BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.”[1]
Demikian salah satu firman Allah tepatnya pada QS. Al-Ru>m/30 : 21. yang
berbicara mengenai fitrah manusia, yaitu diciptakan dalam keadaan berbeda-beda
sekaligus menjadi awal lahirnya upaya mencari pasangan hidup.
Itulah sebabnya Syekh Mutawalliy al-Sya’ara>wiy ketika
menafsirkan ayat tersebut berpandangan bahwa fitrah manusia yang diciptakan
dalam keadaan berbeda jenis bukan berarti perbedaan itu adalah perbedaan yang
bertentangan dan bertabrakan (ikhtila>f ta’a>nud wa tas}a>dum),
akan tetapi perbedaan itu adalah perbedaan untuk saling melengkapi (ihktila>f
taka>mul).[2]
Mendambakan pasangan
merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah
dewasa.[3]
Apatah lagi realita masyarakat menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menghadapi
hidup ini sendirian. Sehebat apapun seseorang pasti membutuhkan orang lain,
baik untuk berbagi kebahagiaan maupun sebagai tempat curahan keluh kesahnya.
Sehingga untuk merasakan kebahagiaan pun setiap orang membutuhkan
teman/pasangan. Karena tiada artinya kebahagiaan bila hanya dirasakan seorang
diri. Kenyataan juga menunjukkan bahwa semakin banyak yang terlibat dalam
kegembiraan semakin meriah kegembiraan itu, sebaliknya semakin banyak yang ikut
serta dalam kesedihan semakin ringan kepedihannya dipikul.
Oleh karena itu, Islam memberikan jalan bagi setiap orang
untuk mencari pasangannya sekaligus memberikan petunjuk bagi mereka yang sudah
siap lahir dan batin untuk memenuhi kebutuhan tersebut lewat pintu pernikahan.[4]
Pernikahan atau keberpasangan telah dikenal umat manusia
sejak awal kehadirannya di pentas bumi ini hingga tersebar ke seluruh lapisan
masyarakat. Akan tetapi sebagai umat beragama –khususnya Islam-, setiap orang
diminta untuk mengikuti aturan-aturan ketuhanan yang merupakan law of sex
(hukum keberpasangan) yang diletakkan oleh Maha Pencipta bagi segala sesuatu.
Hanya saja, dalam sejarah perjalanan hidup
manusia muncul berbagai macam penyimpangan yang terjadi
dalam masyarakat yang melanggar nilai-nilai agama (baca : Islam).[5] Bahkan
belakangan ini ada yang berupaya menyingkirkan institusi perkawinan dan
menggati lembaga rumah tangga dengan bentuk yang lebih longgar, lebih dari itu
ada pula upaya untuk melegalisasikan keberpasangan antara sesama jenis.[6]
Oleh karena itu, penafsiran terhadap ayat-ayat pernikahan
perlu diketengahkan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai konsep
Al-Qur’an tentang pernikahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan
pokok yang akan dikaji dapat diklasifikasi dalam beberapa rumusan, yaitu:
1.
Pengertian nikah menurut Al-Qur’an dan klasifikasi
ayat-ayat yang terkait dengan hal tersebut?
2.
Tujuan dan manfaat pernikahan menurut Al-Qur’an?
3.
Orang-orang yang boleh dan tidak boleh dinikahi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah
dan Klasifikasi ayatnya
Secara etimologi, kata nikah merupakan kata serapan dari
bahasa Arab yang tersusun dari huruf nu>n, kaf, dan h}a yaitu nakah}a
– yankih}u – nakh}an wa nika>h}an. Menurut Ibn Fa>ris, kata yang
tersusun dari huruf-huruf yang telah disebutkan itu memiliki makna penyatuan
atau berhimpun, sehingga al-nika>h} sering diartikan al-bid}a>’u
(persetubuhan) karena ia menyatukan atau menghubungkan naluri seks antara
dua pihak. Kata ini juga sering digunakan untuk makna ‘aqd al-tazwi>j (akad
pernikahan) karena ia menyatukan komitmen dari dua belah untuk hidup bersama.[7]
Kedua arti tersebut sejalan dengan makna kata “nikah”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu; 1) perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi); 2.) perkawinan.[8]
Oleh karena itu, nikah dipahami sebagai ikatan penyatuan, berupa penyatuan
jiwa, akal, harapan, cita-cita, dan penyatuan badan.[9]
Adapun secara terminologi, di kalangan ulama fiqih
khususnya, kata nikah dipahami dengan makna yang tidak jauh berbeda dengan
makna etimologinya. Misalnya saja Wahbah al-Zuh}ailiy menjelaskan bahwa nikah
yang sering diistilahkan dengan tazwi>j bermakna akad atau perjanjian
yang telah ditetapkan Allah sebagai jalan kebolehan bagi seorang laki-laki
untuk ber-istimta>’u “bersenang-senang” dengan seorang perempuan,
demikian pula sebaliknya membolehkan seorang perempuan untuk “bersenang-senang”
dengan seorang laki.[10]
Demikian pula oleh mazhab H{{anafiyah, kata nikah
diartikan dengan ‘aqd yufi>du milk al-mut’ah qas}da>n atau akad
yang kegunaannya untuk memiliki untuk bersenang-senang dengan sengaja.[11]
Di samping ini, masih ada lagi defenisi yang lain yang ditawarkan oleh
ulama-ulama fiqih. Hanya saja keanekaragaman dalam mendefenisikan nikah
memiliki kesamaan subtansi, yaitu jalan yang membolehkan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual yang
ditandai dengan adanya ijab qabul antara kedua belah pihak yang diakui oleh
agama.
Sementara Al-Qur’an menggunakan kata nikah juga pada makna
al-tazwi>j tersebut yaitu ikatan perjanjian antara pihak laki-laki
dan pihak perempuan untuk bersuami isteri secara resmi, di samping –secara
majazi- ia juga diartikan dengan hubungan seks.[12]
Hanya saja perlu dipertegas bahwa hubungan seks yang diistilahkan dengan nikah
adalah hubungan badan yang diawali dengan ikatan perjanjian syar’i. Bila ada
hubungan seks/badan yang dilakukan tanpa adanya ikatan perjanjian syar’i sebelumnya
maka ia tidak layak disebut nikah tetapi diistilahan zina (perzinahan).[13]
Keberpasangan di dalam Al-Qur’an terkadang juga disebut
dengan al-zawa>j atau al-tazwi>j yang berarti “pasangan”[14].
Itulah sebabnya nikah sering disepadankan dengan kata tersebut karena keduanya
memiliki kesamaan makna dan pengertian, yaitu pernikahan menjadikan seseorang
memiliki pasangan.[15]
Akan tetapi, naluri bahasa Arab mengatakan ikhtila>f
al-alfa>z} min ikhtila>f al-ma’a>niy (perbedaan lafal menyebabkan
perbedaan makna) sehingga semirip apapun kedua kata tersebut tetap memiliki
perbedaan.
Karena bila dicermati lebih lanjut, kata nikah dalam Al-Qur’an khusus ditujukan kepada manusia. Contoh
dalam dalam surah al-Nisā ayat 25 Allah Swt. berfirman:
... فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ...[16]
Terjemahnya:
...karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki
lain sebagai piaraannya...
Dalam ayat ini terdapat perintah khusus ditujukan kepada umat manusia untuk
mengawini perempuan dengan seizin tuan mereka. Sedangkan kata zawj dan
derivasinya adalah ditujukan kepada manusia dan selainnya, termasuk hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.[17] Contoh ayat yang didalamnya ada kata zawj yang ditujukan kepada
umat manusia yaitu di dalam surah al-Baqarah ayat 35 yang berbunyi:
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ
وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ
الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Terjemahnya:
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu
dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik
dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang
menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.
Kata zawjuka (isterimu) yang terdapat dalam ayat
tersebut ditujukan kepada manusia yaitu Adam as., yang diperintahkan oleh untuk
tinggal mendiami surga bersama pasangannya yaitu Hawa as.
Sedangkan contoh penggunaan kata zawj yang
ditujukan kepada tumbuh-tumbuhan adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah
al-Rah}ma>n ayat 52;
فِيهِمَا مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ
زَوْجَانِ
Terjemahnya:
Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan
yang berpasangan.
Adapun contoh ayat yang di dalamnya ada kata zawj
yang ditujukan kepada hewan adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Syu>ra>
ayat 11;
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ
فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Terjemahnya:
(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.
M. Quraish Shihab mengakui bahwa secara umum Al-Qur’an
hanya menggunakan dua kata ini –nika>h} dan zawj- untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan suami isteri secara sah. Sekalipun ada juga
kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Qur’an untuk
melukiskan kedatangan seorang wanita kepada nabi saw., dan menyerahkan dirinya
untuk dijadikan isteri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi nabi saw.[18]
Apatah lagi, Al-Qur’an secara jelas menyebutkan bahwa hal tersebut termasuk
dalam kategori khus}u>s}iya>t al-rasu>l (kekhususan bagi nabi).[19]
Sebagaimana tampak pada surah al-Ah}za>b/33 : 50.
...وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ
إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ...
Terjemahnya:
... dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada
nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk
semua orang mukmin
Kaitannya dengan kata nika>h} dan zawj di
dalam Al-Qur’an ditemukan dalam berbagai macam bentuk. Nika>h} misalnya,
dengan berbagai macam derivasinya disebutkan sebanyak 23 kali.[20]
Dengan rincian sebagai berikut:
-
Dalam bentuk fi’l ma>d}i disebutkan 2 kali
-
Dalam bentuk fi’l mud}a>ri’ disebutkan 13 kali
-
Dalam bentuk fi’il amr disebutkan 3 kali
-
Dalam bentuk mas}dar disebutkan 5 kali
Sementara kata zawj dalam berbagai macam bentuknya
disebut 81 kali.[21]
Karena beragam dan banyaknya ayat yang berbicara tentang
nikah, maka penulis akan memilih ayat yang dianggap dapat mewakili ayat-ayat
lain yang setema. Ayat-ayat tersebut diklasifikasi dalam makkiyah dan madaniyah.
Akan tetapi dari klasifikasi tersebut, penulis untuk sementara menilai, bahwa
ayat-ayat nikah yang dikategorikan sebagai ayat-ayat makkiyah secara umum berbicara
mengenai makna, filosofi, dan tujuan pernikahan. Sehingga klasifikasi pertama
untuk tema nikah ini adalah tujuan pernikahan. Di antara contoh ayatnya, yaitu:
QS. Al-Syu>ra>/42 : 11.
فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Terjemahnya:
(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[22]
QS. al-Ru>m/30 : 21.
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[23]
Akan tetapi ayat yang berbicara tentang tujuan pernikahan
tidak terbatas pada ayat makkiyah semata, ayat madaniyah pun tidak luput
membicarakan hal tersebut. Namun, penulis melihat bahwa tujuan pernikahan yang
disebutkan dalam ayat madaniyah itu lebih dihubungkan dengan teknis pernikahan karena
dalam ayat tersebut mengingatkan para wali untuk tidak menolak lamaran seorang
laki-laki yang baik agama dan akhlaknya hanya karena pertimbangan ekonomi
(baca: hamba sahaya).[24]
Ayat yang dimaksud adalah QS. al-Nu>r/24 : 32.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Adapun klasifikasi kedua yang penulis angkat dalam makalah
ini adalah orang-orang yang boleh & tidak boleh dinikahi, dan semua ayat
yang terkait dengan hal tersebut disebutkan pada ayat-ayat madaniyah. Karena
memang ayat-ayat madaniyah lebih menekankan pada aspek teknik pernikahan,
termasuk proses pernikahan dan berbagai macam seluk beluk pernikahan itu.
Ayat-ayat yang dimaksud, di antaranya QS. al-Baqarah/2 :
221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
QS. al-Nisa>’/4 : 3.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Terjemahnya:
Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
B.
Tujuan Pernikahan
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pernikahan atau
berpasangan yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dengan kata al-zawa>j memiliki
makna umum bahwa berpasangan adalah naluri setiap makhluk, tidak terbatas pada
manusia saja, makhluk Allah yang lain pun memiliki naluri yang sama. Hanya saja
manusia sebagai makhluk yang dimuliakan tentu memiliki perbedaan dengan yang
lain.[25]
Oleh karena itu, sekalipun di antara manusia dan binatang misalnya ada
persamaan tujuan berpasangan namun tetap ada perbedaan mendasar di antara
keduanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan bagi manusia, di
antaranya:
1.
Sarana untuk menyalurkan hasrat seksualitas
Hasrat seksual merupakan naluri setiap makhluk, tak
terkecuali manusia. Bahkan Freud sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam
bukunya “Pengantin Al-Quran; Kalung Permata Buat Anak-anakku” menyatakan bahwa
seluruh aktivitas manusia di dorong oleh kebutuhan tersebut, sampai-sampai anak
yang menyusu atau mengisap jarinya pun dilukiskan oleh ilmuwan itu sebagai
pengejawantahan dari dorongan seksual. Sekalipun ia sendiri –Quraish Shihab-
tidak membenarkan pendapat itu secara keseluruhan. Namun terlepas dari benar
dan tidaknya pernyataan Freud itu, pastinya bahwa dorongan seksual memang
besar. Naluri kecintaan kepada lawan seks
menjadikan manusia mampu melanjutkan generasi dan membangun dunia ini.[26]
Besarnya dorongan dan hasrat seksual itu pun digambarkan
oleh Al-Qur’an yang tampak pada pribadi ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b. Sebab pada
awal-awal diwajibkannya puasa, masyarakat pada saat itu berkeyakinan bahwa
makan, minum, dan hubungan senggama suami isteri hanya boleh dilakukan sebelum
tidur di malam hari. Sehingga bila mereka –suami dan isteri- atau salah satu di
antara keduanya sudah tidur maka ketiga jenis kegiatan itu termasuk berhubungan
badan tidak boleh dilakukan.
Karena itulah, Qays ibn S{urmah salah seorang sahabat nabi
dari golongan Ans}a>r suatu ketika di bulan Ramadhan ia langsung tidur
setelah melaksanakan shalat Isya sementara ia belum makan dan minum. Akhirnya
di saat ia terbangun dari tidurnya, ia melanjutkan puasa tanpa makan dan minum
sebelumnya, sehingga ia pun merasa cukup kelelahan dan lapar. Demikian pula
dengan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, suatu ketia ia menggauli isterinya di malam
hari bulan Ramadhan setelah isterinya itu tidur. Dan apa yang dilakukan oleh
keduanya –Qays dan ‘Umar- disampaikan kepada nabi, maka turunlah firman Allah
swt., yaitu QS. al-Baqarah/2 : 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ
اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا
عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ...[27]
Terjemahnya:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun
pakaian bagi mereka; Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam....
Al-Sya’arawiy ketika menafsirkan ayat di atas, ia
mengatakan bahwa kalimat takhtanun anfusakum “tidak dapat menahan
nafsumu” mengajarkan kepada kita bahwa manusia memang tidak kuat untuk berpuasa
(baca: menahan diri) sepanjang waktu dari hasrat dan syahwat seksual, sehingga
Allah memberikan rukhs}ah atau keringanan kepada mereka.[28]
Ini berarti
pemenuhan kebutuhan seksual merupakan sebuah desakan yang harus tersalurkan.
Karenanya Allah menciptakan jalur pernikahan sebagai sarana untuk menyalurkan
desakan tersebut. Sekaligus membuktikan kemuliaan manusia yang berbeda dengan
makhluk yang lain. Dari sini juga dipahami bahwa pernikahan bagi manusia dalam
pandangan agama tidak sebatas jalan berhubungan seks tapi lebih daripada itu
pernikahan merupakan sarana untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah.
Mengapa tidak? Rasulullah saw. telah menggarisbawahi bahwa
berhubungan seks dengan pasangan dinilai sebagai sedekah, sebagaimana jawaban
nabi kepada sekelompok orang yang datang bertanya mengenai keterbatasan mereka
untuk beribadah bila dibandingkan dengan orang-orang kaya;
يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ
الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ
بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ أَوَلَيْسَ
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً
وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ
صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ
أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ
أَجْرٌ [29]
Artinya:
Wahai Rasulullah.. orang-orang yang memiliki harta
berlimpah mendapatkan banyak pahala. Sebab mereka shalat sebagaimana kami
shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, dan mereka bersedekah dengan
kelebihan harta yang dimiliki. Nabi lalu membalas pernyataan mereka dengan
mengatakan, “Tidakkah Allah telah menjadikan berbagai macam hal yang bisa kalian
sedekahkan. Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah
sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar
makruf dan nahi munkar adalah sedekah, bahkan hubungan seks kalian adalah
sedekah. Lalu para sahabat pun kembali bertanya, bagaimana bisa hubungan seks
suami isteri menjadi sedekah? Nabi pun kembali menegaskan, bukankah apabila ia
meletakkannya pada yang haram ia berdosa? Maka demikian pulalah bila ia
letakkan pada yang halal, tentu ia mendapat pahala.”
Oleh karena pernikahan diciptakan sebagai sarana untuk
menyalurkan hasrat seksual tersebut bahkan menjadi jalan untuk berkembang biak
sebagaimana QS. al-Syu>ra>/42 : 11 menyebutkannya, maka manusia –sebagai
wujud perbedaan dengan makhluk yang lain (baca: binatang)- diharapkan untuk
terlebih dahulu merenungi dan mengaplikasikan beberapa ketentuan Allah sebagai law
of sex untuk mencapai tujuan tersebut.
Di antaranya, pertama, QS. al-Baqarah/2 : 223.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Terjemahnya:
Isteri-isteri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam)
untuk kamu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu bagaimana saja kamu
kehendaki....
Imam al-Alu>siy ketika menafsirkan ayat tersebut, ia
menyatakan bahwa kalimat anna> syi’tum “bagaimana saja kamu
kehendaki” memiliki tiga makna yaitu; min ayna syi’tum (dari posisi mana
saja kamu inginkan), kayfa syi’tum (bagaimana model yang kamu inginkan),
dan mata> syi’tum (kapan kamu inginkan).[30]
Dengan kata lain, setiap pasangan diberikan kesempatan oleh Allah untuk memilih
arah, cara, dan kapan ia ingin berhubungan dengan pasangannya, selama hal itu
sejalan dengan ketentuan Allah swt.[31]
Apatah lagi latar belakang turunnya ayat ini sangat
terkait dengan hal tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Syaykha>n,
Abu> Da>wud, dan al-Turmuz\iy dari Ja>bir :
كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ إِذَا
أَتَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا فِى قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ
فَنَزَلَتْ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Artinya:
Konon masyarakat Yahudi menganggap bahwa suami yang mendatangi
isteri dari arah belakang maka anak yang lahir dari hubungan itu akan menjadi
juling. Maka turunlah ayat “Isteri-isteri kamu adalah ladang (tempat bercocok
tanam) bagi kamu, maka datangilah (garaplah) ladangmu bagaimana saja kamu
inginkan.
Atau dalam riwayat yang lain, sebagaimana dikutip oleh
Wahbah al-Zuh}ailiy bahwa Muja>hid mengatakan; konon masyarakat Yahudi tidak
menggauli isterinya dari depan (baca: qubul) pada saat ia haid, tapi
mereka menggaulinya dari belakang (baca: dubur). Maka turunlah ayat
tersebut menjelaskan.[32]
Dari sanalah, al-Zuh}ailiy menafsirkan bahwa suami
dipersilahkan mendatangi isterinya dengan cara dan model bagaimana pun ia
inginkan selama jalur masuknya hanya satu yaitu qubul sebab itulah yang
menjadi lahan bercocok tanam bagi suami.[33]
M. Quraish Shihab menambahkan, ayat ini tidak hanya
berbicara tentang hubungan seks dan perintah untuk melakukannya, atau sekedar
mengisyaratkan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma bapak,
sebagaimana petani menentukan jenis buah dari benih yang ditanamnya. Tetapi
yang tidak kurang pentingnya adalah bapak harus mampu berfungsi sebagai petani,
merawat tanah garapannya (isterinya), bahkan benih yang ditanamnya (anak)
sampai benih itu tumbuh, membesar, dan siap untuk dimanfaatkan.[34]
Ia pun menganalogikan bahwa tidak bijaksana seseorang
menanam benih ditanah yang buruk/gersang. Karena itu, harus pandai-pandai
memilih pasangan. Tanah yang subur pun harus diatur masa dan musim
penanamannya, jangan setiap saat ia dipaksa untuk berproduksi. Karena itu pula
harus pandai-pandai mengatur masa kehamilan, jangan setiap ada kesempatan pak
tani menanam benihnya. Yang diharapkan dari petani adalah hasil panen yang
berkualitas, yang dapat bertahan dalam segala tantangan cuaca, dan yang lezat
serta penuh gizi. Orang tua pun harus dapat menghasilkan anak yang sehat,
beriman dan bertakwa, dan dapat menghadapi segala macam tantangan hidup.[35]
Kedua, yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang ingin menyalurkan
hasrat seksualnya adalah QS. al-Isra>/17 : 64.
... وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ
وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
Terjemahnya:
... dan berserikatlah kamu (hai Iblis) dengan mereka
(manusia) pada harta dan anak-anak, dan beri janji (rayu)-lah mereka. Dan tidak
ada yang dijanjikan oleh setan kepada manusia kecuali tipuan belaka.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan bisa ikut mengambil
peranan pada harta dan anak-anak manusia. Oleh karena itu hubungan seks harus
dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan
kotor atau situasi kekotoran. Bahkan Rasulullah saw. mengajarkan agar berdoa
menjelang hubungan seks dimulai. Hanya saja penulis menilai bahwa makalah ini
bukan tempatnya untuk membicarakan doa-doa yang diajarkan nabi tersebut.
Namun terlepas dari itu semua, situasi keagamaan dan rasa
kehadiran Ilahi sangat diharapkan untuk diwujudkan oleh pasangan suami isteri
pada saat mereka berhubungan sebab hal itu akan mempengaruhi buah hubungan itu.[36]
Ini juga berarti bahwa pemuasan kebutuhan biologis yang
disertai nilai-nilai ruhani berbeda dengan pemenuhannya tanpa nilai-nilai
tersebut. Dengan demikian, dampak positif dan kesan indah yang lahir tidak
berakhir dengan terhentinya pemuasan syahwat semata, tetapi berlanjut hingga
jauh sesudah selesainya kepuasan biologis itu.
2.
Sarana untuk menemukan ketenangan (saki>nah)
Tujuan kedua dari pernikahan sebagaimana yang digambarkan
oleh Allah dalam firman-Nya adalah untuk menemukan ketenangan (saki>nah).
QS. al-Ru>m/30 : 21 menceritakan;
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Saki>nah terambil dari akar kata sakana yang berarti al-waqa>r
wa al-wada>’ah (ketenangan). Hanya saja ketenangan yang dimaksud di sini
adalah tenangnya sesuatu setelah bergejolak, atau dalam istilah al-S{ah}ib ibn
‘Iba>d penulis kamus Arab monumental al-Muh}i>t} fi al-Lugah bahwa
sesuatu disebut sakana apabila telah hilang gerakannya (iz\a>
z\ahabat h}arakatuh). Kata ini dipergunakan untuk menggambarkan ketenangan
dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, apapun bentuk gejolak itu.[37]
Sementara ibn Fa>ris dalam Maqa>yi>s-nya menyebutkan bahwa kata
yang tersusun dari huruf sin, ka>f, dan nu>n memiliki makna
antonim dengan kata kekacauan dan gerakan.[38]
Itulah sebabnya pisau dinamai sikki>n karena ia adalah alat yang
menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia
meronta.
Pernikahan disebut sebagai jalan untuk menemukan saki>nah
karena naluri kepada lawan seks –atau keberpasangan- khususnya setelah manusia
menginjak masa kedewasaan sedemikian mendesak sehingga melahirkan kegelisahan
jika tidak terpenuhi.[39]
Karena itulah cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh
ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan saki>nah atau ketenangan dan ketentraman hati bila
dilanjutkan dengan pernikahan.
Berdasarkan keterangan tersebut dipahami bahwa saki>nah
yang harus didahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan yang dimaksud
adalah ketenangan dinamis.[40]
Sehingga nilai-nilai dan tuntunan agama perlu dipahami dan dihayati oleh
anggota keluarga demi terciptanya kehidupan rumah tangga yang baik.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut Al-Qur’an
antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang
ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di
bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang.[41]
QS. al-Nu>r/24 : 32 mengingatkan;
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Al-Qurt}ubiy sebagai salah seorang ulama tafsir yang
mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan hukum menegaskan bahwa ayat tersebut
merupakan janji kekayaan[42]
dari Allah bagi orang-orang yang melakukan pernikahan demi mendapatkan
ridha-Nya dan melindungi diri mereka dari pintu-pintu kemaksiatan. Bahkan
al-Nasa>iy meriwayatkan salah satu sabda Rasulullah saw. melalui jalur
Abu> Hurairah;
ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي
يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ [43]
Artinya:
Ada tiga orang yang berada dalam jaminan Allah, yaitu;
orang yang berjuang di jalan Allah, orang yanag menikah karena ingin menjauhkan
dirinya dari sesuatu yang hina, serta orang yang mencatat utangnya karena
berniat untuk melunasinya.
Hanya saja orang yang belum memiliki kemampuan material
diminta untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya. Sebagaimana QS.
al-Nu>r/24 : 33 menjelaskan;
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا
يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ...
Terjemahnya:
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah mereka
menjaga kesucian (diri) mereka, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya...
Al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan ayat tersebut, ia
mengatakan bahwa Allah sengaja menggunakan kalimat walyasta’fif
“berusaha menjaga diri” bukan dengan kalimat walya’fi “jaga diri” ini
bermakna bahwa orang yang belum memiliki kemampuan untuk menikah diharapkan
untuk berusaha melakukan sesuatu yang mengantarkan dapat memelihara kesucian
dirinya, termasuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat
serta menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan positif yang bernilai
ibadah. Bahkan upaya memelihara kesucian diri bila dilakukan atas dasar ketakwaan
kepada Allah merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan kelapangan rezeki.[44]
Hal ini didukung oleh firman Allah QS. al-T{ala>q/65 : 2-3.
... وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ
مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ ...
Terjemahnya:
... Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Ia akan
memberikan kepadanya jalan keluar (solusi) dari setiap masalah hidupnya serta
akan diberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka...
Dari sini dipahami bahwa pertimbangan ekonomi perlu
diperhatikan bagi orang-orang yang ingin melakukan pernikahan sebab kerelaan
dari aspek ekonomi menjadi salah satu jalan menuju saki>nah atau
ketenangan dalam pernikahan. Karena itulah, dianjurkan bagi orang-orang yang
yakin tidak memiliki kemampuan untuk membiayai dan mempersiapkan pernikahannya
untuk menahan diri dari pernikahan tersebut.[45]
Di samping kesiapan fisik, mental dan ekonomi, yang tak
kalah pentingnya untuk diperhatikan bagi orang-orang yang ingin menemukan
tujuan pernikahan tersebut berupa saki>nah atau ketenangan dalam
rumah tangga, yaitu; pertama, menanamkan komitmen dalam pribadi
masing-masing untuk menjaga ikatan pernikahan di antara mereka yang
diistilahkan oleh Al-Qur’an dengan mi>s\a>qan gali>z}an atau
ikatan yang kuat dan kokoh. Sebagaimana QS. al-Nisa>’/4 : 21.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ
أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Terjemahnya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian
kamu (suami atau isteriI telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan
sebagian yang lain (isteri atau suami) dan mereka (para isteri) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang amat kokoh.
mi>s\a>qan gali>z}an dipahami sebagai
perjanjian yang sangat kuat yang mengingat sepasang suami isteri dalam ikatan
pernikahan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas serta komitmen untuk
melanggengkan kasih sayang di antara mereka.[46]
Upaya melanggengkan pernikahan itu dilakukan dengan
berupaya ber-mu’a>syarah atau
bergaul dengan pasangan secara ma’ru>f (baik). Hal ini ditegaskan
oleh Allah dalam QS. al-Nisa>’/4 : 19.
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya:
... ber-mu’a>syarah-lah (bergaullah) dengan
mereka secara ma’ru>f (patut). Maka bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Salah satu yang perlu digarisbawahi dari ayat tersebut
adalah kata mu’a>syarah (bergaul). Al-Qur’an mengistilahkan hubungan
suami isteri dengan kata mu’a>syarah, yang pada awalnya kata tersebut
berarti pencampuran dan masuknya sesuatu ke sesuatu yang lain.[47]
Sesuatu yang telah bercampur tidak mungkin atau sangat sulit dipisahkan.
Begitulah kehidupan suami isteri, perlu mempertahankan mu’a>syarah bi
al-ma’ru>f karena ikatan pernikahan bukan hanya diikat oleh faktor
cinta, tetapi ada faktor lain, yaitu rahmat dan amanat.[48]
Kedua, yang perlu diperhatikan untuk mencapai saki>nah tersebut
adalah memperkuat rasa mawaddah dan rah}mah dalam kehidupan rumah
tangga. Itulah sebabnya QS. al-Ru>m/30 : 21 yang berbicara tentang tujuan
pernikahan adalah untuk menemukan saki>nah dilanjutkan dengan
penjelasan pentingnya kedua rasa tersebut. Karena hal itu merupakan tali temali
ruhani perekat pernikahan. Ibn A<syu>r menjelaskan bahwa Allah memberikan
rasa mawaddah kepada pasangan suami isteri karena rasa itulah yang akan
mengantarkan mereka untuk saling mencintai yang tadinya tidak saling mengenal.
Demikian pula dengan rah}mah, merupakan rasa yang diciptakan Allah
kepada pasangan suami isteri karena rasa itulah yang menjadikan mereka saling
menyayangi bagaikan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang tadinya mereka
tidak memiliki perasaan dan simpati sebelum melangsungkan pernikahan.[49]
Mawaddah terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf wa>wu
dan da>l berganda, yaitu wadda atau wadada. Kata
tersebut memiliki makna cinta dan harapan. Demikian Ibn Fa>ris menjelaskan
dalam bukunya Maqa>yi>s al-Lugah.[50] Sementara pakar tafsir Abu> Bakr
al-Biqa>’iy dalam tafsirnya Naz}im al-Durar fi> Tana>sub
al-A<ya>t wa al-Suwar menjelaskan bahwa kata tersebut mengandung arti
al-ittisa>’u wa al-khuluw atau kelapangan dan kekosongan. Karenanya
Ima>m Abu> al-H{asan al-H{arra>liy sebagaimana dikutip oleh
al-Biqa>’iy mengatakan bahwa kata yang tersusun dari huruf tersebut
menunjukkan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.[51]
Terlepas dari perbedaan makna awal dari kata tersebut,
pastinya makna-makna itu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Sehingga mawaddah dipahami sebagai cinta yang dampaknya dapat dilihat
pada sikap dan perbuatan yang berusaha memberikan banyak kebaikan sekaligus
tidak akan memutuskan hubungan yang telah dibangun. Sebab orang yang memiliki
rasa mawaddah hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga
pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin
(yang mungkin datang dari pasangannya).[52]
Meminjam istilah Quraish Shihab, mawaddah adalah cinta plus yang sejati,
karena orang yang sekedar mencintai sekali-sekali hatinya mendongkol terhadap
kekasih atau kesal kepada yang dicintainya, tetapi mawaddah tidak
seperti itu.[53]
Sementara rah}mah terambil dari akar kata yang
tersusun dari huruf ra>, h}a>, dan mim, yaitu rah}ima.
Kata tersebut memiliki makna belas kasih, simpati dan sayang. Sehingga
kandungan seorang wanita disebut rahim karena dari sanalah lahir anak yang
disayangi dan dikasihi.[54]
Hanya saja, kasih sayang yang diistilahkan dengan rah}mah adalah kasih
sayang yang diberikan di saat yang dikasihi dalam keadaan butuh dan tidak
berdaya. Dengan kata lain, rah}mah adalah kondisi psikologis yang muncul
di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang
bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rah}mah menghasilkan
kesabaran, murah hati, tidak cemburu. Pemiliknya tidak angkuh, tidak mencari
keuntungan sendiri, tidak juga pemarah, apalagi pendendam. Ia menutupi segala
sesuatu dan sabar menanggung segalanya. Demikian gambaran yang disampaikan M.
Quraish Shihab ketika menjelaskan makna kata tersebut.[55]
Di sinilah perbedaan antara mawaddah dan rah}mah.
Sebab betapa pun kuatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan. Karenanya
di saat potensi mawaddah yang diciptakan Allah pada setiap pasangan
belum terasah dengan baik atau sudah mengalami erosi, maka saat itulah faktor rah}mah
berperan. Itulah sebabnya, di kalangan sebagian mufassir ada yang memahami
bahwa mawaddah adalah kiasan dari hubungan senggama, sedangkan rah}mah
adalah kiasan dari hubungan kasih sayang terhadap anak. Ini berarti bahwa mawaddah
merupakan cinta yang dibuktikan dengan selalu memberikan kebaikan lebih kepada
pasangan termasuk kemampuan untuk melakukan hubungan senggama. Adapun rah}mah
adalah kasih sayang yang diberikan kepada pasangan sekalipun kemampuan
untuk memberikan sesuatu yang lebih telah berkurang sehingga ia digambarkan
dengan kasih sayang orang tua kepada anaknya karena kasih sayang itu menanamkan
nilai untuk tidak berpisah dengan pasangannya bagaimana pun kondisi yang
dihadapi.[56]
Hanya saja, perlu dipertegas kembali bahwa mawaddah dan
rah}mah tidak lahir begitu saja, atau hadir begitu terlaksananya
pernikahan. Akan tetapi Allah menganugerahi pasangan suami isteri potensi untuk
meraih mawaddah dan rah}mah, sehingga mereka dituntut untuk terus
berjuang dan berusaha meraihnya.
Karena mawaddah dan rah}mah merupakan
anugerah dari Allah maka pasangan suami isteri dituntut untuk semakin taat
memenuhi nilai-nilai yang diamanatkan Allah, termasuk dengan memperbanyak doa
agar hubungan mereka semakin kukuh serta mampu memberi dan menerima cinta
kasih.
Melaksanakan tuntunan Ilahi yang diwujudkan dengan
keimanan dan amal saleh merupakan cara yang harus ditempuh untuk mampu menerima
serta memberi mawaddah, sehingga yang bersangkutan tidak akan bertepuk
sebelah tangan. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah sebagaimana QS.
Maryam/19 : 96. mengingatkan;
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, Allah
Yang Maha Pemurah akan menganugerahi mereka wudda (mawaddah).
Ini berarti bahwa bantuan Ilahi selalu harus diharapkan
karena setiap saat Allah terlibat. Namun, upaya untuk meraih sukses tetap harus
selalu diperjuangkan. Ini juga mengandung isyarat bahwa pasangan suami isteri
harus dapat menjadi “diri” pasangannya, dalam arti masing-masing harus
merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan pasanganya. Suami
isteri harus merasa saling membutuhkan dan berusaha memenuhi kebutuhan pasangannya.
QS. al-Baqarah/2 : 187. mengistilahkan mereka dengan
pakaian;
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ
Terjemahnya:
... isteri-isteri kamu (para suami) adalah pakaian untuk
kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka...
Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami isteri
saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan pada pakaian, tetapi juga berarti
bahwa suami isteri menurut kodratnya memiliki kekurangan dan masing-masing
harus dapat berfungsi menutupi kekurangan pasangannya.
Ketiga, yang harus diperhatikan untuk mencapai saki>nah dalam
pernikahan adalah kesadaran akan amanah yang diberikan Allah kepada pasangan
suami isteri. Sebab sebagaimana telah diketahui bahwa jodoh dan pasangan adalah
anugerah dari Allah yang telah diterima dengan janji setia bukan hanya
dihadapan wali atau penghulu tetapi juga dihadapan Allah. Demikian Rasulullah
menjelaskan dalam sabdanya;
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ
فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللَّهِ [57]
Artinya:
Takutlah kepada Allah mengenai wanita (isterimu), karena
kamu telah menerimanya atas dasar amanah Allah, dan kamu pun sudah halal
berhubungan dengannya atas dasar kalimat Allah (janji setia).
Al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan QS. al-Nisa>’/4 :
19, ia mengutip sebuah riwayat bahwa suatu ketika ada seorang pria datang
kepada ‘Umar ra. dan menyampaikan rencananya untuk menceraikan isterinya karena
adanya sesuatu yang tidak disukai dari isterinya tersebut. ‘Umar, khalifah
Rasullah yang kedua itu berkomentar, “menceraikan? Kalau demikian, di mana kamu
letakkan amanat yang telah engkau terima?” Ini diucapkan sambil membaca firman
Allah;
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya:
... ber-mu’a>syarah-lah (bergaullah) dengan
mereka secara ma’ru>f (patut). Maka bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Isteri adalah amanat dipelukan sang suami, dan suami pun
amanat dipelukan sang isteri, demikian M. Quraish Shihab menyebutnya.[58]
Sehingga sebagian besar pernikahan yang gagal disebabkan oleh hilangnya upaya
memelihara amanat itu. Sebaliknya sekian banyak pernikahan dapat bertahan
menghadapi berbagai badai, hanya dengan berperisaikan iman dan amanat. Dari
sinilah dipahami mengapa dalam tuntunan agama, prioritas pertama dalam
menjatuhkan pilihan pada pasangan adalah iman dan takwa, dengan kata lain aspek
agamanya. Sebagaimana riwayat Muslim dari Abu> Hurairah ra.
... فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ [59]
Artinya:
... Raihlah yang memiliki agama, karena kalau tidak,
engkau akan sengsara.
Jika komitmen untuk memelihara ikatan pernikahan sebagai mi>z\a>qan
gali>z}an, disertai upaya meraih mawaddah dan rah}mah
dalam pernikahan, dan dilanjutkan dengan kesadaran akan amanat yang diberikan
Allah, maka tentunya pondasi rumah tangga kian kukuh dan sendi-sendinya akan
semakin tegar.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى
تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا
جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
Terjemahnya:
Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di
atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-Nya itu yang baik, ataukah
orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh lalu
bangunannya roboh bersama dengannya ke dalam neraka jahannam. Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.
C.
Orang-orang yang
Boleh dan Tidak Boleh dinikahi
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa agama memberikan
tuntunan dalam memilih pasangan demi tercapai keluarga dan rumah tangga yang
harmonis. Sekalipun demikian, agama tetap memberikan peluang kepada masing-masing
pihak untuk menyesuaikan dengan selera dan keinginan masing-masing.
Karena itulah, Al-Qur’an ketika berbicara tentang siapa
yang boleh dinikahi, ia hanya menyebutkan secara umum dan tidak menentukan
secara rinci. Sebagaimana terlihat pada QS. al-Nisa>’/4 : 3.
... فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ...
Terjemahnya:
... maka nikahilah siapa yang kamu senangi dari
wanita-wanita...
Kata ma> t}a>ba pada ayat tersebut dipahami
oleh al-Zamakhsyariy dengan makna ma> h}alla atau wanita-wanita yang
halal dinikahi sebab ada di antara mereka yang haram untuk dinikahi.[60]
Oleh karena itu, terkait dengan siapa yang boleh dinikahi dapat disimpulkan
bahwa Al-Qur’an memberikan kebebasan untuk memilih selama mereka tidak termasuk
yang diharamkan dalam agama.
Meskipun demikian, Rasulullah saw. mengingatkan untuk
mengedepankan nilai-nilai agama, di samping perlunya mempertimbangkan
aspek-aspek yang lain. Sebagaimana sabdanya;
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ
تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
Wanita itu dinikahi karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan atau karena agamanya. Akan tetapi jatuhkanlah pilihanmu atas
dasar yang beragama, karena kalau tidak engkau akan sengsara.
Penulis melihat, hadis ini merupakan ketentuan mayor dalam
mencari pasangan. Dan untuk mengetahui keberagamaan seseorang (khususnya
wanita) di antaranya dapat dilihat pada beberapa indikator yang disampaikan
nabi dalam hadisnya yang lain, yaitu;
خير النساء اللاتي إذا نظرت إليها
سرتك ، وإذا أمرتها أطاعتك ، وإذا غبت عنها حفظتك في مالها ونفسها [61]
Artinya:
Sebaik-baik wanita
adalah wanita yang apabila engkau memandangnya, ia membuatmu bahagia; apabila
engkau menyuruhnya, ia menaatimu; dan apabila engkau tidak ada di sisinya, ia
memelihara kehormatanmu pada harta dan pribadinya.
Indikator ini sejalan dengan firman Allah pada QS.
al-Nisa>’/4 : 34.
... فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ ...
Terjemahnya:
... Wanita yang saleh
adalah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri di balik pembelakangan
suaminya, oleh karena Allah telah memelihara mereka...
Al-Sya’ara>wiy ketika menafsirkan ayat tersebut, ia
menegaskan bahwa wanita yang saleh adalah wanita yang senantiasa istiqamah atau
konsisten pada manhaj (jalan hidup) yang telah ditetapkan baginya sesuai
dengan kodratnya. Dan wanita yang saleh itu selalu berupaya taat dan tunduk
kepada Allah serta berusaha menjaga kehormatan dan harga dirinya di saat orang
yang bertanggung jawab padanya tidak ada di tempat (baca: gaib).[62]
Demikian pula sebaliknya, seorang wanita diberikan
tuntunan dalam agama untuk menerima pasangan (suami) berdasarkan tinjauan
agama. Hal ini diperkuat oleh hadis nabi sebagaimana riwayat al-Turmuz\iy dari
Abu> Hurairah ra.
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه
فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض [63]
Artinya:
Apabila telah
datang meminang kepadamu orang yang bagus agama dan akhlaknya maka nikahkanlah,
sebab bila kalian tidak melakukannya maka anak perempuanmua akan menjadi
“fitnah” di muka bumi sekaligus membawa kerusakan yang banyak.
