Selasa, 07 Januari 2014

STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN PEMIKIR ISLAM KONTEMPORER



STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN
PEMIKIR ISLAM KONTEMPORER
 







Makalah
Mata kuliah Studi Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor

Oleh:
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin, M.Ag.


Program Pascasarjana (S3)
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kebangkitan umat islam yang dimulai sejak awal abad ke-XIX, hampir seluruh dunia islam adalah gerakan yang menuntut liberal. Maksudnya bahwa liberal bermakna ganda, iaberarti (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme penjajahan yang pada saat itu memang hampir menguasai seluruh dunia islam. Pada sisi lain dia berarti liberasi kaum muslimin dari cara-cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan. Hal pemahaman kedua inilah menjadi fokus utama yaitu umat Islam yang berpikir serba kompleks.
Gerakan kebangkitan umat Islam tidak hanya negara-negara dunia arab, tetapi negara-negara yang mayoritas beragama Islam seperti indonesia juga ikut memberikan warna yang diperhitungkan bagi peradaban barat modern. Beberapa pembaharu kontemporer ditanah air kita tidak kalah inteleektualnya dengan negara-negara dunia arab. Dalam makalah ini mencoba mengambil dua tokoh yang sangat dikagumi dan disoroti, khususnya dikalangan mahasiswa yakni Harun Nasution dan Hasan Hanafi. Menurut Harun Nasution bahwa yang penting diperhatikan pembangunan dibidang agama adalah menjadi sikap mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Menurutnya panangan sempit dan tradisional tak dapat brjalan sejajar dengan modernisme bahkan bertentangan.
Begitu pula tokoh intelektual dunia Islam Arab Hasan Hanafi munkin lebih berani lagi membuka cakrawala bagi umat Islam, dunia Islam kedua-duanya memberikan semangat juang untuk berpikir maju membebaskan umat Islam dari keterbelakangan, stagnan dan kejumudan. Oleh karena itu sikap inilah yang menjadi sebab utama ketidakberdayaan umat Islam didepan bangsa asing. Hanya dengan membangun kembali dan merekontruksi cara pandang  dan sikap keberagaman mereka.,maka kondisi yang menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Para intelektual Islam itu memiliki kebersamaan dalam menyikapi kondisi kaum muslimin, yakni bahwa hanya pembebasan dirilah dapat mengeluarkan diri dari kondisi tersebut. Pembebasan ini harus dimulai dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya. Memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin agama dan mengkaji ulang tradisi keagamaan kaum muslimin.
Gagasan untuk mengkaji Islam secara metodologis memberikan solusi baru kepada temuan-temuan dimensi kehidupan para pemikir Islam dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan , ekonomi dan sosial mereka. Sehingga tidak menutup dari kehidupan mereka memunculkan banyak kecenderungan dan aliran-aliran Islam atau boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad mereka. Oleh karena itu baik Harun Nasution maupun Hasan Hanafi akan memberikan pemikiran pemikir kontemporer dalam upaya mencari solusi terhadap masalah-masalah keislaman dalam merespon kemajuan modern.
B.  Rumusan Masalah
            Berdasar pada uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dijadikan objek kajan dalam pembahasan ini adalah:
1.      Bagaimana pemikiran Ra>syid Rid}a> tentang kekhalifahan?
2.      Bagaimana pemikiran ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq tentang Islam Sekularis?
3.      Bagaimana pemikiran Harun Nasution tentang Ajaran Dasar dan Non Dasar?
4.      Bagaimana pemikiran hasan Hanafi tentang Islam Kiri?
5.      Bagaimana pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pemikiran Ra>syid Rid{a> tentang Khila>fah
Tampilnya Ra>syid Rid}a> di arena pergumulan wacana tentang kekhalifahan merupakan tokoh yang mewakili kalangan tradisional yang memandang perlunya dihidupkan kembali sistem khilafah bagi dunia Islam. Langkah itu dimaksudkan untuk mencapai kemajuan umat. Berkenaan dengan sistem kekhalifahan tersebut, Rid}a> merumuskannya dalam sebuah karya monumentalnya al-Khila>fah al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Upaya menghidupkan kembali kekhalifahan yag dilancarkan oleh Rid}a> itu karena seperti halnya al-Mawardiy pembentukan kekhalifahan itu wajib hukumnya dan kewajiban itu didasarkan pada syari’ah dan konsensus (ijma>‘).[1] Dalam bahasa Albert Hourani, Ra>syid Rid}a> dalam hal ini mencoba mencuatkan doktrin-doktrin klasik Islam sebagai dasar wacana politiknya.[2]
Mengenai pembuktian akan wajibnya pembentukan kekhalifahan bagi umat Islam, Rid}a> dalam hal ini hanya berpegang pada pendapat Sa’ad dengan mengatakan bahwa:
Sa’ad dan orang-orang yang sependapat dengannya lupa mengemukakan argumentasi hadis-hadis otentik yang mendukung teori ima>mah mereka dalam kaitannya dengan keharusan kaum muslimin menciptakan jamaah dan imam mereka, misalnya hadis yang berbunyi: barangsiapa yang mati dan tidak pernah berbait maka mati dalam keadaan jahiliyah.[3]
Hadis Huz\aifah yang disepakati keotentikannya oleh al-Bukha>riy dan Muslim yang menuturkan ucapan Rasulullah kepadanya: Tetaplah berada dalam jama’ah dan imam kaum muslimin. Diperkuat juga dengan hadis, ikutilah para pemimpin sesudahku: Abu Bakar, Umar,….
Kendatipun demikian, pertimbangan rasional tidak boleh diabaikan sama sekali. Karena rasionalits merupakan prasyaratan dasar kekhalifahan. Tanpa itu hukum maupun kesejahteraan umat tak dapat ditegakkan.[4] Argumentasi Rid}a> seiring dengan pendapat al-Ma>wardiy dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah.
Berkenaan dengan prinsip dasar kehilafahan, Rid}a> berpendapat kekhalifahan itu dipulangkan pada pemilihan ahl a-‘aqd wa al-h}alliy (kaum cerdik pandai), sebab ima>mah itu merupakan jabatan yang melalui pembaiatan yang diberikan oleh para anggota lembaga ini kepada seorang imam, sesudah mereka melakukan permusyawaratan.[5] Yang berhak menjadi ahl al-h}alliy wa al-‘aqd itu tidak hanya para ulama yang telah mencapai tingkat mujtahid semata, melainkan juga mereka yang termasuk pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Rid}a> memiliki kemajuan mengenai rekrutmen keanggotaan ahl al-h}alliy wa al-‘aqd sebagai penghubung kedaulatan rakyat (perwakilan warga negara) untuk menyalurkan aspirasinya ke dalam intitusi negara.

Qat‘iy dan Zanniy dalam Perspektif Pemikiran Islam (Suatu Kajian Kritis)



Qat}‘iy dan Z}anniy
dalam Perspektif Pemikiran Islam
(Suatu Kajian Kritis)

 






Makalah Revisi
Mata kuliah Studi Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor

Oleh:
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin, M.Ag.

Program Pascasarjana (S3)
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Menurut Nurcholis Madjid bahwa salah satu mukjizat dalam Islam adalah keberhasilan umat Islam pada umumnya untuk tidak memitoskan Nabinya, meskipun umat Islam melihatnya sebagai seorang nabi terakhir.[1] Hal tersebut terjadi karena Allah senantiasa mengingatkan umat Islam bahwa Muhammad hanyalah Nabi,[2] bahkan ia juga seorang manusia biasa yang tak luput dari sifat-sifat kemanusiaan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Q.S. al-Kahf/18: 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.[3]
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada umat sebelumnya. Hypatia,[4] sarjana wanita di Iskandaria telah menjadi korban kepanatikan agama. Gereja Kristen saat itu sedang mengkonsolidasi dirinya dan mencoba untuk mengikis habis paganisme (praktek penyembahan berhala). Ia dituduh sebagai wanita yang hendak mempertahankan paganisme karena menekuni ilmu pengetahuan, dan Gereja menyamakan antara ilmu penegetahuan dengan paganisme. Hal ini disebabkan karena kitab suci mereka berisi mitologi yang berdampak kepada anggapan ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama.[5]
Hal serupa juga kemudian terjadi pada umat Islam. Klaim kebenaran pada keyakinan sendiri dan golongannya, dan kebatilan atau kesalahan pada golongan lain sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah umat Islam. Bahkan sampai hari ini, klaim tersebut masih bisa dijumpai sejarah pemikiran Islam yang meliputi teologi, filsafat, dan tasawuf, telah mencatat kelompok-kelompok tertentu mengkafirkan kelompok Islam yang lainnya yang berbeda. Dan ini menjadi sangat serius ketika yang dituduh sampai dihukum mati,[6] seperti Hypatia.
Pada masalah fikihpun terjadi hal yang sama, kontroversi seputar syari’at Islam sedemikian tajam karena bidang garapan fikih meliputi aspek-aspek muamalat (interaksi sesama) manusia yang sangat luas, yang meliputi juga aspek politik, ekonomi termasuk produk-produknya.[7] Selain itu, orientasi fikih umumnya melahirkan sikap sektarian. Fikih yang sebetulnya dirumuskan dari upaya keras para ulama untuk menarik hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah disakralkan menjadi al-Qur’an dan al-sunnah itu sendiri. Fikih yang sangat manusiawi diangkat menjadi sangat ilahi. Menentang fikih dinggap menentang al-Quran dan al-sunnah. Membantah ulama menjadi sama dengan membantah Allah.[8]
Inilah kemudian mengantarkan perbedaan-perbedaan dalam fikih kepada perpecahan bahkan permusuhan di antara umat Islam sendiri. Keberagamaan mereka dipecah-pecah kedalam berbagai mazhab.
Banyak orang yang merasa bijak, mereka sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab mana yang benar dan mana yang sesat. Seseorang akan dianggap yang paling pandai apabila dia bisa mengetahui segala pendapat yang berbeda, lalu memutuskan bahwa pendapat dialah yang paling benar.[9]
Ketika banyak orang mengatakan perbedaan pendapat dalam agama akan segera berakhir bila kembali kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Mereka lupa bahwa ketika para ulama kembali merujuk kepada al-Quran dan al-sunnah, di situlah dimulai perdebatan dan perbedaan pendapat. Karena dalam al-Quran mudah dijumpai kata maupun kalimat yang menimbulkan multi makna, karena dari segi kebahasaan memang memungkinkan, diperkuat lagi oleh perbedaan tingkat akademis, psikologis, dan kepentingan politik penafsir.[10] Karenanya, tidaklah mungkin bisa untuk membuat semua orang berpendapat sama tentang cara bagaimana menjalankan keberagamaan yang benar.[11]
Perbedaan tersebut muncul karena pemahaman tentang mana yang qat}‘iy dan mana yang z}anniy dalam al-Qur’an tidak sama. Sebagian mengatakan bahwa tidak satupun ayat al-Qur’an yang qat}‘iy dan sebagian lagi mengatakan bahwa ada yang qat}‘iy. Sementara z}anniy sudah pasti akan menimbulkan pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, mengkaji qat}‘iy dan z}anniy menjadi hal yang menarik untuk dibahas dan didiskusikan.  
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang masalah di atas, masalah pokok adalah bagaimana sikap terhadap qat}‘iy dan z}anniy dalam pemikiran Islam dengan sub masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian qat}‘iy dan z}anniy?
2.      Bagaimana pemikiran Islam terhadap qat}‘iy dan z}anniy?
3.      Bagaimana sikap kritis terhadap pemikiran qat}‘iy dan z}anniy?       
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Qat}‘iy dan Z|anniy
Qat}‘iy secara etimologi terdiri dari huruf qa-t}a-‘a yang berarti s}arm wa iba>nah sya’i min sya’i (putus dan tampaknya sesuatu dari sesuatu yang lain).[12] Sementara Ibn Manz}u>r mengatakana bahwa al-qat}‘u adalah iba>nah ba‘d} ajza>’ al-jirm min ba‘d} fad}lan (tampaknya sebagian anggota dari bagian anggota yang lain sebagai kelebihan).[13]   Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia, kata yang berasal dari qa-t}a-‘a diartikan dengan sesuatu yang bersifat putus, pasti, penghabisan, terakhir dan diam.[14]
Dari beberapa makna etimologi yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa qat}‘iy adalah sesuatu yang sudah jelas atau pasti sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menduga-duga atau sesuatu yang tidak membutuhkan penakwilan. 

PENGARUH PERADABAN ISLAM DI DUNIA BARAT



PENGARUH PERADABAN ISLAM
DI DUNIA BARAT


UIN
 






Makalah Revisi
Mata Kuliah Sejarah Dunia Islam Modern
Semester I (S3) Tahun Akademik 2012/2013

Oleh;
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu;
Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A.
Dr. Hj. Syamsudduha, M.Ag. 


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam, akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).
Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep kebudayaan lain karena memiliki pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya. Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses ini tidak bias berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.
Di era modern dan post-modern sekarang ini, pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses adopsi, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat, tanpa proses adaptasi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan.
Dalam konteks pembangunan peradaban Islam sekarang ini, proses adaptasi pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian, seorang cendekiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dibuat beberapa poin masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses peradaban Islam masuk ke dunia barat?
2.      Apa saja pengaruh peradaban Islam terhadap dunia barat?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Peradaban Islam
1.      Pengertian Peradaban Islam
Peradaban dalam bahasa Arab sering diidentikan dengan tiga mufrada>t/kosa kata, yaitu had}a>rah, tamaddun dan s\aqa>fah dan ‘umra>n. H{ad}a>rah secara harfiah berasal dari akar kata h{a-d}a-ra yang berarti menghendaki sesuatu, kedatangan sesuatu dan menyaksikan sesuatu.[1] Menurut Ibnu Khaldu>n, al-h{ad}a>rah adalah sebuah periode dari kehidupan sebuah masyarakat yang menyempurnakan periode primitif (al-bada>wah) dari masyarakat itu, karena al-h{ad{a>rah adalah puncak dari al-bada>wah.[2] Kata tamaddun dapat berasal dari dua akar kata, bisa dari ma-da-na dan bisa dari da-ya-na. Jika akar katanya berasal dari ma-da-na maka maknanya adalah membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan, sedangkan jika akar katanya adalah da-ya-na maka makna dasarnya adalah jenis dari kepatuhan dan kehinaan kemudian berkembang menjadi madi>nah yang artinya kota karena di dalam tegak kepatuhan terhadap pemimpin.[3]
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji Zayda>n dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Isla>miy (Sejarah Peradaban Islam). Sejak itu perkataan tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam.
Sedangkan tamaddun jika berasal dari da-ya-na maka hal tersebut dapat dimaklumi karena Islam yang diturunkan sebagai di>n, sejatinya telah memiliki konsep minimal sebagai peradaban. Sebab kata di>n itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya dalam istilah di>n itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika di>n (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama madi>nah.
Sementara s\aqa>fah yang akar katanya berasal dari s\a-qa-fa mempunyai makna menegakkan penolakan terhadap sesuatu.[4] Ibra>hi>m Mus}t}afa> mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan s\aqa>fah adalah berbagai ilmu, pengetahuan dan materi-materi yang membutuhkan keterampilan dan kepintaran.[5] Sedangkan al-‘umra>n yang akar katanya berasal dari ‘a-ma-ra mempunyai dua makna, yaitu kekal, masa yang panjang dan sesuatu yang tinggi, baik terkait suara atau yang lain.[6] Dengan demikian, al-‘umra>n adalah bangunan dan segala hal yang dapat memakmurkan sebuah wilayah dan memperbaikinya, seperti pertanian, perindustrian, perniagaan, penduduk yang banyak, keberhasilan dalam usaha atas dasar keadilan.[7]          
Dari keempat kosa kata yang digunakan dapat disimpulkan bahwa peradaban dalam Islam dengan kosa kata yang digunakan harus memenuhi beberapa unsur, yaitu:
a.       Perubahan pola pikir dan prilaku manusia yang pahami dari kata h}ad}a>rah. Artinya h{ad}a>rah khusus ditujukan pada berbagai pemahaman hidup. Ini berarti kata h{ad}a>rah terbatas pada penunjukan makna-makna dan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh pandangan hidup atau ideologi.
b.      Sistem kehidupan yang bernafaskan ajaran agama yang dipahami dari tamaddun. Artinya tamaddun atau madaniyah khusus pada bentuk-bentuk fisik (materi) kehidupan yang mencakup bentuk-bentuk materi, seperti patung-patung yang diambil dari pandangan hidup atau yang dipengaruhinya, sebagaimana juga bentuk-bentuk materi yang dihasilkan dari sains dan industri, seperti komputer dan pesawat yang tidak diambil dan tidak dipengaruhi pandangan hidup.   
c.       Keilmuan dan keterampilan yang dipahami dari s\aqa>fah. Artinya s\aqafah lebih menekankan pada aspek keterampilan untuk mencapai sebuah perubahan pola pikir dan mendapatkan materi.    
d.      Keberhasilan dalam berbagai bidang yang dipahami dari al-‘umra>n. Artinya al-‘umra>n merupakan hasil dari keilmuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang sehingga berdampak pada keramaian sebuah wilayah, baik dari aspek orang maupun fisik.   
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan dua arti peradaban. 1) Kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat peradabannya; dan 2) Hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.[8]