Selasa, 07 Januari 2014

Nikah Dalam Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”[1] Demikian salah satu firman Allah tepatnya pada QS. Al-Ru>m/30 : 21. yang berbicara mengenai fitrah manusia, yaitu diciptakan dalam keadaan berbeda-beda sekaligus menjadi awal lahirnya upaya mencari pasangan hidup.
Itulah sebabnya Syekh Mutawalliy al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan ayat tersebut berpandangan bahwa fitrah manusia yang diciptakan dalam keadaan berbeda jenis bukan berarti perbedaan itu adalah perbedaan yang bertentangan dan bertabrakan (ikhtila>f ta’a>nud wa tas}a>dum), akan tetapi perbedaan itu adalah perbedaan untuk saling melengkapi (ihktila>f taka>mul).[2]
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa.[3] Apatah lagi realita masyarakat menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menghadapi hidup ini sendirian. Sehebat apapun seseorang pasti membutuhkan orang lain, baik untuk berbagi kebahagiaan maupun sebagai tempat curahan keluh kesahnya. Sehingga untuk merasakan kebahagiaan pun setiap orang membutuhkan teman/pasangan. Karena tiada artinya kebahagiaan bila hanya dirasakan seorang diri. Kenyataan juga menunjukkan bahwa semakin banyak yang terlibat dalam kegembiraan semakin meriah kegembiraan itu, sebaliknya semakin banyak yang ikut serta dalam kesedihan semakin ringan kepedihannya dipikul.
Oleh karena itu, Islam memberikan jalan bagi setiap orang untuk mencari pasangannya sekaligus memberikan petunjuk bagi mereka yang sudah siap lahir dan batin untuk memenuhi kebutuhan tersebut lewat pintu pernikahan.[4]
Pernikahan atau keberpasangan telah dikenal umat manusia sejak awal kehadirannya di pentas bumi ini hingga tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi sebagai umat beragama –khususnya Islam-, setiap orang diminta untuk mengikuti aturan-aturan ketuhanan yang merupakan law of sex (hukum keberpasangan) yang diletakkan oleh Maha Pencipta bagi segala sesuatu.
Hanya saja, dalam sejarah perjalanan hidup manusia muncul berbagai macam penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat yang melanggar nilai-nilai agama (baca : Islam).[5] Bahkan belakangan ini ada yang berupaya menyingkirkan institusi perkawinan dan menggati lembaga rumah tangga dengan bentuk yang lebih longgar, lebih dari itu ada pula upaya untuk melegalisasikan keberpasangan antara sesama jenis.[6]
Oleh karena itu, penafsiran terhadap ayat-ayat pernikahan perlu diketengahkan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai konsep Al-Qur’an tentang pernikahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang akan dikaji dapat diklasifikasi dalam beberapa rumusan, yaitu:
1.      Pengertian nikah menurut Al-Qur’an dan klasifikasi ayat-ayat yang terkait dengan hal tersebut?
2.      Tujuan dan manfaat pernikahan menurut Al-Qur’an?
3.      Orang-orang yang boleh dan tidak boleh dinikahi?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Nikah dan Klasifikasi ayatnya
Secara etimologi, kata nikah merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang tersusun dari huruf nu>n, kaf, dan h}a yaitu nakah}a – yankih}u – nakh}an wa nika>h}an. Menurut Ibn Fa>ris, kata yang tersusun dari huruf-huruf yang telah disebutkan itu memiliki makna penyatuan atau berhimpun, sehingga al-nika>h} sering diartikan al-bid}a>’u (persetubuhan) karena ia menyatukan atau menghubungkan naluri seks antara dua pihak. Kata ini juga sering digunakan untuk makna ‘aqd al-tazwi>j (akad pernikahan) karena ia menyatukan komitmen dari dua belah untuk hidup bersama.[7]
Kedua arti tersebut sejalan dengan makna kata “nikah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu; 1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi); 2.) perkawinan.[8] Oleh karena itu, nikah dipahami sebagai ikatan penyatuan, berupa penyatuan jiwa, akal, harapan, cita-cita, dan penyatuan badan.[9]
Adapun secara terminologi, di kalangan ulama fiqih khususnya, kata nikah dipahami dengan makna yang tidak jauh berbeda dengan makna etimologinya. Misalnya saja Wahbah al-Zuh}ailiy menjelaskan bahwa nikah yang sering diistilahkan dengan tazwi>j bermakna akad atau perjanjian yang telah ditetapkan Allah sebagai jalan kebolehan bagi seorang laki-laki untuk ber-istimta>’u “bersenang-senang” dengan seorang perempuan, demikian pula sebaliknya membolehkan seorang perempuan untuk “bersenang-senang” dengan seorang laki.[10]
Demikian pula oleh mazhab H{{anafiyah, kata nikah diartikan dengan ‘aqd yufi>du milk al-mut’ah qas}da>n atau akad yang kegunaannya untuk memiliki untuk bersenang-senang dengan sengaja.[11] Di samping ini, masih ada lagi defenisi yang lain yang ditawarkan oleh ulama-ulama fiqih. Hanya saja keanekaragaman dalam mendefenisikan nikah memiliki kesamaan subtansi, yaitu jalan yang membolehkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual yang ditandai dengan adanya ijab qabul antara kedua belah pihak yang diakui oleh agama.
Sementara Al-Qur’an menggunakan kata nikah juga pada makna al-tazwi>j tersebut yaitu ikatan perjanjian antara pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk bersuami isteri secara resmi, di samping –secara majazi- ia juga diartikan dengan hubungan seks.[12] Hanya saja perlu dipertegas bahwa hubungan seks yang diistilahkan dengan nikah adalah hubungan badan yang diawali dengan ikatan perjanjian syar’i. Bila ada hubungan seks/badan yang dilakukan tanpa adanya ikatan perjanjian syar’i sebelumnya maka ia tidak layak disebut nikah tetapi diistilahan zina (perzinahan).[13]
Keberpasangan di dalam Al-Qur’an terkadang juga disebut dengan al-zawa>j atau al-tazwi>j yang berarti “pasangan”[14]. Itulah sebabnya nikah sering disepadankan dengan kata tersebut karena keduanya memiliki kesamaan makna dan pengertian, yaitu pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.[15]
Akan tetapi, naluri bahasa Arab mengatakan ikhtila>f al-alfa>z} min ikhtila>f al-ma’a>niy (perbedaan lafal menyebabkan perbedaan makna) sehingga semirip apapun kedua kata tersebut tetap memiliki perbedaan.
Karena bila dicermati lebih lanjut, kata nikah dalam Al-Qur’an khusus ditujukan kepada manusia. Contoh dalam dalam surah al-Nisā ayat 25 Allah Swt. berfirman:
... فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ...[16]
Terjemahnya:
...karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya...
Dalam ayat ini terdapat perintah khusus ditujukan kepada umat manusia untuk mengawini perempuan dengan seizin tuan mereka. Sedangkan kata zawj dan derivasinya adalah ditujukan kepada manusia dan selainnya, termasuk hewan, dan tumbuh-tumbuhan.[17] Contoh ayat yang didalamnya ada kata zawj yang ditujukan kepada umat manusia yaitu di dalam surah al-Baqarah ayat 35 yang berbunyi:
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Terjemahnya:
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.
Kata zawjuka (isterimu) yang terdapat dalam ayat tersebut ditujukan kepada manusia yaitu Adam as., yang diperintahkan oleh untuk tinggal mendiami surga bersama pasangannya yaitu Hawa as.
Sedangkan contoh penggunaan kata zawj yang ditujukan kepada tumbuh-tumbuhan adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Rah}ma>n ayat 52;
فِيهِمَا مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ
Terjemahnya:
Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan.
Adapun contoh ayat yang di dalamnya ada kata zawj yang ditujukan kepada hewan adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Syu>ra> ayat 11;
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Terjemahnya:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.
M. Quraish Shihab mengakui bahwa secara umum Al-Qur’an hanya menggunakan dua kata ini –nika>h} dan zawj- untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami isteri secara sah. Sekalipun ada juga kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Qur’an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada nabi saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan isteri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi nabi saw.[18] Apatah lagi, Al-Qur’an secara jelas menyebutkan bahwa hal tersebut termasuk dalam kategori khus}u>s}iya>t al-rasu>l (kekhususan bagi nabi).[19] Sebagaimana tampak pada surah al-Ah}za>b/33 : 50.
...وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ...
Terjemahnya:
... dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin
Kaitannya dengan kata nika>h} dan zawj di dalam Al-Qur’an ditemukan dalam berbagai macam bentuk. Nika>h} misalnya, dengan berbagai macam derivasinya disebutkan sebanyak 23 kali.[20] Dengan rincian sebagai berikut:
-          Dalam bentuk fi’l ma>d}i disebutkan 2 kali
-          Dalam bentuk fi’l mud}a>ri’ disebutkan 13 kali
-          Dalam bentuk fi’il amr disebutkan 3 kali
-          Dalam bentuk mas}dar disebutkan 5 kali
Sementara kata zawj dalam berbagai macam bentuknya disebut 81 kali.[21]
Karena beragam dan banyaknya ayat yang berbicara tentang nikah, maka penulis akan memilih ayat yang dianggap dapat mewakili ayat-ayat lain yang setema. Ayat-ayat tersebut diklasifikasi dalam makkiyah dan madaniyah. Akan tetapi dari klasifikasi tersebut, penulis untuk sementara menilai, bahwa ayat-ayat nikah yang dikategorikan sebagai ayat-ayat makkiyah secara umum berbicara mengenai makna, filosofi, dan tujuan pernikahan. Sehingga klasifikasi pertama untuk tema nikah ini adalah tujuan pernikahan. Di antara contoh ayatnya, yaitu:
QS. Al-Syu>ra>/42 : 11.
فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Terjemahnya:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[22]
QS. al-Ru>m/30 : 21.
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[23]
Akan tetapi ayat yang berbicara tentang tujuan pernikahan tidak terbatas pada ayat makkiyah semata, ayat madaniyah pun tidak luput membicarakan hal tersebut. Namun, penulis melihat bahwa tujuan pernikahan yang disebutkan dalam ayat madaniyah itu lebih dihubungkan dengan teknis pernikahan karena dalam ayat tersebut mengingatkan para wali untuk tidak menolak lamaran seorang laki-laki yang baik agama dan akhlaknya hanya karena pertimbangan ekonomi (baca: hamba sahaya).[24]
Ayat yang dimaksud adalah QS. al-Nu>r/24 : 32.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Adapun klasifikasi kedua yang penulis angkat dalam makalah ini adalah orang-orang yang boleh & tidak boleh dinikahi, dan semua ayat yang terkait dengan hal tersebut disebutkan pada ayat-ayat madaniyah. Karena memang ayat-ayat madaniyah lebih menekankan pada aspek teknik pernikahan, termasuk proses pernikahan dan berbagai macam seluk beluk pernikahan itu.
Ayat-ayat yang dimaksud, di antaranya QS. al-Baqarah/2 : 221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
QS. al-Nisa>’/4 : 3.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Terjemahnya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
B.   Tujuan Pernikahan
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pernikahan atau berpasangan yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dengan kata al-zawa>j memiliki makna umum bahwa berpasangan adalah naluri setiap makhluk, tidak terbatas pada manusia saja, makhluk Allah yang lain pun memiliki naluri yang sama. Hanya saja manusia sebagai makhluk yang dimuliakan tentu memiliki perbedaan dengan yang lain.[25] Oleh karena itu, sekalipun di antara manusia dan binatang misalnya ada persamaan tujuan berpasangan namun tetap ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan bagi manusia, di antaranya:
1.      Sarana untuk menyalurkan hasrat seksualitas
Hasrat seksual merupakan naluri setiap makhluk, tak terkecuali manusia. Bahkan Freud sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Pengantin Al-Quran; Kalung Permata Buat Anak-anakku” menyatakan bahwa seluruh aktivitas manusia di dorong oleh kebutuhan tersebut, sampai-sampai anak yang menyusu atau mengisap jarinya pun dilukiskan oleh ilmuwan itu sebagai pengejawantahan dari dorongan seksual. Sekalipun ia sendiri –Quraish Shihab- tidak membenarkan pendapat itu secara keseluruhan. Namun terlepas dari benar dan tidaknya pernyataan Freud itu, pastinya bahwa dorongan seksual memang besar.  Naluri kecintaan kepada lawan seks menjadikan manusia mampu melanjutkan generasi dan membangun dunia ini.[26]
Besarnya dorongan dan hasrat seksual itu pun digambarkan oleh Al-Qur’an yang tampak pada pribadi ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b. Sebab pada awal-awal diwajibkannya puasa, masyarakat pada saat itu berkeyakinan bahwa makan, minum, dan hubungan senggama suami isteri hanya boleh dilakukan sebelum tidur di malam hari. Sehingga bila mereka –suami dan isteri- atau salah satu di antara keduanya sudah tidur maka ketiga jenis kegiatan itu termasuk berhubungan badan tidak boleh dilakukan.