Bahkan al-H{asan ibn ‘A<liy ketika diminta pendapatnya
mengenai pria yang layak dijadikan pasangan hidup, ia menjawab;
زَوّجها من ذي الدين، إن أحبها
أكرمها، وإن كرهها لم يظلمها [64]
Artinya:
Nikahkanlah
perempuanmu dengan pria yang beragama, sebab bila mencintainya maka ia akan
memuliakan isterinya, dan bila ia tidak menyukainya maka ia tidak akan
menganiayanya.
Demikian tuntunan agama mengenai orang yang boleh
dinikahi, tetapi bagaimana dengan orang yang tidak boleh dinikahi? Di sini
penulis melihat bahwa Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang
tidak boleh dinikahi itu. Akan tetapi, berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an,
orang-orang yang tidak boleh dinikahi setidaknya disebabkan oleh beberapa
sebab. Dan ulama fiqih mengklasifikasi sebab-sebab pengharaman orang tidak
boleh dinikahi ke dalam dua sebab, yaitu; sebab yang bersifat abadi atau
selamanya (al-muh}arrama>t al-muabbadah), dan sebab yang bersifat
sementara (al-muh}arrama>t al-muaqqatah).[65]
Sebab yang bersifat abadi yang dimaksud, yaitu; pertama,
diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab), kedua, diharamkan
karena hubungan kekerabatan melalui pernikahan (al-mus}a>harah), ketiga,
diharamkan karena susuan (rad}a>’ah).
Sementara sebab yang bersifat sementara yang dimaksud,
yaitu; pertama, diharamkan karena status wanita yang sudah ditalak tiga,
kedua, diharamkan karena status wanita yang terkait dengan suaminya
(baik sebagai isteri, maupun sementara dalam keadaan iddah), ketiga, diharamkan
karena beda agama dan keyakinan, keempat, diharamkan karena status
wanita tersebut sebagai saudara atau keluarga dekat isteri yang sedang
berjalan, dan kelima, diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi
isteri kelima dalam waktu bersamaan.
1.
Al-Muh}arrama>t al-Muabbadah (sebab yang
bersifat abadi)
Yang dimaksud dengan sebab yang bersifat abadi adalah
sebab yang menghalangi seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selamanya
karena sebab tersebut tidak bisa hilang atau dihilangkan, ia akan terus melekat
pada diri masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan. Yang termasuk dalam
kategori ini, yaitu;
a.
Diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab)
Dasar hukum dari ketentuan ini adalah firman Allah
tepatnya pada QS. al-Nisa>’/4 : 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ
الْأُخْتِ ...
Terjemahnya:
Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan;
saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan...
Dari ayat tersebut dipahami bahwa yang termasuk tidak
boleh dinikahi karena sebab kekeluargaan ada tujuh golongan, yaitu; ibu ke
atas,[66]
anak ke bawah,[67] saudara
perempuan,[68] tante baik
dari bapak maupun ibu,[69]
serta anak saudara (keponakan) baik dari saudara laki-laki maupun saudara
perempuan.
Alasan atau ‘illah pengharaman ini tidak diketahui
secara pasti, namun di antara ulama ada yang mencoba mengkajinya lebih jauh.
Sehingga ada yang berpandangan bahwa pelarangan menikahi seorang wanita karena
sebab kekeluargaan dilatarbelakangi oleh dampak yang dapat ditimbulkan dari
hubungan tersebut, yaitu dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan
ruhani. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b sebagaimana dikutip oleh
Sayyid Sa>biq mengingatkan untuk menikahi wanita asing (yang bukan keluarga)
agar anak yang lahir dari hubungan tersebut tidak kurus dan lemah.[70]
Ada juga yang berpandangan bahwa setiap orang diharuskan
menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau
perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri.[71]
M. Quraish Shihab menambahkan bahwa ketujuh golongan yang disebutkan itu
kesemuanya harus dilindungi dari rasa birahi, ia pun menegaskan bahwa ada ulama
yang berpandangan larangan pernikahan antara kerabat sebagai upaya Al-Qur’an
memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu
masyarakat.[72]
b.
Diharamkan karena adanya hubungan kekerabatan melalui
pernikahan (mus}a>harah)
Yang dimaksud dengan mus}a>harah adalah orang
yang awalnya tidak termasuk keluarga atau kerabat dekat, namun setelah terjadi
pernikahan di salah satu anggota keluarganya menyebabkan mereka tergolong
kerabat. Termasuk dalam golongan ini adalah isteri bapak (ibu tiri), isteri
anak (menantu), ibu isteri (mertua), dan anak isteri. Hanya saja khusus untuk
yang keempat ini, yaitu anak isteri, ia termasuk haram dinikahi apabila ibunya
(isteri) telah disetubuhi oleh suami (ayah tirinya). Apabila isteri belum
disetubuhi lalu ia berpisah oleh suaminya, baik pisah karena talak atau karena
isteri tersebut meninggal dunia maka anaknya itu (anak tiri suami) tidak lagi
haram bagi suami ibunya.
Ketentuan ini didasari oleh firman Allah, tepatnya pada
QS. al-Nisa>’/4 : 22 & 23.
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلًا
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
...
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ ...
Terjemahnya:
... dan diharamkan pula bagimu (untuk dinikahi) ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu);
Terkait dengan ayat 22 di atas, ia merupakan respon balik
sekaligus solusi atas praktik yang terjadi di tengah masyarakat –khususnya
ketika turunnya Al-Qur’an- yang menegaskan ketidakbolehan secara mutlak seorang
anak menikahi mendiang isteri ayahnya.
Sebab pernikahan sekalipun merupakan ketetapan Ilahi
sekaligus tuntunan nabi, namun ternyata fakta masyarakat –khususnya pada masa
jahiliyah dan awal-awal Islam- menunjukkan adanya praktik-praktik yang amat
berbahaya dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi
secara paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri). Sebab mereka berprinsip bahwa
bila seseorang (suami) meninggal dunia maka kerabatnya itulah yang paling
berhak “mewarisi” mendiang isterinya. Bila ia ingin, maka ia bisa menikahinya
sekalipun secara paksa, atau ia bisa menikahkannya dengan orang lain atau
melarangnya untuk menikah dengan orang lain.[73]
Hal inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat QS. al-Nisa>’/4 : 19.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ...
Terjemahnya:
Hai orang-orang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa...
Ayat ini menegaskan bahwa seorang isteri tidaklah sama
dengan harta warisan, yang bisa diwarisi dan diperlakukan sama dengan
harta-harta yang ditinggalkan oleh orang yang punya harta itu.
Hanya saja, ketika turunnya ayat tersebut –ayat 19-, masih
ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka. Sebagaimana yang dilakukan
oleh H{is}an ibn Abi> Qays yang mengawini mendiang ayahnya yang bernama
Kabi>syah bint Mi’an, demikian pula al-Aswad ibn Khalaf, S{afwa>n ibn
Umayyah, dan Mans}u>r ibn Ma>zin yang masing-masing menikahi mendiang
isteri ayahnya.
Asy’as\ ibn Siwa>r seperti yang dikutip Wahbah
al-Zuh}ailiy menceritakan bahwa ketika Abu> Qays yang merupakan seorang yang
saleh dari kaum Ans{a>r meninggal dunia, anaknya yang bernama Qays meminang
isteri ayahnya. Lalu perempuan tersebut mengatakan, inni> a’idduka
waladan (sesungguhnya aku telah menganggapmu sebagai anak), akan tetapi
saya akan mendatangi nabi untuk meminta tanggapannya. Perempuan itu pun
mendatangi nabi dan menceritakan apa yang terjadi, maka turunlah ayat QS.
al-Nisa>’/4 : 22. di atas[74]
yang merespon kejadian tersebut sekaligus –sekali lagi- menegaskan
ketidakbolehan secara mutlak seorang anak menikahi mendiang isteri ayahnya.
Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy menganggap pelarangan
tersebut disebabkan oleh tiga hal seperti yang disebutkan Allah dalam ayat
tersebut, yaitu pertama, fa>h}isyah atau perbuatan yang sangat keji karena isteri
ayah menyerupai status ibu sehingga mengawini dan menggauli ibu adalah
perbuatan yang sangat keji. Kedua, maqtan yang berarti perbuatan
tersebut sangat dibenci yang menyebabkan pelakunya menjadi hina. Dan ketiga,
sa>a sabi>lan yang berarti perbuatan tersebut merupakan tradisi yang
tidak baik sekalipun sudah dilakukan oleh banyak orang. Sehingga dari ketiga
istilah tersebut, lahir tiga tingkatan keburukan, yaitu; buruk menurut akal (fa>h}isyah),
buruk menurut syariat dan agama (maqtan), dan buruk menurut budaya dan
norma kemasyarakatan (sa>a sabilan). Dan ternyata menikahi isteri
mendiang ayah mengumpulkan ketiga jenis keburukan tersebut.[75]
Demikian pula pada golongan ketiga selanjutnya yang haram
dinikahi, yaitu; mertua, menantu, dan anak tiri. Sebagaimana yang disebutkan
pada ayat 23 di atas menunjukkan perhatian agama (Al-Qur’an) yang begitu besar
kaitannya dengan kehidupan rumah tangga sekaligus menjaga nilai-nilai
kekerabatan itu. Karena itulah, pelarangan menikahi mereka, ada yang memahami sebagai
upaya mencegah timbulnya perselisihan atau perceraian seperti yang dapat
terjadi pada pasangan suami isteri, apatah lagi status mereka sama dengan
status keluarga karena faktor nasab. Sehingga kesemuanya itu harus dilindungi
dari rasa birahi.[76]
Hanya saja, terkait dengan ayat 23 tersebut, ada dua kata
yang penulis anggap perlu diperjelas, yaitu; pertama, kalimat wa
raba>ibukum al-latiy fi> h}uju>rikum min nisa>ikum al-latiy
dakhaltum bihinna (anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri). Kata raba>ib
merupakan bentuk jamak (plural), yang kata tunggalnya adalah rabi>bah
yang berarti anak isteri dari suaminya yang lain. Namun pelarangan menikahi
anak isteri tersebut memiliki syarat, yaitu isteri (dalam hal ini ibunya anak
itu) telah disetubuhi (dukhu>l) oleh suaminya (ayah tiri anak itu).
Sehingga bila isteri belum di-dukhu>l oleh suaminya maka anaknya itu
bisa dinikahi oleh mendiang ayah tirinya setelah ia (suami) berpisah dengan
isterinya.
Syarat ini lahir di
samping karena ia merupakan ketentuan Allah dalam Al-Qur’an, juga ulama
memahami bahwa pernikahan yang hanya bermakna aqad (ikatan janji yang sakeral)
semata tidaklah mengharamkan pernikahan bagi anaknya, sebab yang mengharamkan
adalah makna kedua dari nikah itu, yaitu al-jima>’ (senggama). Karena
apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang memiliki anak maka ia
belum memiliki ikatan batin dengan anak tirinya bila hanya dikaitkan dengan
akad nikah tersebut.
Kedua, kata yang perlu diperjelas disini adalah wa h}ala>il
abna>ikum al-laz\i>na min as}la>bikum (isteri-isteri anak
kandung). Penulis melihat bahwa dikaitkannya kata abna>’ yang
merupakan bentuk plural dari kata ibn yang berarti anak laki-laki dengan kata min
as}la>b yang memiliki makna dasar “tulang punggung”, kemudian diartikan
dengan anak kandung, tentunya keterkaitan tersebut melahirkan sebuah “keunikan”.
Sehingga dari sinilah dipahami bahwa kata ibn atau abna>’ (anak
laki-laki) tidaklah berarti anak kandung secara pasti, akan tetapi kata
tersebut hanya menunjukkan jenis kelamin anak tersebut, yaitu laki-laki. Sebab
andaikata kata tersebut sudah bermakna anak kandung maka tidak perlu lagi
ditambahkan kalimat min as}la>bikum (yang lahir dari tulang
punggungmu).[77] Sementara
kata yang secara langsung menunjukkan anak kandung adalah kata yang tersusun
dari huruf waw, la>m , dan da>l, yaitu al-walad. Karena
itulah, surah al-Ikhlas menggambarkan hakikat Allah dengan kalimat lam yalid
wa lam yu>lad (tidak beranak dan tidak diperanakkan).
c.
Diharamkan karena susuan (rad}a>’ah)
Dasar hukum untuk pelarangan menikahi orang –wanita-
karena faktor susuan adalah QS. al-Nisa>’/4 : 23.
... وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
مِنَ الرَّضَاعَةِ ...
Terjemahnya:
... (dan diharamkan
pula untuk dinikahi) ibu-ibumu yang menyusui kamu; dan saudara
perempuan sepersusuan;...
Para ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa berdasarkan
ayat tersebut faktor sesusuan (rad}a>’ah) menjadi salah satu sebab
seseorang haram dinikahi. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai ukuran
atau kadar air susu yang diminum, batas umur yang menyusu, dan cara menyusu.
Namun sebelum lebih jauh mengkaji ketiga hal yang
diperdebatkan itu, terlebih dahulu perlu ditekankan penggunaan kalimat ummaha>tukum
(ibu-ibumu) dan ahkawa>tukum (saudara-saudaramu) pada ayat
tersebut. Sebab penegasan kalimat tersebut dilakukan oleh Allah untuk menunjukkan
hikmah pelarangan menikahi seseorang karena faktor susuan (rad}a>’ah).
Hal ini mengisyaratkan bahwa ibu yang menyusui berkedudukan sama dengan ibu
kandung, demikian juga saudara sesusuan sama dengan saudara kandung.[78]
Ini disebabkan oleh karena seorang wanita bila menyusui seseorang (baca: bayi),
maka air susunya itu akan menjadi makanan dan penguat bagi si bayi, selain itu
air susu dari wanita susuannya akan mengalir di tubuh bayi tersebut dan
berdampak pada pertumbuhannya.[79]
Sehingga implikasi hukum dari ayat tersebut menyebabkan semua kerabat ibu menyusui
menjadi kerabat anak susuannya. Ibu yang menyusui menjadi ibu bagi anak yang
menyusu, anak ibu menyusui menjadi saudara anak yang menyusu, suami ibu yang
menyusui menjadi ayah bagi anak yang menyusu.[80]
Dengan kata lain, semua kerabat ibu yang menyusui haram dinikahi oleh anak
susuannya sebab mereka telah menjadi kerabatnya. Ini diperjelas oleh hadis nabi
yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadis dari ‘A<isyah ra.
يحرم من الرضاع ما يحرم من
الولادة [81]
Artinya:
Apa yang haram
karena kelahiran (nasab) ia pun haram karena susuan.
Ketika menyebutkan pelarangan menikah karena susuan,
Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail seluk beluk pelarangan tersebut.
Sehingga inilah yang menyebabkan munculnya keragaman pendapat ulama mengenai
tiga hal yang disebutkan di atas, yaitu; ukuran air susu yang diminum, batas
usia yang menyusu, serta cara menyusu.
Pembahasan secara mendalam mengenai perbedaan pendapat
tersebut, penulis menilai di sini bukan tempatnya untuk dibicarakan.[82]
Hanya saja secara umum dapat disimpulkan bahwa ulama-ulama bermazhab
Ma>likiy dan H{anafiy menilai bahwa penyusuan secara mutlak mengharamkan
pernikahan. Sekelompok ulama dari mazhab H{ana>bilah menganggap bahwa
pengharaman tersebut lahir penyusuan terjadi tidak kurang dari tiga kali.[83]
Tetapi, mazhab Sya>fi’iyyah dan H{ana>bilah bahwa dampak hukumnya baru
terjadi bila penyusuan itu terjadi sedikitnya lima kali penyusuan.[84]
Redaksi ayat di atas juga tidak menyebutkan juga batas
umur yang menyusu sehingga dapat mencakup siapa pun yang menyusu sekalipun ia
telah dewasa. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa penyusuan yang berdampak
hukum adalah yang terjadi sebelum seorang anak mencapai uisa dua tahun.[85]
Ini didasari oleh firman Allah tepatnya QS. al-Baqarah/2 : 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
...
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.
Pemahaman terhadap ayat tersebut didukung oleh hadis yang
diriwayatkan oleh al-Da>ruqutniy dari ibn ‘Abba>s;
Artinya:
Tidaklah dianggap rad}a>’ah
kecuali dalam dua tahun.
Sementara itu, kata rad}a>’ah yang terdapat pada
QS. al-Nisa>’/4 : 23 di atas terambil dari akar kata rad}a’a yang
berarti meminum susu dari al-d}ar’u (tetek kambing) atau mengisap al-s\ady
(payudara seorang perempuan) dan meminum susunya.[87]
Hanya saja para ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam memahami kata
tersebut. Mayoritas ulama masa lampau, termasuk Abu> H{ani>fah,
Ma>lik, al-Sya>fi’iy memahami kata al-rad}a>’ah dalam arti
masuknya air susu ke dalam rongga tubuh anak melalui kerongkongannya atau
selain kerongkongannya dengan jalan mengisap atau bukan.[88]
Lain lagi pendapat dari Mans}u>r Yu>nus
al-Bahu>tiy penulis Kasysya>f al-Qina>’, ia menganggap bahwa
sesuatu disebut rad}a>’ah apabila air susu seorang perempuan telah
sampai ke tenggorokan dan lambung seorang anak yang berumur tidak lebih dari
dua tahun. Seorang perempuan dikatakan menyusui jika ia menyusui anaknya dari
waktu ke waktu (terus menerus) dan jika anaknya itu menyusu langsung dari
puting perempuan tersebut.[89]
Ulama kontemporer, Syekh Yu>suf al-Qarad}a>wiy,
menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa dasar keharaman yang diletakkan agama
bagi penyusuan adalah ummaha>t atau ibu yang menyusui sebagai bunyi
ayat 23 surah al-Nisa>’ di atas. Keibuan yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak
mungkin terjadi hanya dengan menerima/meminum air susunya, tetapi dengan
mengisap dan menempel sehingga menjadi jelas kasih sayang ibu dan
ketergantungan anak yang menyusu. Dengan kata lain, penyusuan yang dilakukan
adalah secara langsung tanpa melalui perantara dan dalam kuantitas yang tidak
sedikit.[90] Selanjutnya
al-Qarad}a>wiy menegaskan bahwa merupakan keharusan untuk merujuk kepada
lafaz yang digunakan Al-Qur’an, sedang makna lafaz yang digunakannya itu dalam
bahasa Al-Qur’an dan sunnah adalah jelas dan tegas, bermakna mengisap tetek dan
menelan airnya secara perlahan, bukan sekedar makan atau meminumnya dengan cara
apa pun, walau atas pertimbangan manfaat.[91]
2.
Al-Muh}arrama>t al-Muaqqatah (sebab yang
bersifat sementara)
Yang dimaksud dengan al-muh}arrama>t al-muaqqatah adalah
wanita-wanita yang haram dinikahi dalam jangka waktu tertentu (sementara)
disebabkan adanya beberapa sebab. Apabila sebab itu sudah tiada maka pelarangan
tersebut pun juga terhapus. Sebab-sebab yang dimaksud, yaitu;
a.
Diharamkan karena status wanita yang sudah ditalak tiga.
Pengharaman untuk menikahi wanita yang sudah ditalak tiga
atau dalam istilah fiqih adalah tala>q ba>in berlaku bagi mantan
suami yang telah menceraikannya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt dalam
QS. al-Baqarah/2 : 230.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ
لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Kemudian jika
suaminya mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui.
Dari ayat tersebut dipahami bahwa seorang suami bila telah
mentalak tiga isterinya maka isterinya yang sudah ditalak itu tidak halal
(baca: haram) lagi baginya. Pengharaman ini tentunya memberi pelajaran yang
sangat pahit bagi suami isteri yang bercerai untuk ketiga kalinya. Kalaulah
perceraian pertama terjadi, peristiwa itu kiranya menjadi pelajaran bagi
keduanya untuk introspeksi dan melakukan perbaikan. Kalaupun masih terjadi
perceraian untuk kedua kalinya, kesempatan terakhir harus dapat menjamin
kelangsungan pernikahan, sebab kalau tidak, dan perceraian itu terjadi lagi
untuk ketiga kalinya, tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, kecuali
memberi kesempatan kepada isteri untuk kawin dengan pria lain. Demikian M.
Quraish Shihab menjelaskan hikmah pengharaman itu.[92]
Apatah lagi penggunaan kata ( إن
) yang
diterjemahkan dengan kata “seandainya” yang biasanya kata tersebut digunakan
untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Dengan demikian, ayat ini
mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu merupakan satu hal yang jarang
terjadi di kalangan mereka yang memerhatikan tuntunan-tuntunan Ilahi atau
perceraian adalah sesuatu yang diragukan di kalangan orang-orang beriman.[93]
Dari ayat itu pula dipahami bahwa diperbolehkan menikahi
kembali mantan isterinya yang telah ditalak tiga apabila memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan di atas, yaitu:
1.
Mantan isteri tersebut sudah dinikahi oleh pria lain
2.
Pernikahan yang terjadi di antara mereka (mantan isteri
dengan pria lain) adalah pernikahan yang sah menurut agama
3.
Pasangan suami isteri yang baru itu telah melakukan
hubungan senggama di antara mereka.
Terkait dengan syarat yang kedua, pernikahan tersebut
haruslah pernikahan yang sah, di sini memiliki implikasi hukum pada pernikahan
yang diatur (diskenariokan) untuk menghalalkan kembali mantan suami menikah
dengan mantan isterinya, atau yang sering diistilahkan dengan nika>h}
al-muh}allil. Di kalangan ulama terdapat keragaman pendapat mengenai
pernikahan seperti itu. Ulama H{anafiyah dan Sya>fi’iyyah berpandangan bahwa
nika>h} al-muh}allil tidak bisa menghalalkan mantan suami untuk
menikah kembali dengan mantan isterinya, bahkan Sya>fi’iyyah menilai bila
seorang pria menikahi mantan isteri orang lain dengan tah}li<l
(menjadi jalan kehalalan bagi mantan suami) maka pernikahan tersebut batal
dengan sendirinya, dan bila mereka melakukan hubungan badan maka hubungan
tersebut dianggap sebagai hubungan yang dilakukan di luar pernikahan.[94]
Ini didasari oleh sabda nabi yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud mdari
‘Aliy ibn Abi> T{a>lib;
لعن الله المحلل والمحلل له [95]
Artinya:
Allah melaknat al-muh}allil
(suami kedua) dan al-muh}allal lahu (suami pertama).
Akan tetapi, H{anafiyah menganggap bahwa perbuatan
tersebut merupakan sesuatu yang sangat dicela (makru>h tah}ri>m)
apabila dalam pernikahan itu disebutkan sebab diadakannya pernikahan dengan
tujuan menghalalkan mantan suami untuk kembali ke mantan isterinya.[96]
Terlepas dari perbedaan hukum yang dipahami oleh para
ulama mengenai nika>h} al-muh}allil, namun pastinya pernikahan
seperti itu adalah pernikahan yang mendatangkan dosa besar. Ini dilihat dari
penggunaan kata “laknat” dalam hadis tersebut yang memiliki makna melahirkan
dosa besar.[97]
Adapun untuk syarat yang ketiga, ia merupakan kelanjutan
dari syarat kedua, sebab pernikahan berujung pada hubungan badan suami isteri.
Apatah lagi kalimat h}atta> tankih}a zawjan gayrah (hingga ia kawin
dengan pria lain), oleh Ima>m al-Alu>siy dalam kitab tafsirnya Ru>h}
al-Ma’a>niy menjelaskan bahwa kalimat tersebut lebih dimaknai pada arti al-jima>’
(senggama), sebab pernikahan yang hanya sebatas akad semata maka ia lebih
tepat dipahami dari zawjan (pasangan).[98]
Ini diperkuat oleh jawaban nabi saw. ketika ditanya
mengenai suami yang mentalak tiga isterinya, kemudian isteri tersebut menikah
dengan pria lain, lalu mereka bercerai. Apakah isteri tersebut boleh kembali
dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama? Maka jawaban nabi adalah;
لا تحل للأول حتى تذوق عسيلة الآخر
ويذوق عسيلتها [99]
Artinya:
Tidak boleh mantan
isteri tersebut dinikahi oleh suaminya yang pertama hingga ia dan suami kedua
merasakan air mani (baca: madu) masing-masing.
Karena itulah M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pernikahan
mantan isteri dengan pria lain maka kehormatan mantan suami kini sedikit
tersinggung –jika masih ada sisa cinta dalam hatinya- karena pernikahan mantan
isterinya itu bukan sekada porforma atau sekadar pencatatan dan kesaksian
tentang terlaksananya ijab kabul, tetapi lebih dari itu, keduanya setelah ijab
kabul harus saling menyatu yang dibuktikan lewat hubungan badan di antara
mereka.[100] Atau dalam
istilah penulis pernikahan tersebut berujung pada “tenggelamnya kapal Van Der
Wick”.
b.
Diharamkan karena status wanita yang terkait dengan
suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara dalam keadaan iddah)
Perempuan yang berstatus isteri orang lain termasuk orang
yang tidak boleh dinikahi, berdasarkan firman Allah swt. dalam QS.
al-Nisa>’/4 : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ...
Terjemahnya:
Dan (diharamkan
juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu...
Turunnya ayat di atas dilatarbelakangi oleh peristiwa
H{unayn. Yang menurut penjelasan ibn ‘Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh
al-T{abra>niy bahwa masyarakat muslim pada saat itu mendapatkan
wanita-wanita ahlul kitab yang memiliki suami. Dan ternyata di antara mereka
ada yang menyukai wanita-wanita tersebut. Singkat cerita, hal ini pun
disampaikan kepada nabi, maka turunlah ayat 24 dari surah al-Nisa>’
menjelaskan.[101]
Dari kandungan serta latar belakang turunnya ayat
tersebut, tampak jelas ketetapan Allah yang mengharamkan menikahi wanita yang
bersuami. Dengan kata lain, jangan ada dua suami yang menikah dengan seorang
perempuan (poliandri).[102]
Ketetapan ini dipahami dari kata al-muh}s}ana>t yang
terambil dari akar kata حصن h}as}ana yang berarti terhalangi. Benteng dinamai h}is}n karena
ia menghalangi musuh masuk atau melintasinya.[103]
Wanita yang dilukiskan dengan akar kata ini oleh Al-Qur’an dapat diartikan
sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian karena dia adalah
seorang yang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka, bukan
budak, atau karena dia bersuami.[104]
Adapun mengenai wanita yang sementara berada dalam masa
iddah (isteri yang berpisah dengan suaminya) apakah karena ditalak atau karena
suaminya meninggal, ia juga termasuk orang yang tidak boleh dinikahi oleh orang
lain hingga berakhirnya masa iddah tersebut, kecuali oleh suami yang telah
mentalaknya –ini terkait dengan isteri yang ditalak satu atau talak dua oleh
suaminya-[105] berdasarkan
firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2 : 235.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ
اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا
أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ
النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ...
Terjemahnya:
Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya...
Ayat ini merupakan salah satu tuntunan dari Allah bagi
pria yang ingin menikah, yakni seorang pria boleh-boleh saja meminang wanita
yang telah bercerai dengan suaminya dengan perceraian yang bersifat ba>in,
yakni yang telah putus hak bekas suaminya untuk rujuk kepadanya kecuali
dengan akad nikah baru sesuai syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.[106]
Wanita tersebut diperbolehkan untuk dipinang pada masa ‘iddah (masa tunggu)
mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan dengan sindiran.
Kata ‘arrad}tum yang dimaknai kamu menyindirnya
dijelaskan oleh Wahbah al-Zuh}ailiy dengan arti lawwahtum (kamu memberi
isyarat), sehingga sindiran yang dimaksud adalah sebuah tanda atau isyarat yang
disampaikan oleh seorang pria kepada seorang wanita dan wanita tersebut pun
memahami maksud isyarat itu, sekalipun ia tidak disampaikan secara jelas.[107]
Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa agama melarang seorang
pria meminang wanita yang berada dalam masa ‘iddah, dengan perceraian yang
bersifat ba>in. Khusus untuk wanita yang ditalak raji>’iy oleh
suaminya ia dilarang secara mutlak untuk dipinang sebab status mereka masih
dapat dirujuk oleh suaminya sehingga meminangnya, baik sindiran apalagi
terang-terangan, dapat berkesan di hati mereka yang pada gilirannya dapat
berdampak negatif dalam kehidupan rumah tangga jika ternyata suaminya rujuk
kepadanya. Terhadap wanita yang berpisah karena wafat suaminya dan sedang dalam
masa ‘iddah, tidak juga diperkenankan untuk dipinang secara terang-terangan,
baik langsung maupun tidak, karena wanita-wanita tersebut dituntut untuk
berkabung, sedangkan pernikahan adalah sebuah kegembiraan. Demikian M. Quraish
Shihab menjelaskan.[108]
Bahkan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b pernah memisahkan antara
pasangan T{ali>h}ah al-Asadiyah dengan suaminya Ra>syid al-S|aqafiy
ketika Ra>syid menikahinya sementara ia (T{ali>h}ah) masih berada dalam
masa ‘iddah.[109]
Adapun mengenai berapa lama masa iddah seorang wanita,
baik ditinggal wafat oleh suaminya atau ditalak, penulis tidak membahasnya
disini. Karena itulah, untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut dapat dilihat
pada penafsiran ulama mengenai QS. al-Baqarah/2 : 228 & 234.
c.
Diharamkan karena beda agama dan keyakinan
Mengenai pernikahan lintas agama ini, terlebih dahulu
perlu diperjelas siapa yang dikategorikan dalam Al-Qur’an sebagai orang yang
beda agama & keyakinan. Apakah ia berlaku umum? Atau jangan sampai ada
ketentuan mengenai mereka itu?
Dengan melihat beberapa ayat Al-Qur’an, termasuk di
antaranya adalah QS. al-Bayyinah/98 : 1
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Terjemahnya:
Orang-orang kafir
yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.
Ayat tersebut, oleh sebagian ulama –termasuk di antaranya
Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy & al-Biqa>’iy- dipahami sebagai pengakuan
Al-Qur’an terhadap mereka yang menganut Kristen dan Yahudi tidak termasuk
orang-orang musyrik. Hal ini disebabkan oleh penggunaan huruf ‘at}af waw
( و
) di antara kata ahlu kitab dan musyrik, yang memiliki makna menghimpun dua hal
yang berbeda.[110]
Pemahaman ini melahirkan implikasi hukum pada pelarangan
menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Sebab ayat yang menjadi landasan
hukum pelarangan tersebut adalah QS. al-Baqarah/2 : 221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو
إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang pria menikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, demikian juga para wali dilarang
menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki
musyrik. Sehingga ulama yang berpendapat bahwa ahlu kitab tidak termasuk dalam
kategori orang-orang musyrik berkeyakinan bahwa larangan menikah itu hanya
berlaku pada orang musyrik, bukan ahlu kitab. Dengan kata lain, seorang pria
muslim boleh-boleh saja menikah dengan wanita ahlu kitab (penganut agama Yahudi
dan Kristen). Apatah lagi QS. al-Ma>’idah/5 : 5 membolehkan hal tersebut.
... وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ ...
Terjemahnya:
... dan (dihalalkan
pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita
yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang
dianugerahi kitab (suci).
Hanya saja, sekalipun ayat ini membolehkan pria muslim
menikah dengan wanita ahlu kitab, tapi tidak ada isyarat sedikit pun yang menunjukkan
sebaliknya. Sehingga dapat dipahami bahwa semua ulama sepakat haramnya
pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim.[111]
Akan tetapi, di kalangan ulama yang lain, termasuk di
antaranya adalah sahabat nabi, ‘Abdulla>h ibn ‘Umar berpandangan bahwa
kebolehan yang terdapat dalam QS. al-Ma>’idah/5 : 5 di atas telah digugurkan
oleh QS. al-Baqarah/2 : 221 tersebut.[112]
Hanya saja –menurut M. Quraish Shihab- pendapat ini sangat
sulit diterima karena ayat al-Baqarah lebih dahulu turun dari ayat al-Ma>’idah,
dan tentu saja tidak logis sesuatu yang datang terlebih dahulu membatalkan
hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang setelahnya.[113]
Terlepas dari keragaman pendapat di atas, ada beberapa hal
yang perlu ditekankan. Pertama, larangan pernikahan antarpemeluk agama
yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya saki>nah
dalam keluarga. Sementara pernikahan baru akan langgeng dan tenteram jika
terdapat kesusaian pandangan hidup antara suami isteri, termasuk di antaranya
adalah kesesuaian agama & keyakinan.[114]
Berbeda dengan al-Sya’ara>wiy, ia menilai bahwa faktor lahirnya larangan
pernikahan beda agama tersebut adalah faktor anak. Ia menggarisbawahi bahwa
anak manusia adalah anak yang paling panjang masa kanak-kanaknya, sehingga ia membutuhkan
bimbingan sampai ia mencapai usia remaja. Dan orangtualah yang berkewajibn
membimbing anak tersebut hingga dewasa. Inilah sebabnya, mengapa Islam melarang
nikah beda agama sebab dikhawatirkan timbulnya kekeruhan dalam keimanan sang
anak.[115] Akan tetapi,
pada lanjutan ayat 221 surah al-Baqarah tersebut, Allah pun menegaskan lebih
jauh mengenai sebab utama pelarangan itu, yakni yad’u>na ila>
al-na>r (mereka mengajak kamu ke neraka). Penggalan ayat ini memberi
kesan bahwa semua yang mengajak ke neraka, baik melalui ucapan atau perbuatan
maupun keteladan, adalah orang-orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup.[116]
Kedua, yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan melarang
pernikahan seorang muslim dengan wanita ahlu kitab atas dasar kemaslahatan, bukan
atas dasar teks Al-Qur’an. Sehingga terlepas dari hukum pernikahan itu jauh
lebih bijak bila ditanamkan upaya untuk memilih pasangan yang seiman dan
seakidah. Apatah lagi bila dipahami bahwa seorang wanita muslimah dilarang
menikah dengan pria non-muslim, sekalipun pria ahlu kitab dikarenakan adanya
kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan suami yang
berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Pernikahan seorang
pria muslim dengan wanita ahlu kitab harus pula tidak dibenarkan jika
dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[117]
Ketiga, sekalipun para ulama berbeda pendapat mengenai boleh
tidaknya pria muslim menikah dengan wanita ahlu kitab, namun dalam QS.
al-Ma>’idah/5 : 5 di atas juga disebutkan dua syarat yang mesti dipenuhi
oleh wanita ahlu kitab tersebut, yaitu kata al-muh}s}ana>t yang
berarti wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat
menghormati serta mengagungkan Kitab suci. Makna terakhir ini dipahami dari
penggunaan kata u>tuw yang selalu digunakan Al-Qur’an untuk
menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Sehingga bagaimana pun ulama
berbeda pendapat tentang kebolehan pernikahan itu, namun apabila syarat
tersebut tidak terpenuhi maka mereka untuk tidak membenarkan pernikahan itu.[118]
d.
Diharamkan karena status wanita tersebut sebagai saudara
atau keluarga dekat isteri yang sedang berjalan
Yang dimaksud dengan sub judul di atas adalah seorang pria
dilarang mengumpulkan dua wanita bersaudara atau lebih dan dijadikan sebagai
isterinya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt. dalam QS. al-Nisa>’/4 :
23.
... وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ...
Terjemahnya:
... dan (kamu juga diharamkan) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;...
Ibn Jari>r al-T{abariy meriwayatkan dari ibn ‘Abba>s
bahwa konon masyarakat jahiliyah menghalalkan/membolehkan untuk menikahi isteri
mendiang bapak dan mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai isteri. Lalu
Allah menurunkan firman-Nya sebagai respon penyimpangan tersebut, yaitu QS. al-Nisa>’/4
: 21. yang berbicara tentang larangan menikahi isteri mendiang bapak
(sebagaimana disebutkan di atas), dan QS. al-Nisa>’/4 : 23.[119]
Mengenai ayat 23 dari surah al-Nisa>’, di sana Allah
menggunakan kalimat an tajma’u> bayna al-ukhtayni (menghimpun –dalam
pernikahan- dua perempuan yang bersaudara). Penekanan kata al-ukhtayni tidak
terbatas pada dua perempuan bersaudara saja, namun ia juga mencakup sekian
orang yang termasuk keluarga dekat.[120]
Dalam konteks ini, Rasulullah saw. menjelaskan sebagaimana riwayat Muslim dari
Abu> Hurairah ra.
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى
عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا [121]
Artinya:
Tidak dibenarkan
menghimpun dalam pernikahan seorang wanita dengan saudara perempuan bapaknya,
tidak juga dengan saudara perempuan ibunya
Dalam riwayat yang lain ditambahkan anak perempuan
saudaranya yang lelaki dan anak perempuan saudaranya yang perempuan.[122]
Tentunya pelarangan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran
putusnya hubungan kekeluargaan yang dapat muncul akibat pernikahan itu. Bahkan
Rasulullah saw. sendiri menegaskan bahwa;
إنكم إن فعلتم ذلك قطعتم أرحامكم
[123]
Artinya:
Karena kalau itu
kamu lakukan, kamu memutus hubungan kekeluargaan kamu.
Ayat di atas juga memberikan kejelasan bahwa pernikahan
seperti itu yang telah terjadi di masa lampau dimaafkan oleh Allah, namun
melarang untuk dilanjutkan. Dengan kata lain, pernikahan tersebut batal dengan
sendirinya. Ini dipahami dari penggalan ayat illa> ma> qad salaf (kecuali
apa yang telah lampau).[124]
e.
Diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi isteri
kelima dalam waktu bersamaan
Yang dimaksud disini adalah seorang pria tidak boleh
menikahi seorang wanita apabila wanita tersebut akan menjadi isterinya yang
kelima di saat isteri pertama sampai isteri masih ada dan sementara berjalan.
Dengan kata lain, seorang pria dilarang poligami lebih dari lima isteri.
Ketentuan ini didasari oleh firman Allah dalam QS.
al-Nisa>’/4 : 3.
... فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ...
Terjemahnya:
... maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat...
Dari batasan yang disebutkan Allah dalam ayat tersebut
sampai pada jumlah empat, maka nabi saw. melarang menghimpun dalam saat yang
sama lebih dari empat orang isteri bagi seorang pria. Ketika turunnya ayat ini,
Rasulullah memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri,
agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang hanya
memperisterikan empat orang wanita.[125]
Hal itu dialami oleh Gayla>n ibn Umayyah al-S|aqafiy di
saat ia memeluk Islam, ia memiliki sepuluh orang isteri, maka nabi mengatakan;
اختر منهن أربعا وفارق سائرهن [126]
Artinya:
Pilihlah dari
mereka empat orang isteri dan ceraikan selebihnya
Di sisi lain, ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya
poligami. Akan tetapi penulis tidak ingin berbicara panjang lebar mengenai hal
itu. Namun mengenai batasan jumlah isteri, memang ada yang memahami bahwa
jumlah dua, tiga, dan empat yang disebutkan pada ayat tersebut digabung
(dijumlahkan) sehingga menjadi sembilan dan hal itu mengikuti teladan nabi yang
isterinya berjumlah sembilan.[127]
Hanya saja pendapat ini terbantahkan oleh ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan
tabi’in, dan tidak ditemukan satu orang pun di antara mereka yang memiliki
pendapat berbeda. Apatah lagi adanya perintah dari kepada Gayla>n di atas
untuk memilih empat dari sekian banyak isterinya.
Untuk menutup kajian ini, penulis merasa perlu mengutip
komentar M. Quraish Shihab bahwa ayat tersebut tidak membuat satu peraturan
tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat
agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami
atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu
pun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan
dengan syarat yang tidak ringan.[128]
Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang poligami
dalam syariat Al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan
buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi.[129]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa
poin sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pernikahan adalah sebuah ketentuan yang telah ditetapkan
Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya atas hamba-hamba-Nya yang memiliki fitrah
untuk berpasangan. Dan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dipahami bahwa
pernikahan merupakan ikatan perjanjian antara pihak laki-laki dan pihak
perempuan untuk bersuami isteri secara resmi, di samping –secara majazi- ia
juga diartikan dengan hubungan seks. Ketika membicarakan pernikahan, Al-Qur’an
menggunakan dua term, yaitu nika>h} dan zawj. Hanya saja kata nika>h}
lebih diarahkan penggunaannya pada keberpasangan manusia dengan sesamanya,
sementara zawj memiliki makna yang lebih umum.
2.
Pernikahan yang merupakan tuntunan Allah, tentunya memiliki
beberapa tujuan. Dan dari ayat-ayat Al-Qur’an setidaknya ada dua tujuan pokok
ditetapkan pernikahan itu, pertama, sarana untuk menyalurkan hasrat
seksual manusia. Kedua, sarana untuk menemukan saki>nah atau
ketenangan hidup, yang tentunya tujuan ini hanya akan tercapai bila
masing-masing menyadari urgensi serta sakeralnya komitmen yang dibangun lewat
akad nikah, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya menumbuhkan rasa mawaddah
dan rah}mah, serta bertekad menjaga ama>nah yang diberikan
Allah kepadanya.
3.
Secara umum, Al-Qur’an tidak membatasi setiap orang dalam
mencari pasangan hidup. Sehingga mereka diberikan ruang yang luas untuk
menemukan pasangan yang disenangi dan diinginkan olehnya, selama yang diingini
itu tidak bertentangan dengan tuntunan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
dan hadis nabi. Oleh karenanya, terkait dengan orang yang tidak boleh dinikahi,
Al-Qur’an menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan. Dan faktor-faktor
tersebut dapat diklasifikasi dalam sebab pokok, yaitu sebab yang bersifat
abadi, dan sebab yang bersifat sementara.
B.
Implikasi
Ketentuan pernikahan yang telah diatur oleh Allah
mengandung pesan pentingnya untuk bersyukur, tidak mengingkari atau melupakan
nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan-Nya. Karena memang pernikahan
adalah anugerah dari Yang Kuasa, sehingga segala daya yang dimiliki setiap
insan –khususnya suami isteri- dapat dipergunakan dan difungsikan sesuai dengan
tujuan penganugerahannya.
Oleh karena itu, pengkajian lebih dalam akan ayat-ayat
Al-Qur’an dan sunnah nabi terkait dengan tema “nikah” perlu digalakkan demi
mengungkap betapa banyak nikmat yang diberikan Allah yang selanjutnya setiap
orang dituntut untuk menyadari sekaligus memelihara dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al
Qur’an dan Terjemahnya. Bandung. Syaamil Cipta Media. 1426 H/2005 M.
Al-Sya’ara>wiy, Mutawalliy.
Tafsi>r al-Sya’ara>wiy. Kairo. Da>r al-‘Ulu>m. t.th.
Shihab, M. Quraish. Pengantin
Al-Qur’an; Kalung Permata Buat Anak-anakku. Cet. I. Ciputat. Lentera Hati.
2007.
Ibn Fa>ris, Abu>
al-H{usain Ah}mad ibn Zakariya>. Maqa>yi>s al-Lugah. Kairo.
Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab. 2002.
Ibn Manz}u>r, Muh}ammad
ibn Mukrim al-Mas}riy. Lisa>n al-‘Arab. Cet. I. Beirut. Da>r
S{a>dir. t.th.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Cet. II. Jakarta. Balai
Pustaka. 2002.
Al-Zuh}ailiy, Wahbah. al-Fiqh
al-Isla>miy wa Adillatuh. Cet. IV. Damaskus. Da>r al-Fikr. 1997.
Al-Jazar, ‘Abd. al-Rah}ma>n. al-Fiqh 'Ala>
Maza>hib
al-Arba'ah. Mesir. Da>r al-Qalam. 1979.
Shihab, M. Quraish. Wawasan
Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XIX. Bandung.
Mizan. 2007.
Al-Zuh}ailiy, Wahbah. al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj. Cet. II.
Damaskus. Da>r al-Fikr. 1418 H.
‘Abd al-Ba>qiy, Muhammad Fu'a>d. Al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfa>z}
Al-Qur’a>n al-Az}i>m. Beirut. Da>r al-Fikr. 1992.
Al-Ra>ziy, Fakhr
al-Di>n. Mafa>ti>h} al-Gayb. Cet. II. Beirut. Da>r al-Fikr.
t.th.
Al-Bukha>riy, Abu>
‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}. Cet.
III. Beirut. Da>r ibn Ka>s\i>r. 1987.
Al-Naysabu>riy, Abu>
al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j al-Qusyayriy. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}.
Beirut. Da>r al-Jayl. t.th.
Al-Alu>siy Syiha>b
al-Di>n Mah}mu>d ibn ‘Abdilla>h al-H{usayniy. Ru>h}
al-Ma’a>niy fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i
al-Mas\a>niy. Cet. III. Beirut. Da>r al-Kutub, t.th.
Al-S{a>h}ib ibn
‘Iba>d. al-Muh}i>t} fi> al-Lugah. Beirut. Da>r al-Kutub.
t.th.
Muh}ammad ibn
‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy. al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy. Beirut. Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabiy. t.th.
Abu> ‘Abd
al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu’aib al-Nasa>iy. Sunan al-Nasa>iy.
Cet. V. Beirut. Da>r al-Ma’rifah. 1999.
Ibra>hi>m ibn
‘Umar ibn H{asan al-Riba>t} ibn ‘A<liy ibn Abi> Bakr al-Biqa>’iy. Naz}im
al-Durar fi> Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar. Beirut. Da>r
al-Kutub al-‘Arabiyah. t.th.
M. Quraish Shihab. Menyingkap
Tabir Ilahi; Asma> al Husna> dalam Perspektif Al-Qur’an. Cet. II.
Jakarta. Lentera Hati. 1999.
‘Abd al-Rah}ma>n
ibn Muh}ammad ibn Idri>s al-Ra>ziy ibn Abi> H{a>tim. Tafsi>r
al-Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulilla>h S{allalla>hu ‘alayhi
wa sallama wa al-S{ah}a>bah wa al-Ta>bi’i>n. Cet. I. Riyad.
Maktabah Niza>r al-Ba>z. 1997.
Muh}ammad ibn
‘Abdilla>h Abu> ‘Abdilla>h al-H{a>kim al-Naysa>bu>riy. al-Mustadrak
‘ala> al-S{ah}i>h}ayn. Cet. I. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
1990.
Muh}ammad ibn ‘I><sa> Abu> ‘I<sa>
al-Turmuz\iy al-Sulamiy. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy.
Beirut. Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy. t.th.
Wahbah al-Zuh}ailiy. al-Fiqh
al-Isla>miy wa Adillatuh. Cet. IV. Damaskus. Da>r al-Fikr. t.th.
Sayyid Sa>biq. Fiqh
al-Sunnah. t.tp. Da>r al-S|aqa>fah al-Isla>miyyah. t.th.
Abu> al-H{asan
‘Aliy ibn Ah}mad al-Wa>h}idiy al-Naysa>bu>riy. Asba>b
al-Nuzu>l. Beirut. ‘Alam al-Kutub, t.th.
M. Quraish Shihab. Tafsir
al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Cet. III. Ciputat.
Lentera Hati. 2010.
Wahbah al-Zuh}ailiy. al-Fiqh
al-Syafi>’iy al-Muyassar. terj. Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Fiqih
Imam Syafi’i. Cet.I. Jakarta. Almahira. 2010.
Yu>suf
al-Qarad}a>wiy. Fata>wa Mu’a>s}irah. Kairo. Da>r al-Qalam.
2003.
Abu> ‘Abd
al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>’i. Sunan al-Nasa>i. Kairo.
Da>r al-Hadi>s. 1999.
Abu> ‘Abdullah
Muhammad ibn Zaid al-Qazwiniy. Sunan Ibn Ma>jah. Cet.I. Kairo.
Da>r ibn al-Hais\am. 2005.
‘Aliy Ibn ‘Umar
al-Da>raqut}niy>. Sunan al-Da>raqut}niy. Cet. II. Beirut.
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2003.
Mans}u>r Yu>nus
al-Bahu>tiy. Kasysya>f al-Qina>’. Beirut. Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah. t.th.
Yu>suf
al-Qarad}a>wiy. Fata>wa> Mu’a>s}irah. Kairo. Da>r
al-Qalam. 2003.
Sulayma>n ibn
al-Asy’as\ Abu> Da>wud al-Sajasta>niy al-Azadiy. Sunan Abi>
Da>wud. Beirut. Da>r al-Fikr. t.th.
Muh}ammad Syamsu
al-H{aq al-‘Az}i>m A<ba>diy Abu> al-T{ayyib. ‘Awn al-Ma’bu>d
Syarh} Sunan Abi> Da>wud. Cet. II. Beirut. Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah. 1415 H.
Ah}mad ibn ‘Aliy ibn
H{ajar al-‘Asqala>niy. Fath} al-Ba>riy Syarh} S{ah}i>h}
al-Bukha>riy. Beirut. Da>r al-Ma’rifah. 1379 H.
Ibn Khali>fah
‘Ulaywiy. Ja>mi’ al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l wa Syarh}
A<ya>tiha>. Cet. I. Kairo. Da>r al-‘Ulu>m. t.th.
Muh}ammad ibn
Jari>r ibn Yazi>d Abu> Ja’far al-T{abariy. Ja>mi’ al-Baya>n
fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Cet. I. Beirut. Mu’assasah al-Risa>lah.
2000.
Muh}ammad ‘Aliy
al-S{a>bu>niy. Rawa>i’u al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t
al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n. Cet. I. Jakarta. Da>r al-Kutub
al-Isla>miyyah. 2001.
Sulayma>n ibn
Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim al-T{abra>niy. al-Mu’jam
al-Kabi>r. Cet. II. Mus}il. Maktabah
al-‘Ulu>m wa al-H{ikam. 1983.
Ah}mad ibn al-H{usayn
Abu> Bakr al-Bayhaqiy. Sunan al-Bayhaqiy. Makkah al-Mukarramah.
Maktabah Da>r al-Ba>z. 1994.
[1]Departemen
Agama
RI, Al Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426 H/2005 M), h. 644.
[2]Mutawalliy al-Sya’ara>wiy, Tafsi>r
al-Sya’ara>wiy, jil. XXI (Kairo: Da>r al-‘Ulu>m, t.th.), h. 35.
[3]M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Qur’an; Kalung Permata Buat Anak-anakku (Cet. I; Ciputat: Lentera Hati,
2007), h. 5.
[4]Lihat QS.
Al-Nu>r/24 : 33
[5]Di antara contoh yang bisa
diangkat adalah mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri), dasar
hukumnya QS. Al-Nisa>/4 : 19. Atau menikahi dua perempuan bersaudara secara
bersamaan, dasar hukumnya QS. Al-Nisa>/4 : 23.
[6]M. Quraish Shihab, op. cit., h.
4.
[7]Lihat Abu> al-H{usain Ah}mad
ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s
al-Lugah, jil. V (Kairo: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 2002), h. 383,
dan Muh}ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Mas}riy, Lisa>n al-‘Arab, jil.
II (Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, t.th.), h. 625.
[8]Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 371.
[9]M. Quraish Shihab, op. cit., h.
4.
[10]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy wa Adillatuh, jil. IX (Cet. IV; Damaskus: Da>r al-Fikr,
1997), h. 23.
[11]‘Abd.
al-Rah}ma>n al-Jazar, al-Fiqh 'Ala> Maza>hib al-Arba'ah, juz IV
(Mesir: Da>r al-Qalam, 1979), h. 5.
[12]M. Qurasih Shihab, Wawasan
Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XIX; Bandung:
Mizan, 2007), h. 191.
[13]Ibn Manz}u>r dalam Lisa>n
al’Arab mempertegas bahwa kata nikah di dalam Al-Qur’an tidak memiliki
kecuali untuk makna al-tazwi>j. Sebab ada yang mencoba memahami
kalimat al-Za>niyah la> yankih}uha> illa> za>n aw musyrik dengan
“seorang wanita pezina tidak ada yang menyetubuhinya kecuali laki-laki pezina
atau seorang musyrik”, dengan kata lain kata nikah pada kalimat tersebut
dipahami dalam arti al-wat}a’u atau persetubuhan semata. Sedangkan makna
tersebut jauh dari makna yang diinginkan oleh al-Qur’an. Lihat Ibn Manz}u>r,
op. cit.
[14]Pada dasarnya kata zawj
berarti muqa>ranah syay’in bi syay’in (menghubungkan antara sesuatu
dengan sesuatu yang lain) sehingga dikembangkan untuk makna “pasangan”. Ibn
Fa>ris, op. cit., jil. III, h. 26.
[15]M. Qurash Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, op. cit., h. 191.
[16]QS. Al-Nisa>/4 : 25
[17]Lihat
misalnya QS. Ya>sin/36: 36 dan QS. al-Z|a>riya>t/51: 49.
[19]Bahkan di dalam ayat tersebut,
Allah menyebutkan empat golongan wanita yang halal dinikahi (baca: digauli)
oleh Rasulullah saw, yaitu: pertama, al-mamhu>ra>t atau isteri
yang telah diberikan mas kawinnya; kedua, al-mamlu>ka>t atau hamba
sahaya yang diperoleh dalam peperangan; ketiga, al-aqa>rib atau
keluarga dekat, dalam hal ini sepupu baik dari pihak ibu maupun dari pihak
bapak; keempat, al-wa>hiba>t anfusahunna atau wanita-wanita mukmin
yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah tanpa adanya mahar,
wali, dan saksi. Hanya saja, khusus untuk yang keempat ini, Ibn ‘Abba>s dan
Muja>hid menjelaskan bahwa memang ada beberapa wanita yang menyerahkan
dirinya kepada nabi akan tetapi nabi sendiri tidak pernah “menikahi” wanita-wanita
tersebut (imra’ah mawhu>bah). Sebagai contoh misalnya, ketika Ummu
Syurayk al-Du>siyah menyerahkan dirinya kepada nabi, tapi nabi tidak
merespon wanita tersebut. Akhirnya salah seorang sahabat berkata kepada nabi; zawwijni<ha>
ya> rasu>lalla>h in lam takun laha> biha> h}ajah
“nikahkanlah aku wahai Rasulullah dengan wanita itu, bila engkau tidak
berkeinginan padanya”. Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r
fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj, jil. XI (Cet. II;
Damaskus: Da>r al-Fikr, 1418 H), h. 65.
[20]Muhammad
Fu'a>d al-Ba>qiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} Al-Qur’a>n al-Az}i>m (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), h. 888.
[24]Lihat Fakhr al-Di>n
al-Ra>ziy, Mafa>ti>h} al-Gayb, jil. XI (Cet. II; Beirut:
Da>r al-Fikr, t.th.), h. 311.
[25]Lihat misalnya QS. al-Isra>/17
: 70. Al-Sya’arawiy misalnya, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia menyebutkan
sekian banyak pendapat ulama mengenai bentuk takri>m-nya Allah kepada
manusia. Namun dari sekian banyak pendapat, ia mempertegas bahwa salah satu
ayat yang menunjukkan kemuliaan manusia adalah QS. S{a>d/38 : 75 dan QS.
al-H{ijr/15 : 29, karena di sana Allah menyebutkan bahwa manusia diciptakan
langsung oleh Allah dengan “tangan-Nya” (bi yadihi) berbeda dengan
makhluk lain yang diciptakan dengan kaliman kun “jadilah...!”. lihat
al-Sya’arawiy, op. cit., jil. XV, h 289.
[26]M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Quran, op. cit., h 78-79.
[27]QS. al-Baqarah/2 : 187.
[28]Al-Sya’arawiy, op. cit., jil.
II, h. 29. Hal ini sejalan dengan riwayat al-Bukha>riy dari al-Barra>’
ibn ‘A<wib bahwa ketika turunnya ayat yang memerintahkan puasa Ramadhan maka
orang-orang pada saat itu tidak “mendakati” isteri-isteri mereka selama bulan
Ramadhan, sementara banyak di antara suami yang tidak mampu menahan diri dari
hasrat seksual itu hingga akhirnya Allah menurunkan firman-Nya ‘alimalla>hu
annakum kuntum takhta>nun anfusakum.... lihat Abu> ‘Abdilla>h
Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>riy, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h},
jil. IV (Cet. III; Beirut: Da>r ibn Ka>s\i>r, 1987), h. 1639.
[29]Abu> al-H{usayn Muslim ibn
al-H{ajja>j al-Qusyayriy al-Naysabu>riy, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h},
jil III (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.), h. 86.
[30]Syiha>b al-Di>n
Mah}mu>d ibn ‘Abdilla>h al-H{usayniy al-Alu>siy, Ru>h}
al-Ma’a>niy fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i
al-Mas\a>niy, jil. II (Cet. III; Beirut: Da>r al-Kutub, t.th.), h.
225.
[31]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 76.
[34]M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Quran, op. cit., h. 77.
[36]Lihat ibid., h. 74.
[37]Al-S{a>h}ib ibn ‘Iba>d, al-Muh}i>t}
fi> al-Lugah, jil. II (Beirut: Da>r al-Kutub, t.th.), h. 31.
[38]Ibn Fa>ris, Maqa>yi>s,
op. cit., jil. III, h. 66.
[39]M Quraish Shihab, Pengantin
Al-Quran, op. cit., h. 80.
[40]M.Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, op. cit., h. 192.
[41]Apatah lagi bila yang datang
meminang adalah orang yang sudah sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Allah,
baik agama maupun akhlaknya. Rasulullah menegaskan sebagaimana riwayat
al-Turmuz\iy dari Abu> Hurairah ra;
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه
فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
Artinya:
Apabila telah datang meminang
kepadamu orang yang bagus agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, sebab bila
kalian tidak melakukannya maka anak perempuanmua akan menjadi “fitnah” di muka
bumi sekaligus membawa kerusakan yang banyak.
Lihat Muh}ammad ibn
‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy, al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy, jil. III (Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.), h. 394.
[42]Kekayaan yang dimaksud disini
tidak dipahami sebatas kekayaan harta, namun mencakup kelapangan dada dan
ketenangan jiwa. Sebab tidak sedikit ditemukan ada orang yang sudah
melangsungkan pernikahan sesuai dengan yang diatur agama namun kehidupan
ekonominya tidak mengalami peningkatan positif. Akan tetapi ia tetap merasakan
ketenangan jiwa yang begitu dalam. Hal ini sejalan dengan sabda nabi sebagaimana
riwayat Muslim dari Abu> Hurairah ra.
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ
الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya:
Bukanlah kekayaan karena
banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kelapangan dada (ketenangan
jiwa).
Lihat Muslim, op. cit.,
jil. III, h. 100.
[43]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n
Ah}mad ibn Syu’aib al-Nasa>iy, Sunan al-Nasa>iy, jil. VI (Cet. V;
Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1999), h. 323.
[44]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil.
XIX, h. 279.
[45]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, op. cit., juz XVIII, h. 234. Secara sepintas ayat di atas
kontradiksi dengan ayat sebelumnya yang memberikan jaminan kekayaan bagi
orang-orang yang melangsungkan pernikahan demi mencapai ridha Allah sekalipun
mereka termasuk orang miskin dan fakir. Namun al-Sya>fi’iyyah berpandangan
bahwa ayat 33 di atas merupakan mukhas}s}is}ah (pengkhusus) bagi ayat
sebelumnya karena pada ayat 32, orang fakir yang dimaksud adalah orang yang
memiliki keterbatasan ekonomi namun ia tetap mampu membiayai proses
pernikahannya. Sementara pada ayat 33, yang dimaksud adalah orang yang tidak
mampu melakukan hal tersebut.
[46]Ibn ‘A<syu>r, al-Tah}ri>r
wa al-Tanwi>r, jil. III, h. 370.
[47]Ibn Fa>ris, op. cit., jil.
IV, h. 264.
[48]M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Quran, op. cit., h. 113.
[49]Ibn A<syu>r, op. cit., jil.
XI, h. 57.
[50]Ibn Fa>ris, op. cit., jil.
VI, h. 55.
[51]Ibra>hi>m ibn ‘Umar ibn
H{asan al-Riba>t} ibn ‘A<liy ibn Abi> Bakr al-Biqa>’iy, Naz}im
al-Durar fi> Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar, jil. VI (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), h. 300.
[53]Lihat M. Quraish Shihab, Menyingkap
Tabir Ilahi; Asma> al Husna> dalam Perspektif Al-Qur’an (Cet. II;
Jakarta: Lentera Hati, 1999), h. 223. Dari sinilah, salah satu nama Allah
adalah al-Wadu>d karena Ia memberikan sekaligus tidak pernah memutuskan
banyak kebaikan kepada makhluk-Nya dan tidak pernah menganiaya mereka.
[54]Ibn Fa>ris, op. cit., jil.
II, h. 414.
[55]M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Quran, op. cit., h. 91-92.
[56]Lihat al-Alu>siy, op.
cit., jil. XV, h. 348.
[57]Muslim, op. cit., jil.
IV, h. 39.
[58]M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Qur’an, op. cit., h. 95.
[59]Muslim, op. cit., jil.
IV, h. 175.
[60]Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d
ibn ‘Amr ibn Ah}mad al-Zamakhsyariy, al-Kasysya>f, jil. I, h. 373.
[61]Hadis tersebut dikutip oleh ibn
Abi> H{a>tim dalam kitab tafsirnya yang diriwayatkan dari Abu>
Hurairah ra. lihat ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn Idri>s al-Ra>ziy
ibn Abi> H{a>tim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an
Rasulilla>h S{allalla>hu ‘alayhi wa sallama wa al-S{ah}a>bah wa
al-Ta>bi’i>n, jil. III (Cet. I; Riyad: Maktabah Niza>r al-Ba>z,
1997), h. 939. Hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-H{a>kim
al-Naysa>bu>riy dalam mustadrak-nya dengan lafal yang berbeda,
lihat Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h Abu> ‘Abdilla>h al-H{a>kim
al-Naysa>bu>riy, al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>h}ayn, jil. II
(Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), h. 175.
[62]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil.
IV, h. 315.
[63]Muh}ammad
ibn ‘I><sa> Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\iy al-Sulamiy, al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h} Sunan al-Turmuz\iy, jil. III (Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.), h. 394.
[64]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil.
IV, h. 315.
[65]Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy wa Adillatuh, jil. IX (Cet. IV; Damaskus: Da>r al-Fikr,
t.th.), h. 118-170., dan Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, jil. II
(t.tp.: Da>r al-S|aqa>fah al-Isla>miyyah, t.th.), h. 70-94.
[66]Yang dimaksud dengan ibu ke atas
adalah ibu, nenek dan seterusnya. Kata al-umm dalam bahasa Arab dipahami
sebagai asal sehingga semua yang menjadi asal laki-laki (dalam hal ini ibu,
nenek dan seterusnya) termasuk haram dinikahi.
[67]Yang dimaksud anak ke bawah
adalah anak, anaknya anak (cucu) dan seterusnya. Karena mereka merupakan
keturunan seorang laki-laki (ayah) sehingga mereka haram dinikahi oleh orang
tuanya.
[68]Termasuk saudara perempuan
adalah saudara kandung (sebapak seibu), atau saudara perempuan sebapak saja
atau seibu saja.
[69]Tante dari pihak ayah disebut dengan
istilah ‘ammah, sedangkan tante dari pihak ibu disebut dengan istilah kha>lah.
Akan tetapi, tante baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, baik saudara
kandungnya orang tua atau saudara sebapak atau seibunya tetap termasuk orang
yang tidak boleh dinikahi.
[70]Sayyid Sa>biq, op. cit., jil.
II, h. 86. Ini sejalan dengan hadis nabi yang dikutip oleh al-Sya’ara>wiy
dalam kitab tafsirnya;
لا تنكحوا القرابة
القريبة فإن الولد يخلق ضاويا
Artinya:
Jangan nikahi keluarga dekat
karena anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menjadi kurus (lemah)
Lihat al-Sya’ara>wiy, op.
cit., jil. IV, h. 81.
[71]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, op. cit., h. 195. Lihat juga Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Islamiy, op. cit., jil. IX, h. 121.
[72]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, op. cit., h. 195.
[73]Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, op. cit., jil. IV, h. 300.
[74]Abu> al-H{asan ‘Aliy ibn
Ah}mad al-Wa>h}idiy al-Naysa>bu>riy, Asba>b al-Nuzu>l (Beirut:
‘Alam al-Kutub, t.th.), h. 109.
[75]Lihat Fakhr al-Di>n
al-Ra>ziy, op. cit., jil. V, h. 131.
[76]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 123.
[77]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil.
IV, h. 81.
[78]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2 (Cet. III;
Ciputat: Lentera Hati, 2010), h. 473.
[79]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Syafi>’iy al-Muyassar, terj. Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, Fiqih
Imam Syafi’i (Cet.I; Jakarta: Almahira, 2010), h. 27.
[80]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, op. cit., jil. III, h. 81. Lihat juga Yu>suf al-Qarad}a>wiy,
Fata>wa Mu’a>s}irah, Juz. III (Kairo: Da>r al-Qalam, 2003), h. 317.
[81]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n
Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>’i. Sunan al-Nasa>i, Juz. III (Kairo:
Da>r al-Hadi>s, 1999), h. 418, dalam riwayat yang lain tidak menggunakan
kata al-wila>dah namun menggunakan kata yang semakna, yaitu al-nasab.
lihat Abu> ‘Abdullah Muhammad ibn Zaid al-Qazwiny>, Sunan Ibn
Ma>jah, jil. I (Cet.I; Kairo: Da>r ibn al-Haitsam, 2005), h. 244
[82]Untuk lebih jelasnya, penulis
merekomendasikan pembaca untuk melihat para ulama fiqih termasuk di antaranya
dapat dilihat pada kitab al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuhu karya
Wahbah al-Zuh}ailiy atau Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sa>biq.
[83]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, op. cit., jil. IX, h. 81.
[84]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 473. Lihat juga Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 130.
[86]‘Aliy Ibn ‘Umar al-Da>raqut}niy>,
Sunan al-Da>raqut}niy>, jil. IV ( Cet. II; Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h.103.
[87]Ibn Fa>ris, op. cit., jil.
II, h. 239.
[88]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 473.
[89]Mans}u>r Yu>nus
al-Bahu>tiy, Kasysya>f al-Qina>’, Juz.V (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 518.
[90]Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wiy,
Fata>wa> Mu’a>s}irah, Juz. III (Kairo: Da>r al-Qalam, 2003),
h. 317., lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol.
2, h. 474.
[92]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, vol. 1, h. 602.
[94]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 137.
[95]Sulayma>n ibn al-Asy’as\
Abu> Da>wud al-Sajasta>niy al-Azadiy, Sunan Abi> Da>wud, jil.
I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 633.
[96]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh al-Isla>miy,
op. cit. Untuk
pembahasan lebih mendalam mengenai nika>h} al-muh}allil ini, penulis
merekomendasikan pembaca untuk merujuk ke kitab-kitab fiqih yang ada.
[97]Lihat Muh}ammad Syamsu al-H{aq
al-‘Az}i>m A<ba>diy Abu> al-T{ayyib, ‘Awn al-Ma’bu>d Syarh}
Sunan Abi> Da>wud, jil. VI (Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1415 H), h. 65., dan Ah}mad ibn ‘Aliy ibn H{ajar
al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>riy Syarh} S{ah}i>h} al-Bukha>riy, jil.
XII (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H), h. 326.
[98]Al-Alu>siy, op. cit., jil.
II, h. 249.
[99]Abu> Da>wud, op. cit., jil.
I, h. 705.
[100]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 602.
[101]Lihat Ibn Khali>fah ‘Ulaywiy,
Ja>mi’ al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l wa Syarh}
A<ya>tiha>, jil. I (Cet. I; Kairo: Da>r al-‘Ulu>m, t.th.),
h. 276.
[102]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 479.
[103]Ibn Fa>ris, op. cit., jil.
II, h. 54.
[104]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit. Vol. 2, h. 480.
[105]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy, op. cit., jil. IX, h. 139.
[106]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 1. H. 616.
[107]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, jil. II, h. 38.
[108]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 616.
[109]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Isla>miy, op. cit.
[110]Lihat Fakhr al-Di>n
al-Ra>ziy, op. cit., jil. XV, h. 478., al-Biqa>iy, op. cit., jil.
XIX, h. 541., M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op. cit., h. 196-197.
[111]Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, op. cit. h. 197.
[112]Al-Sya’ara>wiy, op. cit., jil.
V, h. 325.
[113]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 578.
[114]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, op. cit.
[115]Al-Sya’ara>wiy, op. cit.
[116]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 1, h. 581.
[117]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, op. cit.
[119]Muh}ammad ibn Jari>r ibn
Yazi>d Abu> Ja’far al-T{abariy, Ja>mi’ al-Baya>n fi>
Ta’wi>l al-Qur’a>n, jil. III (Cet. I; Beirut: Mu’assasah
al-Risa>lah, 2000), h. 36.
[120]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 475. Dan Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Fiqh
al-Islamiy, op. cit., jil. IX, h. 152.
[121]Muslim, op. cit., jil.
IV, h. 135.
[122]Lihat Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, op. cit., jil. IV, h. 81. Lihat juga Muh}ammad ‘Aliy
al-S{a>bu>niy, Rawa>i’u al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t
al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n, jil. I (Cet. I; Jakarta: Da>r al-Kutub
al-Isla>miyyah, 2001), h. 360.
[123]Sulayma>n ibn Ah}mad ibn
Ayyu>b Abu> al-Qa>sim al-T{abra>niy, al-Mu’jam al-Kabi>r, jil.
XI (Cet. II; Mus}il: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, 1983), h. 337.
[124]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, op. cit.
[125]Lihat M. Quraish Shihab, wawasan
Al-Quran, op. cit. h. 199.
[126]Ah}mad ibn al-H{usayn Abu>
Bakr al-Bayhaqiy, Sunan al-Bayhaqiy, jil. VII (Makkah al-Mukarramah:
Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994), h. 182.
[127]Wahbah al-Zuh}ailiy, al-Tafsi>r
al-Muni>r, jil. III, h. 81.
[128]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, op. cit., h. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar