STUDI KRITIS TERHADAP
PEMIKIRAN
PEMIKIR ISLAM KONTEMPORER
Makalah
Mata kuliah Studi Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor
Oleh:
Abdul Gaffar
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin, M.Ag.
Program Pascasarjana (S3)
Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin
Makassar
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kebangkitan umat islam yang dimulai sejak
awal abad ke-XIX, hampir seluruh dunia islam adalah gerakan yang menuntut
liberal. Maksudnya bahwa liberal bermakna ganda, iaberarti (pembebasan) kaum
muslim dari kolonialisme penjajahan yang pada saat itu memang hampir menguasai
seluruh dunia islam. Pada sisi lain dia berarti liberasi kaum muslimin dari
cara-cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan. Hal
pemahaman kedua inilah menjadi fokus utama yaitu umat Islam yang berpikir serba
kompleks.
Gerakan kebangkitan umat Islam tidak hanya negara-negara
dunia arab, tetapi negara-negara yang mayoritas beragama Islam seperti
indonesia juga ikut memberikan warna yang diperhitungkan bagi peradaban barat
modern. Beberapa pembaharu kontemporer ditanah air kita tidak kalah
inteleektualnya dengan negara-negara dunia arab. Dalam makalah ini mencoba
mengambil dua tokoh yang sangat dikagumi dan disoroti, khususnya dikalangan
mahasiswa yakni Harun Nasution dan Hasan Hanafi. Menurut Harun Nasution bahwa
yang penting diperhatikan pembangunan dibidang agama adalah menjadi sikap
mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Menurutnya panangan sempit
dan tradisional tak dapat brjalan sejajar dengan modernisme bahkan
bertentangan.
Begitu pula tokoh intelektual dunia Islam Arab Hasan
Hanafi munkin lebih berani lagi membuka cakrawala bagi umat Islam, dunia Islam
kedua-duanya memberikan semangat juang untuk berpikir maju membebaskan umat Islam
dari keterbelakangan, stagnan dan kejumudan. Oleh karena itu sikap inilah yang
menjadi sebab utama ketidakberdayaan umat Islam didepan bangsa asing. Hanya
dengan membangun kembali dan merekontruksi cara pandang dan sikap keberagaman mereka.,maka kondisi
yang menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Para intelektual Islam itu memiliki kebersamaan dalam
menyikapi kondisi kaum muslimin, yakni bahwa hanya pembebasan dirilah dapat
mengeluarkan diri dari kondisi tersebut. Pembebasan ini harus dimulai dengan
membuka pintu ijtihad seluas-luasnya. Memberikan kebebasan penafsiran terhadap
doktrin agama dan mengkaji ulang tradisi keagamaan kaum muslimin.
Gagasan untuk mengkaji Islam secara metodologis
memberikan solusi baru kepada temuan-temuan dimensi kehidupan para pemikir Islam
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan , ekonomi dan sosial mereka.
Sehingga tidak menutup dari kehidupan mereka memunculkan banyak kecenderungan
dan aliran-aliran Islam atau boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad mereka. Oleh
karena itu baik Harun Nasution maupun Hasan Hanafi akan memberikan pemikiran
pemikir kontemporer dalam upaya mencari solusi terhadap masalah-masalah
keislaman dalam merespon kemajuan modern.
B.
Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian latar
belakang diatas, maka permasalahan yang dijadikan objek kajan dalam pembahasan
ini adalah:
1.
Bagaimana pemikiran Ra>syid Rid}a> tentang kekhalifahan?
2.
Bagaimana pemikiran ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq tentang Islam Sekularis?
3.
Bagaimana pemikiran Harun Nasution tentang Ajaran Dasar dan Non Dasar?
4.
Bagaimana pemikiran hasan Hanafi tentang Islam Kiri?
5.
Bagaimana pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ra>syid Rid{a> tentang Khila>fah
Tampilnya Ra>syid Rid}a> di arena
pergumulan wacana tentang kekhalifahan merupakan tokoh yang mewakili
kalangan tradisional yang memandang perlunya dihidupkan kembali sistem khilafah
bagi dunia Islam. Langkah itu dimaksudkan untuk mencapai kemajuan umat.
Berkenaan dengan sistem kekhalifahan tersebut, Rid}a> merumuskannya dalam sebuah karya
monumentalnya al-Khila>fah al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Upaya menghidupkan kembali kekhalifahan yag dilancarkan oleh Rid}a> itu karena seperti
halnya al-Mawardiy pembentukan kekhalifahan itu wajib
hukumnya dan kewajiban itu didasarkan pada syari’ah dan konsensus (ijma>‘).[1] Dalam
bahasa Albert Hourani, Ra>syid Rid}a> dalam hal ini mencoba mencuatkan
doktrin-doktrin klasik Islam sebagai dasar wacana politiknya.[2]
Mengenai pembuktian akan wajibnya
pembentukan kekhalifahan bagi umat Islam, Rid}a> dalam hal ini hanya berpegang pada pendapat Sa’ad dengan
mengatakan bahwa:
Sa’ad dan
orang-orang yang sependapat dengannya lupa mengemukakan argumentasi hadis-hadis otentik yang mendukung teori ima>mah mereka dalam kaitannya dengan keharusan kaum
muslimin menciptakan jama’ah dan imam mereka, misalnya hadis
yang berbunyi: barangsiapa
yang mati dan tidak pernah berbait maka mati dalam keadaan jahiliyah.[3]
Hadis Huz\aifah yang disepakati keotentikannya oleh al-Bukha>riy dan Muslim yang menuturkan ucapan
Rasulullah kepadanya: Tetaplah berada dalam jama’ah dan imam kaum muslimin. Diperkuat
juga dengan hadis, ikutilah
para pemimpin sesudahku: Abu Bakar, Umar,….
Kendatipun demikian, pertimbangan rasional tidak boleh
diabaikan sama sekali. Karena rasionalits merupakan prasyaratan dasar kekhalifahan. Tanpa itu hukum maupun kesejahteraan umat tak dapat
ditegakkan.[4]
Argumentasi
Rid}a> seiring dengan pendapat al-Ma>wardiy dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah.
Berkenaan dengan prinsip dasar
kehilafahan, Rid}a>
berpendapat kekhalifahan itu
dipulangkan pada pemilihan ahl a-‘aqd
wa al-h}alliy (kaum cerdik
pandai),
sebab ima>mah itu merupakan jabatan yang melalui pembaiatan yang
diberikan oleh para anggota lembaga ini kepada seorang imam, sesudah mereka melakukan
permusyawaratan.[5] Yang
berhak menjadi ahl
al-h}alliy wa al-‘aqd itu tidak hanya para ulama yang telah mencapai
tingkat mujtahid semata, melainkan juga mereka yang termasuk pemuka-pemuka
masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan
bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Rid}a> memiliki kemajuan mengenai rekrutmen keanggotaan ahl al-h}alliy wa al-‘aqd sebagai penghubung kedaulatan rakyat (perwakilan warga negara) untuk
menyalurkan aspirasinya ke dalam intitusi negara.