Karena itulah, Qays ibn S{urmah salah seorang sahabat nabi dari golongan Ans}a>r suatu ketika di bulan Ramadhan ia langsung tidur setelah melaksanakan shalat Isya sementara ia belum makan dan minum. Akhirnya di saat ia terbangun dari tidurnya, ia melanjutkan puasa tanpa makan dan minum sebelumnya, sehingga ia pun merasa cukup kelelahan dan lapar. Demikian pula dengan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, suatu ketia ia menggauli isterinya di malam hari bulan Ramadhan setelah isterinya itu tidur. Dan apa yang dilakukan oleh keduanya –Qays dan ‘Umar- disampaikan kepada nabi, maka turunlah firman Allah swt., yaitu QS. al-Baqarah/2 : 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ...[27]
Terjemahnya:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka; Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam....
Al-Sya’arawiy ketika menafsirkan ayat di atas, ia mengatakan bahwa kalimat takhtanun anfusakum “tidak dapat menahan nafsumu” mengajarkan kepada kita bahwa manusia memang tidak kuat untuk berpuasa (baca: menahan diri) sepanjang waktu dari hasrat dan syahwat seksual, sehingga Allah memberikan rukhs}ah atau keringanan kepada mereka.[28]
 Ini berarti pemenuhan kebutuhan seksual merupakan sebuah desakan yang harus tersalurkan. Karenanya Allah menciptakan jalur pernikahan sebagai sarana untuk menyalurkan desakan tersebut. Sekaligus membuktikan kemuliaan manusia yang berbeda dengan makhluk yang lain. Dari sini juga dipahami bahwa pernikahan bagi manusia dalam pandangan agama tidak sebatas jalan berhubungan seks tapi lebih daripada itu pernikahan merupakan sarana untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah.
Mengapa tidak? Rasulullah saw. telah menggarisbawahi bahwa berhubungan seks dengan pasangan dinilai sebagai sedekah, sebagaimana jawaban nabi kepada sekelompok orang yang datang bertanya mengenai keterbatasan mereka untuk beribadah bila dibandingkan dengan orang-orang kaya;
يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ  أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ [29]
Artinya:
Wahai Rasulullah.. orang-orang yang memiliki harta berlimpah mendapatkan banyak pahala. Sebab mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta yang dimiliki. Nabi lalu membalas pernyataan mereka dengan mengatakan, “Tidakkah Allah telah menjadikan berbagai macam hal yang bisa kalian sedekahkan. Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf dan nahi munkar adalah sedekah, bahkan hubungan seks kalian adalah sedekah. Lalu para sahabat pun kembali bertanya, bagaimana bisa hubungan seks suami isteri menjadi sedekah? Nabi pun kembali menegaskan, bukankah apabila ia meletakkannya pada yang haram ia berdosa? Maka demikian pulalah bila ia letakkan pada yang halal, tentu ia mendapat pahala.”
Oleh karena pernikahan diciptakan sebagai sarana untuk menyalurkan hasrat seksual tersebut bahkan menjadi jalan untuk berkembang biak sebagaimana QS. al-Syu>ra>/42 : 11 menyebutkannya, maka manusia –sebagai wujud perbedaan dengan makhluk yang lain (baca: binatang)- diharapkan untuk terlebih dahulu merenungi dan mengaplikasikan beberapa ketentuan Allah sebagai law of sex untuk mencapai tujuan tersebut.
Di antaranya, pertama, QS. al-Baqarah/2 : 223.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Terjemahnya:
Isteri-isteri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untuk kamu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu bagaimana saja kamu kehendaki....
Imam al-Alu>siy ketika menafsirkan ayat tersebut, ia menyatakan bahwa kalimat anna> syi’tum “bagaimana saja kamu kehendaki” memiliki tiga makna yaitu; min ayna syi’tum (dari posisi mana saja kamu inginkan), kayfa syi’tum (bagaimana model yang kamu inginkan), dan mata> syi’tum (kapan kamu inginkan).[30] Dengan kata lain, setiap pasangan diberikan kesempatan oleh Allah untuk memilih arah, cara, dan kapan ia ingin berhubungan dengan pasangannya, selama hal itu sejalan dengan ketentuan Allah swt.[31]
Apatah lagi latar belakang turunnya ayat ini sangat terkait dengan hal tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Syaykha>n, Abu> Da>wud, dan al-Turmuz\iy dari Ja>bir :
كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ إِذَا أَتَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا فِى قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ فَنَزَلَتْ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Artinya:
Konon masyarakat Yahudi menganggap bahwa suami yang mendatangi isteri dari arah belakang maka anak yang lahir dari hubungan itu akan menjadi juling. Maka turunlah ayat “Isteri-isteri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) bagi kamu, maka datangilah (garaplah) ladangmu bagaimana saja kamu inginkan.
Atau dalam riwayat yang lain, sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuh}ailiy bahwa Muja>hid mengatakan; konon masyarakat Yahudi tidak menggauli isterinya dari depan (baca: qubul) pada saat ia haid, tapi mereka menggaulinya dari belakang (baca: dubur). Maka turunlah ayat tersebut menjelaskan.[32]
Dari sanalah, al-Zuh}ailiy menafsirkan bahwa suami dipersilahkan mendatangi isterinya dengan cara dan model bagaimana pun ia inginkan selama jalur masuknya hanya satu yaitu qubul sebab itulah yang menjadi lahan bercocok tanam bagi suami.[33]
M. Quraish Shihab menambahkan, ayat ini tidak hanya berbicara tentang hubungan seks dan perintah untuk melakukannya, atau sekedar mengisyaratkan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma bapak, sebagaimana petani menentukan jenis buah dari benih yang ditanamnya. Tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah bapak harus mampu berfungsi sebagai petani, merawat tanah garapannya (isterinya), bahkan benih yang ditanamnya (anak) sampai benih itu tumbuh, membesar, dan siap untuk dimanfaatkan.[34]
Ia pun menganalogikan bahwa tidak bijaksana seseorang menanam benih ditanah yang buruk/gersang. Karena itu, harus pandai-pandai memilih pasangan. Tanah yang subur pun harus diatur masa dan musim penanamannya, jangan setiap saat ia dipaksa untuk berproduksi. Karena itu pula harus pandai-pandai mengatur masa kehamilan, jangan setiap ada kesempatan pak tani menanam benihnya. Yang diharapkan dari petani adalah hasil panen yang berkualitas, yang dapat bertahan dalam segala tantangan cuaca, dan yang lezat serta penuh gizi. Orang tua pun harus dapat menghasilkan anak yang sehat, beriman dan bertakwa, dan dapat menghadapi segala macam tantangan hidup.[35]
Kedua, yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya adalah QS. al-Isra>/17 : 64.
... وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
Terjemahnya:
... dan berserikatlah kamu (hai Iblis) dengan mereka (manusia) pada harta dan anak-anak, dan beri janji (rayu)-lah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada manusia kecuali tipuan belaka.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan bisa ikut mengambil peranan pada harta dan anak-anak manusia. Oleh karena itu hubungan seks harus dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor atau situasi kekotoran. Bahkan Rasulullah saw. mengajarkan agar berdoa menjelang hubungan seks dimulai. Hanya saja penulis menilai bahwa makalah ini bukan tempatnya untuk membicarakan doa-doa yang diajarkan nabi tersebut.
Namun terlepas dari itu semua, situasi keagamaan dan rasa kehadiran Ilahi sangat diharapkan untuk diwujudkan oleh pasangan suami isteri pada saat mereka berhubungan sebab hal itu akan mempengaruhi buah hubungan itu.[36]
Ini juga berarti bahwa pemuasan kebutuhan biologis yang disertai nilai-nilai ruhani berbeda dengan pemenuhannya tanpa nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, dampak positif dan kesan indah yang lahir tidak berakhir dengan terhentinya pemuasan syahwat semata, tetapi berlanjut hingga jauh sesudah selesainya kepuasan biologis itu.
2.      Sarana untuk menemukan ketenangan (saki>nah)
Tujuan kedua dari pernikahan sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya adalah untuk menemukan ketenangan (saki>nah). QS. al-Ru>m/30 : 21 menceritakan;
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Saki>nah terambil dari akar kata sakana yang berarti al-waqa>r wa al-wada>’ah (ketenangan). Hanya saja ketenangan yang dimaksud di sini adalah tenangnya sesuatu setelah bergejolak, atau dalam istilah al-S{ah}ib ibn ‘Iba>d penulis kamus Arab monumental al-Muh}i>t} fi al-Lugah bahwa sesuatu disebut sakana apabila telah hilang gerakannya (iz\a> z\ahabat h}arakatuh). Kata ini dipergunakan untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, apapun bentuk gejolak itu.[37] Sementara ibn Fa>ris dalam Maqa>yi>s-nya menyebutkan bahwa kata yang tersusun dari huruf sin, ka>f, dan nu>n memiliki makna antonim dengan kata kekacauan dan gerakan.[38] Itulah sebabnya pisau dinamai sikki>n karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta.
Pernikahan disebut sebagai jalan untuk menemukan saki>nah karena naluri kepada lawan seks –atau keberpasangan- khususnya setelah manusia menginjak masa kedewasaan sedemikian mendesak sehingga melahirkan kegelisahan jika tidak terpenuhi.[39] Karena itulah cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan saki>nah  atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan pernikahan.
Berdasarkan keterangan tersebut dipahami bahwa saki>nah yang harus didahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan dinamis.[40] Sehingga nilai-nilai dan tuntunan agama perlu dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga demi terciptanya kehidupan rumah tangga yang baik.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut Al-Qur’an antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang.[41] QS. al-Nu>r/24 : 32 mengingatkan;
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Al-Qurt}ubiy sebagai salah seorang ulama tafsir yang mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan hukum menegaskan bahwa ayat tersebut merupakan janji kekayaan[42] dari Allah bagi orang-orang yang melakukan pernikahan demi mendapatkan ridha-Nya dan melindungi diri mereka dari pintu-pintu kemaksiatan. Bahkan al-Nasa>iy meriwayatkan salah satu sabda Rasulullah saw. melalui jalur Abu> Hurairah;
ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ [43]
Artinya:
Ada tiga orang yang berada dalam jaminan Allah, yaitu; orang yang berjuang di jalan Allah, orang yanag menikah karena ingin menjauhkan dirinya dari sesuatu yang hina, serta orang yang mencatat utangnya karena berniat untuk melunasinya.
Hanya saja orang yang belum memiliki kemampuan material diminta untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya. Sebagaimana QS. al-Nu>r/24 : 33 menjelaskan;
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ...
Terjemahnya:
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah mereka menjaga kesucian (diri) mereka, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya...
Al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan ayat tersebut, ia mengatakan bahwa Allah sengaja menggunakan kalimat walyasta’fif “berusaha menjaga diri” bukan dengan kalimat walya’fi “jaga diri” ini bermakna bahwa orang yang belum memiliki kemampuan untuk menikah diharapkan untuk berusaha melakukan sesuatu yang mengantarkan dapat memelihara kesucian dirinya, termasuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat serta menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan positif yang bernilai ibadah. Bahkan upaya memelihara kesucian diri bila dilakukan atas dasar ketakwaan kepada Allah merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan kelapangan rezeki.[44] Hal ini didukung oleh firman Allah QS. al-T{ala>q/65 : 2-3.
... وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ ...
Terjemahnya:
... Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Ia akan memberikan kepadanya jalan keluar (solusi) dari setiap masalah hidupnya serta akan diberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka...
Dari sini dipahami bahwa pertimbangan ekonomi perlu diperhatikan bagi orang-orang yang ingin melakukan pernikahan sebab kerelaan dari aspek ekonomi menjadi salah satu jalan menuju saki>nah atau ketenangan dalam pernikahan. Karena itulah, dianjurkan bagi orang-orang yang yakin tidak memiliki kemampuan untuk membiayai dan mempersiapkan pernikahannya untuk menahan diri dari pernikahan tersebut.[45]
Di samping kesiapan fisik, mental dan ekonomi, yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan bagi orang-orang yang ingin menemukan tujuan pernikahan tersebut berupa saki>nah atau ketenangan dalam rumah tangga, yaitu; pertama,  menanamkan komitmen dalam pribadi masing-masing untuk menjaga ikatan pernikahan di antara mereka yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dengan mi>s\a>qan gali>z}an atau ikatan yang kuat dan kokoh. Sebagaimana QS. al-Nisa>’/4 : 21.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Terjemahnya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau isteriI telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (isteri atau suami) dan mereka (para isteri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh.
mi>s\a>qan gali>z}an dipahami sebagai perjanjian yang sangat kuat yang mengingat sepasang suami isteri dalam ikatan pernikahan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas serta komitmen untuk melanggengkan kasih sayang di antara mereka.[46]
Upaya melanggengkan pernikahan itu dilakukan dengan berupaya ber-mu’a>syarah  atau bergaul dengan pasangan secara ma’ru>f (baik). Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam QS. al-Nisa>’/4 : 19.
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya:
... ber-mu’a>syarah-lah (bergaullah) dengan mereka secara ma’ru>f (patut). Maka bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Salah satu yang perlu digarisbawahi dari ayat tersebut adalah kata mu’a>syarah (bergaul). Al-Qur’an mengistilahkan hubungan suami isteri dengan kata mu’a>syarah, yang pada awalnya kata tersebut berarti pencampuran dan masuknya sesuatu ke sesuatu yang lain.[47] Sesuatu yang telah bercampur tidak mungkin atau sangat sulit dipisahkan. Begitulah kehidupan suami isteri, perlu mempertahankan mu’a>syarah bi al-ma’ru>f karena ikatan pernikahan bukan hanya diikat oleh faktor cinta, tetapi ada faktor lain, yaitu rahmat dan amanat.[48]
Kedua, yang perlu diperhatikan untuk mencapai saki>nah tersebut adalah memperkuat rasa mawaddah dan rah}mah dalam kehidupan rumah tangga. Itulah sebabnya QS. al-Ru>m/30 : 21 yang berbicara tentang tujuan pernikahan adalah untuk menemukan saki>nah dilanjutkan dengan penjelasan pentingnya kedua rasa tersebut. Karena hal itu merupakan tali temali ruhani perekat pernikahan. Ibn A<syu>r menjelaskan bahwa Allah memberikan rasa mawaddah kepada pasangan suami isteri karena rasa itulah yang akan mengantarkan mereka untuk saling mencintai yang tadinya tidak saling mengenal. Demikian pula dengan rah}mah, merupakan rasa yang diciptakan Allah kepada pasangan suami isteri karena rasa itulah yang menjadikan mereka saling menyayangi bagaikan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang tadinya mereka tidak memiliki perasaan dan simpati sebelum melangsungkan pernikahan.[49]
Mawaddah terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf wa>wu dan da>l berganda, yaitu wadda atau wadada. Kata tersebut memiliki makna cinta dan harapan. Demikian Ibn Fa>ris menjelaskan dalam bukunya Maqa>yi>s al-Lugah.[50]  Sementara pakar tafsir Abu> Bakr al-Biqa>’iy dalam tafsirnya Naz}im al-Durar fi> Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar menjelaskan bahwa kata tersebut mengandung arti al-ittisa>’u wa al-khuluw atau kelapangan dan kekosongan. Karenanya Ima>m Abu> al-H{asan al-H{arra>liy sebagaimana dikutip oleh al-Biqa>’iy mengatakan bahwa kata yang tersusun dari huruf tersebut menunjukkan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.[51]
Terlepas dari perbedaan makna awal dari kata tersebut, pastinya makna-makna itu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Sehingga mawaddah dipahami sebagai cinta yang dampaknya dapat dilihat pada sikap dan perbuatan yang berusaha memberikan banyak kebaikan sekaligus tidak akan memutuskan hubungan yang telah dibangun. Sebab orang yang memiliki rasa mawaddah hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).[52] Meminjam istilah Quraish Shihab, mawaddah adalah cinta plus yang sejati, karena orang yang sekedar mencintai sekali-sekali hatinya mendongkol terhadap kekasih atau kesal kepada yang dicintainya, tetapi mawaddah tidak seperti itu.[53]
Sementara rah}mah terambil dari akar kata yang tersusun dari huruf ra>, h}a>, dan mim, yaitu rah}ima. Kata tersebut memiliki makna belas kasih, simpati dan sayang. Sehingga kandungan seorang wanita disebut rahim karena dari sanalah lahir anak yang disayangi dan dikasihi.[54] Hanya saja, kasih sayang yang diistilahkan dengan rah}mah adalah kasih sayang yang diberikan di saat yang dikasihi dalam keadaan butuh dan tidak berdaya. Dengan kata lain, rah}mah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rah}mah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu. Pemiliknya tidak angkuh, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak juga pemarah, apalagi pendendam. Ia menutupi segala sesuatu dan sabar menanggung segalanya. Demikian gambaran yang disampaikan M. Quraish Shihab ketika menjelaskan makna kata tersebut.[55]
Di sinilah perbedaan antara mawaddah dan rah}mah. Sebab betapa pun kuatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan. Karenanya di saat potensi mawaddah yang diciptakan Allah pada setiap pasangan belum terasah dengan baik atau sudah mengalami erosi, maka saat itulah faktor rah}mah berperan. Itulah sebabnya, di kalangan sebagian mufassir ada yang memahami bahwa mawaddah adalah kiasan dari hubungan senggama, sedangkan rah}mah adalah kiasan dari hubungan kasih sayang terhadap anak. Ini berarti bahwa mawaddah merupakan cinta yang dibuktikan dengan selalu memberikan kebaikan lebih kepada pasangan termasuk kemampuan untuk melakukan hubungan senggama. Adapun rah}mah adalah kasih sayang yang diberikan kepada pasangan sekalipun kemampuan untuk memberikan sesuatu yang lebih telah berkurang sehingga ia digambarkan dengan kasih sayang orang tua kepada anaknya karena kasih sayang itu menanamkan nilai untuk tidak berpisah dengan pasangannya bagaimana pun kondisi yang dihadapi.[56]
Hanya saja, perlu dipertegas kembali bahwa mawaddah dan rah}mah tidak lahir begitu saja, atau hadir begitu terlaksananya pernikahan. Akan tetapi Allah menganugerahi pasangan suami isteri potensi untuk meraih mawaddah dan rah}mah, sehingga mereka dituntut untuk terus berjuang dan berusaha meraihnya.
Karena mawaddah dan rah}mah merupakan anugerah dari Allah maka pasangan suami isteri dituntut untuk semakin taat memenuhi nilai-nilai yang diamanatkan Allah, termasuk dengan memperbanyak doa agar hubungan mereka semakin kukuh serta mampu memberi dan menerima cinta kasih.
Melaksanakan tuntunan Ilahi yang diwujudkan dengan keimanan dan amal saleh merupakan cara yang harus ditempuh untuk mampu menerima serta memberi mawaddah, sehingga yang bersangkutan tidak akan bertepuk sebelah tangan. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah sebagaimana QS. Maryam/19 : 96. mengingatkan;
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, Allah Yang Maha Pemurah akan menganugerahi mereka wudda (mawaddah).
Ini berarti bahwa bantuan Ilahi selalu harus diharapkan karena setiap saat Allah terlibat. Namun, upaya untuk meraih sukses tetap harus selalu diperjuangkan. Ini juga mengandung isyarat bahwa pasangan suami isteri harus dapat menjadi “diri” pasangannya, dalam arti masing-masing harus merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan pasanganya. Suami isteri harus merasa saling membutuhkan dan berusaha memenuhi kebutuhan pasangannya.
QS. al-Baqarah/2 : 187. mengistilahkan mereka dengan pakaian;
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Terjemahnya:
... isteri-isteri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka...
Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami isteri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami isteri menurut kodratnya memiliki kekurangan dan masing-masing harus dapat berfungsi menutupi kekurangan pasangannya.
Ketiga, yang harus diperhatikan untuk mencapai saki>nah dalam pernikahan adalah kesadaran akan amanah yang diberikan Allah kepada pasangan suami isteri. Sebab sebagaimana telah diketahui bahwa jodoh dan pasangan adalah anugerah dari Allah yang telah diterima dengan janji setia bukan hanya dihadapan wali atau penghulu tetapi juga dihadapan Allah. Demikian Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya;
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ [57]
Artinya:
Takutlah kepada Allah mengenai wanita (isterimu), karena kamu telah menerimanya atas dasar amanah Allah, dan kamu pun sudah halal berhubungan dengannya atas dasar kalimat Allah (janji setia).
Al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan QS. al-Nisa>’/4 : 19, ia mengutip sebuah riwayat bahwa suatu ketika ada seorang pria datang kepada ‘Umar ra. dan menyampaikan rencananya untuk menceraikan isterinya karena adanya sesuatu yang tidak disukai dari isterinya tersebut. ‘Umar, khalifah Rasullah yang kedua itu berkomentar, “menceraikan? Kalau demikian, di mana kamu letakkan amanat yang telah engkau terima?” Ini diucapkan sambil membaca firman Allah;
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya:
... ber-mu’a>syarah-lah (bergaullah) dengan mereka secara ma’ru>f (patut). Maka bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Isteri adalah amanat dipelukan sang suami, dan suami pun amanat dipelukan sang isteri, demikian M. Quraish Shihab menyebutnya.[58] Sehingga sebagian besar pernikahan yang gagal disebabkan oleh hilangnya upaya memelihara amanat itu. Sebaliknya sekian banyak pernikahan dapat bertahan menghadapi berbagai badai, hanya dengan berperisaikan iman dan amanat. Dari sinilah dipahami mengapa dalam tuntunan agama, prioritas pertama dalam menjatuhkan pilihan pada pasangan adalah iman dan takwa, dengan kata lain aspek agamanya. Sebagaimana riwayat Muslim dari Abu> Hurairah ra.
... فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ [59]
Artinya:
... Raihlah yang memiliki agama, karena kalau tidak, engkau akan sengsara.
Jika komitmen untuk memelihara ikatan pernikahan sebagai mi>z\a>qan gali>z}an, disertai upaya meraih mawaddah dan rah}mah dalam pernikahan, dan dilanjutkan dengan kesadaran akan amanat yang diberikan Allah, maka tentunya pondasi rumah tangga kian kukuh dan sendi-sendinya akan semakin tegar.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Terjemahnya:
Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh lalu bangunannya roboh bersama dengannya ke dalam neraka jahannam. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.
C.   Orang-orang yang Boleh dan Tidak Boleh dinikahi
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa agama memberikan tuntunan dalam memilih pasangan demi tercapai keluarga dan rumah tangga yang harmonis. Sekalipun demikian, agama tetap memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk menyesuaikan dengan selera dan keinginan masing-masing.
Karena itulah, Al-Qur’an ketika berbicara tentang siapa yang boleh dinikahi, ia hanya menyebutkan secara umum dan tidak menentukan secara rinci. Sebagaimana terlihat pada QS. al-Nisa>’/4 : 3.
... فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ...
Terjemahnya:
... maka nikahilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita...
Kata ma> t}a>ba pada ayat tersebut dipahami oleh al-Zamakhsyariy dengan makna ma> h}alla atau wanita-wanita yang halal dinikahi sebab ada di antara mereka yang haram untuk dinikahi.[60] Oleh karena itu, terkait dengan siapa yang boleh dinikahi dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an memberikan kebebasan untuk memilih selama mereka tidak termasuk yang diharamkan dalam agama.
Meskipun demikian, Rasulullah saw. mengingatkan untuk mengedepankan nilai-nilai agama, di samping perlunya mempertimbangkan aspek-aspek yang lain. Sebagaimana sabdanya;
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
Wanita itu dinikahi karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan atau karena agamanya. Akan tetapi jatuhkanlah pilihanmu atas dasar yang beragama, karena kalau tidak engkau akan sengsara.
Penulis melihat, hadis ini merupakan ketentuan mayor dalam mencari pasangan. Dan untuk mengetahui keberagamaan seseorang (khususnya wanita) di antaranya dapat dilihat pada beberapa indikator yang disampaikan nabi dalam hadisnya yang lain, yaitu;
خير النساء اللاتي إذا نظرت إليها سرتك ، وإذا أمرتها أطاعتك ، وإذا غبت عنها حفظتك في مالها ونفسها [61]
Artinya:
Sebaik-baik wanita adalah wanita yang apabila engkau memandangnya, ia membuatmu bahagia; apabila engkau menyuruhnya, ia menaatimu; dan apabila engkau tidak ada di sisinya, ia memelihara kehormatanmu pada harta dan pribadinya.
Indikator ini sejalan dengan firman Allah pada QS. al-Nisa>’/4 : 34.
... فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ...
Terjemahnya:
... Wanita yang saleh adalah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya, oleh karena Allah telah memelihara mereka...
Al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan ayat tersebut, ia menegaskan bahwa wanita yang saleh adalah wanita yang senantiasa istiqamah atau konsisten pada manhaj (jalan hidup) yang telah ditetapkan baginya sesuai dengan kodratnya. Dan wanita yang saleh itu selalu berupaya taat dan tunduk kepada Allah serta berusaha menjaga kehormatan dan harga dirinya di saat orang yang bertanggung jawab padanya tidak ada di tempat (baca: gaib).[62]
Demikian pula sebaliknya, seorang wanita diberikan tuntunan dalam agama untuk menerima pasangan (suami) berdasarkan tinjauan agama. Hal ini diperkuat oleh hadis nabi sebagaimana riwayat al-Turmuz\iy dari Abu> Hurairah ra.
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض [63]
 Artinya:
Apabila telah datang meminang kepadamu orang yang bagus agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, sebab bila kalian tidak melakukannya maka anak perempuanmua akan menjadi “fitnah” di muka bumi sekaligus membawa kerusakan yang banyak.
Bahkan al-H{asan ibn ‘A<liy ketika diminta pendapatnya mengenai pria yang layak dijadikan pasangan hidup, ia menjawab;
زَوّجها من ذي الدين، إن أحبها أكرمها، وإن كرهها لم يظلمها [64]
Artinya:
Nikahkanlah perempuanmu dengan pria yang beragama, sebab bila mencintainya maka ia akan memuliakan isterinya, dan bila ia tidak menyukainya maka ia tidak akan menganiayanya.
Demikian tuntunan agama mengenai orang yang boleh dinikahi, tetapi bagaimana dengan orang yang tidak boleh dinikahi? Di sini penulis melihat bahwa Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi itu. Akan tetapi, berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an, orang-orang yang tidak boleh dinikahi setidaknya disebabkan oleh beberapa sebab. Dan ulama fiqih mengklasifikasi sebab-sebab pengharaman orang tidak boleh dinikahi ke dalam dua sebab, yaitu; sebab yang bersifat abadi atau selamanya (al-muh}arrama>t al-muabbadah), dan sebab yang bersifat sementara (al-muh}arrama>t al-muaqqatah).[65]
Sebab yang bersifat abadi yang dimaksud, yaitu; pertama, diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab), kedua, diharamkan karena hubungan kekerabatan melalui pernikahan (al-mus}a>harah), ketiga, diharamkan karena susuan (rad}a>’ah).
Sementara sebab yang bersifat sementara yang dimaksud, yaitu; pertama, diharamkan karena status wanita yang sudah ditalak tiga, kedua, diharamkan karena status wanita yang terkait dengan suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara dalam keadaan iddah), ketiga, diharamkan karena beda agama dan keyakinan, keempat, diharamkan karena status wanita tersebut sebagai saudara atau keluarga dekat isteri yang sedang berjalan, dan kelima, diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi isteri kelima dalam waktu bersamaan.
1.      Al-Muh}arrama>t al-Muabbadah (sebab yang bersifat abadi)
Yang dimaksud dengan sebab yang bersifat abadi adalah sebab yang menghalangi seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selamanya karena sebab tersebut tidak bisa hilang atau dihilangkan, ia akan terus melekat pada diri masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan. Yang termasuk dalam kategori ini, yaitu;
a.       Diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab)
Dasar hukum dari ketentuan ini adalah firman Allah tepatnya pada QS. al-Nisa>’/4 : 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ ...
Terjemahnya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan...
Dari ayat tersebut dipahami bahwa yang termasuk tidak boleh dinikahi karena sebab kekeluargaan ada tujuh golongan, yaitu; ibu ke atas,[66] anak ke bawah,[67] saudara perempuan,[68] tante baik dari bapak maupun ibu,[69] serta anak saudara (keponakan) baik dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.
Alasan atau ‘illah pengharaman ini tidak diketahui secara pasti, namun di antara ulama ada yang mencoba mengkajinya lebih jauh. Sehingga ada yang berpandangan bahwa pelarangan menikahi seorang wanita karena sebab kekeluargaan dilatarbelakangi oleh dampak yang dapat ditimbulkan dari hubungan tersebut, yaitu dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sa>biq mengingatkan untuk menikahi wanita asing (yang bukan keluarga) agar anak yang lahir dari hubungan tersebut tidak kurus dan lemah.[70]
Ada juga yang berpandangan bahwa setiap orang diharuskan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri.[71] M. Quraish Shihab menambahkan bahwa ketujuh golongan yang disebutkan itu kesemuanya harus dilindungi dari rasa birahi, ia pun menegaskan bahwa ada ulama yang berpandangan larangan pernikahan antara kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.[72]
b.      Diharamkan karena adanya hubungan kekerabatan melalui pernikahan (mus}a>harah)
Yang dimaksud dengan mus}a>harah adalah orang yang awalnya tidak termasuk keluarga atau kerabat dekat, namun setelah terjadi pernikahan di salah satu anggota keluarganya menyebabkan mereka tergolong kerabat. Termasuk dalam golongan ini adalah isteri bapak (ibu tiri), isteri anak (menantu), ibu isteri (mertua), dan anak isteri. Hanya saja khusus untuk yang keempat ini, yaitu anak isteri, ia termasuk haram dinikahi apabila ibunya (isteri) telah disetubuhi oleh suami (ayah tirinya). Apabila isteri belum disetubuhi lalu ia berpisah oleh suaminya, baik pisah karena talak atau karena isteri tersebut meninggal dunia maka anaknya itu (anak tiri suami) tidak lagi haram bagi suami ibunya.
Ketentuan ini didasari oleh firman Allah, tepatnya pada QS. al-Nisa>’/4 : 22 & 23.
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
... وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ ...
Terjemahnya:
... dan diharamkan pula bagimu (untuk dinikahi) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
Terkait dengan ayat 22 di atas, ia merupakan respon balik sekaligus solusi atas praktik yang terjadi di tengah masyarakat –khususnya ketika turunnya Al-Qur’an- yang menegaskan ketidakbolehan secara mutlak seorang anak menikahi mendiang isteri ayahnya.
Sebab pernikahan sekalipun merupakan ketetapan Ilahi sekaligus tuntunan nabi, namun ternyata fakta masyarakat –khususnya pada masa jahiliyah dan awal-awal Islam- menunjukkan adanya praktik-praktik yang amat berbahaya dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri). Sebab mereka berprinsip bahwa bila seseorang (suami) meninggal dunia maka kerabatnya itulah yang paling berhak “mewarisi” mendiang isterinya. Bila ia ingin, maka ia bisa menikahinya sekalipun secara paksa, atau ia bisa menikahkannya dengan orang lain atau melarangnya untuk menikah dengan orang lain.[73] Hal inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat QS. al-Nisa>’/4 : 19.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ...
Terjemahnya:
Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa...
Ayat ini menegaskan bahwa seorang isteri tidaklah sama dengan harta warisan, yang bisa diwarisi dan diperlakukan sama dengan harta-harta yang ditinggalkan oleh orang yang punya harta itu.
Hanya saja, ketika turunnya ayat tersebut –ayat 19-, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka. Sebagaimana yang dilakukan oleh H{is}an ibn Abi> Qays yang mengawini mendiang ayahnya yang bernama Kabi>syah bint Mi’an, demikian pula al-Aswad ibn Khalaf, S{afwa>n ibn Umayyah, dan Mans}u>r ibn Ma>zin yang masing-masing menikahi mendiang isteri ayahnya.
Asy’as\ ibn Siwa>r seperti yang dikutip Wahbah al-Zuh}ailiy menceritakan bahwa ketika Abu> Qays yang merupakan seorang yang saleh dari kaum Ans{a>r meninggal dunia, anaknya yang bernama Qays meminang isteri ayahnya. Lalu perempuan tersebut mengatakan, inni> a’idduka waladan (sesungguhnya aku telah menganggapmu sebagai anak), akan tetapi saya akan mendatangi nabi untuk meminta tanggapannya. Perempuan itu pun mendatangi nabi dan menceritakan apa yang terjadi, maka turunlah ayat QS. al-Nisa>’/4 : 22. di atas[74] yang merespon kejadian tersebut sekaligus –sekali lagi- menegaskan ketidakbolehan secara mutlak seorang anak menikahi mendiang isteri ayahnya.
Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy menganggap pelarangan tersebut disebabkan oleh tiga hal seperti yang disebutkan Allah dalam ayat tersebut, yaitu pertama, fa>h}isyah  atau perbuatan yang sangat keji karena isteri ayah menyerupai status ibu sehingga mengawini dan menggauli ibu adalah perbuatan yang sangat keji. Kedua, maqtan yang berarti perbuatan tersebut sangat dibenci yang menyebabkan pelakunya menjadi hina. Dan ketiga, sa>a sabi>lan yang berarti perbuatan tersebut merupakan tradisi yang tidak baik sekalipun sudah dilakukan oleh banyak orang. Sehingga dari ketiga istilah tersebut, lahir tiga tingkatan keburukan, yaitu; buruk menurut akal (fa>h}isyah), buruk menurut syariat dan agama (maqtan), dan buruk menurut budaya dan norma kemasyarakatan (sa>a sabilan). Dan ternyata menikahi isteri mendiang ayah mengumpulkan ketiga jenis keburukan tersebut.[75]
Demikian pula pada golongan ketiga selanjutnya yang haram dinikahi, yaitu; mertua, menantu, dan anak tiri. Sebagaimana yang disebutkan pada ayat 23 di atas menunjukkan perhatian agama (Al-Qur’an) yang begitu besar kaitannya dengan kehidupan rumah tangga sekaligus menjaga nilai-nilai kekerabatan itu. Karena itulah, pelarangan menikahi mereka, ada yang memahami sebagai upaya mencegah timbulnya perselisihan atau perceraian seperti yang dapat terjadi pada pasangan suami isteri, apatah lagi status mereka sama dengan status keluarga karena faktor nasab. Sehingga kesemuanya itu harus dilindungi dari rasa birahi.[76]
Hanya saja, terkait dengan ayat 23 tersebut, ada dua kata yang penulis anggap perlu diperjelas, yaitu; pertama, kalimat wa raba>ibukum al-latiy fi> h}uju>rikum min nisa>ikum al-latiy dakhaltum bihinna (anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri). Kata raba>ib merupakan bentuk jamak (plural), yang kata tunggalnya adalah rabi>bah yang berarti anak isteri dari suaminya yang lain. Namun pelarangan menikahi anak isteri tersebut memiliki syarat, yaitu isteri (dalam hal ini ibunya anak itu) telah disetubuhi (dukhu>l) oleh suaminya (ayah tiri anak itu). Sehingga bila isteri belum di-dukhu>l oleh suaminya maka anaknya itu bisa dinikahi oleh mendiang ayah tirinya setelah ia (suami) berpisah dengan isterinya.
Syarat ini lahir di samping karena ia merupakan ketentuan Allah dalam Al-Qur’an, juga ulama memahami bahwa pernikahan yang hanya bermakna aqad (ikatan janji yang sakeral) semata tidaklah mengharamkan pernikahan bagi anaknya, sebab yang mengharamkan adalah makna kedua dari nikah itu, yaitu al-jima>’ (senggama). Karena apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang memiliki anak maka ia belum memiliki ikatan batin dengan anak tirinya bila hanya dikaitkan dengan akad nikah tersebut.
Kedua, kata yang perlu diperjelas disini adalah wa h}ala>il abna>ikum al-laz\i>na min as}la>bikum (isteri-isteri anak kandung). Penulis melihat bahwa dikaitkannya kata abna>’ yang merupakan bentuk plural dari kata ibn  yang berarti anak laki-laki dengan kata min as}la>b yang memiliki makna dasar “tulang punggung”, kemudian diartikan dengan anak kandung, tentunya keterkaitan tersebut melahirkan sebuah “keunikan”. Sehingga dari sinilah dipahami bahwa kata ibn atau abna>’ (anak laki-laki) tidaklah berarti anak kandung secara pasti, akan tetapi kata tersebut hanya menunjukkan jenis kelamin anak tersebut, yaitu laki-laki. Sebab andaikata kata tersebut sudah bermakna anak kandung maka tidak perlu lagi ditambahkan kalimat min as}la>bikum (yang lahir dari tulang punggungmu).[77] Sementara kata yang secara langsung menunjukkan anak kandung adalah kata yang tersusun dari huruf waw, la>m , dan da>l, yaitu al-walad. Karena itulah, surah al-Ikhlas menggambarkan hakikat Allah dengan kalimat lam yalid wa lam yu>lad (tidak beranak dan tidak diperanakkan).
c.       Diharamkan karena susuan (rad}a>’ah)
Dasar hukum untuk pelarangan menikahi orang –wanita- karena faktor susuan adalah QS. al-Nisa>’/4 : 23.
... وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ ...
Terjemahnya:
... (dan diharamkan pula untuk dinikahi) ibu-ibumu yang menyusui kamu; dan saudara perempuan sepersusuan;...
Para ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa berdasarkan ayat tersebut faktor sesusuan (rad}a>’ah) menjadi salah satu sebab seseorang haram dinikahi. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai ukuran atau kadar air susu yang diminum, batas umur yang menyusu, dan cara menyusu.
Namun sebelum lebih jauh mengkaji ketiga hal yang diperdebatkan itu, terlebih dahulu perlu ditekankan penggunaan kalimat ummaha>tukum (ibu-ibumu) dan ahkawa>tukum (saudara-saudaramu) pada ayat tersebut. Sebab penegasan kalimat tersebut dilakukan oleh Allah untuk menunjukkan hikmah pelarangan menikahi seseorang karena faktor susuan (rad}a>’ah). Hal ini mengisyaratkan bahwa ibu yang menyusui berkedudukan sama dengan ibu kandung, demikian juga saudara sesusuan sama dengan saudara kandung.[78] Ini disebabkan oleh karena seorang wanita bila menyusui seseorang (baca: bayi), maka air susunya itu akan menjadi makanan dan penguat bagi si bayi, selain itu air susu dari wanita susuannya akan mengalir di tubuh bayi tersebut dan berdampak pada pertumbuhannya.[79] Sehingga implikasi hukum dari ayat tersebut menyebabkan semua kerabat ibu menyusui menjadi kerabat anak susuannya. Ibu yang menyusui menjadi ibu bagi anak yang menyusu, anak ibu menyusui menjadi saudara anak yang menyusu, suami ibu yang menyusui menjadi ayah bagi anak yang menyusu.[80] Dengan kata lain, semua kerabat ibu yang menyusui haram dinikahi oleh anak susuannya sebab mereka telah menjadi kerabatnya. Ini diperjelas oleh hadis nabi yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadis dari ‘A<isyah ra.
يحرم من الرضاع ما يحرم من الولادة [81]
Artinya:
Apa yang haram karena kelahiran (nasab) ia pun haram karena susuan.
Ketika menyebutkan pelarangan menikah karena susuan, Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail seluk beluk pelarangan tersebut. Sehingga inilah yang menyebabkan munculnya keragaman pendapat ulama mengenai tiga hal yang disebutkan di atas, yaitu; ukuran air susu yang diminum, batas usia yang menyusu, serta cara menyusu.
Pembahasan secara mendalam mengenai perbedaan pendapat tersebut, penulis menilai di sini bukan tempatnya untuk dibicarakan.[82] Hanya saja secara umum dapat disimpulkan bahwa ulama-ulama bermazhab Ma>likiy dan H{anafiy menilai bahwa penyusuan secara mutlak mengharamkan pernikahan. Sekelompok ulama dari mazhab H{ana>bilah menganggap bahwa pengharaman tersebut lahir penyusuan terjadi tidak kurang dari tiga kali.[83] Tetapi, mazhab Sya>fi’iyyah dan H{ana>bilah bahwa dampak hukumnya baru terjadi bila penyusuan itu terjadi sedikitnya lima kali penyusuan.[84]
Redaksi ayat di atas juga tidak menyebutkan juga batas umur yang menyusu sehingga dapat mencakup siapa pun yang menyusu sekalipun ia telah dewasa. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa penyusuan yang berdampak hukum adalah yang terjadi sebelum seorang anak mencapai uisa dua tahun.[85] Ini didasari oleh firman Allah tepatnya QS. al-Baqarah/2 : 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ...
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Pemahaman terhadap ayat tersebut didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Da>ruqutniy dari ibn ‘Abba>s;
لا رضاع إلا ما كان في الحولين.[86]
Artinya:
Tidaklah dianggap rad}a>’ah kecuali dalam dua tahun.
Sementara itu, kata rad}a>’ah yang terdapat pada QS. al-Nisa>’/4 : 23 di atas terambil dari akar kata rad}a’a yang berarti meminum susu dari al-d}ar’u (tetek kambing) atau mengisap al-s\ady (payudara seorang perempuan) dan meminum susunya.[87] Hanya saja para ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam memahami kata tersebut. Mayoritas ulama masa lampau, termasuk Abu> H{ani>fah, Ma>lik, al-Sya>fi’iy memahami kata al-rad}a>’ah dalam arti masuknya air susu ke dalam rongga tubuh anak melalui kerongkongannya atau selain kerongkongannya dengan jalan mengisap atau bukan.[88]
Lain lagi pendapat dari Mans}u>r Yu>nus al-Bahu>tiy penulis Kasysya>f al-Qina>’, ia menganggap bahwa sesuatu disebut rad}a>’ah apabila air susu seorang perempuan telah sampai ke tenggorokan dan lambung seorang anak yang berumur tidak lebih dari dua tahun. Seorang perempuan dikatakan menyusui jika ia menyusui anaknya dari waktu ke waktu (terus menerus) dan jika anaknya itu menyusu langsung dari puting perempuan tersebut.[89]
Ulama kontemporer, Syekh Yu>suf al-Qarad}a>wiy, menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa dasar keharaman yang diletakkan agama bagi penyusuan adalah ummaha>t atau ibu yang menyusui sebagai bunyi ayat 23 surah al-Nisa>’ di atas. Keibuan yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak mungkin terjadi hanya dengan menerima/meminum air susunya, tetapi dengan mengisap dan menempel sehingga menjadi jelas kasih sayang ibu dan ketergantungan anak yang menyusu. Dengan kata lain, penyusuan yang dilakukan adalah secara langsung tanpa melalui perantara dan dalam kuantitas yang tidak sedikit.[90] Selanjutnya al-Qarad}a>wiy menegaskan bahwa merupakan keharusan untuk merujuk kepada lafaz yang digunakan Al-Qur’an, sedang makna lafaz yang digunakannya itu dalam bahasa Al-Qur’an dan sunnah adalah jelas dan tegas, bermakna mengisap tetek dan menelan airnya secara perlahan, bukan sekedar makan atau meminumnya dengan cara apa pun, walau atas pertimbangan manfaat.[91]
2.      Al-Muh}arrama>t al-Muaqqatah (sebab yang bersifat sementara)
Yang dimaksud dengan al-muh}arrama>t al-muaqqatah adalah wanita-wanita yang haram dinikahi dalam jangka waktu tertentu (sementara) disebabkan adanya beberapa sebab. Apabila sebab itu sudah tiada maka pelarangan tersebut pun juga terhapus. Sebab-sebab yang dimaksud, yaitu;
a.       Diharamkan karena status wanita yang sudah ditalak tiga.
Pengharaman untuk menikahi wanita yang sudah ditalak tiga atau dalam istilah fiqih adalah tala>q ba>in berlaku bagi mantan suami yang telah menceraikannya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah/2 : 230.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Kemudian jika suaminya mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Dari ayat tersebut dipahami bahwa seorang suami bila telah mentalak tiga isterinya maka isterinya yang sudah ditalak itu tidak halal (baca: haram) lagi baginya. Pengharaman ini tentunya memberi pelajaran yang sangat pahit bagi suami isteri yang bercerai untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian pertama terjadi, peristiwa itu kiranya menjadi pelajaran bagi keduanya untuk introspeksi dan melakukan perbaikan. Kalaupun masih terjadi perceraian untuk kedua kalinya, kesempatan terakhir harus dapat menjamin kelangsungan pernikahan, sebab kalau tidak, dan perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga kalinya, tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, kecuali memberi kesempatan kepada isteri untuk kawin dengan pria lain. Demikian M. Quraish Shihab menjelaskan hikmah pengharaman itu.[92]
Apatah lagi penggunaan kata ( إن ) yang diterjemahkan dengan kata “seandainya” yang biasanya kata tersebut digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu merupakan satu hal yang jarang terjadi di kalangan mereka yang memerhatikan tuntunan-tuntunan Ilahi atau perceraian adalah sesuatu yang diragukan di kalangan orang-orang beriman.[93]
Dari ayat itu pula dipahami bahwa diperbolehkan menikahi kembali mantan isterinya yang telah ditalak tiga apabila memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan di atas, yaitu:
1.      Mantan isteri tersebut sudah dinikahi oleh pria lain
2.      Pernikahan yang terjadi di antara mereka (mantan isteri dengan pria lain) adalah pernikahan yang sah menurut agama
3.      Pasangan suami isteri yang baru itu telah melakukan hubungan senggama di antara mereka.
Terkait dengan syarat yang kedua, pernikahan tersebut haruslah pernikahan yang sah, di sini memiliki implikasi hukum pada pernikahan yang diatur (diskenariokan) untuk menghalalkan kembali mantan suami menikah dengan mantan isterinya, atau yang sering diistilahkan dengan nika>h} al-muh}allil. Di kalangan ulama terdapat keragaman pendapat mengenai pernikahan seperti itu. Ulama H{anafiyah dan Sya>fi’iyyah berpandangan bahwa nika>h} al-muh}allil tidak bisa menghalalkan mantan suami untuk menikah kembali dengan mantan isterinya, bahkan Sya>fi’iyyah menilai bila seorang pria menikahi mantan isteri orang lain dengan tah}li<l (menjadi jalan kehalalan bagi mantan suami) maka pernikahan tersebut batal dengan sendirinya, dan bila mereka melakukan hubungan badan maka hubungan tersebut dianggap sebagai hubungan yang dilakukan di luar pernikahan.[94] Ini didasari oleh sabda nabi yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud mdari ‘Aliy ibn Abi> T{a>lib;
لعن الله المحلل والمحلل له [95]
Artinya:
Allah melaknat al-muh}allil (suami kedua) dan al-muh}allal lahu (suami pertama).
Akan tetapi, H{anafiyah menganggap bahwa perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat dicela (makru>h tah}ri>m) apabila dalam pernikahan itu disebutkan sebab diadakannya pernikahan dengan tujuan menghalalkan mantan suami untuk kembali ke mantan isterinya.[96]
Terlepas dari perbedaan hukum yang dipahami oleh para ulama mengenai nika>h} al-muh}allil, namun pastinya pernikahan seperti itu adalah pernikahan yang mendatangkan dosa besar. Ini dilihat dari penggunaan kata “laknat” dalam hadis tersebut yang memiliki makna melahirkan dosa besar.[97]
Adapun untuk syarat yang ketiga, ia merupakan kelanjutan dari syarat kedua, sebab pernikahan berujung pada hubungan badan suami isteri. Apatah lagi kalimat h}atta> tankih}a zawjan gayrah (hingga ia kawin dengan pria lain), oleh Ima>m al-Alu>siy dalam kitab tafsirnya Ru>h} al-Ma’a>niy menjelaskan bahwa kalimat tersebut lebih dimaknai pada arti al-jima>’ (senggama), sebab pernikahan yang hanya sebatas akad semata maka ia lebih tepat dipahami dari zawjan (pasangan).[98]
Ini diperkuat oleh jawaban nabi saw. ketika ditanya mengenai suami yang mentalak tiga isterinya, kemudian isteri tersebut menikah dengan pria lain, lalu mereka bercerai. Apakah isteri tersebut boleh kembali dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama? Maka jawaban nabi adalah;
لا تحل للأول حتى تذوق عسيلة الآخر ويذوق عسيلتها [99]
Artinya:
Tidak boleh mantan isteri tersebut dinikahi oleh suaminya yang pertama hingga ia dan suami kedua merasakan air mani (baca: madu) masing-masing.
Karena itulah M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pernikahan mantan isteri dengan pria lain maka kehormatan mantan suami kini sedikit tersinggung –jika masih ada sisa cinta dalam hatinya- karena pernikahan mantan isterinya itu bukan sekada porforma atau sekadar pencatatan dan kesaksian tentang terlaksananya ijab kabul, tetapi lebih dari itu, keduanya setelah ijab kabul harus saling menyatu yang dibuktikan lewat hubungan badan di antara mereka.[100] Atau dalam istilah penulis pernikahan tersebut berujung pada “tenggelamnya kapal Van Der Wick”.
b.      Diharamkan karena status wanita yang terkait dengan suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara dalam keadaan iddah)
Perempuan yang berstatus isteri orang lain termasuk orang yang tidak boleh dinikahi, berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. al-Nisa>’/4 : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ...
Terjemahnya:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu...
Turunnya ayat di atas dilatarbelakangi oleh peristiwa H{unayn. Yang menurut penjelasan ibn ‘Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-T{abra>niy bahwa masyarakat muslim pada saat itu mendapatkan wanita-wanita ahlul kitab yang memiliki suami. Dan ternyata di antara mereka ada yang menyukai wanita-wanita tersebut. Singkat cerita, hal ini pun disampaikan kepada nabi, maka turunlah ayat 24 dari surah al-Nisa>’ menjelaskan.[101]
Dari kandungan serta latar belakang turunnya ayat tersebut, tampak jelas ketetapan Allah yang mengharamkan menikahi wanita yang bersuami. Dengan kata lain, jangan ada dua suami yang menikah dengan seorang perempuan (poliandri).[102]
Ketetapan ini dipahami dari kata al-muh}s}ana>t yang terambil dari akar kata حصن h}as}ana yang berarti terhalangi. Benteng dinamai h}is}n karena ia menghalangi musuh masuk atau melintasinya.[103] Wanita yang dilukiskan dengan akar kata ini oleh Al-Qur’an dapat diartikan sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian karena dia adalah seorang yang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka, bukan budak, atau karena dia bersuami.[104]
Adapun mengenai wanita yang sementara berada dalam masa iddah (isteri yang berpisah dengan suaminya) apakah karena ditalak atau karena suaminya meninggal, ia juga termasuk orang yang tidak boleh dinikahi oleh orang lain hingga berakhirnya masa iddah tersebut, kecuali oleh suami yang telah mentalaknya –ini terkait dengan isteri yang ditalak satu atau talak dua oleh suaminya-[105] berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2 : 235.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ...
Terjemahnya:
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya...
Ayat ini merupakan salah satu tuntunan dari Allah bagi pria yang ingin menikah, yakni seorang pria boleh-boleh saja meminang wanita yang telah bercerai dengan suaminya dengan perceraian yang bersifat ba>in, yakni yang telah putus hak bekas suaminya untuk rujuk kepadanya kecuali dengan akad nikah baru sesuai syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.[106] Wanita tersebut diperbolehkan untuk dipinang pada masa ‘iddah (masa tunggu) mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan dengan sindiran.
Kata ‘arrad}tum yang dimaknai kamu menyindirnya dijelaskan oleh Wahbah al-Zuh}ailiy dengan arti lawwahtum (kamu memberi isyarat), sehingga sindiran yang dimaksud adalah sebuah tanda atau isyarat yang disampaikan oleh seorang pria kepada seorang wanita dan wanita tersebut pun memahami maksud isyarat itu, sekalipun ia tidak disampaikan secara jelas.[107]
Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa agama melarang seorang pria meminang wanita yang berada dalam masa ‘iddah, dengan perceraian yang bersifat ba>in. Khusus untuk wanita yang ditalak raji>’iy oleh suaminya ia dilarang secara mutlak untuk dipinang sebab status mereka masih dapat dirujuk oleh suaminya sehingga meminangnya, baik sindiran apalagi terang-terangan, dapat berkesan di hati mereka yang pada gilirannya dapat berdampak negatif dalam kehidupan rumah tangga jika ternyata suaminya rujuk kepadanya. Terhadap wanita yang berpisah karena wafat suaminya dan sedang dalam masa ‘iddah, tidak juga diperkenankan untuk dipinang secara terang-terangan, baik langsung maupun tidak, karena wanita-wanita tersebut dituntut untuk berkabung, sedangkan pernikahan adalah sebuah kegembiraan. Demikian M. Quraish Shihab menjelaskan.[108]
Bahkan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b pernah memisahkan antara pasangan T{ali>h}ah al-Asadiyah dengan suaminya Ra>syid al-S|aqafiy ketika Ra>syid menikahinya sementara ia (T{ali>h}ah) masih berada dalam masa ‘iddah.[109]
Adapun mengenai berapa lama masa iddah seorang wanita, baik ditinggal wafat oleh suaminya atau ditalak, penulis tidak membahasnya disini. Karena itulah, untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut dapat dilihat pada penafsiran ulama mengenai QS. al-Baqarah/2 : 228 & 234.
c.       Diharamkan karena beda agama dan keyakinan
Mengenai pernikahan lintas agama ini, terlebih dahulu perlu diperjelas siapa yang dikategorikan dalam Al-Qur’an sebagai orang yang beda agama & keyakinan. Apakah ia berlaku umum? Atau jangan sampai ada ketentuan mengenai mereka itu?
Dengan melihat beberapa ayat Al-Qur’an, termasuk di antaranya adalah QS. al-Bayyinah/98 : 1
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Terjemahnya:
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.
Ayat tersebut, oleh sebagian ulama –termasuk di antaranya Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy & al-Biqa>’iy- dipahami sebagai pengakuan Al-Qur’an terhadap mereka yang menganut Kristen dan Yahudi tidak termasuk orang-orang musyrik. Hal ini disebabkan oleh penggunaan huruf ‘at}af waw ( و ) di antara kata ahlu kitab dan musyrik, yang memiliki makna menghimpun dua hal yang berbeda.[110]
Pemahaman ini melahirkan implikasi hukum pada pelarangan menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Sebab ayat yang menjadi landasan hukum pelarangan tersebut adalah QS. al-Baqarah/2 : 221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang pria menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, demikian juga para wali dilarang menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik. Sehingga ulama yang berpendapat bahwa ahlu kitab tidak termasuk dalam kategori orang-orang musyrik berkeyakinan bahwa larangan menikah itu hanya berlaku pada orang musyrik, bukan ahlu kitab. Dengan kata lain, seorang pria muslim boleh-boleh saja menikah dengan wanita ahlu kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen). Apatah lagi QS. al-Ma>’idah/5 : 5 membolehkan hal tersebut.
... وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ ...
Terjemahnya:
... dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi kitab (suci).
Hanya saja, sekalipun ayat ini membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahlu kitab, tapi tidak ada isyarat sedikit pun yang menunjukkan sebaliknya. Sehingga dapat dipahami bahwa semua ulama sepakat haramnya pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim.[111]
Akan tetapi, di kalangan ulama yang lain, termasuk di antaranya adalah sahabat nabi, ‘Abdulla>h ibn ‘Umar berpandangan bahwa kebolehan yang terdapat dalam QS. al-Ma>’idah/5 : 5 di atas telah digugurkan oleh QS. al-Baqarah/2 : 221 tersebut.[112]
Hanya saja –menurut M. Quraish Shihab- pendapat ini sangat sulit diterima karena ayat al-Baqarah lebih dahulu turun dari ayat al-Ma>’idah, dan tentu saja tidak logis sesuatu yang datang terlebih dahulu membatalkan hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang setelahnya.[113]
Terlepas dari keragaman pendapat di atas, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Pertama, larangan pernikahan antarpemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya saki>nah dalam keluarga. Sementara pernikahan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesusaian pandangan hidup antara suami isteri, termasuk di antaranya adalah kesesuaian agama & keyakinan.[114] Berbeda dengan al-Sya’ara>wiy, ia menilai bahwa faktor lahirnya larangan pernikahan beda agama tersebut adalah faktor anak. Ia menggarisbawahi bahwa anak manusia adalah anak yang paling panjang masa kanak-kanaknya, sehingga ia membutuhkan bimbingan sampai ia mencapai usia remaja. Dan orangtualah yang berkewajibn membimbing anak tersebut hingga dewasa. Inilah sebabnya, mengapa Islam melarang nikah beda agama sebab dikhawatirkan timbulnya kekeruhan dalam keimanan sang anak.[115] Akan tetapi, pada lanjutan ayat 221 surah al-Baqarah tersebut, Allah pun menegaskan lebih jauh mengenai sebab utama pelarangan itu, yakni yad’u>na ila> al-na>r (mereka mengajak kamu ke neraka). Penggalan ayat ini memberi kesan bahwa semua yang mengajak ke neraka, baik melalui ucapan atau perbuatan maupun keteladan, adalah orang-orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup.[116]
Kedua, yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan melarang pernikahan seorang muslim dengan wanita ahlu kitab atas dasar kemaslahatan, bukan atas dasar teks Al-Qur’an. Sehingga terlepas dari hukum pernikahan itu jauh lebih bijak bila ditanamkan upaya untuk memilih pasangan yang seiman dan seakidah. Apatah lagi bila dipahami bahwa seorang wanita muslimah dilarang menikah dengan pria non-muslim, sekalipun pria ahlu kitab dikarenakan adanya kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan suami yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Pernikahan seorang pria muslim dengan wanita ahlu kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[117]
Ketiga, sekalipun para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya pria muslim menikah dengan wanita ahlu kitab, namun dalam QS. al-Ma>’idah/5 : 5 di atas juga disebutkan dua syarat yang mesti dipenuhi oleh wanita ahlu kitab tersebut, yaitu kata al-muh}s}ana>t yang berarti wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati serta mengagungkan Kitab suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata u>tuw yang selalu digunakan Al-Qur’an untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Sehingga bagaimana pun ulama berbeda pendapat tentang kebolehan pernikahan itu, namun apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka mereka untuk tidak membenarkan pernikahan itu.[118]


d.      Diharamkan karena status wanita tersebut sebagai saudara atau keluarga dekat isteri yang sedang berjalan
Yang dimaksud dengan sub judul di atas adalah seorang pria dilarang mengumpulkan dua wanita bersaudara atau lebih dan dijadikan sebagai isterinya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt. dalam QS. al-Nisa>’/4 : 23.
... وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ...
Terjemahnya:
... dan (kamu juga diharamkan)  menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;...
Ibn Jari>r al-T{abariy meriwayatkan dari ibn ‘Abba>s bahwa konon masyarakat jahiliyah menghalalkan/membolehkan untuk menikahi isteri mendiang bapak dan mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai isteri. Lalu Allah menurunkan firman-Nya sebagai respon penyimpangan tersebut, yaitu QS. al-Nisa>’/4 : 21. yang berbicara tentang larangan menikahi isteri mendiang bapak (sebagaimana disebutkan di atas), dan QS. al-Nisa>’/4 : 23.[119]
Mengenai ayat 23 dari surah al-Nisa>’, di sana Allah menggunakan kalimat an tajma’u> bayna al-ukhtayni (menghimpun –dalam pernikahan- dua perempuan yang bersaudara). Penekanan kata al-ukhtayni tidak terbatas pada dua perempuan bersaudara saja, namun ia juga mencakup sekian orang yang termasuk keluarga dekat.[120] Dalam konteks ini, Rasulullah saw. menjelaskan sebagaimana riwayat Muslim dari Abu> Hurairah ra.
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا [121]
Artinya:
Tidak dibenarkan menghimpun dalam pernikahan seorang wanita dengan saudara perempuan bapaknya, tidak juga dengan saudara perempuan ibunya
Dalam riwayat yang lain ditambahkan anak perempuan saudaranya yang lelaki dan anak perempuan saudaranya yang perempuan.[122]
Tentunya pelarangan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran putusnya hubungan kekeluargaan yang dapat muncul akibat pernikahan itu. Bahkan Rasulullah saw. sendiri menegaskan bahwa;
إنكم إن فعلتم ذلك قطعتم أرحامكم [123]
Artinya:
Karena kalau itu kamu lakukan, kamu memutus hubungan kekeluargaan kamu.
Ayat di atas juga memberikan kejelasan bahwa pernikahan seperti itu yang telah terjadi di masa lampau dimaafkan oleh Allah, namun melarang untuk dilanjutkan. Dengan kata lain, pernikahan tersebut batal dengan sendirinya. Ini dipahami dari penggalan ayat illa> ma> qad salaf (kecuali apa yang telah lampau).[124]
e.       Diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi isteri kelima dalam waktu bersamaan
Yang dimaksud disini adalah seorang pria tidak boleh menikahi seorang wanita apabila wanita tersebut akan menjadi isterinya yang kelima di saat isteri pertama sampai isteri masih ada dan sementara berjalan. Dengan kata lain, seorang pria dilarang poligami lebih dari lima isteri.
Ketentuan ini didasari oleh firman Allah dalam QS. al-Nisa>’/4 : 3.
 ... فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ...
Terjemahnya:
... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat...
Dari batasan yang disebutkan Allah dalam ayat tersebut sampai pada jumlah empat, maka nabi saw. melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang isteri bagi seorang pria. Ketika turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperisterikan empat orang wanita.[125]
Hal itu dialami oleh Gayla>n ibn Umayyah al-S|aqafiy di saat ia memeluk Islam, ia memiliki sepuluh orang isteri, maka nabi mengatakan;
اختر منهن أربعا وفارق سائرهن [126]
Artinya:
Pilihlah dari mereka empat orang isteri dan ceraikan selebihnya
Di sisi lain, ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya poligami. Akan tetapi penulis tidak ingin berbicara panjang lebar mengenai hal itu. Namun mengenai batasan jumlah isteri, memang ada yang memahami bahwa jumlah dua, tiga, dan empat yang disebutkan pada ayat tersebut digabung (dijumlahkan) sehingga menjadi sembilan dan hal itu mengikuti teladan nabi yang isterinya berjumlah sembilan.[127] Hanya saja pendapat ini terbantahkan oleh ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan tabi’in, dan tidak ditemukan satu orang pun di antara mereka yang memiliki pendapat berbeda. Apatah lagi adanya perintah dari kepada Gayla>n di atas untuk memilih empat dari sekian banyak isterinya.
Untuk menutup kajian ini, penulis merasa perlu mengutip komentar M. Quraish Shihab bahwa ayat tersebut tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.[128]
Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang poligami dalam syariat Al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[129]



















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa poin sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pernikahan adalah sebuah ketentuan yang telah ditetapkan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya atas hamba-hamba-Nya yang memiliki fitrah untuk berpasangan. Dan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dipahami bahwa pernikahan merupakan ikatan perjanjian antara pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk bersuami isteri secara resmi, di samping –secara majazi- ia juga diartikan dengan hubungan seks. Ketika membicarakan pernikahan, Al-Qur’an menggunakan dua term, yaitu nika>h} dan zawj. Hanya saja kata nika>h} lebih diarahkan penggunaannya pada keberpasangan manusia dengan sesamanya, sementara zawj memiliki makna yang lebih umum.
2.      Pernikahan yang merupakan tuntunan Allah, tentunya memiliki beberapa tujuan. Dan dari ayat-ayat Al-Qur’an setidaknya ada dua tujuan pokok ditetapkan pernikahan itu, pertama, sarana untuk menyalurkan hasrat seksual manusia. Kedua, sarana untuk menemukan saki>nah atau ketenangan hidup, yang tentunya tujuan ini hanya akan tercapai bila masing-masing menyadari urgensi serta sakeralnya komitmen yang dibangun lewat akad nikah, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya menumbuhkan rasa mawaddah dan rah}mah, serta bertekad menjaga ama>nah yang diberikan Allah kepadanya.
3.      Secara umum, Al-Qur’an tidak membatasi setiap orang dalam mencari pasangan hidup. Sehingga mereka diberikan ruang yang luas untuk menemukan pasangan yang disenangi dan diinginkan olehnya, selama yang diingini itu tidak bertentangan dengan tuntunan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis nabi. Oleh karenanya, terkait dengan orang yang tidak boleh dinikahi, Al-Qur’an menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan. Dan faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasi dalam sebab pokok, yaitu sebab yang bersifat abadi, dan sebab yang bersifat sementara.
B.   Implikasi
Ketentuan pernikahan yang telah diatur oleh Allah mengandung pesan pentingnya untuk bersyukur, tidak mengingkari atau melupakan nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan-Nya. Karena memang pernikahan adalah anugerah dari Yang Kuasa, sehingga segala daya yang dimiliki setiap insan –khususnya suami isteri- dapat dipergunakan dan difungsikan sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Oleh karena itu, pengkajian lebih dalam akan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah nabi terkait dengan tema “nikah” perlu digalakkan demi mengungkap betapa banyak nikmat yang diberikan Allah yang selanjutnya setiap orang dituntut untuk menyadari sekaligus memelihara dengan sebaik-baiknya.









DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al Quran dan Terjemahnya. Bandung. Syaamil Cipta Media. 1426 H/2005 M.
Al-Sya’ara>wiy, Mutawalliy. Tafsi>r al-Sya’ara>wiy. Kairo. Da>r al-‘Ulu>m. t.th.
Shihab, M. Quraish. Pengantin Al-Qur’an; Kalung Permata Buat Anak-anakku. Cet. I. Ciputat. Lentera Hati. 2007.
Ibn Fa>ris, Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Zakariya>. Maqa>yi>s al-Lugah. Kairo. Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab. 2002.
Ibn Manz}u>r, Muh}ammad ibn Mukrim al-Mas}riy. Lisa>n al-‘Arab. Cet. I. Beirut. Da>r S{a>dir. t.th.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Cet. II. Jakarta. Balai Pustaka. 2002.
Al-Zuh}ailiy, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh. Cet. IV. Damaskus. Da>r al-Fikr. 1997.
Al-Jazar, ‘Abd. al-Rah}ma>n. al-Fiqh 'Ala> Maza>hib al-Arba'ah. Mesir. Da>r al-Qalam. 1979.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XIX. Bandung. Mizan. 2007.
Al-Zuh}ailiy, Wahbah. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj. Cet. II. Damaskus. Da>r al-Fikr. 1418 H.
‘Abd al-Ba>qiy, Muhammad Fu'a>d. Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} Al-Qura>n al-Az}i>m. Beirut. Da>r al-Fikr. 1992.
Al-Ra>ziy, Fakhr al-Di>n. Mafa>ti>h} al-Gayb. Cet. II. Beirut. Da>r al-Fikr. t.th.
Al-Bukha>riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}. Cet. III. Beirut. Da>r ibn Ka>s\i>r. 1987.
Al-Naysabu>riy, Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j al-Qusyayriy. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}. Beirut. Da>r al-Jayl. t.th.
Al-Alu>siy Syiha>b al-Di>n Mah}mu>d ibn ‘Abdilla>h al-H{usayniy. Ru>h} al-Ma’a>niy fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i al-Mas\a>niy. Cet. III. Beirut. Da>r al-Kutub, t.th.
Al-S{a>h}ib ibn ‘Iba>d. al-Muh}i>t} fi> al-Lugah. Beirut. Da>r al-Kutub. t.th.
Muh}ammad ibn ‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy. Beirut. Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy. t.th.
Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu’aib al-Nasa>iy. Sunan al-Nasa>iy. Cet. V. Beirut. Da>r al-Ma’rifah. 1999.
Ibra>hi>m ibn ‘Umar ibn H{asan al-Riba>t} ibn ‘A<liy ibn Abi> Bakr al-Biqa>’iy. Naz}im al-Durar fi> Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah. t.th.
M. Quraish Shihab. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma> al Husna> dalam Perspektif Al-Qur’an. Cet. II. Jakarta. Lentera Hati. 1999.
‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn Idri>s al-Ra>ziy ibn Abi> H{a>tim. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulilla>h S{allalla>hu ‘alayhi wa sallama wa al-S{ah}a>bah wa al-Ta>bi’i>n. Cet. I. Riyad. Maktabah Niza>r al-Ba>z. 1997.
Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h Abu> ‘Abdilla>h al-H{a>kim al-Naysa>bu>riy. al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>h}ayn. Cet. I. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1990.
Muh}ammad ibn ‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy. Beirut. Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy. t.th.
Wahbah al-Zuh}ailiy. al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh. Cet. IV. Damaskus. Da>r al-Fikr. t.th.
Sayyid Sa>biq. Fiqh al-Sunnah. t.tp. Da>r al-S|aqa>fah al-Isla>miyyah. t.th.
Abu> al-H{asan ‘Aliy ibn Ah}mad al-Wa>h}idiy al-Naysa>bu>riy. Asba>b al-Nuzu>l. Beirut. ‘Alam al-Kutub, t.th.
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Cet. III. Ciputat. Lentera Hati. 2010.
Wahbah al-Zuh}ailiy. al-Fiqh al-Syafi>’iy al-Muyassar. terj. Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Fiqih Imam Syafi’i. Cet.I. Jakarta. Almahira. 2010.
Yu>suf al-Qarad}a>wiy. Fata>wa Mu’a>s}irah. Kairo. Da>r al-Qalam. 2003.
Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>’i. Sunan al-Nasa>i. Kairo. Da>r al-Hadi>s. 1999.
Abu> ‘Abdullah Muhammad ibn Zaid al-Qazwiniy. Sunan Ibn Ma>jah. Cet.I. Kairo. Da>r ibn al-Hais\am. 2005.
‘Aliy Ibn ‘Umar al-Da>raqut}niy>. Sunan al-Da>raqut}niy. Cet. II. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2003.
Mans}u>r Yu>nus al-Bahu>tiy. Kasysya>f al-Qina>’. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.
Yu>suf al-Qarad}a>wiy. Fata>wa> Mu’a>s}irah. Kairo. Da>r al-Qalam. 2003.
Sulayma>n ibn al-Asy’as\ Abu> Da>wud al-Sajasta>niy al-Azadiy. Sunan Abi> Da>wud. Beirut. Da>r al-Fikr. t.th.
Muh}ammad Syamsu al-H{aq al-‘Az}i>m A<ba>diy Abu> al-T{ayyib. ‘Awn al-Ma’bu>d Syarh} Sunan Abi> Da>wud. Cet. II. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1415 H.
Ah}mad ibn ‘Aliy ibn H{ajar al-‘Asqala>niy. Fath} al-Ba>riy Syarh} S{ah}i>h} al-Bukha>riy. Beirut. Da>r al-Ma’rifah. 1379 H.
Ibn Khali>fah ‘Ulaywiy. Ja>mi’ al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l wa Syarh} A<ya>tiha>. Cet. I. Kairo. Da>r al-‘Ulu>m. t.th.
Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d Abu> Ja’far al-T{abariy. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Cet. I. Beirut. Mu’assasah al-Risa>lah. 2000.
Muh}ammad ‘Aliy al-S{a>bu>niy. Rawa>i’u al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n. Cet. I. Jakarta. Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah. 2001.
Sulayma>n ibn Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim al-T{abra>niy. al-Mu’jam al-Kabi>r.  Cet. II. Mus}il. Maktabah al-‘Ulu>m wa al-H{ikam. 1983.
Ah}mad ibn al-H{usayn Abu> Bakr al-Bayhaqiy. Sunan al-Bayhaqiy. Makkah al-Mukarramah. Maktabah Da>r al-Ba>z. 1994.




[1]Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426 H/2005 M), h. 644.
[2]Mutawalliy al-Sya’ara>wiy, Tafsi>r al-Sya’ara>wiy, jil. XXI (Kairo: Da>r al-‘Ulu>m, t.th.), h. 35.
[3]M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an; Kalung Permata Buat Anak-anakku (Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 5.
[4]Lihat QS. Al-Nu>r/24 : 33
[5]Di antara contoh yang bisa diangkat adalah mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri), dasar hukumnya QS. Al-Nisa>/4 : 19. Atau menikahi dua perempuan bersaudara secara bersamaan, dasar hukumnya QS. Al-Nisa>/4 : 23.
[6]M. Quraish Shihab, op. cit., h. 4.
[7]Lihat Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris  ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lugah, jil. V (Kairo: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 2002), h. 383, dan Muh}ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Mas}riy, Lisa>n al-‘Arab, jil. II (Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, t.th.), h. 625.
[8]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 371.
[9]M. Quraish Shihab, op. cit., h. 4.
[10]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh, jil. IX (Cet. IV; Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), h. 23.
[11]‘Abd. al-Rah}ma>n al-Jazar, al-Fiqh 'Ala> Maza>hib al-Arba'ah, juz IV (Mesir: Da>r al-Qalam, 1979), h. 5.
[12]M. Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XIX; Bandung: Mizan, 2007), h. 191.
[13]Ibn Manz}u>r dalam Lisa>n al’Arab mempertegas bahwa kata nikah di dalam Al-Qur’an tidak memiliki kecuali untuk makna al-tazwi>j. Sebab ada yang mencoba memahami kalimat al-Za>niyah la> yankih}uha> illa> za>n aw musyrik dengan “seorang wanita pezina tidak ada yang menyetubuhinya kecuali laki-laki pezina atau seorang musyrik”, dengan kata lain kata nikah pada kalimat tersebut dipahami dalam arti al-wat}a’u atau persetubuhan semata. Sedangkan makna tersebut jauh dari makna yang diinginkan oleh al-Qur’an. Lihat Ibn Manz}u>r, op. cit.  
[14]Pada dasarnya kata zawj berarti muqa>ranah syay’in bi syay’in (menghubungkan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain) sehingga dikembangkan untuk makna “pasangan”. Ibn Fa>ris, op. cit., jil. III, h. 26.
[15]M. Qurash Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op. cit., h. 191.
[16]QS. Al-Nisa>/4 : 25
[17]Lihat misalnya QS. Ya>sin/36: 36 dan QS. al-Z|a>riya>t/51: 49.
[18]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op. cit., h. 191.
[19]Bahkan di dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan empat golongan wanita yang halal dinikahi (baca: digauli) oleh Rasulullah saw, yaitu: pertama, al-mamhu>ra>t atau isteri yang telah diberikan mas kawinnya; kedua, al-mamlu>ka>t atau hamba sahaya yang diperoleh dalam peperangan; ketiga, al-aqa>rib atau keluarga dekat, dalam hal ini sepupu baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak; keempat, al-wa>hiba>t anfusahunna atau wanita-wanita mukmin yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah tanpa adanya mahar, wali, dan saksi. Hanya saja, khusus untuk yang keempat ini, Ibn ‘Abba>s dan Muja>hid menjelaskan bahwa memang ada beberapa wanita yang menyerahkan dirinya kepada nabi akan tetapi nabi sendiri tidak pernah “menikahi” wanita-wanita tersebut (imra’ah mawhu>bah). Sebagai contoh misalnya, ketika Ummu Syurayk al-Du>siyah menyerahkan dirinya kepada nabi, tapi nabi tidak merespon wanita tersebut. Akhirnya salah seorang sahabat berkata kepada nabi; zawwijni<ha> ya> rasu>lalla>h in lam takun laha> biha> h}ajah “nikahkanlah aku wahai Rasulullah dengan wanita itu, bila engkau tidak berkeinginan padanya”. Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj, jil. XI (Cet. II; Damaskus: Da>r al-Fikr, 1418 H), h. 65. 
[20]Muhammad Fu'a>d al-Ba>qiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} Al-Qura>n al-Az}i>m (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), h. 888.  
[21]Ibid., h. 422-423.
[24]Lihat Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy, Mafa>ti>h} al-Gayb, jil. XI (Cet. II; Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 311.
[25]Lihat misalnya QS. al-Isra>/17 : 70. Al-Sya’arawiy misalnya, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia menyebutkan sekian banyak pendapat ulama mengenai bentuk takri>m-nya Allah kepada manusia. Namun dari sekian banyak pendapat, ia mempertegas bahwa salah satu ayat yang menunjukkan kemuliaan manusia adalah QS. S{a>d/38 : 75 dan QS. al-H{ijr/15 : 29, karena di sana Allah menyebutkan bahwa manusia diciptakan langsung oleh Allah dengan “tangan-Nya” (bi yadihi) berbeda dengan makhluk lain yang diciptakan dengan kaliman kun “jadilah...!”. lihat al-Sya’arawiy, op. cit., jil. XV, h 289.
[26]M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, op. cit., h 78-79.
[27]QS. al-Baqarah/2 : 187.
[28]Al-Sya’arawiy, op. cit., jil. II, h. 29. Hal ini sejalan dengan riwayat al-Bukha>riy dari al-Barra>’ ibn ‘A<wib bahwa ketika turunnya ayat yang memerintahkan puasa Ramadhan maka orang-orang pada saat itu tidak “mendakati” isteri-isteri mereka selama bulan Ramadhan, sementara banyak di antara suami yang tidak mampu menahan diri dari hasrat seksual itu hingga akhirnya Allah menurunkan firman-Nya ‘alimalla>hu annakum kuntum takhta>nun anfusakum.... lihat Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>riy, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, jil. IV (Cet. III; Beirut: Da>r ibn Ka>s\i>r, 1987), h. 1639.  
[29]Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j al-Qusyayriy al-Naysabu>riy, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, jil III (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.), h. 86.
[30]Syiha>b al-Di>n Mah}mu>d ibn ‘Abdilla>h al-H{usayniy al-Alu>siy, Ru>h} al-Ma’a>niy fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i al-Mas\a>niy, jil. II (Cet. III; Beirut: Da>r al-Kutub, t.th.), h. 225.
[31]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 76.
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, op. cit., h. 77.
[35]Ibid. h. 170.
[36]Lihat ibid., h. 74.
[37]Al-S{a>h}ib ibn ‘Iba>d, al-Muh}i>t} fi> al-Lugah, jil. II (Beirut: Da>r al-Kutub, t.th.), h. 31.
[38]Ibn Fa>ris, Maqa>yi>s, op. cit., jil. III, h. 66.
[39]M Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, op. cit., h. 80.
[40]M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit., h. 192.
[41]Apatah lagi bila yang datang meminang adalah orang yang sudah sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Allah, baik agama maupun akhlaknya. Rasulullah menegaskan sebagaimana riwayat al-Turmuz\iy dari Abu> Hurairah ra;
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
 Artinya:
Apabila telah datang meminang kepadamu orang yang bagus agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, sebab bila kalian tidak melakukannya maka anak perempuanmua akan menjadi “fitnah” di muka bumi sekaligus membawa kerusakan yang banyak.
Lihat Muh}ammad ibn ‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy, jil. III (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.), h. 394.
[42]Kekayaan yang dimaksud disini tidak dipahami sebatas kekayaan harta, namun mencakup kelapangan dada dan ketenangan jiwa. Sebab tidak sedikit ditemukan ada orang yang sudah melangsungkan pernikahan sesuai dengan yang diatur agama namun kehidupan ekonominya tidak mengalami peningkatan positif. Akan tetapi ia tetap merasakan ketenangan jiwa yang begitu dalam. Hal ini sejalan dengan sabda nabi sebagaimana riwayat Muslim dari Abu> Hurairah ra.
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya:
Bukanlah kekayaan karena banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kelapangan dada (ketenangan jiwa).
Lihat Muslim, op. cit., jil. III, h. 100.
[43]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu’aib al-Nasa>iy, Sunan al-Nasa>iy, jil. VI (Cet. V; Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1999), h. 323.
[44]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil. XIX, h. 279.  
[45]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, op. cit., juz XVIII, h. 234. Secara sepintas ayat di atas kontradiksi dengan ayat sebelumnya yang memberikan jaminan kekayaan bagi orang-orang yang melangsungkan pernikahan demi mencapai ridha Allah sekalipun mereka termasuk orang miskin dan fakir. Namun al-Sya>fi’iyyah berpandangan bahwa ayat 33 di atas merupakan mukhas}s}is}ah (pengkhusus) bagi ayat sebelumnya karena pada ayat 32, orang fakir yang dimaksud adalah orang yang memiliki keterbatasan ekonomi namun ia tetap mampu membiayai proses pernikahannya. Sementara pada ayat 33, yang dimaksud adalah orang yang tidak mampu melakukan hal tersebut.
[46]Ibn ‘A<syu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, jil. III, h. 370.
[47]Ibn Fa>ris, op. cit., jil. IV, h. 264.
[48]M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, op. cit., h. 113.
[49]Ibn A<syu>r, op. cit., jil. XI, h. 57.
[50]Ibn Fa>ris, op. cit., jil. VI, h. 55.
[51]Ibra>hi>m ibn ‘Umar ibn H{asan al-Riba>t} ibn ‘A<liy ibn Abi> Bakr al-Biqa>’iy, Naz}im al-Durar fi> Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar, jil. VI (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), h. 300.
[52]Ibid.
[53]Lihat M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi; Asma> al Husna> dalam Perspektif Al-Qur’an (Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 1999), h. 223. Dari sinilah, salah satu nama Allah adalah al-Wadu>d karena Ia memberikan sekaligus tidak pernah memutuskan banyak kebaikan kepada makhluk-Nya dan tidak pernah menganiaya mereka.
[54]Ibn Fa>ris, op. cit., jil. II, h. 414.
[55]M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, op. cit., h. 91-92.
[56]Lihat al-Alu>siy, op. cit., jil. XV, h. 348.
[57]Muslim, op. cit., jil. IV, h. 39.
[58]M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, op. cit., h. 95.
[59]Muslim, op. cit., jil. IV, h. 175.
[60]Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d ibn ‘Amr ibn Ah}mad al-Zamakhsyariy, al-Kasysya>f, jil. I, h. 373.
[61]Hadis tersebut dikutip oleh ibn Abi> H{a>tim dalam kitab tafsirnya yang diriwayatkan dari Abu> Hurairah ra. lihat ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn Idri>s al-Ra>ziy ibn Abi> H{a>tim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulilla>h S{allalla>hu ‘alayhi wa sallama wa al-S{ah}a>bah wa al-Ta>bi’i>n, jil. III (Cet. I; Riyad: Maktabah Niza>r al-Ba>z, 1997), h. 939. Hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-H{a>kim al-Naysa>bu>riy dalam mustadrak-nya dengan lafal yang berbeda, lihat Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h Abu> ‘Abdilla>h al-H{a>kim al-Naysa>bu>riy, al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>h}ayn, jil. II (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), h. 175.
[62]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil. IV, h. 315.
[63]Muh}ammad ibn ‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy, jil. III (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.), h. 394.
[64]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil. IV, h. 315.  
[65]Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh, jil. IX (Cet. IV; Damaskus: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 118-170., dan Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, jil. II (t.tp.: Da>r al-S|aqa>fah al-Isla>miyyah, t.th.), h. 70-94.
[66]Yang dimaksud dengan ibu ke atas adalah ibu, nenek dan seterusnya. Kata al-umm dalam bahasa Arab dipahami sebagai asal sehingga semua yang menjadi asal laki-laki (dalam hal ini ibu, nenek dan seterusnya) termasuk haram dinikahi.
[67]Yang dimaksud anak ke bawah adalah anak, anaknya anak (cucu) dan seterusnya. Karena mereka merupakan keturunan seorang laki-laki (ayah) sehingga mereka haram dinikahi oleh orang tuanya.
[68]Termasuk saudara perempuan adalah saudara kandung (sebapak seibu), atau saudara perempuan sebapak saja atau seibu saja.
[69]Tante dari pihak ayah disebut dengan istilah ‘ammah, sedangkan tante dari pihak ibu disebut dengan istilah kha>lah. Akan tetapi, tante baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, baik saudara kandungnya orang tua atau saudara sebapak atau seibunya tetap termasuk orang yang tidak boleh dinikahi.
[70]Sayyid Sa>biq, op. cit., jil. II, h. 86. Ini sejalan dengan hadis nabi yang dikutip oleh al-Sya’ara>wiy dalam kitab tafsirnya;
لا تنكحوا القرابة القريبة فإن الولد يخلق ضاويا
Artinya:
Jangan nikahi keluarga dekat karena anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menjadi kurus (lemah)
Lihat al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil. IV, h. 81.
[71]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit., h. 195. Lihat juga Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Islamiy, op. cit., jil. IX, h. 121.
[72]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit., h. 195.
[73]Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, op. cit., jil. IV, h. 300.
[74]Abu> al-H{asan ‘Aliy ibn Ah}mad al-Wa>h}idiy al-Naysa>bu>riy, Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th.), h. 109.
[75]Lihat Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy, op. cit., jil. V, h. 131.
[76]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 123.
[77]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil. IV, h. 81.
[78]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2 (Cet. III; Ciputat: Lentera Hati, 2010), h. 473.
[79]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Syafi>’iy al-Muyassar, terj. Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, Fiqih Imam Syafi’i (Cet.I; Jakarta: Almahira, 2010), h. 27.
[80]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, op. cit., jil. III, h. 81. Lihat juga Yu>suf al-Qarad}a>wiy, Fata>wa Mu’a>s}irah, Juz. III (Kairo: Da>r al-Qalam, 2003), h. 317.
[81]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>’i. Sunan al-Nasa>i, Juz. III (Kairo: Da>r al-Hadi>s, 1999), h. 418, dalam riwayat yang lain tidak menggunakan kata al-wila>dah namun menggunakan kata yang semakna, yaitu al-nasab. lihat Abu> ‘Abdullah Muhammad ibn Zaid al-Qazwiny>, Sunan Ibn Ma>jah, jil. I (Cet.I; Kairo: Da>r ibn al-Haitsam, 2005), h. 244
[82]Untuk lebih jelasnya, penulis merekomendasikan pembaca untuk melihat para ulama fiqih termasuk di antaranya dapat dilihat pada kitab al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuh}ailiy atau Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sa>biq.
[83]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, op. cit., jil. IX, h. 81.
[84]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 473. Lihat juga Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 130.
[85]Ibid.
[86]‘Aliy Ibn ‘Umar al-Da>raqut}niy>, Sunan al-Da>raqut}niy>, jil. IV ( Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h.103.
[87]Ibn Fa>ris, op. cit., jil. II, h. 239.
[88]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 473.
[89]Mans}u>r Yu>nus al-Bahu>tiy, Kasysya>f al-Qina>’, Juz.V (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 518.
[90]Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wiy, Fata>wa> Mu’a>s}irah, Juz. III (Kairo: Da>r al-Qalam, 2003), h. 317., lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 474.
[91]Ibid.
[92]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1, h. 602.  
[93]Ibid., lihat pula al-Biqa>iy, op. cit., jil. I, h. 354.
[94]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 137.
[95]Sulayma>n ibn al-Asy’as\ Abu> Da>wud al-Sajasta>niy al-Azadiy, Sunan Abi> Da>wud, jil. I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 633.
[96]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, op. cit. Untuk pembahasan lebih mendalam mengenai nika>h} al-muh}allil ini, penulis merekomendasikan pembaca untuk merujuk ke kitab-kitab fiqih yang ada.
[97]Lihat Muh}ammad Syamsu al-H{aq al-‘Az}i>m A<ba>diy Abu> al-T{ayyib, ‘Awn al-Ma’bu>d Syarh} Sunan Abi> Da>wud, jil. VI (Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H), h. 65., dan Ah}mad ibn ‘Aliy ibn H{ajar al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy Syarh} S{ah}i>h} al-Bukha>riy, jil. XII (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H), h. 326.
[98]Al-Alu>siy, op. cit., jil. II, h. 249.
[99]Abu> Da>wud, op. cit., jil. I, h. 705.
[100]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 602.
[101]Lihat Ibn Khali>fah ‘Ulaywiy, Ja>mi’ al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l wa Syarh} A<ya>tiha>, jil. I (Cet. I; Kairo: Da>r al-‘Ulu>m, t.th.), h. 276.
[102]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 479.
[103]Ibn Fa>ris, op. cit., jil. II, h. 54.
[104]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit. Vol. 2, h. 480.
[105]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 139.
[106]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 1. H. 616.
[107]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, jil. II, h. 38.
[108]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 616.
[109]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, op. cit.
[110]Lihat Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy, op. cit., jil. XV, h. 478., al-Biqa>iy, op. cit., jil. XIX, h. 541., M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit., h. 196-197.  
[111]Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit. h. 197.
[112]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil. V, h. 325.
[113]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 578.
[114]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op. cit.  
[115]Al-Sya’ara>wiy, op. cit.
[116]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 581.
[117]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit.
[118]Ibid.
[119]Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d Abu> Ja’far al-T{abariy, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, jil. III (Cet. I; Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000), h. 36.
[120]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 475. Dan Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Islamiy, op. cit., jil. IX, h. 152.
[121]Muslim, op. cit., jil. IV, h. 135.
[122]Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, op. cit., jil. IV, h. 81. Lihat juga Muh}ammad ‘Aliy al-S{a>bu>niy, Rawa>i’u al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n, jil. I (Cet. I; Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 2001), h. 360.
[123]Sulayma>n ibn Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim al-T{abra>niy, al-Mu’jam al-Kabi>r, jil. XI (Cet. II; Mus}il: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, 1983), h. 337.
[124]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit.
[125]Lihat M. Quraish Shihab, wawasan Al-Quran, op. cit. h. 199.
[126]Ah}mad ibn al-H{usayn Abu> Bakr al-Bayhaqiy, Sunan al-Bayhaqiy, jil. VII (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994), h. 182.
[127]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r, jil. III, h. 81.
[128]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit., h. 200.  
[129]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar