Lihat juga: Ma>hir Ya>sin al-Fah}l, Muh}a>d}ara>t fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s\ (CD-ROM al-Maktabah al-sya>milah), begitu juga, lihat buku yang berjudul Mus}t}alah} al-h}adi>s\ tanpa pengarang dan penerbit yang dikutip dari CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah, h. 26.   
[172]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu‘aib al-Nasa>i<, Kita>b al-D}u‘afa>’ wa al-Matru>ki>n (Cet. II; Beirut: Muassasah al-Kutub al-S|aqa>fah, 1407 H./1987 M.), h. 16-17. Lihat juga: ‘Abd al-Mauju>d Muhammad ‘Abd al-Lat}i>f, ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta’di>l, diterj. Zarkasyi Humaidi, Ilmu Jarh wa Ta’dil (Cet. I; Bandung: Kima Media Pusakatama, 2003 M), h. 60-67.   
[173]Muhammad ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sakha>wi>, op. cit., Juz. I, h. 372. Lihat juga: Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, op. cit., h. 276 dan ‘Abd al-Mauju>d Muhammad ‘Abd al-Lat}i>f, op. cit., h. 70-74. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar