Manusia
Dalam Perspektif al-Qur’an
Makalah Revisi
Mata kuliah Tafsir
al-Maud}u>‘iy
Semester I Kelompok Reguler Program
Doktor
Oleh;
Abdul Gaffar
Dosen Pemandu;
Prof. Drs. H. Rafi’i Yunus,
M.A., Ph.D.
Dr. Kamaluddin
Abu Nawas, M.Ag.
PROGRAM
PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
merupakan hewan yang paling unik dan paling sempurna yang melata di muka bumi
ini. Perbedaan
manusia dengan makhluk lain itu sangat tampak dan jelas. Manusia memiliki akal,
berbudi luhur dan dapat memilih dan memilah sesuatu yang ingin diperbuatnya.
Akan tetapi asal usul manusia hingga saat ini masih misteri bagi kalangan
ilmuan sehingga Alexis Carrel
(1873-1944) seorang ilmuan dan dokter berkebangsaan Perancis dan telah meraih
dua kali nobel perdamaian menulis buku yang berjudul Manusia adalah Makhluk yang Belum Dikenal .[1]
Dari
sekian banyak penemuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian canggih, masih ada satu permasalahan yang hingga kini belum mampu
dijawab dan dijabarkan oleh manusia secara eksak dan ilmiah. Masalah itu ialah
masalah tentang asal usul kejadian manusia. Banyak ahli ilmu pengetahuan mendukung
teori evolusi yang mengatakan bahwa makhluk hidup (manusia) berasal dari
makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian
mengalami evolusi dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini. Hal
ini diperkuat dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah berupa fosil seperti jenis
Pitheccanthropus dan Meghanthropus.[2]
Di
lain pihak,
banyak intelktual muslim dan agamawan yang menentang adanya proses evolusi
manusia tersebut. Hal ini didasarkan pada berita-berita dan informasi-informasi
yang terdapat pada kitab suci masing-masing agama yang mengatakan bahwa Adam
adalah manusia pertama. Sebenarnya
manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya termasuk proses penciptaannya akan tetapi hanya mampu
mengetahui dari aspek tertentu manusia.
Dari penjelasan singkat ini,
agamawan memberikan komentar bahwa pengetahuan tentang manusia sedemikian sulit
karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya
terdapat ruh ilahi.[3]
sedang manusia tidak diberi pengetahuan yang banyak tentang ruh seperti yang
terdapat dalam Q.S. al-Isra>’/17: 85:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ
الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا.
(85)
Terjemahnya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit.[4]
Dengan
demikian, penting kiranya mengkaji manusia dan segala yang terkait dalam
sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan metode tematik
sehingga akan menjadi jelas posisi manusia, proses penciptaannya dan sifat-sifatnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dibuat rumusan masalah bagaimana manusia dalam perspektif al-Qur’an dengan
sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan al-Qur’an tentang hakikat manusia?
2. Bagaimana proses penciptaan manusia dalam al-Qur’an?
3. Apa tujuan penciptaan manusia dalam al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manusia
Defini manusia yang dikemukakan
ilmuan sangat beragam tergantung dari aspek mana ia meneliti dan mengkajinya.
Sebagian ilmuan berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial karena ia
melihat dari aspek sosialnya. Sebagian lagi berkomentar bahwa manusia adalah
binatang cerdas yang menyusui atau makhluk yang bertanggung jawab atau makhluk
membaca dan tertawa,[5]
dan lain-lain sebagainya.
Jika diamati
lebih mendalam sifat-sifat dan karakter manusia, khususnya bahwa manusia itu
mempunyai bahasa yang teratur, mempunyai keahlian untuk berbicara, berfikir,
mamiliki kepekaan sosial, mempunyai apresiasi estetika dan rasa yang tinggi
serta mampu melakukan ritual ibadah kepada sang pencipta maka wajarlah jika
para filosof agama (Yahudi, Kristen dan Islam) mendefinisikan manusia sebagai
makhluk yang unik dari asal yang suci, bebas dan dapat memilih.[6]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia diartikan
sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain).[7] Dalam
bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo Saxon, man).
Apa arti dasar kata ini tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa dikaitkan dengan
mens (Latin), yang berarti ada yang berpikir.
Demikian halnya arti kata anthropos (Yunani) tidak begitu jelas. Semua antrophos
berarti seseorang yang melihat ke atas. Namun saat ini, kata itu dipakai untuk mengartikan wajah manusia.[8]
Pembahasan hakekat manusia dengan indikasi bahwa
ia merupakan makhluk ciptaan di atas bumi sebagaimana semua benda duniawi,
hanya saja ia muncul di atas bumi untuk mengejar dunia yang lebih tinggi. Manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan
meterial dan organis. Kemudian manusia menampilkan sosoknya dalam aktivitas
kehidupan jasmani. Selain itu, sama halnya dengan binatang, manusia memiliki
kesadaran indrawi. Namun, manusia memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang
secara intrinsik tidak tergantung pada segala sesuatu yang material.[9]
Banyaknya definisi yang ditawarkan ilmuan, mendorong pada
kesimpulan bahwa definisi tentang manusia yang dapat disepakati
dan diterima secara menyuluruh dan dapat menggambarkan manusia secara utuh
hingga saat ini belum ada.
Namun selaku umat Islam yang menjadikan
al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran perlu mengkaji dan meneliti apa dan
bagaimana manusia dalam gambaran keduanya dengan pendekatan istilah yang
digunakan untuk manusia.
Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang
diungkapkan dalam al-Qur’an seperti basyar, insa>n, unas, ins, ‘imru’ atau
yang mengandung pengertian perempuan seperti imra’ah, nisa’ atau niswah
atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa>, al-abra>r, atau
ulu al-alba>b, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa>,
z\u al-qurba>, al-d}u‘afa> atau al-mustad}‘afi>n yang
semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam
bentuk kongkrit.[10] Meskipun demikian untuk memahami secara
mendasar dan pada umumnya ada tiga kata yang sering digunakan al-Qur’an untuk
merujuk kepada arti manusia, yaitu insa>n dengan segala modelnya,
yaitu ins, al-na>s, una>s atau insa>n, dan kata basyar
serta kata bani> A<dam atau z\urriyat Adam .[11]
1. Al-Basyar
Dalam
al-Qur’an, kata al-basyar, baik dalam bentuk mufrad atau tas\niyah
berulang sebanyak 37 kali dan tersebar
dalam 26 surat. Satu
kali dalam bentuk tas\niyah dan 36 dalam bentuk mufrad.[12]
Dari 37 kali kata al-basyar berulang dalam al-Qur’an, hanya 4 kali
disebutkan dalam surah-surah Madaniyah, yaitu pada Q.S. A<li ‘Imra>n/3:
47, 79, Q.S. al-Ma>idah/5: 18 dan Q.S. al-T{aga>bun/64: 6. Sedangkan 33
kali disebutkan dalam surah-surah Madaniyah.
Keempat
kata al-basyar dalam surah Makkiyah tersebut berbicara tentang Maryam
tidak pernah berhubungan suami istri, tanggapan Allah terhadap pengakuan ahl
al-kitab bahwa ‘I<sa> adalah Tuhan, berbicara tentang jawaban Nabi saw.
terhadap pengakuan Yahudi dan Nasrani bahwa mereka adalah anak Allah, dan
berbicara tentang penolakan Bani Isra>il terhadap rasul karena dia juga
seorang basyar. Namun tidak ada perbedaan signifikan antara basyar
dalam surah Makkiyah dan Madaniyah, kecuali bahwa basyar lebih banyak
disebutkan dalam Makkiyah. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena penolakan
keras terhadap Nabi terjadi di Mekah sebagai tanggapan terhadap mereka dan sekaligus
tasliyah/hiburan terhadap Nabi saw. atas apa yang dihadapinya.
Secara etimologi al-basyar yang terdiri dari ba-sya-ra
bermakna sesuatu yang tampak dengan baik dan indah.[13] Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata
yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata
yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah
karena kulitnya tampak jelas dan berbeda di banding dengan kulit hewan lainnya.[14] Penamaan al-basyar dengan kulit menunjukkan makna bahwa
secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut
atau bulunya.[15]
Pada aspek ini, terlihat perbedaan umum biologis manusia
dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut. Dengan demikian, kata basyar dalam
al-Qur’an secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia.
Al-Basyar, juga dapat diartikan mula>samah, yaitu persentuhan
kulit antara laki-laki dengan perempuan.[16] Makna etimologi dapat
dipahami adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat
kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan,
kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukan kata al-basyar ditujukan
Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan
Rasul.[17] Eksistensinya memiliki
kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi juga memiliki titik perbedaan
khusus bila dibanding dengan manusia lainnya.
Adapun titik
perbedaan tersebut dinyatakan al-Qur’an dengan adanya wahyu dan tugas kenabian
yang disandang para Nabi dan Rasul. Sedangkan aspek yang lainnya dari mereka
adalah kesamaan dengan manusia lainnya. Hanya saja kepada mereka diberikan
wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu. Firman Allah swt. dalam Q.S.
al-Kahf/18: 110:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
Terjemhnya:
Katakanlah:
Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".
Di samping itu,
ditemukan pula kata ba>syiru>hunna yang juga berakar kata basyara
dengan arti hubungan seksual. Kata tersebut disebutkan dalam al-Qur’an
sebanyak dua kali dalam satu surah, yakni Q.S. al-Baqarah/2: 187.
Dengan demikian, tampak bahwa kata basyar dikaitkan dengan
kedewasaan di dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung
jawab. Selain itu, basyar juga mempunyai kemampuan reproduksi seksual.
Hal ini menurut Abd Muin Salim, sudah merupakan fenomena alami dan dapat
diketahui dari pengetahuan biologi. Kenyataan alami menunjukan bahwa reprduksi
jenis manusia hanyalah dapat terjadi ketika manusia sudah dewasa, suatu taraf
di dalam kehidupan manusia dengan kemampuan fisik dan psikis yang siap menerima
beban keagamaa. Jadi konsep yang terkandung di dalam kata basyar adalah
manusia dewasa memasuki kehidupan bertanggung jawab.[18]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan
menggunakan kata basyar merujuk pada mahkluk
fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah
yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam secara
keseluruhan.[19]
Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu
mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi
semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap
hukum sunnatulla>h. Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan
kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan
kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk
mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.³
2. Al-Insa>n
Kata al-insa>n
dalam al-Qur’an digunakan sebanyak 61 kali.[20]
Secara etimologi, ula`ma berbeda pendapat tentang asal katanya. Sebagian
mengatakan bahwa al-insa>n berasal dari akar nawasa yang
berarti bergerak, ada juga yang mengatakan berasal dari kata anasa yang
berarti jinak, dan ada juga yang berkata dari kata nasiya yang berarti
lupa.[21]
Penamaan manusia
dengan kata al-insa>n yang berasal dari kata al-uns,
dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.21
Secara etimologi, al-insa>n dapat diartikan harmonis, lemah lembut,
tampak, atau pelupa. Menurut M. Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut
dengan al-insa>n yang terambil dari kata uns yang berarti
jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang
al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya
(yang berarti lupa), atau nasa-yansu (yang berarti
bergoncang). Kata insa>n digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada
manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara
seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya.[22]
Dengan kata lain,
al-insa>n digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai
potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik
dan istimewa lagi sempurna, dan memiliki perbedaan individual antara satu
dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang
predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk
mengekspresikan dimensi al-insa>n dan al-baya>n, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara,
mengetahui baik dan buruk, dan lain sebagainya.[23] Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu
mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh, yakni akan dapat membentuk dan
mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insa>niah yang
memiliki nuansa ilahiah dan h}ani>f. Integritas ini akan tergambar
pada nilai-nilai iman dan bentuk amaliahnya.[24] Namun demikian, manusia sering lalai bahkan
melupakan nilai-nilai insa>niah yang dimilikinya dengan berbuat
berbagai bentuk mafsadah (kerusakan) di muka bumi.
Kata al-insa>n
juga digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia
sesudah Adam. Kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna
di dalam di dalam rahim. Q.S. al-Nah{l/16: 78; Q.S. al-Mu’minu>n/23: 12-14.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ
مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78)
Terjemahnya:
Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[25]
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12)
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ
مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً
فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ
خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
Terjemahnya:
Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.
kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.[26]
Penggunaan kata al-insa>n dalam ayat ini mengandung dua
makna, yaitu: Pertama, makna proses biologis, yaitu berasal dari
saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses
pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu
proses ditiupkan ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai potensi yang
dianugerahkan Allah kepada manusia.
Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari pengaruh alam serta
kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara satu
dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan bahwa, ketika
manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk
memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan
akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan
untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan
pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan
mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan
pada ajaran Tuhannya.[27]
Menurut ‘A<isyah bint al-Sya>t}i’, bahwa term al-insan yang
terdapat dalam Al-Qur’an menunjukkan kepada ketinggian derajat manusia yang
membuatnya layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul beban berat dan
aktif (tugas keagamaan) dan amanah kehidupan. Hanya manusialah yang dibekali
keistimewaan ilmu (punya ilmu pengetahuan), al-baya>n (pandai
bicara), al-‘aql (mampu berpikir), al-tamyi>z (mampu
menerapkan dan mengambil keputusan) sehingga siap menghadapi ujian, memilih
yang baik, mengatasi kesesatan dan berbagai persoalan hidup yang mengakibatkan
kedudukan dan derajatnya lebih dari derajat dan martabat berbagai organisme dan
makhluk-makhluk lainnya.[28]
3. Al-Ins
Kata al-ins
dalam al-Qur’an digunakan sebanyak 18 kali dan selalu ditandemkan dengan
kata al-jinn atau ja>nn.[29]
Jika merujuk pada penggunaan al-Qur’an terhadap kata al-ins maka yang dimaksudkan
adalah jenis makhluk sehingga diperhadapkan dengan jenis Jin. Dalam Q.S.
al-An‘a>m/6: 130:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ
يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ
يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ (130)
Terjemahnya:
Hai
golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata:
"Kami menjadi saksi atas diri Kami sendiri", kehidupan dunia telah
menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka
adalah orang-orang yang kafir.[30]
Secara etimologi, kata al-ins
berasal dari kata a-na-sa yang berarti sesuatu yang tampak dan
setiap sesuatu yang menyalahi cara liar.[31]
Namun, jika diperhatikan bahwa al-Qur’an senantiasa menandemkan dengan kata al-jin
yang berarti tertutup,[32]
maka makna yang paling ideal untuk makna al-ins adalah sesuatu yang
tampak.
Sementara pembahasan tentang al-ins
terkait dengan perintah Allah terhadap mereka untuk melaksanakan ibadah kepada
Allah. Dalam Q.S. al-Z|a>riya>t/51: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ (56)
Terjemahnya:
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.[33]
Al-Ins
diperintahkan untuk beribadah kepada Allah swt., karena potensi untuk
membangkang sangat besar, bahkan al-Qur’an mengungkapkan bahwa Allah swt.
menjadikan al-ins dan al-jinn sebagai musuh setiap nabi, seperti
yang terekam dalam Q.S. al-An‘a>m/6: 112. Kata al-ins juga biasa
digunakan untuk menujuk kelompok makhluk sebagaimana dalam Q.S. al-A‘ra>f/7:
38:
Dengan
demikian, kata al-ins digunakan oleh Allah swt. jika ingin menjelaskan
tentang jenis makhluk yang diberi takli>f sehingga dominan kata al-ins
digunakan pada makna-makna yang bersifat negative, meskipun ada beberapa ayat
yang tidak terkait dengan positif dan negatif. Hal tersebut dapat dipahami
karena potensi yang ada pada al-ins dan al-jinn untuk menyeleweng
dari tujuan penciptaan sangat besar.
4. Al-Na>s
Kata
al-na>s dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar
dalam 53 surat.[34]
Kata al-na>s menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk
hidup dan sosial. Secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau
kekafirannya.[35]
Kata al-na>s dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok
orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk
mengembangkan kehidupannya.[36]
Dalam
menunjuk makna manusia, kata al-na>s lebih bersifat umum bila
dibandingkan dengan kata al-insa>n. Keumumannya tersebut dapat dilihat
dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-na>s menunjuk manusia
sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia
tertentu yang sering melakukan mafsadah dan pengisi neraka bersama iblis.
Hal ini terlihat pada firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 24.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
(24)
Terjemahnya:
Maka
jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.[37]
Manusia merupakan satu hakekat yang mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan
sebagainya). Itulah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang
Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Dialah yang telah menciptakan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya, dan memulai menciptakan manusia dari segumpal tanah, dan
Dia ciptakan keturunannya dari jenis saripati berupa air yang hina, lalu Dia
sempurnakan penciptaannya, kemudian Dia tiupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan)
Nya, dan Dia ciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, namun kamu
sedikit sekali bersyukur dalam Q.S. al-Sajadah/32: 6-9:
ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (6) الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ
مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ
سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ
قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (9)
Terjemahnya:
Yang
demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan
manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina. kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur.[38]
Unsur jasad akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan
tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. Hal tersebut terungkap pada
penjelasan tentang manusia akan dibangkitkan lalu bertanya, siapa pula yang
dapat menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur itu? Katakanlah, yang
menghidupkannya adalah (Tuhan) yang telah menghidupkannya untuk pertama kali,
dan Dia Maha Mengetahui akan setiap ciptaan sebagaimana dalam Q.S. Ya>sin/36:
78-79:
وَضَرَبَ
لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
(78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
(79)
Terjemahnya:
Dan
ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah: Ia
akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha
mengetahui tentang segala makhluk.[39]
5. Bani>
A<dam
Secara harfiah, lafal bani>
merupakan bentul flural dari lafal ibn, sedangkan asal katanya adalah banawa
yang bermakna sesuatu yang keluar dari sesuatu yang lain, seperti anak manusia
atau anak lain.[40]
Bani> bisa juga dikaitkan dengan makna membangun. Oleh karena itu, ibn bisa
bermakna bangunan karena ia merupakan bangunan bapak dan menjadi penyebab
keberadaannya.[41]
Dari kedua makna tersebut, bani> dapat diartikan sebagai makhluk yang
lahir dari sperma seorang yang sejenis dengannya.[42]
Jika dikaitkan dengan lafal A<dam, maka yang dimaksud dengan bani>
A<dam adalah anak-anak yang dilahirkan dari A<dam dan dari anak-anak
A<dam dan seterusnya, sehingga dapat dikatakan bani> A<dam
adalah keturunan A<dam as.
Dalam al-Qur’an, kata bani>
A<dam berulang sebanyak 7 kali, sekali dengan meggunakan ibnai A<dam
(dalam bentuk tas\niyah/dua) dan sekali dengan menggunakan z\urriyah.[43]
Penggunaan kata ibnai A<dam dalam
al-Qur’an ditujukan langsung terhadap anak kandung A<dam as. yang diabadikan
dalam Q.S. al-Ma>idah/5: 27-31 yang bercerita tentang dua saudara kembar
Ha>bi>l dan Qa>bi>l.[44]
Sementara 7 lafal bani>
A<dam dapat dikelompokan dalam dua bagian besar, yakni lafal yang
diawali dengan ya> nida>’/seruan dan bani> A<dam yang
tidak diawali dengan ya> nida>’. Bani> A<dam yang
tidak diawali dengan ya> nida>’ berulang 2 kali. Pertama, ayat
yang berbicara tentang janji dan persaksian setiap keturunan A<dam dalam
kandungan tentang hanya Allah yang menjadi Tuhan yang berhak disembah
sebagaimana dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 172. Kedua, ayat yang berbicara tentang
kemulyaan anak keturunan A<dam dengan segala fasilitas yang disediakan di
muka bumi, seperti dalam Q.S. al-Isra>’/17: 70.
Sementara bani> A<dam yang
diawali dengan ya> nida>’ dapat dikelompokan dalam tiga
bagian besar. Bagian pertama, 2 ayat berbicara tentang kewaspadaan terhadap
setan yang menjadi musuh A<dam as. Kewaspadan dalam bentuk
tidak menjadikannya sebagai sesembahan, seperti dalam Q.S. Ya>sin/36: 60:
أَلَمْ أَعْهَدْ
إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ (60)
Terjemahnya:
Bukankah
aku telah memerintahkan kepadamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah
syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.[45]
Kewaspadaan
kedua terkait dengan tipu
muslihat setan yang telah berhasil mengeluarkan
A<dam dari dalam surga, seperti dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 27:
يَا بَنِي آدَمَ لَا
يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ
عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ
مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ (27)
Terjemahnya:
Hai anak
Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.[46]
Bagian
kedua, 2 ayat
berbicara tentang pakaian yang harus menjadi perhatian bani>
A<dam. Ayat pertama agar menjadikan pakaian sebagai penutup aurat. Hal
itu diingatkan oleh Allah swt. dengan panggilan bani> A<dam agar
setan tidak lagi berhasil mengelabui anak cucu A<dam seperti keberhasilannya
terhadap A<dam yang menyebabkan A<dam dan Hawa terlihat auratnya.[47]
Hal tersebut tergambar dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 26:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى
ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)
Terjemahnya:
Hai anak
Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu
dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik.
yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
Mudah-mudahan mereka selalu ingat.[48]
Sementara
ayat kedua berbicara tentang pakaian yang berfungsi sebagai penutup aurat dalam
beribadah dengan menggunakan pakaian terbaik pada saat berangkat ke masjid, seperti
dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 31. Sedangkan bagian ketiga adalah satu ayat yang
berbicara tentang ketakwaan dan perbaikan terhadap ayat-ayat yang disampaikan
oleh rasul-rasul Allah.
Dengan demikian,
makna manusia dalam istilah al-basyar,
al-insa>n, al-Ins, al-na>s dan bani> A<dam mencerminkan
karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan
saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius,
makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang
kesemuanya mencerminkan kelebihan dan kemuliaan manusia daripada
makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Oleh karena itu, manusia senantiasa diingatkan
dengan apa yang menimpa dan dialami oleh nenek moyang mereka, baik terkait
dengan musuhnya maupun terkait dengan pakaiannya.
B.
Proses Penciptaan Manusia
Dalam
al-Qur’an dan hadis, penciptaan manusia setidaknya ada 3 macam. Pertama
penciptaan Adam as atau manusia pertama. Kedua penciptaan H{awa>’ atau
manusia kedua dan ketiga penciptaan anak cucu Adam atau melalui reproduksi. Ketika berbicara tentang
penciptaan manusia pertama, al-Qur’an menunjuk kepada sang pencipta dengan
menggunakan kata mufrad (tunggal) dalam QS. S}a>d/38: 71:
إِنِّي
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ.
Terjemahnya:
Sesungguhnya aku akan menciptakan
manusia dari tanah.[49]
Namun saat Allah berbicara tentang
reproduksi manusia (anak cucu Adam), maka Allah akan menggunakan bentuk jam‘
(flural) sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Ti>n/95: 4:
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ.
Terjemahnya:
Sesungguhnya kami telah
menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.[50]
Hal ini menunjukkan ada
perbedaan proses kejadian manusia secara umum dengan proses kejadian Adam as.
Penciptaan manusia secara umum melalui proses keterlibatan Allah bersama yang
lain yaitu bapak-ibu sehingga Allah menggunakan kata jam‘, sedangkan
dalam penciptaan Adam, Allah tidak melibatkan orang lain, sebab itulah Allah
menggunakan kata mufrad sebagaiman yang tertera dalam dua ayat di atas.
Betapapun
banyaknya istilah yang digunakan al-Qur’an dalam proses penciptaan manusia
pertama tetapi antara satu ayat dengan ayat lain tidak pernah saling
bertentangan bahkan perbedaan itu akan mengantar pada pemahaman bahwa dalam
penciptaan manusia pertama (Adam as.) melalui beberapa proses.
Sementara
dalam hadis, Nabi saw. hanya menjelaskan bahwa manusia tercipta dari segenggam
tanah yang terambil dari semua unsur-unsur tanah sehingga berpotensi pada
perbedaan warna kulit dan prilakunya. Hal tersebut dapat terlihat pada hadis berikut:
إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الأَرْضِ
فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الأَرْضِ، فَجَاءَ مِنْهُمُ الأَحْمَرُ وَالأَبْيَضُ
وَالأَسْوَدُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالسَّهْلُ وَالْحَزْنُ وَالْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ. [51]
Artinya:
Sesungguhnya Allah swt. menciptakan
Adam dari segenggam tanah yang diambil dari seluruh unsur tanah, maka anak
cucuk Adam lahir menurut kadar tanah tersebut, ada yang berkulit merah, putih,
hitam atau di antara warna-warna tersebut. Ada yang mudah atau susah dan ada
yang jelek dan ada yang baik.
Hadis
di atas menggambarkan bahwa Adam tercipta dari segenggam tanah yang diambil
dari semua unsur-unsur tanah, sehingga anak cucunya berpotensi untuk berbeda
warna dan tabiat atau wataknya sesuai dengan pengaruh tanah yang dominan dalam
diri manusia melalui makanan yang dimakannya.[52]
Oleh karena itu,
warna asli dari kulit manusia adalah merah, putih dan hitam, sedangkan warna di
luar itu merupakan hasil persilangan dari ketiga warna tersebut.
Sedangkan
keempat kata terakhir yang menggambarkan tentang watak, tabiat atau karakter
anak cucu Adam as. Menurut al-T{i>bi> maksud dari al-sahl adalah
manusia yang mempunyai watak lemah lembut, sedangkan al-khazn sebaliknya
yakni bengis, kejam dan bodoh. Sementara al-t}ayyib sebagai gambaran
tentang manusia yang berguna dan bermanfaat karena dari tanah yang subur dan al-khabi>s\
sebagai gambaran dari manusia yang tidak berguna karena dari tanah yang
gersang.[53]
Dalam al-Qur’an, proses penciptaan Adam as. jauh lebih
jelas dibandingkan hadis, di mana al-Qur’an menggunakan istilah-istilah yang
berbeda, meskipun semuanya menunjuk pada tanah, mulai dari kata tura>b,
t}i>n, h{ama’in masnu>n dan s}als}a>l.
Kata
tura>b misalnya yang terkait dengan penciptaan manusia dari tanah
berulang sebanyak 6, yaitu pada QS. A<li ‘Imra>n (3): 59, al-Kahfi (18):
37, al-H{ajj (22): 5, al-Ru>m (30): 20, Fa>t}ir (35): 11 dan Ga>fir
(40): 67.[54] Kesemua
ayat tersebut menunjuk pada satu subyek yaitu Allah swt. sedangkan obyeknya ada
dua yaitu Adam as. dan manusia secara umum dengan d}ami>r jam‘ muz\akkar
mukha>t}ab (خَلَقَكُمْ). Di antara
ayat yang menggunakan tura>b QS. A<li ‘Imra>n (3): 59:
إِنَّ مَثَلَ
عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ
فَيَكُونَ.
Artinya:
Sesungguhnya
misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
"Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah dia.[55]
Al-Qurt}ubi>
mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan bahwa kekaguman orang Nasrani tentang
penciptaan ‘I><sa> as. tanpa bapak sebenarnya tidak lebih mengherankan
daripada penciptaan Adam as. tanpa bapak dan ibu, bahkan Adam as. tercipta dari
tanah, sementara ‘I<sa> tidak tercipta dari tanah.[56]
Sementara Muh{ammad ‘Abduh sebagaimana yang dikutip
Rasyi>d Rid{a> menjelaskan bahwa kata tura>b dalam ayat
tersebut bermakna tanah keras kemudian diberi air hingga menjadi t}i>n.[57]
Kata
t}i>n yang terkait dengan penciptaan manusia juga berulang dalam
al-Qur’an, seperti dalam QS. A<li ‘Imra>n (3): 49, al-Ma>idah (5):
110, al-An‘a>m (6): 2, al-A‘ra>f (7): 12, al-Mu’minu>n (23): 12,
al-Isra>’ (17): 61, al-Sajadah (32): 7, al-S}affa>t (37): 11 dan S}a>d
(38): 71, 76.[58] Di
antara ayat yang menggunakan kata t}i>n adalah QS. al-Sajadah (32):
7.
الَّذِي
أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ.
Terjemahnya:
Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.[59]
Al-Ra>zi>
menguraikan bahwa pemilihan kata t}i>n oleh Allah terhadap permulaan
penciptaan dimaksudkan bahwa manusia tercipta dari unsure tanah kering dan air.
Prosesnya adalah semua manusia pada dasarnya tercipta dari sperma, sedang
sperma asalnya dari makanan, sementara makanan terdiri dari nabati dan hewan,
sedang keduanya selalu berada di tanah dan air dan itulah yang disebut t}i>n.[60]
Sedangkan
kata hama’in masnu>n selalu digandengan dengan s}als}a>l,
di mana s}als}a>l berasal dari h{ama’in masnu>n. kedua kata
tersebut berulang 3 kali dalam satu surah saja, yaitu pada QS. al-H{ijir (15):
26, 28 dan 33.[61] Salah
satu bunyi ayat tersebut adalah QS.:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ (26)
Terjemahnya:
Dan
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.[62]
Menurut
al-Zuhaili>, rentetan ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penciptaan Adam
as. mengalami proses dan tahapan-tahapan. Menurutnya, tahapan pertama dari tura>b,
kemudian berubah menjadi t}i>n, kemudian berubah menjadi h}ama’in
masnu>n hingga menjadi menjadi s}al}s}a>l.[63]
Senada
dengan al-Zuhaili>, Quraish Shihab berpandangan bahwa Adam as. mengalami
proses penciptaan. Dia berawal dari tura>b (tanah biasa) lalu
tanah itu dijadikan t}i>n (tanah yang bercampur air) kemudian t}i>n
itu mengalami proses hingga menjadi min hama’in masnu>n, maksudnya
hama’in adalah tanah yang bercampur air lagi berbau sedangkan masnu>n
berarti dituangkan sehingga siap dan dengan mudah dibentuk dalam berbagai
bentuk yang dikehendaki, setelah mengalami proses seperti itu, lalu tanah
tersebut dibiarkan kering hingga pada akhirnya menjadi s}als}a>l (tanah
kering) dan dari s}als}a>l itulah sang Adam diciptakan oleh Allah.[64]
Dengan
demikian, manusia sudah pasti tercipta dari tanah. Ia adalah putra bumi yang
semua kebutuhannya berasal dari bumi, berkembang juga di tanah mulai dari masa
bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa bahkan sampai ia mati manusia tidak
pernah berpisah dari tanah karena memang dia berasal dari tanah.
Bahkan
tak satupun unsur dalam jasad manusia yang tidak memiliki persamaan dengan
unsur-unsur yang terdapat dalam bumi mulai zat besi, zat gula dan sebagainya
kecuali rahasia yang sangat halus yaitu ruh ciptaan Tuhan.
Tujuan
uraian ayat di atas adalah untuk membuktikan betapa Allah Mahakuasa dalam
menciptakan sesuatu. Manusia yang diciptakan dari unsur-unsur yang remeh
seperti tanah bahkan menjijikkan bisa menjadi makhluk yang paling mulia
melebihi malaikat yang tercipta dari cahaya dan bisa anjlok pada posisi yang
paling rendah melebihi binatang yang tak memiliki akal seperti manusia.[65]
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manusia merupakan kesatuan dari dua
unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena adanya unsur
tanah maka ia dipengaruhi oleh kekuatan alam, sama halnya dengan
makhluk-makhluk hidup di bumi lainnya. Ia butuh makan, minum, hubungan
perkawinan dan lain-lainnya. Sedangkan unsur ruh menjadikan manusia meningkat
dari dimensi kebutuhan tanah menuju dimensi kebutuhan ilahi walau ia tidak
dapat melepaskan diri dari tanah karena tanah merupakan subtansi kejadiannya.[66]
Ruh
juga memiliki kebutuhan-kebutuhan agar dapat terus menghiasi manusia. Dengan
ruh, manusia diantar menuju tujuan non materi yang tidak dapat dikenal oleh
alam materi. Meningkatnya manusia dari alam materi ke alam fikir dan ruh
merupakan langkah yang tidak mungkin terlaksana melalui evolusi material akan
tetapi melalui kekuatan yang maha dahsyat yaitu Sang pencipta. Dimensi
ruhaniyah itulah yang mengantar manusia cenderung kepada keindahan,
pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, peribadatan dan lain-lain sebagainya.
Dari
argumen-argumen di atas, dapat dipahami bahwa manusia pertama diciptakan dari
tanah dan tidak mengalami evolusi dalam artian perubahan dari kera seperti yang
diyakini oleh Charles Darwin cs. dengan adanya penemuan fosil-fosil purba yang
hidup ratusan ribu tahun yang silam.
Hal
tersebut diperkuat oleh hadis Nabi saw. yang mengindikasikan penolakan terhadap
evolusi manusia melalui sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى
أُولَئِكَ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ
ذُرِّيَّتِكَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ
آدَمَ فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ.[67]
Artinya:
Dari Abu> Hurairah ra. dari Nabi
saw. bersabda: Allah menciptakan Adam dengan panjang 60 hasta. Kemudian Allah
berkata: Pergilah dan ucapkan salam kepada para malaikat itu dan dengarkanlah bagaimana
penghormatan mereka kepadamu dan keturunanmu, lalu Adam berkata: Al-Sala>m
‘alaikum, lalu mereka menjawab: al-sala>m ‘alaik wa rah}matulla>h.
mereka menambahkan kata wa rah}matulla>h, maka setiap orang akan
masuk surga dalam bentuk Adam. Lalu makhluk akan senantiasa berkurang hingga
sekarang.
Al-‘Asqala>ni>
ketika menjelaskan hadis tersebut mengatakan bahwa Adam ketika diciptakan
mencapai 60 hasta, namun ukuran tersebut semakin berkurang dari masa ke masa.
Namun menurutnya, pemahaman seperti itu terasa janggal dan bertentangan dengan
penemuan peninggalan umat terdahulu, seperti rumah S|amu>d yang menunjukkan
bahwa tinggi mereka tidak signifikan jauhnya dengan tinggi manusia saat ini.
Menurutnya, kalau memang manusia mengalami pengurangan tinggi dari masa ke masa
maka seharusnya mereka jauh lebih tinggi dari pada manusia saat ini yang
notabene mereka lebih dekat dengan masa Nabi Adam as.[68]
Sementara al-Mana>wi>
menjelaskan maksud dari kalimat فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ dalam masalah ciptaan/fisik, rezeki
dan ajal hingga pada suatu masa, umat manusia hidup dengan rezeki yang sedikit
dengan fisik yang lemah dalam jangka yang pendek, bahkan al-Mana>wi>
mengutip ungkapan ahli hikmah bahwa usia manusia terbagi empat yaitu usia
anak-anak, remaja, dewasa (30-50 lebih tahun) dan lanjut usia (60-70 tahun). Pada
usia lanjut itulah, manusia akan mengalami kemerosotan kekuatan fisik, sehingga
sebaiknya pada usia tersebut lebih memperhatikan dan mempersiapkan diri pada
urusan-urusan ukhrawi.[69]
C.
Tujuan Penciptaan Manusia
Pernyataan
yang mengatakan bahwa setiap penciptaan pasti memiliki tujuan. Oleh karena itu, penciptaan
manusia mempunyai tujuan, bukan untuk kebaikan Allah, akan tetapi demi kebaikan
manusia. Manusia diciptakan untuk beribadah mematuhi
setiap perintah Allah dan
menjauhi semua larangan-Nya. Hal tersebut dapat tercermin dari firman
Allah dalam Q.S. al-Z|a>riya>t/51: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
Terjemahnya:
Namun
berbeda dari robot yang tidak memiliki kemungkinan untuk membantah perintah
pembuatnya, manusia dibekali akal selain naluri yang membedakannya dengan
hewan. Akal inilah yang seringkali membuat manusia memiliki agenda sendiri
ketika melakukan tujuan penciptaannya, bahkan tak jarang bertentangan dengan
misi penciptaan dirinya.
Untuk
merealisasikan tujuan penciptaannya, di samping dibekali dengan akal, manusia
juga diberi tuntunan yang bisa membantu akal dalam memahami tujuan
penciptaannya yaitu kitab suci dan para utusan yang berfungsi untuk membimbing
mereka pada kebenaran. Namun manusia diberi pilihan apakah mau ikut atau tidak?
Apakah mampu menggunakan tiga alat petunjuk (akal, kitab suci dan para nabi).
Itulah yang termaktub dan tersirat dalam salah satu ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Terjemahnya:
Tujuan
adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang
dikehendakinya dengan syarat konsekwensi dari sebuah pilihan tentu ada.[72]
Sangat jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini,
kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak
langsung (bi al-tiba>‘).
Untuk
mengetahui lebih jauh tentang tujuan penciptaan manusia, Allah swt. melalui
al-Qur’an menjelaskan dalam beberapa ayat, antara lain, Q.S. al-Mu’minu>n/23: 115:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ
عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
Terjemahnya:
Maka
apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.[73]
Dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 191, Allah swt.
berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Terjemahnya:
.....Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
Maka peliharalah kami dari siksa neraka.[74]
Agar seluruh aktivitas manusia bernilai ibadah maka Allah
menjadikannya sebagai pemimpin di muka bumi ini (Khali>fah fi al-ard}) (Q.S. al-Baqarah/2: 30). Sejatinya sebagai khalifah, manusia harus bisa
mengemban amanat (baik terkait dengan hukum, pengelolaan dan tugas-tugas yang
lain)[75] ini
yang secara dialekta tidak diberikan kepada langit, bumi, malam, matahari
begitu juga kepada hewan. Dengan begitu manusia adalah makhluk yang terbaik
dari segi bentuk, fungsi dan keruwetan (sofistikasi ) yang bahasa al-Qur’annya disebut ah}san taqwi>m (Q.S. al-Ti>n/95:4).
Mengutip
perkataan Nurcholis Madjid. Sebagai khalifah maka tugas manusia adalah
menyampaikan berita dari dunia ghaib agar supaya dapat difahami dan dirasakan
manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi karena tidak semua manusia pada
prakteknya bisa menerima pesan-pesan ilahi ini, maka Tuhan mengutus para Nabi
dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Sedangkan dalam bahasa Jal al-Di>n
Ru>mi
yakni: ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita akan mendapatkan semerbak
mawar? Jawabnya adalah air
mawar. Yang dimaksud oleh Rumi adalah ketika Alllah swt. yang ghaib, tidak bisa kita
lihat, maka melalui para Nabi dan Rasul-lah maka pesan dan berita diri-Nya dapat diperoleh,
bukan dengan jalan pemikiran agar agama harus diartikulasikan sebagai entitas
yang harus relevan dengan perkembangan zaman.
Manusia
dikarunia akal adalah sebagai perangkat agar kelak mereka bisa memahami makna
hakekat penciptaannya dan yang lainnya bukan untuk mengingkari makna tersebut.
Al-Gaza>li>
(w. 1111) menganologikan akal sebagai wazi>r
yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh hawa nafsunya, yaitu nafsu syahwat
yang bertugas sebagai tax collector, dan nafsu gad}abiyah
yang bertugas sebagai polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang wazi>r
maka keadaan negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan.
Dengan
begitu secara eksplisit manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan memilih
yang hal ini di pandang semu oleh kaum Jabariyah dan bahkan Asy’ariyah begitu
juga oleh sebagian orang-orang sufi. Dimana manusia diberi kebebasan penuh
dalam memilih (ikhtiya>r)
jalan mana yang mau mereka pilih sebagai jalan hidupnya. Dan barangkali ini
adalah sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Tetapi di
balik itu Allah juga mempunyai rencana lain. Sebab, Allah swt. menciptakan manusia tidak
hanya dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban sebagaimana penjelasan
dalam Q.S. al-Qiya>mah/75:
36:
أَيَحْسَبُ الإنسان أَن يُتْرَكَ سُدًى
Dengan
demikian, dalam jejak kehidupan manusia secara dogmatis ataupun de fakto,
manusia mempunyai dua jalan yang harus dipilihnya untuk mengarungi roda
kehidupannya di muka bumi ini. Mereka harus bisa memilih salah satu diantara
jalan tersebut sebagai jalur kehidupannya kelak, karena jika tidak maka akan
terjadi diskontinuitas di sepanjang sejarah kehidupannya. Dalam hal ini Allah swt. pun telah
menyediakan hadiah yang
sudah disediakan di dua ujung jalan tersebut bagi manusia.[76]
Dan manusia akan meraih kesempurnaan
dirinya melalui jalan ibadah dan beramal, dan di dalam ibadah dan amal itu
sendiri mengandung sifat kesempurnaan, dan kesempurnaan ini akan dicapai
manusia setelah kematian menjemputnya. Yang
merupakan kehidupan yang terbaik dari sisi jasmani dan rohani. Dengan kata
lain, dunia tempat bercocok tanam dan akhirat tempat memetik hasilnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan tentang manusia dalam al-Qur’an di atas, pemakalah membuat beberapa
poin sebagai kesimpulan dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Term dalam al-Qur’an yang merujuk
pada manusia ada yang menunjuk pada makna umum dan ada yang menunjuk pada makna
khusus. Terma umum seperti al-basyar, al-ins, al-na>s dan al-insa>n,
sedangkan terma khusus seperti al-rajul, imra’ah dan sejenisnya.
Namun dalam makalah ini, pemakalah menjelaskan tentang al-basyar yang
menunjuk pada manusia dari aspek makhluk fisik yang dapat diamati secara
empirik, al-insa>n yang dapat dihubungkan ke dalam 3 aspek, yaitu: insa>n
dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah, insa>n
dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia, dan insa>n dihubungkan
dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insa>n menunjuk pada
sifat-sifat psikologis atau spiritual, sedangkan al-na>s yang mengacu
pada manusia sebagai makhluk sosial.
2. Proses penciptaan manusa terdapat dalam al-Qur’an
dan hadis. Al-Qur’an menjelaskan
dengan detail tentang proses penciptaan manusia, baik manusia pertama maupun
manusia selanjutnya. Hal tersebut dapat dipahami dari penggunaan kata yang
digunakan mulai dari tura>b
berubah menjadi t}i>n, berubah menjadi h}ama’in masnun dan
akhirnya menjadi s}als}a>l. Dengan demikian, penggabungan informasi
yang ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis menguatkan tentang proses penciptaan
tersebut. Pada akhir proses penciptaan itu, Allah swt. meniupkan ru>h} sebagai
penggerak jasadnya.
3.
Sementara
tujuan penciptaan manusia
B.
Implikasi
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam bukunya wawasan al-Qur’an bahwa semakin mendalami manusia maka semakin tidak tahu
karena begitu banyaknya aspek yang harus diperhatikan
dalam mengkajinya, sehingga wajar jika muncul sebuah pernyataan (terlepas dari perdebatan
apakah hadis atau perkataan sahabat) bahwa orang yang mengetahui akan dirinya
berarti dia telah mengetahui Tuhannya.
Betapa
membingungkannya manusia, hingga bermunculan berbagai teori tentangnya. Di antara
teori tersebut adalah teori evolusi yang ditawarkan
Charles Darwin yang diyakini benar oleh sekelompok
orang. Teori tersebut merupakan hasil penelitian yang membutuhkan
pembuktian keabsahan teori tersebut. Teori evolusi yang menyatakan
bahwa spesies makhluk hidup terus-menerus berevolusi menjadi spesies lain, namun
ketika dibandingkan makhluk hidup dengan fosil-fosil mereka, ditemukan bahwa
mereka tidak berubah setelah jutaan tahun lamanya.
Akhirnya,
makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, bagi para pembaca
khususnya yang mendalami tentang manusia dalam perspektif al-Qur’an dan hadis,
sebaiknya merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan hadis yang lebih kompoten,
lengkap dan valid.
DAFTAR
PUSTAKA
A<ba>di>, Abu> al-T{ayyib Muh{ammad Syams
al-H{aq al-‘Az}i>m. ‘Aun al-Ma‘bu>d. Cet. II; Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.
Amin, Muhammadiyah. Ensiklopedia al-Qur’an Kajian
Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Al-As}faha>ni>, Al- Ra>gib. al-Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Ma‘a>rif, t.th.
Al-‘Asqala>ni>, Abu> al-Fad}l Ah{mad bin
‘Ali> bin H{ajar. Fath{ al-Ba>ri>. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah,
1379 H.
Asy’ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an.
Cet. I; Yogyakarta: LESFI, 1992.
Al-Azdi>, Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy‘as\. Sunan Abi> Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Ba>qi>, Muh}ammad Fua>d ‘Abd. al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m. al-Qa>hirah:
Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, 1364 H.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn
Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Cet. III; Beirut:
da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah
al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd,
1418 H.
H{anbal, Abu> ‘Abdilla>h
Ah}mad bin Muh{ammad bin. Musnad Ah{mad bin H{anbal. Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Al-Ha>im, Syiha>b al-Di>n Ah{mad bin Muh}ammad. al-Tibya>n fi> Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n. Cet. I; al-Qa>hirah: Da>r al-S}ah}a>bah, 1992.
Al-Jurja>ni>, ‘Ali> bin Muh{ammad bin ‘Ali>. al-Ta‘ri>fa>t.
Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.
Al-Mana>wi>, ‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh}
al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet. I; Mesir:
al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
--------------, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t
al-Ta‘a>ri>f. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1410 H.
Matdawam, M. Noor. Manusia, Agama dan Kebatinan.
Cet. V; Yogyakarta: Bina Karier, 1999.
Al-Mis}ri>, Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r. Lisa>n al-‘Arab. Mesir:
Da>r al-Mis}riyyah, 1992.
Al-Muba>rakfu>ri>, Abu> al-‘Ala>
Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd al-Rah{i>m.Tuh}fah al-Ah{waz\i>.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Konsep Manusia Menurut
al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra. Yogyakarta Pustaka
Pelajar, 2000.
Al-Ra>zi>, Muh{ammad Fakr al-Di>n. Mafa>ti>h}
al-Gaib. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Raharjo, Dawam. Pandangan al-Qur’an tentang Manusia
Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: LPPI, 1999.
Rasjidi, H.M. Persoalan-Persoalan Filsafat. Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali>.Tafsi>r
al-Mana>r. Mesir: al-Haiah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b,
1990 M.
Shihab, M Quraish. Tafsir
al-Mishbah. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2005.
---------------, Dia Ada Dimana-mana. Cet. IV; Jakarta:
Lentera Hati, 2006.
---------------, Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 1994.
---------------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i
atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, 1998.
Al-Sya>t}i’, ‘A<isyah bint. Manusia
dalam Perspektif al-Qur’a>n, terj. Ali Zawawi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Al-Syauka>ni>, Muh}ammad bin ‘Ali bin Muh}ammad. Fath} al-Qadi>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1414 H./1994 M.
Al-T{abari>, Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari>r. Ja>mi‘ al-Baya>n
fi> Ta’wi>l
A<yi al-Qur’a>n yang lebih
dikenal dengan Tafsi>r al-T}abari>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1412 H./1992 M.
TPKP3B (Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud dan Balai
Pustaka, 1997.
Al-Turmuz\i>, Abu> ‘I<sa> Muh}ammad
bin ‘I<sa>. Sunan al-Turmuz\i>. Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>,
t.th.
Zakariya>, Abu> al-H{usain
Ah{mad bin Fa>ris bin. Mu‘jam Maqa>yi>s
al-Lugah. Beirut: Ittih}a>d
al-Kita>b al-‘Arab, t.th.
Al-Zamakhsyari>, Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Amar bin Ah}mad. Tafsi>r al-Kasysya>f. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1995 M.
Al-Zuh{aili>, Wahbah bin Mus}t}afa>.Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa
al-Syari>‘ah wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir,
1418 H.
----------------, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li
al-Zuhaili>. Cet. I; Damsyiq: Da>r al-Fikr, 1422 H.
[2]M.
Noor Matdawam, Manusia, Agama dan Kebatinan (Cet. V; Yogyakarta:
Bina Karier, 1999), h. 10.
[3]M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Cet. XVI; Jakarta: Mizan, 2005), h.
278.
[4]Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd,
1418 H.), h.
[7]TPKP3B (Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1997), h. 629.
[10]Lihat
Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan
Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), h. 18.
[11]Lihat: Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep
Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra
(Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), h. 5.
[12]Muh}ammad
Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z}
al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah,
1364 H.), h. 120. Selanjutnya
disebut Muh{ammad Fua>d.
[13]Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris
bin Zakariya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Beirut:
Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, t.th.), h. 237. Selanjutnya disebut Ibn
Fa>ris.
[14]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung : Mizan, 1998) h. 277.
[15]Al-
Ra>gib al-As}faha>ni>, al-Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Ma‘a>rif, t.th.), h. 46-49.
[16]Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r al-Mis}ri>,
Lisa>n al-‘Arab,
Juz VII (Mesir: Da>r al-Mis}riyyah, 1992), h. 306-315.
[17]Di
antaranya lihat, Q.S. Hu>d/11: 2. Q.S. Yusuf/12: 96.
Q.S. al-Kahfi/18: 110. Q.S. Al-Furqan/25:
48. Q.S. Saba’/34: 28. Q.S. al-Ahqa>f/46: 12.
[18]Muhammadiyah
Amin dalam Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakat, Juz I (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 138.
[19]‘A<isyah bint al-Sya>t}i’, Manusia
dalam Perspektif al-Qur’a>n, terj. Ali Zawawi
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 1-2.
[21]Syiha>b al-Di>n Ah{mad bin Muh}ammad
al-Ha>im, al-Tibya>n fi> Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n (Cet.
I; al-Qa>hirah: Da>r al-S}ah}a>bah, 1992), h. 56.
[22]M.
Quraish Shihab, op. cit., h. 280.
[23]Muh}ammad
bin ‘Ali al-Syauka>ni>, Fath} al-Qadi>r, (Kairo: Mus}t}afa>
al-Ba>bi> al-H{alibi>. 1964), h. 465.
[24]Lihat,
Q.S. al-Ti>n/95): 6.
[25]Departemen
Agama RI, op. cit., h.
413.
[26]Ibid.,
h. 527.
[27]M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), h.
69-70.
[28]‘A<isyah
bint al-Sya>t}i’, op. cit., h. 7-8.
[30]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 209.
[31]Ibn
Fa>ris, op. cit., Juz I, h. 147.
[32]Ibid.,
Juz I, h. 377.
[33]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 862.
[34]‘Abd
al-Ba>qi>, op. cit., h. 895-899
[35]Al-
Ra>gib al-As}faha>ni>, op. cit., h. 509.
[36]Musa
Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I.
Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 25.
[37]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 12.
[38]Ibid.,
h. 661.
[39]Ibid.,
h. 714.
[41]Muh{ammad
‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, al-Tauqi>f
‘ala> Muhimma>t al-Ta‘a>ri>f (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr,
1410 H.), 30.
[42]‘Ali>
bin Muh{ammad bin ‘Ali> al-Jurja>ni>, al-Ta‘ri>fa>t
(Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), h. 21.
[44]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh{aili>, Tafsi>r al-Muni>r fi>
al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Juz VI (Cet. II; Damsyiq:
Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.), h. 151.
[45]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 712.
[46]Ibid.,
h. 224.
[47]Pemahaman
tersebut dipahami dari kaitan antara ayat 26 jika dikaitkan dengan ayat 27 dari
Q.S. al-A‘ra>f/7.
[48]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 712.
[49]Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd,
1418 H.), h. 1076.
[50]Ibid.,
h. 1076.
[51]Abu> Da>wud Sulaima>n bin
al-Asy‘ats al-Azdi>, Sunan Abi> Da>wud, Juz II (Beirut: Da>r
al-Fikr, t.th.), h. 634. Selanjutnya disebut Abu> Da>wud. Abu>
‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Turmuz\i>, Sunan al-Turmuz\i>, Juz V (Beirut: Da>r Ih{ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 204. Selanjutnya disebut al-Turmuz\i>. Abu>
‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh{ammad bin H{anbal, Musnad Ah{mad bin H{anbal, Juz
IV (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 400. Selanjutnya disebut
Ah{mad bin H{anbal.
[52]Abu>
al-T{ayyib Muh{ammad Syams al-H{aq al-‘Az}i>m A<ba>di>, ‘Aun
al-Ma‘bu>d, Juz. XII (Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1415 H.), h. 298.
[53]Abu>
al-‘Ala> Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd al-Rah{i>m
al-Muba>rakfu>ri>, Tuh}fah al-Ah{waz\i>, Juz. VIII (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 233.
[55]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 85.
[56]Al-Qurt}ubi>,
op. cit., Juz. IV, h. 102.
[57]Muh}ammad
Rasyi>d bin ‘Ali> Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz. III
(Mesir: al-Haiah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.), h. 263.
[59]Departemen
Agama RI, op. cit., h.
661.
[60]Muh{ammad
Fakr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Gaib, Juz. XXV
(Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 174.
[61]Muh}ammad
Fua>d, op. cit.,
h. 216.
[62]Departemen
Agama RI, op. cit., h.
392.
[63]Wahbah
bin Mus}t}afa> al-Zuhaili>, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li
al-Zuhaili>, Juz. II (Cet. I;
Damsyiq: Da>r al-Fikr, 1422 H.), h. 1218.
[64]M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,
Juz. VII (Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 119.
[65]Lihat:
QS. al- A‘ra>f/7: 179.
[67]Abu>
‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, Juz III (Cet.
III; Beirut: da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 1210.
[68]Abu>
al-Fad}l Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath{
al-Ba>ri>, Juz. VI (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.), h. 367.
[69]‘Abd
al-Rau>f al-Mana>wi>, Faid}
al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz II (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.), h.
11.
[71]Mayoritas
ulama tafsir menasirkan seperti di atas, meskipun ada beberapa ulama yang
menafsirkan lain. Untuk lebih jelasnya, baca: Abu> Ja‘far Muh}ammad bin
Jari>r al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n yang lebih dikenal dengan Tafsi>r al-T}abari>, Juz VIII (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1412 H./1992 M.), h. 24.
[72]Oleh
karena itu, manusia yang tidak memiliki pilihan (semisal gila, sakit atau
terpaksa) tidak mempunyai
konsekwensi hukum dan
tidak bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya. Baca buku-buku ushul fiqhi
yang menjelaskan tentang takli>f.
[75]Dalam
tafsir al-Kasysya>f dijelaskan secara panjang lebar hikmah dan tujuan manusia
dijadikan sebagai khalifah. Lihat: Abu> al-Qa>sim
Mah}mu>d bin ‘Amar bin Ah}mad
al-Zamakhsyari>, Tafsi>r al-Kasysya>f , Juz I (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415
H./1995 M.), h. 79.
[76]Muh}ammad bin ‘Ali bin Muh}ammad al-Syauka>ni>, Fath} al-Qadi>r, Juz VII (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1414 H./1994 M.), h. 370.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar