Selasa, 07 Januari 2014

STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN PEMIKIR ISLAM KONTEMPORER



STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN
PEMIKIR ISLAM KONTEMPORER
 







Makalah
Mata kuliah Studi Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor

Oleh:
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin, M.Ag.


Program Pascasarjana (S3)
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kebangkitan umat islam yang dimulai sejak awal abad ke-XIX, hampir seluruh dunia islam adalah gerakan yang menuntut liberal. Maksudnya bahwa liberal bermakna ganda, iaberarti (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme penjajahan yang pada saat itu memang hampir menguasai seluruh dunia islam. Pada sisi lain dia berarti liberasi kaum muslimin dari cara-cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan. Hal pemahaman kedua inilah menjadi fokus utama yaitu umat Islam yang berpikir serba kompleks.
Gerakan kebangkitan umat Islam tidak hanya negara-negara dunia arab, tetapi negara-negara yang mayoritas beragama Islam seperti indonesia juga ikut memberikan warna yang diperhitungkan bagi peradaban barat modern. Beberapa pembaharu kontemporer ditanah air kita tidak kalah inteleektualnya dengan negara-negara dunia arab. Dalam makalah ini mencoba mengambil dua tokoh yang sangat dikagumi dan disoroti, khususnya dikalangan mahasiswa yakni Harun Nasution dan Hasan Hanafi. Menurut Harun Nasution bahwa yang penting diperhatikan pembangunan dibidang agama adalah menjadi sikap mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Menurutnya panangan sempit dan tradisional tak dapat brjalan sejajar dengan modernisme bahkan bertentangan.
Begitu pula tokoh intelektual dunia Islam Arab Hasan Hanafi munkin lebih berani lagi membuka cakrawala bagi umat Islam, dunia Islam kedua-duanya memberikan semangat juang untuk berpikir maju membebaskan umat Islam dari keterbelakangan, stagnan dan kejumudan. Oleh karena itu sikap inilah yang menjadi sebab utama ketidakberdayaan umat Islam didepan bangsa asing. Hanya dengan membangun kembali dan merekontruksi cara pandang  dan sikap keberagaman mereka.,maka kondisi yang menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Para intelektual Islam itu memiliki kebersamaan dalam menyikapi kondisi kaum muslimin, yakni bahwa hanya pembebasan dirilah dapat mengeluarkan diri dari kondisi tersebut. Pembebasan ini harus dimulai dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya. Memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin agama dan mengkaji ulang tradisi keagamaan kaum muslimin.
Gagasan untuk mengkaji Islam secara metodologis memberikan solusi baru kepada temuan-temuan dimensi kehidupan para pemikir Islam dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan , ekonomi dan sosial mereka. Sehingga tidak menutup dari kehidupan mereka memunculkan banyak kecenderungan dan aliran-aliran Islam atau boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad mereka. Oleh karena itu baik Harun Nasution maupun Hasan Hanafi akan memberikan pemikiran pemikir kontemporer dalam upaya mencari solusi terhadap masalah-masalah keislaman dalam merespon kemajuan modern.
B.  Rumusan Masalah
            Berdasar pada uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dijadikan objek kajan dalam pembahasan ini adalah:
1.      Bagaimana pemikiran Ra>syid Rid}a> tentang kekhalifahan?
2.      Bagaimana pemikiran ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq tentang Islam Sekularis?
3.      Bagaimana pemikiran Harun Nasution tentang Ajaran Dasar dan Non Dasar?
4.      Bagaimana pemikiran hasan Hanafi tentang Islam Kiri?
5.      Bagaimana pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pemikiran Ra>syid Rid{a> tentang Khila>fah
Tampilnya Ra>syid Rid}a> di arena pergumulan wacana tentang kekhalifahan merupakan tokoh yang mewakili kalangan tradisional yang memandang perlunya dihidupkan kembali sistem khilafah bagi dunia Islam. Langkah itu dimaksudkan untuk mencapai kemajuan umat. Berkenaan dengan sistem kekhalifahan tersebut, Rid}a> merumuskannya dalam sebuah karya monumentalnya al-Khila>fah al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Upaya menghidupkan kembali kekhalifahan yag dilancarkan oleh Rid}a> itu karena seperti halnya al-Mawardiy pembentukan kekhalifahan itu wajib hukumnya dan kewajiban itu didasarkan pada syari’ah dan konsensus (ijma>‘).[1] Dalam bahasa Albert Hourani, Ra>syid Rid}a> dalam hal ini mencoba mencuatkan doktrin-doktrin klasik Islam sebagai dasar wacana politiknya.[2]
Mengenai pembuktian akan wajibnya pembentukan kekhalifahan bagi umat Islam, Rid}a> dalam hal ini hanya berpegang pada pendapat Sa’ad dengan mengatakan bahwa:
Sa’ad dan orang-orang yang sependapat dengannya lupa mengemukakan argumentasi hadis-hadis otentik yang mendukung teori ima>mah mereka dalam kaitannya dengan keharusan kaum muslimin menciptakan jamaah dan imam mereka, misalnya hadis yang berbunyi: barangsiapa yang mati dan tidak pernah berbait maka mati dalam keadaan jahiliyah.[3]
Hadis Huz\aifah yang disepakati keotentikannya oleh al-Bukha>riy dan Muslim yang menuturkan ucapan Rasulullah kepadanya: Tetaplah berada dalam jama’ah dan imam kaum muslimin. Diperkuat juga dengan hadis, ikutilah para pemimpin sesudahku: Abu Bakar, Umar,….
Kendatipun demikian, pertimbangan rasional tidak boleh diabaikan sama sekali. Karena rasionalits merupakan prasyaratan dasar kekhalifahan. Tanpa itu hukum maupun kesejahteraan umat tak dapat ditegakkan.[4] Argumentasi Rid}a> seiring dengan pendapat al-Ma>wardiy dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah.
Berkenaan dengan prinsip dasar kehilafahan, Rid}a> berpendapat kekhalifahan itu dipulangkan pada pemilihan ahl a-‘aqd wa al-h}alliy (kaum cerdik pandai), sebab ima>mah itu merupakan jabatan yang melalui pembaiatan yang diberikan oleh para anggota lembaga ini kepada seorang imam, sesudah mereka melakukan permusyawaratan.[5] Yang berhak menjadi ahl al-h}alliy wa al-‘aqd itu tidak hanya para ulama yang telah mencapai tingkat mujtahid semata, melainkan juga mereka yang termasuk pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Rid}a> memiliki kemajuan mengenai rekrutmen keanggotaan ahl al-h}alliy wa al-‘aqd sebagai penghubung kedaulatan rakyat (perwakilan warga negara) untuk menyalurkan aspirasinya ke dalam intitusi negara.

Dalam gagasan-gagasan politiknya, sebagai seorang sunni ortodoks, Rid}a> sangat menekankan model pemerintahan yang bercirikan kedaulatan rakyat, yakni pemerintahan yang dibentuk oleh perwakilan dan musyawarah lewat ahl al-h}alliy wa al-‘aqd, sekaligus loyalitas yang kuat melalui baiat. Untuk membina hubungan yang harmonis dalam pemerintahan, perlu dibatasinya hubungan antara negara dan warga negara. Dalam konteks ini Rid}a> menggunakan terma jamaah dan ummah.[6]
Dalam wacana politik, menurut Deliar Noer,[7] kedaulatan tidaklah identik dengan kekuasaan, karena kedaulatan itu posisinya lebih tinggi ketimbang kekuasaan. Bahkan ada nilai-nilai intrinstik yang bersifat mulia dan agung. Kedaulatan memperlihatkan kepatuhan, loyalitas dan pada gilirannya juga kecintaan pada khalifah yang telah diberikan kepercayaan oleh ahl al-h}alliy wa al ‘aqd.
Sepanjang sejarah peradaban umat Islam, sejak masa Nabi hingga kini, menurut Rid}a>, model kehilafahan itu setidaknya ada dua macam, yaitu: pertama, model kekhalifahan di bawah khulafa>’ al-ra>syidi>n, dengan para khalifahnya seperti Abu> Bakar, Umar, Us\ma<n dan Ali. Khalifah-khalifah lainnya adalah ‘Umar bin Abd al-‘Azi>z pada masa Dinasti Umayyah yang digelari sebagai kha>mis} al-khulafa>’ al-ra>syidi>n, yang disebutnya dengan model ideal.[8] Tipe ideal artinya suatu gambaran yang sifat-sifatnya khas seperti teraktualisasinya sistem demokrasi dalam bentuknya yang sangat ekstrem atau murni, sukar ditemui dalam kenyataan dunia Islam.[9] Kedua, model kekhalifahan pasca al-khulafa>’ al-ra>syidi>n sampai tumbangnya dinasti ‘Usma>n menghadapi ekspansi Barat.
Bila dilihat dari asal muasalnya, kekhalifahan terbagi pada dua, yaitu: al-ima>mah al-d}aru>riya>t dan al-ima>mah al-taqallub bi al-quwwah. Yang pertama terbentuk karena kondisi darurat, sedangkan yang kedua terbentuk karena tekanan atau paksaan. Bagaimanapun latar belakang berdirinya sebuah kekhalifahan, rakyat dituntut untuk memberikan loyalitas.[10] Kenyataan tersebut dibuktikan sendiri oleh Rid}a> dengan loyalitasnya terhadap dinasti Turki Usma>niy. Lantaran loyalitasnya tersebut, menjadikan Rid}a> tidak mampu mengkritisi tentang keabsahan kedudukan Sultan sebagai penguasa tunggal dan tertinggi, sekalipun diketahuinya syarat seorang pemimpin (imam) mestilah dari keturunan Quraisy, sementara, Sultan Turki bukan keturunan Quraisy.
Kendatipun khalifah selaku penguasa yang memiliki otoritas absolut, namun agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, dalam pemikiran politiknya, Rid}a> memiliki keberanian untuk memberikan legitimasi bagi pemberontakan atau perlawanan rakyat yang ditujukan kepada penguasa yang tidak adil. Sebagai argumentasinya,  ia mengutip kaidah fikih yang berbunyi: al-D{aru>ra>t tubi>h{ al-mah{z{u>ra>t.[11] Seiring dengan fenomena pemerintahan modern dimana pemerintah harus meletakkan jabatannya berdasarkan prinsip bahwa pemerintahan yang kehilangan kepercayaan dari rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak dapat memerintah.[12]
Dalam kondisi pemerintahan yang sedang stabil, persoalan yang menyangkut jabatan khalifah, yang mampu memberikan pengawasan sekaligus penilaian terhadap khalifah hanyalah ahl al-h}alliy wa al-‘aqd.[13] Seperti dalam kacamata politik modern, ahl al-h}alliy wa al-‘aqd sebagai kekuasaan tertinggi yang mendapatkan mandat dari rakyat berhak memberikan penilaian terhadap Khalifah. Bentuk kekuasaan terpusat bermula dipuncak dan diterapkan ke bawah melalui suatu delegasi otoritas yang spesifik. Karakteristik bentuk ini adanya kelonggaran dalam pemeriksaan; kekuasaan inheren di puncak otoritas bawahan yang berasal dari atas dan ketergantungan besar pada kepribadian seorang pemimpin tertentu.[14] Jadi, penilaian yang berujung pada penghakiman terhadap kekuasaan yang despotis, seperti yang ditawarkan Rid}a> tampaknya hanya sebuah slogan yang kemungkinan kecil dapat direalisasikan.
Dari uraian di atas, jelas kiranya bahwa gagasan politik Rid}a> lebih banyak terinspirasi pemikiran politik Islam pra modern, khususnya al-Ma>wardiy. Yang termasuk tawaran baru dari gagasannya hanyalah suguhan tentang pembentukan kembali institusi khalifah di Era Modern pasca kehancuran Turki Us\ma>niy.
B.  Pemikiran Ali ‘Abd al-Ra>ziq tentang Islam Sekularis
Di tengah-tengah situasi menggeloranya keinginan umum untuk dihidupkannya kembali kekhalifahan yang dimotori Ra>syid Rid}a>, munculnya tesis Ali Abd al-Ra>ziq yang sungguh merupakan anti tesis pandangan umum tersebut. Seperti dapat dilihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam. Persoalan agama dan dunia sama sekali tidak membutuhkan adanya khilafah dalam arti fikih.
Ra>ziq memulai pandangannya dengan menolak semua pendapat para ulama Islam yang mengatakan bahwa sistem khalifah itu sesuai dengan ajaran Islam. Ia menolak secara tegas pendapat para ulama yang mengatakan  bahwa khilafah adalah kepemimpinan umum adalah masalah agama dan keduniawian sebagai pengganti fungsi Nabi saw.
Gagasan monumentalnya ini terekam dalam karya mungilnya al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm. Dalam bukunya itu ia katakan bahwa:
Kerasulan (al-risa>lah) itu bukanlah kerajaan (al-mulk), sebab di dalamnya tidak ada kaitan instrinsik antara kedua hal itu. Kerasulan adalah sejenis martabat, sedangkan kerajaan adalah martabat yang lain lagi. Betapa banyaknya raja di dunia ini yang bukan Nabi-Nabi, atau  pun Rasul-Rasul. Betapa banyaknya pula Nabi yang dingkat oleh Tuhan tanpa menyandang kedudukan sebagai raja-raja. Kenyataannya, banyak di antara para Nabi yang dikenal adalah semata-mata Nabi.[15]
Lebih lanjut ia katakan bahwa Muhammad hanyalah seorang utusan (Rasul). Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk menyiarkan agama dalam arti murni tanpa adanya kecenderungan apapun yang menjurus kepada kekuasaan yang bersifat sementara, sebab beliau tidak pernah mengemukakan himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu perintah tertentu. Pendapat yang serupa ini menegaskan bahwa Nabi tidak memiliki baik kekuasaan yang bersifat sementara atau pun pemerintahan, tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik dan semacam itu. Beliau hanyalah seorang Nabi, sama seperti para Nabi sebelumnya, bukan raja, bukan pendiri suatu negara dan juga tidak pernah memerintah untuk mendirikan suatu kerajaan tertentu yang memiliki kekuasaan sementara seperti itu”.[16]
Untuk memberikan argumen atas pandangannya itu, Ra>ziq katakan bahwa ikatan yang terbentuk di masa Nabi, merupakan ikatan politik yang tidak memiliki aspek apapun dari kualifikasi suatu negara atau suatu pemerintahan. Ikatan ini dilandasi adanya kesamaan keyakinan dan ajaran agama, dan tidak oleh adanya ikatan negara atau pun sistem kekuasaan yang bersifat sementara.[17]
Bahkan ia menegaskan bahwa ”pemerintahan Rasulullah SAW itu merupakan tugas yang terpisah dari tugas dakwah Islamnya dan berada pula diluar batas kerisalahan”.[18] Untuk memperkokoh argumen ini ia katakan bahwa ”Rasulullah SAW mempunyai tugas serupa itu yang berada di luar tugas risalahnya, dan bahwasanya pemerintahan yang pernah dibentuknya itu muncul dari amaliyah duniawiah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya itu”.[19]
Dalam konteks pembentukaan sebuah lembaga politik (baca: negara), menurutnya bagi orang Islam, terserah padanya berdasar situasi dan kodisinya, kalau ia menganggap perlu ada negara maka ia boleh menegakannya, dan bila ia menganggap tidak perlu maka ia boleh tidak menegakannya; menegakan negara atau tidak menegakan negara tidak ada hubungannya sama sekali dengan ajaran Islam. Tegasnya, perlu atau tidak perlunya menegakn pemerintahan tergantung pada pertimbangan kebutuhan, jadi tergantung pada akal, bukan syari’at.[20]
Sehubungan dengan komentarnya yang kelihatan sekuler itu, tidak sedikit tokoh intelektual belakangan mengkritiknya, seperti halnya penilaian Amin Rais, mantan ketua umum Muhammadiyah dan mantan ketua MPR RI, sebenarnya Raziq tidak perlu membuat pemisahan kehidupan menjadi yang temporal dan non temporal (baca: spritual), karena hal ini hanya akan membawa kepada kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak perlu digunkan sebagai dasar pemecahan masalah-masalah sosial politik. Jika logika ini direduksi, maka Islam hanya akan berhubungan dengan masalah-masalah rohani manusia.[21]
Dari tesis yang diajukan Raziq itu jelaslah bahwa ia menawarkan tiga pokok gagasan, yang pertama, sistem khilafah ditolak, kedua, umat Islam perlu adanya pemerintahan, keperluan ini ditetapkan berdasarkan akal atau pertimbangn kebutuhan, bukan berdasarkan agama, ketiga, pemerintahan itu bukanlah pemerintahan agama, melainkan pemerintahan duniawi.
Sebagai sebuah gagasan yang kontradiktif dengan opini publik, pendapatnya mampu menggoncangkan dunia Islam karena dianggap kontroversial, sekaligus ekstrim. Pendapatnya ini membuat para ulama tradisionalis dan fundamentalis khususnya merasa geram, salah satu diantaranya adalah Diya al-Din al-Rais, seorang Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo dalam bukunya al-Isla>m wa Khila>fah fi al-As}r al-H{adi>s\ (Naqd Kita>b al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm),[22] yang merupakan ”granat intelektual baru” yang siap meluluh lantahkan sekularisasi Raziq. Sebagai seorang generasi muda, ia dengan berani melabrak Ali Abdul Raziq sebagai generasi tua, yang sepatutnya dihormati dan dihargainya. Rais memandang karya Raziq itu hanyalah akumulasi kekeliruan-kekeliruan yang secara substansial bukanlah karya ilmiah. Yang disampaikannya itu hany sekedar hasil imaginasi semata. Bahkan ia pun menuduh Raziq bahwa pernyataannya itu sebatas pernyataan-pernyataan kosong yang tanpa pijakan dalil, dan itu lebih patut disebut dongeng atau hurafat - karena hanya akan membawa kemudharatan bagi umat Islam, yang mayoritas awam.
Sebagai penutup, dapatlah dipahami bahwa tampilnya pemikir politik Islam modern itu lebih dipicu oleh setting sosio-politik islam, di mana kehilafahan yang dipandangnya sebagai lembaga politik ideal oleh sebahagian kalangan, telah musnah ditelan zaman - dengan dihpuskannya lembag tersebt oleh Mstafa Kemal Attaturk. sekalipun dalam upaya pencarian "jalan terbaik" bagi masa depan umat Islam mengalami pergumulan yang sengit antar intelektual Islam dengan saling hujat, bahkan ada yang harus rela dicopot dari jabatan hakimnya, namun itu semua telah memperkaya khazanah dan wacana baru pemikiran politik Islam yang berharga bagi umat Islam untuk terus mencari, sekaligus mengkaji dalam tataran ilmiah seperti apakah sistem politik yang baik bagi masa dan tempatnya.
C.  Pemikiran Harun Nasution tentang Ajaran Dasar dan Non Dasar
Ajaran Islam terdiri dari dua bentuk yakni ajaran dasar dan non dasar (Qat}‘iy dan Z{anniyy). Ajaran dasar adalah ajaran yang bersifat tetap, absolut, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis. Ajaran ini biasa disebut ajaran yang pasti (qat}‘iy), dan mencakup tiga bentuk, yaitu: (1) Qat}‘iy al-wurud, yakni ajaran yang pasti sumber kedatangannya, baik dari allah berupa ayat-ayat suci al-Qur’an, maupun dari nabi berupa hadis mutawatir. (2) Qat’i al-dalalah, yakni ajaran yang pasti maknanya karena suatu teks (nash) hanya memiliki satu arti, baik dari ayat-ayat al-Qur’an maupun dari hadis mutawatir. Ajaran yang berbentuk inisangatlah sedikit dan biasanya mengenai kata yan menunjuk kepada bilangan. (3) Qat}‘iy al-tanfidh, yakni ajaran mesti diperlakukan dan bila tidak dilaksanakan seseorang dapat dikatakan melakukan pelanggaran, seperti aqi>mu> al-s}ala>h}.
Ajaran non dasar adalah ajaran yang nisbi,relatif, tidak tetap, boleh berubah-ubah dan tidak mengikat, biasanya disebut kelompok Z{anniy ajaran ini mencakup tiga bentuk, yaitu: (1) Z{anniy al-wuru>d, adalahsemua ajaran selain al-Qur’an dan hadis mutawatir atau biasa dosebut ajaran yang tidak pasti kedatangannya. Ketidakpastian ajaran tersebut terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorang atau pendapat dari ijtihad pribadi, termasuk dalam hal ini semua hadus ahad. (2) Z{anniy al-dila>lah, yakni ajaran yang tidak pasti diperlakukan, misalnya soal waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya.
Mengnai kedua ajaran tersebut, Harun Nasution mengemukakan kalu ingin mengadakan pembaharuan dalam Islam, kita mesti mengadakan perbedaan pokok ajarn yang qat}‘iy dan z{anniy, perlu dibedakan dulu ajaran yang absolut dengan ajaran yang relatif dan itu kuncinya.
Itulah sebabnya menurut Harun Nasution, untukmengadakan pembaharuan dalam Islam harus dibedakan antara ajaran yang qat}‘iy dan z{anniy, antara absolut dan relaif. Ajaran absolut tidak bisa dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman harus tunduk kepada ajaran yang absolut. Persoalan yang tidak absolut berarti z}anniy al-dalalah.
Menurut Harun Nasution, kalau dikatakan dalam al-Qur’an tidak kami lupakan sesuatu apapun, maksudnya adalah tidak ada sesuatu pun mengenai soal agama, juga ayat panjelas bagi segala-galanya, yaitu tentang dasar agama. Kalau dalam al-Qur’an ada 6236 ayat, maka menurutnya hanya 650 ayat yang berisi tentang iman, ibadah; tentang kehidupan masyarakat 500 ayat dan ilmu pengetahuan 150 ayat. Dari 650 ayat tidak semuanya bersifat jelas, artinya harus ditafsirkan lagi. Itulah sebabnya walaupun al-Qur’an secara keseluruhan adalah qat}‘iy al-wuru>d (absout benar dari Allah), tetapi ulama membedakan ayat-ayat yang jelas, absolut dan satu artinya (qat}‘iy al-dila>lah) dan ayat yang bisa mengandung berbagai pengertian atau z{anniy al-dila>lah. Ayat-ayat yang z{anniy al-dila>lah inilah yang menimbulkan berbagai mazhab aliran dalam Islam, sekaligus yang sebenarnya mengharuskan kita untuk menerima pluralitas pemikiran keagamaan.
Pemikiran Harun Nasution yang menyatakan ajaran Islam 95% adalah produk penafsiran manusia dan 5% dari al-Qur’an dan pernyatan bahwa doktrin-doktrin al-Qur’an meski tidak semuanya merupakan hasil penafsiran dari Nabi Muhammad sendiri, yang memungkinkan untuk rekonstruksi, dipormulasikan kembali sebagai bagian dari tuntutan zaman, sebab pada masa Islam setelah wafat nabi Muhammad, penapsiran-penafsiran lebih jauh pada umumnya diberikan oleh ulama sesuai dengan tuntutan masa mereka masing-masing sebab beliau tidak hidup dan bermukim ditengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban seperti Mesir, persia (Romawi).
Selanjutnya secara filosofis, dalam proses pemaknaan teks yang benar yang bersifat kontemporer, maka usul fiqhi menjadi penting untuk dikedepangkan sebagai sandaran yang tepat dalam mengkaji serta mendalami setiap persoalan yang ada. Apalagi usul fikih (definitif) terpisah dari pemahaman manusia ataukah hanya dalam kaitannya dengan kasus-kasus tertentu melalui proses pemahaman ijtihad.
D.  Pemikiran Hasan Hanafi tentang Islam Kiri
Selaku filosof dan pemikir Islam, Hasan hanafi menanamkan moral baru dalam memahami khazanah Islam klasik dan merupakan ciri khas gagasannya, yakni pemikirannya beranjak dari ajaran-ajarannya yang paling mendasar dari ajaran-ajaran dalam Islam, yaitu tauhid. Menurut beliau hal utama yang harus dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah pembangunan kembali semangat tauhid. Sebab tauhid merupakan asal seluruh pengetahuan. Islam bukan berarti tunduk atau menghamba. Melainkan lebih merupakan revolusi transendental terhadap struktur kesadaran individu terutama sosial dalam sejarah yang dinamis.
            Karya Hasan Hanafi tersebar melalui sejumlah jurnal Islam dalam bentuk buku. Yang menjadi titik fokus  pemikiran beliau adalah dalam bentuk tulisan jurnal Islam yang berjudul: Ma>z\a> ya‘ni> al-Yasa>r al-Isla>miy. Yang dikenal dan dipopulerkan menjadi istilah Islam kiri.
Islam kiri adalah kelajutan jurnal al-‘urwah al-wus\qa> yang diterbitkan Jama>l al-Di>n al-Afga>niy dan al-Mana>r dilihat dari keterikatan dengan Islam yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslim ke dalam blok Islam atau blok timur. Dengan demikian, Islam kiri merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik kaum muslimin. Hasan Hanafi menanggapi tentang beberapa wacana yang berkaitan dengan kebangkitan Islam. Bahwa ini kebangkitan Islam dapat diwujudkan dengan menekankan tiga hal:1). Perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam klasik, 2) Perlunya perlawanan terhadap kebudayaan Barat, 3) Perlunya analisis atas realitas dunia Islam. Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi perbincangan banyak kalangan. Tidak sedikit mengkritik atau menggugat keabsahan istilah ketika Hasan Hanafi menggunakan Islam kiri sebagai suatu identifikasi kesahihan Islam.
            Upaya mengembangkan nilai modernisme kiri yang dimaksudkan dengan Hasan hanafi akan selau bercorak membawa kemajuan, program dan dinamis. Sementara kanan berarti kejenuhan, kebekuan, apatis dan statis. Dengan persepsi ini, Hasan Hanafi berusaha menegakkan khazanah wawasan kajian Islam. Upaya-upaya demikian secara metodologis dan secara efistemologis yang dilakukan dengan memanfaatkan kajian pembedaan al-Qur’an yang sangat interpretatif, historikal dan teoretis, kontekstual dengan prilaku-prilaku hasil sejarah termasuk dalam membaca budaya Barat yang sudah terkristalisai pada peradaban Islam kini.
            Oleh karena Hasan Hanafi mempunyai pandangan besahabat dengan pemikiran Barat, beliau mencoba membangun sistemik ilmu sosial baru yang oksidentalistik. Beliau menampilkan sosok yang menyerap sepenuhnya nilai dan ilmu-ilmu Barat, sehingga merupakan suatu pijakan dalam mengkaji Barat sebagai suatu pemahaman wacana kelompok modernis yang agak emosional, baik mereka yang menerima atau menolak.
Islam kiri sebagai suatu kombinasi antara Islam dan modernis pengikut Nasser. Nassarisme populer masa atau dengan kata lain Nassarisme adalah kebutuhan masyarakat. Sementara itu Islam sebagai agama memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Mesir, ia selalu ada di dalam hati masyarakat Mesir. Islam tanpa Mesir Nassarisme akan jatuh ke dalam sekularisme yang selalu mengancam gerakan Islam. Olehnya itu, perlu adanya kombinasi antara Islam dan nassarisme itulah Islam kiri dengan kata lain dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu: imprelisme, zionisme, dan kapitalisme. Keterbelakangan dari dalam Islam kiri berfokus pada problem era kini.
Dengan demikian menanggapi tentang wacana kunci yang berkaitan tentang kebangkitan Islam bagi Hasan Hanafi menafsirkan kembali melalui suatu metode khusus untuk memantapkan modernitas yang direflesikan di dalam gagasan-gagasan dan presfektif Islam kiri Hasan Hanafi, yaitu melalui karya yang berkaitan dengan karya tradisi dan pembaharuan “al-Tura>s\ wa-Tajdi>d. Nama tersebut beliau abadikan dalam judul buku yang terbit kali pertama pada tahun 1981. Berikut sekilas tentang tura>s\ menurut Hasan Hanafi merupakan pikiran-pikiran, konsep-konsep dan ilmu-ilmu yang lahir dari masa ke masa yang sampai hari ini masih berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau dengan kata lain yang berbentuk konsep-konsep tentang segala hal yang dikonstribusikan oleh setiap generasi tentang penafsiran atau realitas tertentu sebagai respon terhadap apa yang menjadi tuntunan zaman. Sedang al-tajdi>d yang mengikuti istilah al-tura>s\ dalam program Hasan Hanafi. Menurutnya bahwa sebagai usaha menafsirkan kembali tradisi Islam sesuai dengan tuntunan zaman. Penafsiran ini bertujuan untuk melepaskan kekuatan-kekuatan yang terkandung dalam konsep lama yang masih dipedomani oleh masyarakatnya. Dengan demikian  dalam khazanah pemikiran Islam memiliki wawasan tersendiri yang menolak integritas kepada satu fokus masa mayoritas. Dengan kata lain keberpihakannya kepada masa yang mengalami upaya penindasan, ketidakadilan dan penggusuran nilai material dan spiritual termasuk agama adalah ciri khas pemikiran Hasan Hanafi.
E.   Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani
Nurcholis Madjid lahir di Mojoanyer  Jombang pada tanggal 17 Maret 1939, dan wafat di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2005, dalam usia kurang lebih 66 tahun. Lingkungan keluarganya termasuk lingkungan keluarga yang taat beragama, bahkan ayahnya adalah seorang pembela Masyumi yang gigih. Di samping pendidikan awalnya Madrasah Diniyah milik keluarganya, Nurcholis masuk juga pada Sekolah Rakyat di kampungnya. Setelah itu ia dimasukkan oleh ayahnya ke Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, namun hanya bertahan dua tahun karena alasan politik, ayahnya tetap di Masyumi (meskipun NU menyatakan keluar) maka ia pun memindahkan Nurcholis dari basis tradisional ke pesantren modern terkenal Darussalam Gontor Ponorogo. Menurut Nurcholis sendiri, disinilah tempat yang paling menentukan pembentukan sikap keagamaannya[23].
            Pada tingkat nasional, Nurcholis Madjid mulai berkiprah pada tahun 1980-an, antara lain dengan di tandai oleh kedudukannya sebagai anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1995-1998, Anggota Dewan Pers (1991-1997), Anggota Komnas HAM (1993-1998), dan Anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998)[24].
            Program Doktoral (S3) diselesaikan oleh Nurcholis Madjid dibidang Filsafat Islam pada The University of  Chicago, AS pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1998, Nurcholis dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Filsafat dan Kalam pada Fakultas Ushuluddin, IAIN (kini UIN) Jakarta, dengan judul pidatonya adalah: “kalam kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi : (Suatu Percobaan Sistematis Terhadap Konsep Antropologi Islam).
            Pada tahun 1968 atas undangan Departemen Luar Negeri AS, Nurcholis berkesempatan untuk mengunjungi negeri tersebut. Ia sempat ke berbagai Universitas di negeri terkenal di AS dengan mengamati berbagai macam kehidupan berpolitik dan sosial-keberagamaan serta berdiskusi dengan sejumlah tokoh. Sepulang dari Amerika, ia melanjutkan lawatan ke kawasan Timur Tengah, di antaranya Saudi Arabia, Irak, dan Kuait. Pengalaman tersebut membuatnya bertanya-tanya tentang nilai-nilai keislaman dan masyarakat Muslim, sebab Barat lebih dari segalanya dari Negara Islam. Akumulasi pengalaman ditambah dengan pergolakan pemikiran yang dialaminya, yang akhirnya melahirkan konsep NDP (Nilai Dasar Keislaman) yang menjadi materi inti pada setiap pengkaderan di HMI. Konsep ini kemudian disahkan dalam kongres HMI tahun 1969 di malang, yang sekaligus membuatnya terpilih kembali sebagai ketua umum PB HMI untuk kedua kalinya.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada era tahun 70-an adalah masa-masa awal dari adanya ide tentang pembaharuan yang tumbuh dengan sangat pesatnya. Ide-ide pembaharuan tersebut dilontarkan oleh Nurcholis Madjid yang merupakan salah satu penarik gembong ide pembaharuan tersebut. Pada tanggal 3 Januari 1970 ia menyampaikan gagasan tentang “keharusan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat” dalam acara silaturahmi dan Halal Bi Halal Organisasi Pemuda, Pelajar, Mahasiswa, dan Sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI, PII, GPI, dan Persami, yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bertempat di TIM (Taman Ismail Mardjuki)[25].
            Dalam pandangan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat yang dibangun dan dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW. Sewaktu beliau hijrah dari Mekkah ke Yatsrib pada tanggal 2 Juli 622M. [26] Secara keseluruhan, paling tidak ada tiga program utama yang dilakukan oleh Nabi pada tahap awal tinggal di Madinah, yaitu pertama, membina dan merekomendasikan hubungan umat dengan Khaliknya. Wujud nyata dari usaha ini terimplementasikan dalam pembangunan Mesjid. Kedua, mendamaikan kelompok-kelompok yang selama ini bertikai untuk mewujudkan hubungan keakraban dikalangan muslim. Ketiga, menjalin hubungan yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda-beda[27].
            Masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi, bagi Robert N. Bellah[28], seorang ahli sosiologi agama terkemuka, menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga setelah Nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis oleh Nabi.
            Dalam konteks pemikiran lainnya, ada lima karakteristik atau hal-hal lain yang menjadi prasyarat dalam upaya membangun wacana masyarakat madani yang lebih memiliki nilai universal dalam penegakan masyarakat madani, prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu persatu saja melainkan sebagai suatu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani Free Public Sphere, demokratis, Toleransi, Pluralisme, keadilan Sosial.
a.       Free Public Sphere
            Yang dimaksud dengan Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praktis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Ruang publik bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
            Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
b.      Demokratis
            Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas keseharian nya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
            Bagi Nurcholis Madjid demokrasi sebagai nilai yang dinamis, bahkan ia mengawali rumusan tentang masyarakat madani dengan istilah demokrasi. Demokrasi yang ditegakan adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dengan menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life). Tambahnya lagi, demokrasi bukanlah hanya semata-mata masalah prosedural, tetapi masalah prinsipil karena merupakan suatu pandangan hidup. Sekalipun demokrasi berasal dari Barat, namun prinsip-prinsip demokrasi tersebut telah ada dalam Islam. Oleh sebab itu, pandangan hidup demokrasi ialah cerminan sikap, jiwa dan semangat peradaban yang telah menjadi pandangan hidup dalam kehidupan sehari-hari[29].
c.       Toleransi
            toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktifitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi menurut Nurcholis Madjid[30] merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
            Pengalaman toleransi dalam sejarah umat manusia dapat dilihat dari prestasi gemilang Nabi Muhammad SAW. Yang terjadi di Madinah, prestasi yang menjadi kebanggaan sekaligus menjadi rujukan itu adalah adanya piagam Madinah yang mengatur dan membangun masyarakat yang toleran dan memiliki kebebasan dalam menjalankan agamanya.
            Azyumardi Azra[31] pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
            Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno, toleransi sikap saling menghormati yang bernilai positif bukan hanya sekedar tidak memerangi, atau memusuhi. Artinya mengakui hak orang lain dan golongan lain, mengakui agamanya atau kemampuan untuk bersikap hormat terhadap keyakinan yang lain, terhadap yang dianggapnya suci, terhadap cara dan golongan lain mengungkapkan keyakinan mereka atau budaya hati, sebagai suatu yang suci, luhur, Ilahi bagi yang lain terlepas dari apa keyakinan sendiri[32].
d.      Pluralisme
            sebagai sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus di sertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat dari Tuhan.
            Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan kesopanan atau keadaban, suatu pandangan hidup yang lebih cosmopolite yaitu tata pergaulan nasional dalam arti lahiriyah maupun maknawiyah yang berwawasan seluruh anggota bangsa, mengingat bangsa Indonesia  terbentuk dari berbagai bentuk etnik, ras, agama, serta suku yang beragam[33]. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Selanjutnya Nurcholis Madjid mengatakan bahwa dalam al-Qur’an surat 109 ayat 6. Allah SWT. Telah mengungkapkan tentang kebebasan dalam beragama yang telah berkonotasi Pluralisme dalam beragama yaitu  “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”[34].
            Hubungan Islam dan pluralisme[35] memiliki dasar argumentasi yang kuat. Menurut Nurcholis Madjid hal ini berangkat dari semangat humanitas dan universalitas Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (Fitrah) atau dengan kata lain cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad SAW adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata hanya menguntungkan bagi komunitas Islam saja. Sedangkan pengertian universalitas Islam dapat dilacak dari term al-Islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan.
            Lebih lanjut Nurcholis[36] mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat majemuk, yakni masyarakat yang tidak monolithic. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolithic, sama dan sebangun dalam segala segi.


