STUDI KRITIS TERHADAP
PEMIKIRAN
PEMIKIR ISLAM KONTEMPORER
Makalah
Mata kuliah Studi Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor
Oleh:
Abdul Gaffar
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin, M.Ag.
Program Pascasarjana (S3)
Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin
Makassar
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kebangkitan umat islam yang dimulai sejak
awal abad ke-XIX, hampir seluruh dunia islam adalah gerakan yang menuntut
liberal. Maksudnya bahwa liberal bermakna ganda, iaberarti (pembebasan) kaum
muslim dari kolonialisme penjajahan yang pada saat itu memang hampir menguasai
seluruh dunia islam. Pada sisi lain dia berarti liberasi kaum muslimin dari
cara-cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan. Hal
pemahaman kedua inilah menjadi fokus utama yaitu umat Islam yang berpikir serba
kompleks.
Gerakan kebangkitan umat Islam tidak hanya negara-negara
dunia arab, tetapi negara-negara yang mayoritas beragama Islam seperti
indonesia juga ikut memberikan warna yang diperhitungkan bagi peradaban barat
modern. Beberapa pembaharu kontemporer ditanah air kita tidak kalah
inteleektualnya dengan negara-negara dunia arab. Dalam makalah ini mencoba
mengambil dua tokoh yang sangat dikagumi dan disoroti, khususnya dikalangan
mahasiswa yakni Harun Nasution dan Hasan Hanafi. Menurut Harun Nasution bahwa
yang penting diperhatikan pembangunan dibidang agama adalah menjadi sikap
mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Menurutnya panangan sempit
dan tradisional tak dapat brjalan sejajar dengan modernisme bahkan
bertentangan.
Begitu pula tokoh intelektual dunia Islam Arab Hasan
Hanafi munkin lebih berani lagi membuka cakrawala bagi umat Islam, dunia Islam
kedua-duanya memberikan semangat juang untuk berpikir maju membebaskan umat Islam
dari keterbelakangan, stagnan dan kejumudan. Oleh karena itu sikap inilah yang
menjadi sebab utama ketidakberdayaan umat Islam didepan bangsa asing. Hanya
dengan membangun kembali dan merekontruksi cara pandang dan sikap keberagaman mereka.,maka kondisi
yang menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Para intelektual Islam itu memiliki kebersamaan dalam
menyikapi kondisi kaum muslimin, yakni bahwa hanya pembebasan dirilah dapat
mengeluarkan diri dari kondisi tersebut. Pembebasan ini harus dimulai dengan
membuka pintu ijtihad seluas-luasnya. Memberikan kebebasan penafsiran terhadap
doktrin agama dan mengkaji ulang tradisi keagamaan kaum muslimin.
Gagasan untuk mengkaji Islam secara metodologis
memberikan solusi baru kepada temuan-temuan dimensi kehidupan para pemikir Islam
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan , ekonomi dan sosial mereka.
Sehingga tidak menutup dari kehidupan mereka memunculkan banyak kecenderungan
dan aliran-aliran Islam atau boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad mereka. Oleh
karena itu baik Harun Nasution maupun Hasan Hanafi akan memberikan pemikiran
pemikir kontemporer dalam upaya mencari solusi terhadap masalah-masalah
keislaman dalam merespon kemajuan modern.
B.
Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian latar
belakang diatas, maka permasalahan yang dijadikan objek kajan dalam pembahasan
ini adalah:
1.
Bagaimana pemikiran Ra>syid Rid}a> tentang kekhalifahan?
2.
Bagaimana pemikiran ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq tentang Islam Sekularis?
3.
Bagaimana pemikiran Harun Nasution tentang Ajaran Dasar dan Non Dasar?
4.
Bagaimana pemikiran hasan Hanafi tentang Islam Kiri?
5.
Bagaimana pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ra>syid Rid{a> tentang Khila>fah
Tampilnya Ra>syid Rid}a> di arena
pergumulan wacana tentang kekhalifahan merupakan tokoh yang mewakili
kalangan tradisional yang memandang perlunya dihidupkan kembali sistem khilafah
bagi dunia Islam. Langkah itu dimaksudkan untuk mencapai kemajuan umat.
Berkenaan dengan sistem kekhalifahan tersebut, Rid}a> merumuskannya dalam sebuah karya
monumentalnya al-Khila>fah al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Upaya menghidupkan kembali kekhalifahan yag dilancarkan oleh Rid}a> itu karena seperti
halnya al-Mawardiy pembentukan kekhalifahan itu wajib
hukumnya dan kewajiban itu didasarkan pada syari’ah dan konsensus (ijma>‘).[1] Dalam
bahasa Albert Hourani, Ra>syid Rid}a> dalam hal ini mencoba mencuatkan
doktrin-doktrin klasik Islam sebagai dasar wacana politiknya.[2]
Mengenai pembuktian akan wajibnya
pembentukan kekhalifahan bagi umat Islam, Rid}a> dalam hal ini hanya berpegang pada pendapat Sa’ad dengan
mengatakan bahwa:
Sa’ad dan
orang-orang yang sependapat dengannya lupa mengemukakan argumentasi hadis-hadis otentik yang mendukung teori ima>mah mereka dalam kaitannya dengan keharusan kaum
muslimin menciptakan jama’ah dan imam mereka, misalnya hadis
yang berbunyi: barangsiapa
yang mati dan tidak pernah berbait maka mati dalam keadaan jahiliyah.[3]
Hadis Huz\aifah yang disepakati keotentikannya oleh al-Bukha>riy dan Muslim yang menuturkan ucapan
Rasulullah kepadanya: Tetaplah berada dalam jama’ah dan imam kaum muslimin. Diperkuat
juga dengan hadis, ikutilah
para pemimpin sesudahku: Abu Bakar, Umar,….
Kendatipun demikian, pertimbangan rasional tidak boleh
diabaikan sama sekali. Karena rasionalits merupakan prasyaratan dasar kekhalifahan. Tanpa itu hukum maupun kesejahteraan umat tak dapat
ditegakkan.[4]
Argumentasi
Rid}a> seiring dengan pendapat al-Ma>wardiy dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah.
Berkenaan dengan prinsip dasar
kehilafahan, Rid}a>
berpendapat kekhalifahan itu
dipulangkan pada pemilihan ahl a-‘aqd
wa al-h}alliy (kaum cerdik
pandai),
sebab ima>mah itu merupakan jabatan yang melalui pembaiatan yang
diberikan oleh para anggota lembaga ini kepada seorang imam, sesudah mereka melakukan
permusyawaratan.[5] Yang
berhak menjadi ahl
al-h}alliy wa al-‘aqd itu tidak hanya para ulama yang telah mencapai
tingkat mujtahid semata, melainkan juga mereka yang termasuk pemuka-pemuka
masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan
bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Rid}a> memiliki kemajuan mengenai rekrutmen keanggotaan ahl al-h}alliy wa al-‘aqd sebagai penghubung kedaulatan rakyat (perwakilan warga negara) untuk
menyalurkan aspirasinya ke dalam intitusi negara.
Dalam gagasan-gagasan politiknya,
sebagai seorang sunni ortodoks, Rid}a> sangat menekankan model pemerintahan yang
bercirikan kedaulatan rakyat, yakni pemerintahan yang dibentuk oleh perwakilan
dan musyawarah lewat ahl
al-h}alliy wa al-‘aqd, sekaligus loyalitas yang kuat melalui
baiat. Untuk membina hubungan yang harmonis dalam pemerintahan, perlu
dibatasinya hubungan antara negara dan warga negara. Dalam
konteks ini Rid}a> menggunakan terma jama’ah dan ummah.[6]
Dalam wacana politik, menurut
Deliar Noer,[7]
kedaulatan tidaklah identik dengan kekuasaan, karena kedaulatan itu posisinya
lebih tinggi ketimbang
kekuasaan. Bahkan ada nilai-nilai intrinstik yang bersifat mulia dan agung.
Kedaulatan memperlihatkan kepatuhan, loyalitas dan pada gilirannya juga
kecintaan pada khalifah yang
telah diberikan kepercayaan oleh ahl al-h}alliy wa al ‘aqd.
Sepanjang sejarah peradaban umat
Islam, sejak masa Nabi hingga kini, menurut Rid}a>, model kehilafahan itu setidaknya ada dua macam,
yaitu: pertama, model kekhalifahan di bawah khulafa>’ al-ra>syidi>n, dengan para khalifahnya seperti Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Us\ma<n dan ‘Ali. Khalifah-khalifah lainnya adalah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z pada masa Dinasti Umayyah yang digelari sebagai kha>mis} al-khulafa>’ al-ra>syidi>n, yang disebutnya dengan model
ideal.[8] Tipe
ideal artinya suatu gambaran
yang sifat-sifatnya khas seperti
teraktualisasinya
sistem demokrasi dalam
bentuknya yang sangat ekstrem atau murni, sukar ditemui dalam
kenyataan dunia Islam.[9] Kedua,
model kekhalifahan pasca al-khulafa>’ al-ra>syidi>n sampai tumbangnya dinasti ‘Usma>n menghadapi ekspansi Barat.
Bila dilihat dari asal muasalnya,
kekhalifahan
terbagi pada dua, yaitu: al-ima>mah al-d}aru>riya>t dan al-ima>mah al-taqallub bi al-quwwah. Yang pertama
terbentuk karena kondisi darurat, sedangkan yang kedua terbentuk karena tekanan
atau paksaan. Bagaimanapun latar belakang berdirinya sebuah kekhalifahan,
rakyat dituntut untuk memberikan loyalitas.[10]
Kenyataan tersebut dibuktikan sendiri oleh Rid}a> dengan loyalitasnya terhadap dinasti Turki ‘Usma>niy. Lantaran loyalitasnya tersebut, menjadikan Rid}a> tidak mampu mengkritisi
tentang keabsahan kedudukan Sultan sebagai penguasa tunggal dan tertinggi,
sekalipun diketahuinya syarat seorang pemimpin (imam) mestilah dari keturunan
Quraisy, sementara, Sultan Turki bukan keturunan Quraisy.
Kendatipun khalifah selaku penguasa yang memiliki
otoritas absolut, namun agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, dalam pemikiran
politiknya, Rid}a> memiliki keberanian untuk memberikan legitimasi bagi pemberontakan atau
perlawanan rakyat yang ditujukan kepada penguasa yang tidak adil. Sebagai
argumentasinya, ia mengutip kaidah fikih yang berbunyi: al-D{aru>ra>t tubi>h{ al-mah{z{u>ra>t.[11] Seiring
dengan fenomena pemerintahan modern dimana
pemerintah harus meletakkan jabatannya
berdasarkan prinsip bahwa pemerintahan yang
kehilangan kepercayaan dari rakyat selaku
pemilik kedaulatan tidak dapat memerintah.[12]
Dalam kondisi pemerintahan yang sedang stabil, persoalan
yang menyangkut jabatan khalifah, yang mampu memberikan pengawasan sekaligus
penilaian terhadap khalifah hanyalah ahl al-h}alliy wa al-‘aqd.[13] Seperti
dalam kacamata politik modern, ahl al-h}alliy wa al-‘aqd sebagai kekuasaan tertinggi
yang mendapatkan mandat dari rakyat berhak memberikan penilaian terhadap
Khalifah. Bentuk kekuasaan terpusat bermula dipuncak dan diterapkan ke bawah
melalui suatu delegasi otoritas yang spesifik. Karakteristik bentuk ini adanya kelonggaran dalam pemeriksaan; kekuasaan
inheren di puncak otoritas bawahan yang
berasal dari atas dan ketergantungan besar pada kepribadian seorang pemimpin
tertentu.[14]
Jadi, penilaian yang berujung pada penghakiman terhadap kekuasaan yang
despotis, seperti yang ditawarkan Rid}a> tampaknya hanya sebuah slogan yang kemungkinan kecil dapat
direalisasikan.
Dari uraian di atas, jelas kiranya bahwa gagasan politik Rid}a> lebih banyak terinspirasi
pemikiran politik Islam pra modern, khususnya al-Ma>wardiy. Yang termasuk tawaran baru dari gagasannya hanyalah suguhan tentang pembentukan kembali
institusi khalifah di Era Modern pasca kehancuran Turki Us\ma>niy.
B.
Pemikiran Ali ‘Abd al-Ra>ziq tentang Islam Sekularis
Di tengah-tengah situasi
menggeloranya keinginan umum untuk dihidupkannya
kembali kekhalifahan yang dimotori Ra>syid Rid}a>, munculnya tesis ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq yang sungguh
merupakan anti tesis pandangan umum tersebut. Seperti dapat dilihat dari pandangannya yang
mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai
dengan ajaran Islam. Persoalan agama dan dunia sama
sekali tidak membutuhkan adanya khilafah dalam arti fikih.
Ra>ziq
memulai pandangannya dengan menolak semua pendapat para ulama Islam yang
mengatakan bahwa sistem khalifah itu sesuai dengan ajaran Islam. Ia menolak
secara tegas pendapat para ulama yang mengatakan bahwa khilafah adalah kepemimpinan umum
adalah masalah agama dan keduniawian sebagai pengganti fungsi Nabi saw.
Gagasan monumentalnya ini terekam
dalam karya mungilnya al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm. Dalam bukunya itu ia katakan bahwa:
Kerasulan (al-risa>lah) itu bukanlah kerajaan (al-mulk), sebab di
dalamnya tidak ada kaitan instrinsik antara kedua hal itu. Kerasulan adalah sejenis martabat, sedangkan kerajaan
adalah martabat yang lain lagi. Betapa banyaknya raja di dunia ini yang bukan
Nabi-Nabi, atau pun Rasul-Rasul. Betapa
banyaknya pula Nabi yang dingkat oleh Tuhan tanpa menyandang kedudukan sebagai raja-raja.
Kenyataannya, banyak di antara para Nabi yang dikenal adalah semata-mata Nabi.[15]
Lebih lanjut ia katakan bahwa Muhammad
hanyalah seorang utusan (Rasul). Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk menyiarkan
agama dalam arti murni tanpa adanya kecenderungan apapun yang menjurus kepada
kekuasaan yang bersifat sementara, sebab beliau tidak pernah mengemukakan
himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu perintah tertentu. Pendapat
yang serupa ini menegaskan bahwa Nabi tidak memiliki baik kekuasaan yang
bersifat sementara atau pun pemerintahan, tidak mendirikan kerajaan dalam arti
politik dan semacam itu. Beliau hanyalah seorang Nabi, sama seperti para Nabi
sebelumnya, bukan raja, bukan pendiri suatu negara dan juga tidak pernah
memerintah untuk mendirikan suatu kerajaan tertentu yang memiliki kekuasaan
sementara seperti itu”.[16]
Untuk memberikan argumen atas pandangannya itu, Ra>ziq katakan bahwa ikatan yang
terbentuk di masa Nabi, merupakan ikatan politik yang tidak memiliki aspek
apapun dari kualifikasi suatu negara atau suatu pemerintahan. Ikatan ini
dilandasi adanya kesamaan keyakinan dan ajaran agama, dan tidak oleh adanya
ikatan negara atau pun sistem kekuasaan yang bersifat sementara.[17]
Bahkan ia menegaskan bahwa ”pemerintahan Rasulullah SAW
itu merupakan tugas yang terpisah dari tugas dakwah Islamnya dan berada pula
diluar batas kerisalahan”.[18] Untuk
memperkokoh argumen ini ia katakan bahwa ”Rasulullah SAW mempunyai tugas serupa
itu yang berada di luar tugas risalahnya, dan bahwasanya pemerintahan yang
pernah dibentuknya itu muncul dari amaliyah duniawiah yang sama sekali
tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya itu”.[19]
Dalam konteks pembentukaan sebuah lembaga politik (baca:
negara), menurutnya bagi orang Islam, terserah padanya berdasar situasi dan
kodisinya, kalau ia menganggap perlu ada negara maka ia boleh menegakannya, dan
bila ia menganggap tidak perlu maka ia boleh tidak menegakannya; menegakan
negara atau tidak menegakan negara tidak ada hubungannya sama sekali dengan
ajaran Islam. Tegasnya, perlu atau tidak perlunya menegakn pemerintahan
tergantung pada pertimbangan kebutuhan, jadi tergantung pada akal, bukan
syari’at.[20]
Sehubungan dengan komentarnya yang kelihatan sekuler itu,
tidak sedikit tokoh intelektual belakangan mengkritiknya, seperti halnya
penilaian Amin Rais, mantan ketua umum Muhammadiyah dan mantan ketua MPR RI, sebenarnya Raziq
tidak perlu membuat pemisahan kehidupan menjadi yang temporal dan non temporal
(baca: spritual), karena hal ini hanya akan membawa kepada kesimpulan bahwa
ajaran Islam tidak perlu digunkan sebagai dasar pemecahan masalah-masalah
sosial politik. Jika logika ini direduksi, maka Islam hanya akan berhubungan
dengan masalah-masalah rohani manusia.[21]
Dari tesis yang diajukan Raziq itu jelaslah bahwa
ia menawarkan tiga pokok gagasan, yang pertama, sistem khilafah ditolak,
kedua, umat Islam perlu adanya pemerintahan, keperluan ini ditetapkan
berdasarkan akal atau pertimbangn kebutuhan, bukan berdasarkan agama, ketiga,
pemerintahan itu bukanlah pemerintahan agama, melainkan pemerintahan duniawi.
Sebagai sebuah gagasan yang kontradiktif dengan opini
publik, pendapatnya mampu menggoncangkan dunia Islam karena dianggap
kontroversial, sekaligus ekstrim. Pendapatnya ini membuat para ulama
tradisionalis dan fundamentalis khususnya merasa geram, salah satu diantaranya
adalah Diya al-Din al-Rais, seorang Guru Besar Sejarah Islam di Universitas
Kairo dalam bukunya al-Isla>m wa Khila>fah fi al-‘As}r al-H{adi>s\ (Naqd Kita>b al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm),[22] yang
merupakan ”granat intelektual baru” yang siap meluluh lantahkan sekularisasi
Raziq. Sebagai seorang generasi muda, ia dengan berani melabrak Ali Abdul Raziq
sebagai generasi tua, yang sepatutnya dihormati dan dihargainya. Rais memandang
karya Raziq itu hanyalah akumulasi kekeliruan-kekeliruan yang secara
substansial bukanlah karya ilmiah. Yang disampaikannya itu hany sekedar hasil
imaginasi semata. Bahkan ia pun menuduh Raziq bahwa pernyataannya itu sebatas
pernyataan-pernyataan kosong yang tanpa pijakan dalil, dan itu lebih patut
disebut dongeng atau hurafat - karena hanya akan membawa kemudharatan bagi umat
Islam, yang mayoritas awam.
Sebagai penutup, dapatlah dipahami bahwa tampilnya
pemikir politik Islam modern itu lebih dipicu oleh setting sosio-politik
islam, di mana kehilafahan yang dipandangnya sebagai lembaga politik ideal oleh
sebahagian kalangan, telah musnah ditelan zaman - dengan dihpuskannya lembag
tersebt oleh Mstafa Kemal Attaturk. sekalipun dalam upaya pencarian "jalan
terbaik" bagi masa depan umat Islam mengalami pergumulan yang sengit antar
intelektual Islam dengan saling hujat, bahkan ada yang harus rela dicopot dari
jabatan hakimnya, namun itu semua telah memperkaya khazanah dan wacana baru
pemikiran politik Islam yang berharga bagi umat Islam untuk terus mencari,
sekaligus mengkaji dalam tataran ilmiah seperti apakah sistem politik yang baik
bagi masa dan tempatnya.
C.
Pemikiran Harun Nasution tentang Ajaran Dasar dan Non Dasar
Ajaran Islam terdiri dari dua bentuk yakni ajaran dasar
dan non dasar (Qat}‘iy dan Z{anniyy). Ajaran dasar adalah ajaran yang bersifat
tetap, absolut, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis. Ajaran ini biasa
disebut ajaran yang pasti (qat}‘iy), dan mencakup tiga bentuk, yaitu:
(1) Qat}‘iy al-wurud, yakni ajaran yang pasti sumber kedatangannya, baik dari
allah berupa ayat-ayat suci al-Qur’an, maupun dari nabi berupa hadis mutawatir.
(2) Qat’i al-dalalah, yakni ajaran yang pasti maknanya karena suatu teks (nash)
hanya memiliki satu arti, baik dari ayat-ayat al-Qur’an maupun dari hadis
mutawatir. Ajaran yang berbentuk inisangatlah sedikit dan biasanya mengenai
kata yan menunjuk kepada bilangan. (3) Qat}‘iy al-tanfidh, yakni ajaran mesti
diperlakukan dan bila tidak dilaksanakan seseorang dapat dikatakan melakukan
pelanggaran, seperti aqi>mu> al-s}ala>h}.
Ajaran non dasar adalah ajaran yang nisbi,relatif, tidak
tetap, boleh berubah-ubah dan tidak mengikat, biasanya disebut kelompok Z{anniy
ajaran ini mencakup tiga bentuk, yaitu: (1) Z{anniy al-wuru>d,
adalahsemua ajaran selain al-Qur’an dan hadis mutawatir atau biasa dosebut
ajaran yang tidak pasti kedatangannya. Ketidakpastian ajaran tersebut terjadi
karena hanya dikemukakan oleh orang perorang atau pendapat dari ijtihad
pribadi, termasuk dalam hal ini semua hadus ahad. (2) Z{anniy al-dila>lah,
yakni ajaran yang tidak pasti diperlakukan, misalnya soal waris, sekalipun ayat
yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya.
Mengnai kedua ajaran tersebut, Harun Nasution
mengemukakan kalu ingin mengadakan pembaharuan dalam Islam, kita mesti
mengadakan perbedaan pokok ajarn yang qat}‘iy dan z{anniy, perlu
dibedakan dulu ajaran yang absolut dengan ajaran yang relatif dan itu
kuncinya.
Itulah sebabnya menurut Harun Nasution, untukmengadakan
pembaharuan dalam Islam harus dibedakan antara ajaran yang qat}‘iy dan
z{anniy, antara absolut dan relaif. Ajaran absolut tidak bisa dikembangkan
sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman harus tunduk kepada ajaran
yang absolut. Persoalan yang tidak absolut berarti z}anniy al-dalalah.
Menurut Harun Nasution, kalau dikatakan dalam al-Qur’an
tidak kami lupakan sesuatu apapun, maksudnya adalah tidak ada sesuatu pun
mengenai soal agama, juga ayat panjelas bagi segala-galanya, yaitu tentang
dasar agama. Kalau dalam al-Qur’an ada 6236 ayat, maka menurutnya hanya 650
ayat yang berisi tentang iman, ibadah; tentang kehidupan masyarakat 500 ayat
dan ilmu pengetahuan 150 ayat. Dari 650 ayat tidak semuanya bersifat jelas,
artinya harus ditafsirkan lagi. Itulah sebabnya walaupun al-Qur’an secara
keseluruhan adalah qat}‘iy al-wuru>d (absout benar dari Allah),
tetapi ulama membedakan ayat-ayat yang jelas, absolut dan satu artinya (qat}‘iy
al-dila>lah) dan ayat yang bisa mengandung berbagai pengertian atau z{anniy
al-dila>lah. Ayat-ayat yang z{anniy al-dila>lah inilah yang
menimbulkan berbagai mazhab aliran dalam Islam, sekaligus yang sebenarnya
mengharuskan kita untuk menerima pluralitas pemikiran keagamaan.
Pemikiran Harun Nasution yang menyatakan ajaran Islam 95%
adalah produk penafsiran manusia dan 5% dari al-Qur’an dan pernyatan bahwa
doktrin-doktrin al-Qur’an meski tidak semuanya merupakan hasil penafsiran dari
Nabi Muhammad sendiri, yang memungkinkan untuk rekonstruksi, dipormulasikan
kembali sebagai bagian dari tuntutan zaman, sebab pada masa Islam setelah wafat
nabi Muhammad, penapsiran-penafsiran lebih jauh pada umumnya diberikan oleh
ulama sesuai dengan tuntutan masa mereka masing-masing sebab beliau tidak hidup
dan bermukim ditengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban
seperti Mesir, persia (Romawi).
Selanjutnya secara filosofis, dalam proses pemaknaan teks
yang benar yang bersifat kontemporer, maka usul fiqhi menjadi penting untuk dikedepangkan
sebagai sandaran yang tepat dalam mengkaji serta mendalami setiap persoalan
yang ada. Apalagi usul fikih (definitif) terpisah dari pemahaman manusia
ataukah hanya dalam kaitannya dengan kasus-kasus tertentu melalui proses
pemahaman ijtihad.
D.
Pemikiran Hasan Hanafi tentang Islam Kiri
Selaku filosof dan pemikir Islam, Hasan hanafi menanamkan
moral baru dalam memahami khazanah Islam klasik dan merupakan ciri khas gagasannya,
yakni pemikirannya beranjak dari ajaran-ajarannya yang paling mendasar dari
ajaran-ajaran dalam Islam, yaitu tauhid. Menurut beliau hal utama yang harus
dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah pembangunan kembali
semangat tauhid. Sebab tauhid merupakan asal seluruh pengetahuan. Islam bukan
berarti tunduk atau menghamba. Melainkan lebih merupakan revolusi transendental
terhadap struktur kesadaran individu terutama sosial dalam sejarah yang
dinamis.
Karya
Hasan Hanafi tersebar melalui sejumlah jurnal Islam dalam bentuk buku. Yang
menjadi titik fokus pemikiran beliau
adalah dalam bentuk tulisan jurnal Islam yang berjudul: Ma>z\a> ya‘ni>
al-Yasa>r al-Isla>miy. Yang dikenal dan dipopulerkan menjadi istilah Islam
kiri.
Islam kiri adalah kelajutan jurnal al-‘urwah al-wus\qa>
yang diterbitkan Jama>l al-Di>n al-Afga>niy dan al-Mana>r dilihat
dari keterikatan dengan Islam yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan,
menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslim ke dalam
blok Islam atau blok timur. Dengan demikian, Islam kiri merupakan penyempurnaan
agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik
kaum muslimin. Hasan Hanafi menanggapi tentang beberapa wacana yang berkaitan
dengan kebangkitan Islam. Bahwa ini kebangkitan Islam dapat diwujudkan dengan
menekankan tiga hal:1). Perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam
klasik, 2) Perlunya perlawanan terhadap kebudayaan Barat, 3) Perlunya analisis
atas realitas dunia Islam. Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi perbincangan
banyak kalangan. Tidak sedikit mengkritik atau menggugat keabsahan istilah
ketika Hasan Hanafi menggunakan Islam kiri sebagai suatu identifikasi kesahihan
Islam.
Upaya mengembangkan
nilai modernisme kiri yang dimaksudkan dengan Hasan hanafi akan selau bercorak
membawa kemajuan, program dan dinamis. Sementara kanan berarti kejenuhan,
kebekuan, apatis dan statis. Dengan persepsi ini, Hasan Hanafi berusaha
menegakkan khazanah wawasan kajian Islam. Upaya-upaya demikian secara
metodologis dan secara efistemologis yang dilakukan dengan memanfaatkan kajian
pembedaan al-Qur’an yang sangat interpretatif, historikal dan teoretis,
kontekstual dengan prilaku-prilaku hasil sejarah termasuk dalam membaca budaya
Barat yang sudah terkristalisai pada peradaban Islam kini.
Oleh
karena Hasan Hanafi mempunyai pandangan besahabat dengan pemikiran Barat,
beliau mencoba membangun sistemik ilmu sosial baru yang oksidentalistik. Beliau
menampilkan sosok yang menyerap sepenuhnya nilai dan ilmu-ilmu Barat, sehingga
merupakan suatu pijakan dalam mengkaji Barat sebagai suatu pemahaman wacana
kelompok modernis yang agak emosional, baik mereka yang menerima atau menolak.
Islam kiri sebagai suatu kombinasi antara Islam dan
modernis pengikut Nasser. Nassarisme populer masa atau dengan kata lain
Nassarisme adalah kebutuhan masyarakat. Sementara itu Islam sebagai agama
memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Mesir, ia selalu ada di
dalam hati masyarakat Mesir. Islam tanpa Mesir Nassarisme akan jatuh ke dalam sekularisme yang selalu mengancam gerakan Islam. Olehnya itu, perlu
adanya kombinasi antara Islam dan nassarisme itulah Islam kiri dengan kata lain
dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu: imprelisme, zionisme,
dan kapitalisme. Keterbelakangan dari dalam Islam kiri berfokus pada problem
era kini.
Dengan demikian menanggapi tentang wacana kunci yang
berkaitan tentang kebangkitan Islam bagi Hasan Hanafi menafsirkan kembali
melalui suatu metode khusus untuk memantapkan modernitas yang direflesikan di
dalam gagasan-gagasan dan presfektif Islam kiri Hasan Hanafi, yaitu melalui
karya yang berkaitan dengan karya tradisi dan pembaharuan “al-Tura>s\ wa-Tajdi>d.
Nama tersebut beliau abadikan dalam judul buku yang terbit kali pertama pada
tahun 1981. Berikut sekilas tentang tura>s\ menurut Hasan Hanafi
merupakan pikiran-pikiran, konsep-konsep dan ilmu-ilmu yang lahir dari masa ke
masa yang sampai hari ini masih berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau
dengan kata lain yang berbentuk konsep-konsep tentang segala hal yang
dikonstribusikan oleh setiap generasi tentang penafsiran atau realitas tertentu
sebagai respon terhadap apa yang menjadi tuntunan zaman. Sedang al-tajdi>d
yang mengikuti istilah al-tura>s\ dalam program Hasan Hanafi. Menurutnya
bahwa sebagai usaha menafsirkan kembali tradisi Islam sesuai dengan tuntunan
zaman. Penafsiran ini bertujuan untuk melepaskan kekuatan-kekuatan yang
terkandung dalam konsep lama yang masih dipedomani oleh masyarakatnya. Dengan
demikian dalam khazanah pemikiran Islam memiliki wawasan tersendiri yang
menolak integritas kepada satu fokus masa mayoritas. Dengan kata lain
keberpihakannya kepada masa yang mengalami upaya penindasan, ketidakadilan dan
penggusuran nilai material dan spiritual termasuk agama adalah ciri khas pemikiran
Hasan Hanafi.
E.
Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani
Nurcholis
Madjid lahir di Mojoanyer Jombang
pada tanggal 17 Maret 1939, dan wafat di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2005,
dalam usia kurang lebih 66 tahun. Lingkungan keluarganya termasuk lingkungan
keluarga yang taat beragama, bahkan ayahnya adalah seorang pembela Masyumi yang
gigih. Di samping pendidikan awalnya Madrasah Diniyah milik keluarganya, Nurcholis
masuk juga pada Sekolah Rakyat di kampungnya. Setelah itu ia dimasukkan oleh
ayahnya ke Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, namun hanya bertahan dua tahun
karena alasan politik, ayahnya tetap di Masyumi (meskipun NU menyatakan keluar)
maka ia pun memindahkan Nurcholis dari basis tradisional ke pesantren modern
terkenal Darussalam Gontor Ponorogo. Menurut Nurcholis sendiri, disinilah
tempat yang paling menentukan pembentukan sikap keagamaannya[23].
Pada tingkat nasional, Nurcholis
Madjid mulai berkiprah pada tahun 1980-an, antara lain dengan di tandai oleh
kedudukannya sebagai anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1995-1998, Anggota Dewan Pers (1991-1997),
Anggota Komnas HAM (1993-1998), dan Anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998)[24].
Program Doktoral (S3) diselesaikan
oleh Nurcholis Madjid dibidang Filsafat Islam pada The University of Chicago, AS pada tahun 1984. Kemudian pada
tahun 1998, Nurcholis dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang
Filsafat dan Kalam pada Fakultas Ushuluddin, IAIN (kini UIN) Jakarta, dengan
judul pidatonya adalah: “kalam kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi : (Suatu
Percobaan Sistematis Terhadap Konsep Antropologi Islam).
Pada tahun 1968 atas undangan
Departemen Luar Negeri AS, Nurcholis berkesempatan untuk mengunjungi negeri
tersebut. Ia sempat ke berbagai Universitas di negeri terkenal di AS dengan
mengamati berbagai macam kehidupan berpolitik dan sosial-keberagamaan serta
berdiskusi dengan sejumlah tokoh. Sepulang dari Amerika, ia melanjutkan lawatan
ke kawasan Timur Tengah, di antaranya Saudi Arabia, Irak, dan Kuait. Pengalaman
tersebut membuatnya bertanya-tanya tentang nilai-nilai keislaman dan masyarakat
Muslim, sebab Barat lebih dari segalanya dari Negara Islam. Akumulasi
pengalaman ditambah dengan pergolakan pemikiran yang dialaminya, yang akhirnya
melahirkan konsep NDP (Nilai Dasar Keislaman) yang menjadi materi inti pada
setiap pengkaderan di HMI. Konsep ini kemudian disahkan dalam kongres HMI tahun
1969 di malang, yang sekaligus membuatnya terpilih kembali sebagai ketua umum
PB HMI untuk kedua kalinya.
Seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada era tahun 70-an adalah masa-masa awal
dari adanya ide tentang pembaharuan yang tumbuh dengan sangat pesatnya. Ide-ide
pembaharuan tersebut dilontarkan oleh Nurcholis Madjid yang merupakan salah
satu penarik gembong ide pembaharuan tersebut. Pada tanggal 3 Januari 1970 ia
menyampaikan gagasan tentang “keharusan pemikiran Islam dan masalah integrasi
umat” dalam acara silaturahmi dan Halal Bi Halal Organisasi Pemuda, Pelajar,
Mahasiswa, dan Sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI, PII, GPI, dan Persami,
yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bertempat di TIM (Taman Ismail
Mardjuki)[25].
Dalam pandangan Cak Nur (panggilan
akrab Nurcholis Madjid) masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat yang
dibangun dan dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW. Sewaktu beliau hijrah dari Mekkah
ke Yatsrib pada tanggal 2 Juli 622M. [26] Secara keseluruhan,
paling tidak ada tiga program utama yang dilakukan oleh Nabi pada tahap awal
tinggal di Madinah, yaitu pertama, membina dan merekomendasikan hubungan
umat dengan Khaliknya. Wujud nyata dari usaha ini terimplementasikan dalam
pembangunan Mesjid. Kedua, mendamaikan kelompok-kelompok yang selama ini
bertikai untuk mewujudkan hubungan keakraban dikalangan muslim. Ketiga,
menjalin hubungan yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda-beda[27].
Masyarakat madani yang dibangun oleh
Nabi, bagi Robert N. Bellah[28], seorang ahli sosiologi
agama terkemuka, menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang
untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga setelah
Nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu
belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan
sosial yang modern seperti yang dirintis oleh Nabi.
Dalam konteks pemikiran lainnya, ada
lima karakteristik atau hal-hal lain yang menjadi prasyarat dalam upaya
membangun wacana masyarakat madani yang lebih memiliki nilai universal dalam
penegakan masyarakat madani, prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu persatu
saja melainkan sebagai suatu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan
nilai bagi eksistensi masyarakat madani Free Public Sphere, demokratis,
Toleransi, Pluralisme, keadilan Sosial.
a.
Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan Free Public
Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan
pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara
mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praktis politik tanpa mengalami
distorsi dan kekhawatiran. Ruang publik bisa diartikan sebagai wilayah dimana
masyarakat sebagai warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam
menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi
kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk
mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,
maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus
diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam
tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman
kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan umum
oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
b.
Demokratis
Demokratis merupakan satu entitas
yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani
kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas
keseharian nya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti
masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat
sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat
demokratis ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat
madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan
masyarakat madani. Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup
sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan,
ekonomi dan sebagainya.
Bagi Nurcholis Madjid demokrasi
sebagai nilai yang dinamis, bahkan ia mengawali rumusan tentang masyarakat
madani dengan istilah demokrasi. Demokrasi yang ditegakan adalah untuk
mewujudkan masyarakat madani dengan menjadikan demokrasi sebagai pandangan
hidup (way of life). Tambahnya lagi,
demokrasi bukanlah hanya semata-mata masalah prosedural, tetapi masalah
prinsipil karena merupakan suatu pandangan hidup. Sekalipun demokrasi berasal
dari Barat, namun prinsip-prinsip demokrasi tersebut telah ada dalam Islam.
Oleh sebab itu, pandangan hidup demokrasi ialah cerminan sikap, jiwa dan
semangat peradaban yang telah menjadi pandangan hidup dalam kehidupan
sehari-hari[29].
c.
Toleransi
toleran merupakan sikap yang
dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai
dan menghormati aktifitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini
memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
lain yang berbeda. Toleransi menurut Nurcholis Madjid[30] merupakan persoalan
ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan
adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang
berbeda-beda maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari
pelaksanaan ajaran yang benar.
Pengalaman toleransi dalam sejarah
umat manusia dapat dilihat dari prestasi gemilang Nabi Muhammad SAW. Yang
terjadi di Madinah, prestasi yang menjadi kebanggaan sekaligus menjadi rujukan
itu adalah adanya piagam Madinah yang mengatur dan membangun masyarakat yang
toleran dan memiliki kebebasan dalam menjalankan agamanya.
Azyumardi Azra[31] pun
menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar
gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang
berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi,
yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik
dan sikap sosial yang berbeda.
Sedangkan menurut Frans Magnis
Suseno, toleransi sikap saling menghormati yang bernilai positif bukan hanya
sekedar tidak memerangi, atau memusuhi. Artinya mengakui hak orang lain dan
golongan lain, mengakui agamanya atau kemampuan untuk bersikap hormat terhadap
keyakinan yang lain, terhadap yang dianggapnya suci, terhadap cara dan golongan
lain mengungkapkan keyakinan mereka atau budaya hati, sebagai suatu yang suci,
luhur, Ilahi bagi yang lain terlepas dari apa keyakinan sendiri[32].
d.
Pluralisme
sebagai sebuah prasyarat penegakan
masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan
menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya
dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi
harus di sertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu
sebagai bernilai positif, merupakan rahmat dari Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep
pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme
menurutnya adalah pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan kesopanan
atau keadaban, suatu pandangan hidup yang lebih cosmopolite yaitu tata
pergaulan nasional dalam arti lahiriyah maupun maknawiyah yang berwawasan
seluruh anggota bangsa, mengingat bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai bentuk etnik, ras,
agama, serta suku yang beragam[33]. Bahkan pluralisme adalah
juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Selanjutnya Nurcholis
Madjid mengatakan bahwa dalam al-Qur’an surat 109 ayat 6. Allah SWT. Telah
mengungkapkan tentang kebebasan dalam beragama yang telah berkonotasi
Pluralisme dalam beragama yaitu “bagimu
agamamu, dan bagiku agamaku”[34].
Hubungan Islam dan pluralisme[35] memiliki dasar
argumentasi yang kuat. Menurut Nurcholis Madjid hal ini berangkat dari semangat
humanitas dan universalitas Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas
adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (Fitrah) atau dengan kata lain
cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Dan misi
Nabi Muhammad SAW adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan
semata-mata hanya menguntungkan bagi komunitas Islam saja. Sedangkan pengertian
universalitas Islam dapat dilacak dari term al-Islam yang berarti sikap pasrah
pada Tuhan.
Lebih lanjut Nurcholis[36] mengatakan bahwa sikap
penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat majemuk,
yakni masyarakat yang tidak monolithic. Apalagi sesungguhnya kemajemukan
masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-nya untuk umat
manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolithic, sama dan sebangun
dalam segala segi.
e.
Keadilan Sosial
Keadilan
disebutkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu
aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat
memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah (penguasa).
Sebuah negara yang dibangun dan
dibentuk dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan kepada setiap warga
negara, atau dapat dikatakan negara tersebut sebagai negara yang demokratis,
dengan segala kebutuhan rakyatnya terpenuhi dan tanpa melakukan intimidasi
terhadap setiap masyarakat didalamnya, maka seperti yang dikatakan oleh Ibnu
Taymiyyah[37]
“Tuhan mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak akan
mendukung kekuasaan yang zhalim meskipun Islam”. Dia juga berkata “dunia
akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun kafir, dan tidak akan bertahan
dengan kezhaliman sekalipun Islam”. Bagi Ibnu Tayimiyyah sebuah negara
harus berdasarkan atas keadilan karena baginya negara dan kekuasaan adalah
keadilan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam
pembahasan di atas, dapat dibuat beberapa poin sebagai kesimpulan:
1.
Ra>syid Rid}a> merupakan tokoh yang mewakili kalangan tradisional yang
memandang perlunya dihidupkan kembali sistem khilafah bagi dunia Islam, dengan
maksud untuk mencapai kemajuan umat. Rid}a>
merumuskannya dalam sebuah karya monumentalnya al-Khila>fah al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Upaya menghidupkan kembali kehilafahan yag dilancarkan oleh Rid}a> itu, ia mencoba
mencuatkan doktrin-doktrin klasik Islam sebagai dasar wacana politiknya.
2.
Di tengah-tengah situasi
menggeloranya keinginan umum untuk dihidupkannya
kembali kekhalifahan yang
dimotori Ra>syid Rid}a>, justru ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq yang berseberangan dengan Ra>syid Rid}a>. Ia
mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam. Persoalan agama dan dunia sama sekali tidak membutuhkan
adanya khilafah dalam arti fikih semacam itu yang terekam dalam karya monumentalnya al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm. Baik Rid}a> maupun Ra>ziq telah memberikan kontribusi penting bagi pemikiran
politik Islam modern.
3.
Menurut Harun Nasution, ajaran dasar Islam yang dikenal qat}‘iy
terdiri atas qat}‘iy al-wuru>d, qat}‘iy al-tanfi>z\, perlu dibedakan dengan ajaran non dasar z}anniy yaitu terdiri atas z}anniy
al-wuru>d, z}anniy al-dila>lah, z}anniy al- tanfi>z\. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka pembaharuan dalam Islam, karena yang dapat diadakan
pembaruan hanya ajaran non dasar sedangkan ajaran dasar mutlak kebenarannya.
4.
Sedangkan dalam pemikiran Hasan Hanafi tentang Islam kiri beliau menanggapi
tentang beberapa wacana yang berkaitan tentang kebangkitan Islam bahwa
kebangkitan Islam dapat diwujudkan dengan menekankan tiga hal: 1) Perlunya rasionalisme
untuk revitalisasi khazanah Islam klasik, 2) Perlunya perlawanan terhadap kebudayaan
Barat, dan 3) Perlunya analisis atau realitas dunia Islam.
5.
Konsep masyarakat madani yang diinginkan Nurcholis Madjid berdasarkan
analisis terhadap teks-teks agama serta sejarah kota Nabi menunjukkan beberapa
ciri atau karakter. Pertama, Masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa dengan
ciri takwa dan berbudi pekerti luhur. Kedua, bercirikan egalitarianisme,
penghargaan terhadap orang lain, keterbukaan partisipasi seluruh anggota
masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan. Ketiga, Masyarakat
berdiri tegak diatas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan
berpegang kepada hukum (konstitusi). Keempat, terdiri dari warga negara yang
tulus dan komitmen pada nilai-nilai kebaikan bersama masyarakat yang disertai
dengan terbentuknya sistem kontrol sosial yang kuat dan menjamin. Kelima,
keterbukaan, kebersamaan, dan sikap-sikap demokratis yang didasarkan pada
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
B. Implikasi
Menyusul dihapuskannya sistem kekhalifahan Islam oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki pada tahun 1924, umat Islam pada
umumnya berusaha menghidupkan kembali sistem tersebut yang sudah cukup lama
dikenal dalam konteks historis di dunia Islam terjadi perdebatan diseputar
wacana tersebut. Para pemikir Islam dunia, dengan beragam latar belakag ikut
andil bagian dalam meramaikan bursa gagasan untuk membeikan kontribusi,
sekaligus tawaran-tawaran kontruktif.
Kendatipun demikian maraknya pemikiran yang muncul tetapi ditelusuri secara deteil setidaknya ada dua
kecenderungan, yaitu pertama, mereka yang umumnya mengikuti pemikiran
politik klasik, al-Ma>wardiy misalnya, seperti halnya Ra>syid Rid}a>, kendatipun ada perbedaan yang bersifat partikular; dan kedua,
‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq, ia merupakan pemikir politik yang banyak menyimpang
dari garis al-Ma>wardiy. Bukan hanya menyimpang, bahkan kontradiktif. Seperti
dikatakan oleh Din syamsuddin bahwa Ra>syid Rid}a> adalah salah satu tokoh pemikir politik yang cenderung
idealisme tradisional, sementara ‘Ali ‘Abd al-Ra>ziq adalah tokoh yang cenderung sekularis.
Sementara Harus Nasution yang mencoba mengkaji tentang
ajaran dasar dan ajaran non dasar dengan mencoba mengkaji qat}‘iy dan z}anniy.
Ungkapan al-Qur’an tidak ada yang qat}‘iy al-dila>lah manakala
ayatnya sendiri-sendiri dapat dibenarkan jika yang dimaksud qat}‘iy pada
seluruh aspeknya, namun jika yang dimaksud qat}‘iy pada aspek tertentu,
misalnya hukumnya maka ayat-ayat al-Qur’an banyak yang qat}‘iy.
Harun Nasution datang dengan mengecam kepanitikan
terhadap mazhab akan menutup pintu untuk mengikuti al-Qur’an dan sunnah secara
komprehensif karena bisa jadi pendapat dan pemikiran mazhab terhadap al-Qur’an
dan sunnah hanyalah parcial yang disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya yang
bisa jadi berbeda dengan kondisi saat ini.
Sementara konsep masyarakat madani tidak terlepas dari
konsep jalan tengah yang mencoba mensintesakan dan menemukan titik kesamaan
teori-teori Barat dan Timur. Gagasan ini dipelopori oleh kalangan intelektual
dalam merespon munculnya diskusi antara keharusan menerima peradaban Barat atau
mempertahankan ciri kultur bangsa sendiri. Di Indonesia, konsep ini sangat
melekat erat dengan tokoh dan kepribadian Nurcholish Madjid yang sejak lama
begitu konsisten menggagas pemikiran dengan platform jalan tengah tersebut.
Kalangan intelektual yang tampil dengan gagasan
masyarakat baru dengan mengambil posisi jalan tengah, menurut Anwar Ibrahim hal
ini adalah suatu fenomena mutakhir yang terjadi di tataran Asia akhir abad
ke-20. pada awal abad ke-19 dan awal abad ke-20 sejarah Asia mencatat munculnya
peradaban diskusi intelektual tentang respon cendekiawan terhadap peradaban
barat dan masa depan kebudayaan tradisional Asia.
Umat Islam pada hakikatnya sangat
mendambakan mengikuti al-Qur’an
secara keseluruhan dan Nabi Muhammad saw. Sebagai personalisasi dari al-Qur’an,
hanya saja terjadi
perbedaan interpretasi yang
mengakibatkan keragaman pendapat dan pengamalan. Hal tersebut terjadi karena tidak
ditemukan petunjuk pasti manyangkut masalah yang diperselisihkan itu
dari al-Qur’an dan Nabi
Muhammad saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Apter, David E. Pengantar
Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1987.
Aziz, Ahmad Amir.
Neo-Modernisasi
Islam di Indonesia, Gagasan
Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurahman
Wahid. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1999.
Hourani,
Albert, Arabic Thought in The Liberal Age. London:
Oxford University Press, 1970.
Madjid, Nurcholis.
Islam
Kemordenan dan Keindonesiaan. Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1995.
--------------,
Pintu-pintu
Menuju Tuhan. Cet. VI;
Jakarta: Paramadina,
2002.
Noer, Deliar. Pengantar
ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali, 1983.
Plano. Jack C. et.al.
Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali, 1985.
Al-Ra>ziq, Ali ‘Abd . al Isla>m wa al Us{u>l al-H{ukm. Mesir: Mat}ba‘ah Mis}r, 1925.
Rachman, Budi Munawar. Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran
Islam di Kanvas Peradaban. Jakarta:
Mizan,
2006.
Rais, Amin. Kata
Pengantar, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan
Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Al-Rais, D}iya>’ al-Di>n, al-Isla>m wa Khila>fah fi al-‘As}r al-H{adi>s\ (Naqd Kita>b al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm). Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>s\, 1972 M.
Rid}a>, Muhammad Ra>syid. al-Khila>fat wa al-Ima>mah al-‘Uz}ma>. Kairo: t.p., 1923.
Suseno, Frans Magnis. Pluralisme Keberagamaan, Sebuah Tanggung Jawab
Bersama, Dalam Tim Edito, Konstektualisasi Ajaran
Islam. Cet. I;
Jakarta: Paramadina,
1995.
Syamsuddin,
Din. Etika Agama Dalam Membangun Bangsa dan Negara. Cet. II; Jakarta:
Logos, 2002.
----------------, Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000.
Ubaidillah, A.
(et. al.). Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, HAM, dan
Masyaraka Madani. Edisi Revisi;
Jakarta:
IAIN Press, 2003.
Zamhari, Muhammad Hari. Agama dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2004.
[2]Lihat Albert Hourani, Arabic
Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1970), bab -9.
[21]Amin Rais, Kata Pengantar, dalam
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi
Masalah-masalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. xxiii.
[22]Lebih jelasnya lihat: D{iya>’ al-Di>n al-Ra>is, al-Isla>m wa Khila>fah fi> al- ‘As}r al-H{adi>s\ (Naqd Kita>b al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm) (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>s\, 1972 M), h. 30.
[23]Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisasi
Islam di
Indonesia, Gagasan
Sentral Nurcholis Madjid dan
Abdurahman Wahid (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), h. 23.
[24]Muhammad Hari Zamhari, Agama
dan Negara, Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), h. 103.
[25]M. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun
Bangsa dan Negara (Cet. II; Jakarta: Logos, 2002), h. v.
[28]Budi Munawar-Rachman, Ensiklopedi
Nurcholis Madjid, Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Mizan, 2006), h. 1888.
[31]A. Ubaidillah (et. al.), Pendidikan
Kewargaan : Demokrasi, HAM, dan Masyaraka Madani (Edisi Revisi; Jakarta: IAIN Press, 2003), h. 249.
[32]Frans Magnis Suseno, Pluralisme
Keberagamaan, Sebuah Tanggung Jawab Bersama, Dalam Tim Edito, Konstektualisasi Ajaran
Islam (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 47.
Did you know there's a 12 word sentence you can speak to your crush... that will induce intense feelings of love and instinctual appeal for you deep within his chest?
BalasHapusBecause hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, please and guard you with his entire heart...
====> 12 Words Who Fuel A Man's Desire Impulse
This impulse is so built-in to a man's genetics that it will make him work harder than before to make your relationship as strong as it can be.
In fact, fueling this all-powerful impulse is so important to getting the best ever relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...
...You will instantly notice him expose his mind and heart for you in such a way he haven't experienced before and he will distinguish you as the one and only woman in the universe who has ever truly understood him.