e.       Keadilan Sosial
            Keadilan disebutkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
            Sebuah negara yang dibangun dan dibentuk dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan kepada setiap warga negara, atau dapat dikatakan negara tersebut sebagai negara yang demokratis, dengan segala kebutuhan rakyatnya terpenuhi dan tanpa melakukan intimidasi terhadap setiap masyarakat didalamnya, maka seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taymiyyah[37]Tuhan mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak akan mendukung kekuasaan yang zhalim meskipun Islam”. Dia juga berkata “dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezhaliman sekalipun Islam”. Bagi Ibnu Tayimiyyah sebuah negara harus berdasarkan atas keadilan karena baginya negara dan kekuasaan adalah keadilan.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas, dapat dibuat beberapa poin sebagai kesimpulan:
1.      Ra>syid Rid}a> merupakan tokoh yang mewakili kalangan tradisional yang memandang perlunya dihidupkan kembali sistem khilafah bagi dunia Islam, dengan maksud untuk mencapai kemajuan umat. Rid}a> merumuskannya dalam sebuah karya monumentalnya al-Khila>fah al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Upaya menghidupkan kembali kehilafahan yag dilancarkan oleh Rid}a> itu, ia mencoba mencuatkan doktrin-doktrin klasik Islam sebagai dasar wacana politiknya.
2.      Di tengah-tengah situasi menggeloranya keinginan umum untuk dihidupkannya kembali kekhalifahan yang dimotori Ra>syid Rid}a>, justru Ali Abd al-Ra>ziq yang berseberangan dengan Ra>syid Rid}a>. Ia mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam. Persoalan agama dan dunia sama sekali tidak membutuhkan adanya khilafah dalam arti fikih semacam itu yang terekam dalam karya monumentalnya al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm. Baik Rid}a> maupun Ra>ziq telah memberikan kontribusi penting bagi pemikiran politik Islam modern.
3.      Menurut Harun Nasution, ajaran dasar Islam yang dikenal qat}‘iy terdiri atas qat}‘iy al-wuru>d, qat}‘iy al-tanfi>z\, perlu dibedakan dengan ajaran non dasar z}anniy yaitu terdiri atas z}anniy al-wuru>d, z}anniy al-dila>lah, z}anniy al- tanfi>z\. Hal tersebut dilakukan dalam rangka pembaharuan dalam Islam, karena yang dapat diadakan pembaruan hanya ajaran non dasar sedangkan ajaran dasar mutlak kebenarannya.
4.      Sedangkan dalam pemikiran Hasan Hanafi tentang Islam kiri beliau menanggapi tentang beberapa wacana yang berkaitan tentang kebangkitan Islam bahwa kebangkitan Islam dapat diwujudkan dengan menekankan tiga hal: 1) Perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam klasik, 2) Perlunya perlawanan terhadap kebudayaan Barat, dan 3) Perlunya analisis atau realitas dunia Islam.
5.      Konsep masyarakat madani yang diinginkan Nurcholis Madjid berdasarkan analisis terhadap teks-teks agama serta sejarah kota Nabi menunjukkan beberapa ciri atau karakter. Pertama, Masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa dengan ciri takwa dan berbudi pekerti luhur. Kedua, bercirikan egalitarianisme, penghargaan terhadap orang lain, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan. Ketiga, Masyarakat berdiri tegak diatas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum (konstitusi). Keempat, terdiri dari warga negara yang tulus dan komitmen pada nilai-nilai kebaikan bersama masyarakat yang disertai dengan terbentuknya sistem kontrol sosial yang kuat dan menjamin. Kelima, keterbukaan, kebersamaan, dan sikap-sikap demokratis yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
B.  Implikasi
Menyusul dihapuskannya sistem kekhalifahan Islam oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki pada tahun 1924, umat Islam pada umumnya berusaha menghidupkan kembali sistem tersebut yang sudah cukup lama dikenal dalam konteks historis di dunia Islam terjadi perdebatan diseputar wacana tersebut. Para pemikir Islam dunia, dengan beragam latar belakag ikut andil bagian dalam meramaikan bursa gagasan untuk membeikan kontribusi, sekaligus tawaran-tawaran kontruktif.
Kendatipun demikian maraknya pemikiran yang muncul tetapi ditelusuri secara deteil setidaknya ada dua kecenderungan, yaitu pertama, mereka yang umumnya mengikuti pemikiran politik klasik, al-Ma>wardiy misalnya, seperti halnya Ra>syid Rid}a>, kendatipun ada perbedaan yang bersifat partikular; dan kedua, Ali Abd al-Ra>ziq, ia merupakan pemikir politik yang banyak menyimpang dari garis al-Ma>wardiy. Bukan hanya menyimpang, bahkan kontradiktif. Seperti dikatakan oleh Din syamsuddin bahwa Ra>syid Rid}a> adalah salah satu tokoh pemikir politik yang cenderung idealisme tradisional, sementara Ali Abd al-Ra>ziq adalah tokoh yang cenderung sekularis.
Sementara Harus Nasution yang mencoba mengkaji tentang ajaran dasar dan ajaran non dasar dengan mencoba mengkaji qat}‘iy dan z}anniy. Ungkapan al-Qur’an tidak ada yang qat}‘iy al-dila>lah manakala ayatnya sendiri-sendiri dapat dibenarkan jika yang dimaksud qat}‘iy pada seluruh aspeknya, namun jika yang dimaksud qat}‘iy pada aspek tertentu, misalnya hukumnya maka ayat-ayat al-Qur’an banyak yang qat}‘iy.
Harun Nasution datang dengan mengecam kepanitikan terhadap mazhab akan menutup pintu untuk mengikuti al-Qur’an dan sunnah secara komprehensif karena bisa jadi pendapat dan pemikiran mazhab terhadap al-Qur’an dan sunnah hanyalah parcial yang disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya yang bisa jadi berbeda dengan kondisi saat ini.
Sementara konsep masyarakat madani tidak terlepas dari konsep jalan tengah yang mencoba mensintesakan dan menemukan titik kesamaan teori-teori Barat dan Timur. Gagasan ini dipelopori oleh kalangan intelektual dalam merespon munculnya diskusi antara keharusan menerima peradaban Barat atau mempertahankan ciri kultur bangsa sendiri. Di Indonesia, konsep ini sangat melekat erat dengan tokoh dan kepribadian Nurcholish Madjid yang sejak lama begitu konsisten menggagas pemikiran dengan platform jalan tengah tersebut.
                Kalangan intelektual yang tampil dengan gagasan masyarakat baru dengan mengambil posisi jalan tengah, menurut Anwar Ibrahim hal ini adalah suatu fenomena mutakhir yang terjadi di tataran Asia akhir abad ke-20. pada awal abad ke-19 dan awal abad ke-20 sejarah Asia mencatat munculnya peradaban diskusi intelektual tentang respon cendekiawan terhadap peradaban barat dan masa depan kebudayaan tradisional Asia.
Umat Islam pada hakikatnya sangat mendambakan mengikuti al-Qur’an secara keseluruhan dan Nabi Muhammad saw. Sebagai personalisasi dari al-Qur’an, hanya saja terjadi perbedaan interpretasi yang mengakibatkan keragaman pendapat dan pengamalan. Hal tersebut terjadi karena tidak ditemukan petunjuk pasti manyangkut masalah yang diperselisihkan itu dari al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw.


DAFTAR PUSTAKA
Apter, David E. Pengantar Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1987.
Aziz, Ahmad Amir. Neo-Modernisasi Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurahman Wahid. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999.
Hourani, Albert, Arabic Thought in The Liberal Age. London: Oxford University Press, 1970.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemordenan dan Keindonesiaan. Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1995.
--------------, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cet. VI; Jakarta: Paramadina, 2002.
Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali, 1983.
Plano. Jack C. et.al. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali, 1985.
Al-Ra>ziq, Ali Abd . al Isla>m wa al Us{u>l al-H{ukm. Mesir: Mat}ba‘ah Mis}r, 1925.
Rachman, Budi Munawar. Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Jakarta: Mizan, 2006.
Rais, Amin. Kata Pengantar, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Al-Rais, D}iya>’ al-Di>n, al-Isla>m wa Khila>fah fi al-As}r al-H{adi>s\ (Naqd Kita>b al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm). Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>s\, 1972 M.
Rid}a>, Muhammad Ra>syid. al-Khila>fat wa al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Kairo: t.p., 1923.
Suseno, Frans Magnis. Pluralisme Keberagamaan, Sebuah Tanggung Jawab Bersama,  Dalam Tim Edito, Konstektualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1995.
Syamsuddin, Din. Etika Agama Dalam Membangun Bangsa dan Negara. Cet. II; Jakarta: Logos, 2002.
----------------, Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000.
Ubaidillah, A. (et. al.). Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, HAM, dan Masyaraka Madani. Edisi Revisi; Jakarta: IAIN Press, 2003.
Zamhari, Muhammad Hari. Agama dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004.


[1]Muhamad Rasyid Ridha, al-khilafat wa al-Imamat al’Uzma (Kairo, 1923), h. 15.
[2]Lihat Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1970), bab -9.
[3]Ibid., h. 11.
[4]Ibid., h. 16.
[5]Ibid., h. 24-25.
[6]Ibid., h. 23.
[7]Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 65-60.
[8]Ridha, loc. cit.
[9]Jack C. Plano, et.al. Kamus Analisa Politik (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 108.
[10]Ridha, op. cit., h. 37.
[11]Ibid.
[12]David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 177.
[13]Ridha, op. cit., h. 11-13.
[14]Apter, op. cit., h. 425.
[15]Ali Abd al-Ra>ziq, al-Islam wa Us}u>l al-H{ukm, (Mesir: Matba‘ah Mis}r, 1925), h. 49.
[16]Ibid., h. 69.
[17]Ibid., h. 70.
[18]Ibid., h. 55.
[19]Ibid., h. 56.
[20]Ibid., h. 55-56.
[21]Amin Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. xxiii.
[22]Lebih jelasnya lihat: D{iya>’ al-Di>n al-Ra>is, al-Isla>m wa Khila>fah fi> al-   As}r al-H{adi>s\ (Naqd Kita>b al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm) (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>s\, 1972 M), h. 30.
[23]Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisasi Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurahman Wahid (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), h. 23.
[24]Muhammad Hari Zamhari, Agama dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), h. 103.
[25]M. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Bangsa dan Negara (Cet. II; Jakarta: Logos, 2002), h. v.
[26]Yasmadi op. cit., h. 45.
[27]Ibid., h. 46.
[28]Budi Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Mizan, 2006), h. 1888.
[29]Yasmadi, op. cit., h. 52.
[30]Ahmad Amir Aziz, op. cit., h. 66. 
[31]A. Ubaidillah (et. al.), Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, HAM, dan Masyaraka Madani (Edisi Revisi; Jakarta: IAIN Press, 2003), h. 249.
[32]Frans Magnis Suseno, Pluralisme Keberagamaan, Sebuah Tanggung Jawab Bersama,  Dalam Tim Edito, Konstektualisasi Ajaran Islam (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 47.
[33]Nurcholis Madjid, Islam Kemordenan dan Keindonesiaan (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1995), h. 40.
[34]Muhammad Hari Zamhari, op. cit., h. xi.
[35]Ahmad Amir Aziz. op. cit., h. 50.
[36]Ibid  h. 52.
[37]Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Cet. VI; Jakarta: Paramadina, 2002), h. 258.

1 komentar:

  1. Did you know there's a 12 word sentence you can speak to your crush... that will induce intense feelings of love and instinctual appeal for you deep within his chest?

    Because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, please and guard you with his entire heart...

    ====> 12 Words Who Fuel A Man's Desire Impulse

    This impulse is so built-in to a man's genetics that it will make him work harder than before to make your relationship as strong as it can be.

    In fact, fueling this all-powerful impulse is so important to getting the best ever relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...

    ...You will instantly notice him expose his mind and heart for you in such a way he haven't experienced before and he will distinguish you as the one and only woman in the universe who has ever truly understood him.

    BalasHapus