Selasa, 07 Januari 2014

Manusia Dalam Perspektif al-Qur’an



Manusia
Dalam Perspektif al-Qur’an




Makalah Revisi
Mata kuliah Tafsir al-Maud}u>‘iy
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor

Oleh;
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu;
Prof. Drs. H. Rafi’i Yunus, M.A., Ph.D.
Dr. Kamaluddin Abu Nawas, M.Ag.


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan hewan yang paling unik dan paling sempurna yang melata di muka bumi ini. Perbedaan manusia dengan makhluk lain itu sangat tampak dan jelas. Manusia memiliki akal, berbudi luhur dan dapat memilih dan memilah sesuatu yang ingin diperbuatnya. Akan tetapi asal usul manusia hingga saat ini masih misteri bagi kalangan ilmuan sehingga Alexis Carrel (1873-1944) seorang ilmuan dan dokter berkebangsaan Perancis dan telah meraih dua kali nobel perdamaian menulis buku yang berjudul Manusia adalah Makhluk yang Belum Dikenal .[1]
Dari sekian banyak penemuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian canggih, masih ada satu permasalahan yang hingga kini belum mampu dijawab dan dijabarkan oleh manusia secara eksak dan ilmiah. Masalah itu ialah masalah tentang asal usul kejadian manusia. Banyak ahli ilmu pengetahuan mendukung teori evolusi yang mengatakan bahwa makhluk hidup (manusia) berasal dari makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian mengalami evolusi dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini. Hal ini diperkuat dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah berupa fosil seperti jenis Pitheccanthropus dan Meghanthropus.[2]
Di lain pihak, banyak intelktual muslim dan agamawan yang menentang adanya proses evolusi manusia tersebut. Hal ini didasarkan pada berita-berita dan informasi-informasi yang terdapat pada kitab suci masing-masing agama yang mengatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya termasuk proses penciptaannya akan tetapi hanya mampu mengetahui dari aspek tertentu manusia. 
Dari penjelasan singkat ini, agamawan memberikan komentar bahwa pengetahuan tentang manusia sedemikian sulit karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi.[3] sedang manusia tidak diberi pengetahuan yang banyak tentang ruh seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Isra>/17: 85:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا. (85)
Terjemahnya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.[4]
Dengan demikian, penting kiranya mengkaji manusia dan segala yang terkait dalam sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan metode tematik sehingga akan menjadi jelas posisi manusia, proses penciptaannya dan sifat-sifatnya.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dibuat rumusan masalah bagaimana manusia dalam perspektif al-Qur’an dengan sub masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan al-Qur’an tentang hakikat manusia?
2.      Bagaimana proses penciptaan manusia dalam al-Qur’an?
3.      Apa tujuan penciptaan manusia dalam al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Manusia
Defini manusia yang dikemukakan ilmuan sangat beragam tergantung dari aspek mana ia meneliti dan mengkajinya. Sebagian ilmuan berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial karena ia melihat dari aspek sosialnya. Sebagian lagi berkomentar bahwa manusia adalah binatang cerdas yang menyusui atau makhluk yang bertanggung jawab atau makhluk membaca dan tertawa,[5] dan lain-lain sebagainya.
Jika diamati lebih mendalam sifat-sifat dan karakter manusia, khususnya bahwa manusia itu mempunyai bahasa yang teratur, mempunyai keahlian untuk berbicara, berfikir, mamiliki kepekaan sosial, mempunyai apresiasi estetika dan rasa yang tinggi serta mampu melakukan ritual ibadah kepada sang pencipta maka wajarlah jika para filosof agama (Yahudi, Kristen dan Islam) mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang unik dari asal yang suci, bebas dan dapat memilih.[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain).[7] Dalam bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo Saxon, man). Apa arti dasar kata ini tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa dikaitkan dengan mens (Latin), yang berarti ada yang berpikir. Demikian halnya arti kata anthropos (Yunani) tidak begitu jelas. Semua antrophos berarti seseorang yang melihat ke atas. Namun saat ini, kata itu dipakai untuk mengartikan wajah manusia.[8]
Pembahasan hakekat manusia dengan indikasi bahwa ia merupakan makhluk ciptaan di atas bumi sebagaimana semua benda duniawi, hanya saja ia muncul di atas bumi untuk mengejar dunia yang lebih tinggi. Manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan meterial dan organis. Kemudian manusia menampilkan sosoknya dalam aktivitas kehidupan jasmani. Selain itu, sama halnya dengan binatang, manusia memiliki kesadaran indrawi. Namun, manusia memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang secara intrinsik tidak tergantung pada segala sesuatu yang material.[9]
Banyaknya definisi yang ditawarkan ilmuan, mendorong pada kesimpulan bahwa definisi tentang manusia yang dapat disepakati dan diterima secara menyuluruh dan dapat menggambarkan manusia secara utuh hingga saat ini belum ada.
Namun selaku umat Islam yang menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran perlu mengkaji dan meneliti apa dan bagaimana manusia dalam gambaran keduanya dengan pendekatan istilah yang digunakan untuk manusia.

Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam al-Qur’an seperti basyar, insa>n, unas, ins, ‘imru’ atau yang mengandung pengertian perempuan seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa>, al-abra>r, atau ulu al-alba>b, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa>, z\u al-qurba>, al-d}u‘afa> atau al-mustad}‘afi>n yang semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.[10] Meskipun demikian untuk memahami secara mendasar dan pada umumnya ada tiga kata yang sering digunakan al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insa>n dengan segala modelnya, yaitu ins, al-na>s, una>s atau insa>n, dan kata basyar serta kata bani> A<dam atau z\urriyat Adam .[11]
1.      Al-Basyar
Dalam al-Qur’an, kata al-basyar, baik dalam bentuk mufrad atau tas\niyah berulang sebanyak 37 kali dan tersebar dalam 26 surat. Satu kali dalam bentuk tas\niyah dan 36 dalam bentuk mufrad.[12] Dari 37 kali kata al-basyar berulang dalam al-Qur’an, hanya 4 kali disebutkan dalam surah-surah Madaniyah, yaitu pada Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 47, 79, Q.S. al-Ma>idah/5: 18 dan Q.S. al-T{aga>bun/64: 6. Sedangkan 33 kali disebutkan dalam surah-surah Madaniyah.
Keempat kata al-basyar dalam surah Makkiyah tersebut berbicara tentang Maryam tidak pernah berhubungan suami istri, tanggapan Allah terhadap pengakuan ahl al-kitab bahwa ‘I<sa> adalah Tuhan, berbicara tentang jawaban Nabi saw. terhadap pengakuan Yahudi dan Nasrani bahwa mereka adalah anak Allah, dan berbicara tentang penolakan Bani Isra>il terhadap rasul karena dia juga seorang basyar. Namun tidak ada perbedaan signifikan antara basyar dalam surah Makkiyah dan Madaniyah, kecuali bahwa basyar lebih banyak disebutkan dalam Makkiyah. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena penolakan keras terhadap Nabi terjadi di Mekah sebagai tanggapan terhadap mereka dan sekaligus tasliyah/hiburan terhadap Nabi saw. atas apa yang dihadapinya.                    
Secara etimologi al-basyar yang terdiri dari ba-sya-ra bermakna sesuatu yang tampak dengan baik dan indah.[13] Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda di banding dengan kulit hewan lainnya.[14] Penamaan al-basyar dengan kulit menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau bulunya.[15] Pada aspek ini, terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut. Dengan demikian, kata basyar dalam al-Qur’an secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia.
Al-Basyar, juga dapat diartikan mula>samah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan.[16] Makna etimologi dapat dipahami adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukan kata al-basyar ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan Rasul.[17] Eksistensinya memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi juga memiliki titik perbedaan khusus bila dibanding dengan manusia lainnya.
Adapun titik perbedaan tersebut dinyatakan al-Qur’an dengan adanya wahyu dan tugas kenabian yang disandang para Nabi dan Rasul. Sedangkan aspek yang lainnya dari mereka adalah kesamaan dengan manusia lainnya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu. Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Kahf/18: 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
Terjemhnya:
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Di samping itu, ditemukan pula kata ba>syiru>hunna yang juga berakar kata basyara dengan arti hubungan seksual. Kata tersebut disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua kali dalam satu surah, yakni Q.S. al-Baqarah/2: 187.
Dengan demikian, tampak bahwa kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan di dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Selain itu, basyar juga mempunyai kemampuan reproduksi seksual. Hal ini menurut Abd Muin Salim, sudah merupakan fenomena alami dan dapat diketahui dari pengetahuan biologi. Kenyataan alami menunjukan bahwa reprduksi jenis manusia hanyalah dapat terjadi ketika manusia sudah dewasa, suatu taraf di dalam kehidupan manusia dengan kemampuan fisik dan psikis yang siap menerima beban keagamaa. Jadi konsep yang terkandung di dalam kata basyar adalah manusia dewasa memasuki kehidupan bertanggung jawab.[18]   
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan menggunakan kata basyar merujuk pada mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam secara keseluruhan.[19] Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum sunnatulla>h. Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.³
2.      Al-Insa>n
Kata al-insa>n dalam al-Qur’an digunakan sebanyak 61 kali.[20] Secara etimologi, ula`ma berbeda pendapat tentang asal katanya. Sebagian mengatakan bahwa al-insa>n berasal dari akar nawasa yang berarti bergerak, ada juga yang mengatakan berasal dari kata anasa yang berarti jinak, dan ada juga yang berkata dari kata nasiya yang berarti lupa.[21]
Penamaan manusia dengan kata al-insa>n yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.21 Secara etimologi, al-insa>n dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Menurut M. Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut dengan al-insa>n yang terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (yang berarti lupa), atau nasa-yansu (yang berarti bergoncang). Kata insa>n digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya.[22]
Dengan kata lain, al-insa>n digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa lagi sempurna, dan memiliki perbedaan individual antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insa>n dan al-baya>n, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, dan lain sebagainya.[23] Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh, yakni akan dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insa>niah yang memiliki nuansa ilahiah dan h}ani>f. Integritas ini akan tergambar pada nilai-nilai iman dan bentuk amaliahnya.[24] Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai-nilai insa>niah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai bentuk mafsadah (kerusakan) di muka bumi.
Kata al-insa>n juga digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia sesudah Adam. Kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam rahim. Q.S. al-Nah{l/16: 78; Q.S. al-Mu’minu>n/23: 12-14.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78) 
Terjemahnya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[25]
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
Terjemahnya:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.[26]
Penggunaan kata al-insa>n dalam ayat ini mengandung dua makna, yaitu: Pertama, makna proses biologis, yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan bahwa, ketika manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan pada ajaran Tuhannya.[27]
Menurut ‘A<isyah bint al-Sya>t}i’, bahwa term al-insan yang terdapat dalam Al-Qur’an menunjukkan kepada ketinggian derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul beban berat dan aktif (tugas keagamaan) dan amanah kehidupan. Hanya manusialah yang dibekali keistimewaan ilmu (punya ilmu pengetahuan), al-baya>n (pandai bicara), al-‘aql (mampu berpikir), al-tamyi>z (mampu menerapkan dan mengambil keputusan) sehingga siap menghadapi ujian, memilih yang baik, mengatasi kesesatan dan berbagai persoalan hidup yang mengakibatkan kedudukan dan derajatnya lebih dari derajat dan martabat berbagai organisme dan makhluk-makhluk lainnya.[28]
3.      Al-Ins
Kata al-ins dalam al-Qur’an digunakan sebanyak 18 kali dan selalu ditandemkan dengan kata al-jinn atau ja>nn.[29] Jika merujuk pada penggunaan al-Qur’an terhadap kata al-ins maka yang dimaksudkan adalah jenis makhluk sehingga diperhadapkan dengan jenis Jin. Dalam Q.S. al-An‘a>m/6: 130:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ (130)
Terjemahnya:
Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri Kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.[30]
Secara etimologi, kata al-ins berasal dari kata a-na-sa yang berarti sesuatu yang tampak dan setiap sesuatu yang menyalahi cara liar.[31] Namun, jika diperhatikan bahwa al-Qur’an senantiasa menandemkan dengan kata al-jin yang berarti tertutup,[32] maka makna yang paling ideal untuk makna al-ins adalah sesuatu yang tampak.
Sementara pembahasan tentang al-ins terkait dengan perintah Allah terhadap mereka untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Dalam Q.S. al-Z|a>riya>t/51: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
Terjemahnya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[33]
Al-Ins diperintahkan untuk beribadah kepada Allah swt., karena potensi untuk membangkang sangat besar, bahkan al-Qur’an mengungkapkan bahwa Allah swt. menjadikan al-ins dan al-jinn sebagai musuh setiap nabi, seperti yang terekam dalam Q.S. al-An‘a>m/6: 112. Kata al-ins juga biasa digunakan untuk menujuk kelompok makhluk sebagaimana dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 38:
Dengan demikian, kata al-ins digunakan oleh Allah swt. jika ingin menjelaskan tentang jenis makhluk yang diberi takli>f sehingga dominan kata al-ins digunakan pada makna-makna yang bersifat negative, meskipun ada beberapa ayat yang tidak terkait dengan positif dan negatif. Hal tersebut dapat dipahami karena potensi yang ada pada al-ins dan al-jinn untuk menyeleweng dari tujuan penciptaan sangat besar.
4.      Al-Na>s
Kata al-na>s dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat.[34] Kata al-na>s menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan sosial. Secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.[35] Kata al-na>s dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya.[36]
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-na>s lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-insa>n. Keumumannya tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-na>s menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah dan pengisi neraka bersama iblis. Hal ini terlihat pada firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 24.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24)
Terjemahnya:
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.[37]
Manusia merupakan satu hakekat yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan sebagainya). Itulah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Dialah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan memulai menciptakan manusia dari segumpal tanah, dan Dia ciptakan keturunannya dari jenis saripati berupa air yang hina, lalu Dia sempurnakan penciptaannya, kemudian Dia tiupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan) Nya, dan Dia ciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, namun kamu sedikit sekali bersyukur dalam Q.S. al-Sajadah/32: 6-9:
ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (6) الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (9)
Terjemahnya:
Yang demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,   yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.[38]
Unsur jasad akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. Hal tersebut terungkap pada penjelasan tentang manusia akan dibangkitkan lalu bertanya, siapa pula yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur itu? Katakanlah, yang menghidupkannya adalah (Tuhan) yang telah menghidupkannya untuk pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui akan setiap ciptaan sebagaimana dalam Q.S. Ya>sin/36: 78-79:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (79)
Terjemahnya:
Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.[39]
5.      Bani> A<dam
Secara harfiah, lafal bani> merupakan bentul flural dari lafal ibn, sedangkan asal katanya adalah banawa yang bermakna sesuatu yang keluar dari sesuatu yang lain, seperti anak manusia atau anak lain.[40] Bani> bisa juga dikaitkan dengan makna membangun. Oleh karena itu, ibn bisa bermakna bangunan karena ia merupakan bangunan bapak dan menjadi penyebab keberadaannya.[41] Dari kedua makna tersebut, bani> dapat diartikan sebagai makhluk yang lahir dari sperma seorang yang sejenis dengannya.[42] Jika dikaitkan dengan lafal A<dam, maka yang dimaksud dengan bani> A<dam adalah anak-anak yang dilahirkan dari A<dam dan dari anak-anak A<dam dan seterusnya, sehingga dapat dikatakan bani> A<dam adalah keturunan A<dam as.
Dalam al-Qur’an, kata bani> A<dam berulang sebanyak 7 kali, sekali dengan meggunakan ibnai A<dam (dalam bentuk tas\niyah/dua) dan sekali dengan menggunakan z\urriyah.[43]
 Penggunaan kata ibnai A<dam dalam al-Qur’an ditujukan langsung terhadap anak kandung A<dam as. yang diabadikan dalam Q.S. al-Ma>idah/5: 27-31 yang bercerita tentang dua saudara kembar Ha>bi>l dan Qa>bi>l.[44]     
Sementara 7 lafal bani> A<dam dapat dikelompokan dalam dua bagian besar, yakni lafal yang diawali dengan ya> nida>’/seruan dan bani> A<dam yang tidak diawali dengan ya> nida>’. Bani> A<dam yang tidak diawali dengan ya> nida>’ berulang 2 kali. Pertama, ayat yang berbicara tentang janji dan persaksian setiap keturunan A<dam dalam kandungan tentang hanya Allah yang menjadi Tuhan yang berhak disembah sebagaimana dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 172. Kedua, ayat yang berbicara tentang kemulyaan anak keturunan A<dam dengan segala fasilitas yang disediakan di muka bumi, seperti dalam Q.S. al-Isra>’/17: 70.
Sementara bani> A<dam yang diawali dengan ya> nida>’ dapat dikelompokan dalam tiga bagian besar. Bagian pertama, 2 ayat berbicara tentang kewaspadaan terhadap setan yang menjadi musuh A<dam as. Kewaspadan dalam bentuk tidak menjadikannya sebagai sesembahan, seperti dalam Q.S. Ya>sin/36: 60:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (60)
Terjemahnya:
Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.[45]
Kewaspadaan kedua terkait dengan tipu muslihat setan yang telah berhasil mengeluarkan A<dam dari dalam surga, seperti dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 27:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (27)
Terjemahnya:
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.[46]
Bagian kedua, 2 ayat berbicara tentang pakaian yang harus menjadi perhatian bani> A<dam. Ayat pertama agar menjadikan pakaian sebagai penutup aurat. Hal itu diingatkan oleh Allah swt. dengan panggilan bani> A<dam agar setan tidak lagi berhasil mengelabui anak cucu A<dam seperti keberhasilannya terhadap A<dam yang menyebabkan A<dam dan Hawa terlihat auratnya.[47] Hal tersebut tergambar dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 26:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)             
Terjemahnya:
Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.[48]
Sementara ayat kedua berbicara tentang pakaian yang berfungsi sebagai penutup aurat dalam beribadah dengan menggunakan pakaian terbaik pada saat berangkat ke masjid, seperti dalam Q.S. al-A‘ra>f/7: 31. Sedangkan bagian ketiga adalah satu ayat yang berbicara tentang ketakwaan dan perbaikan terhadap ayat-ayat yang disampaikan oleh rasul-rasul Allah.
Dengan demikian, makna manusia dalam istilah al-basyar, al-insa>n, al-Ins, al-na>s dan bani> A<dam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan kemuliaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Oleh karena itu, manusia senantiasa diingatkan dengan apa yang menimpa dan dialami oleh nenek moyang mereka, baik terkait dengan musuhnya maupun terkait dengan pakaiannya.
B.  Proses Penciptaan Manusia
Dalam al-Qur’an dan hadis, penciptaan manusia setidaknya ada 3 macam. Pertama penciptaan Adam as atau manusia pertama. Kedua penciptaan H{awa>’ atau manusia kedua dan ketiga penciptaan anak cucu Adam atau melalui reproduksi. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, al-Qur’an menunjuk kepada sang pencipta dengan menggunakan kata mufrad (tunggal) dalam QS. S}a>d/38: 71:
إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ.
Terjemahnya:
Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah.[49]
Namun saat Allah berbicara tentang reproduksi manusia (anak cucu Adam), maka Allah akan menggunakan bentuk jam‘ (flural) sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Ti>n/95: 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ.
Terjemahnya:
Sesungguhnya kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.[50]
Hal ini menunjukkan ada perbedaan proses kejadian manusia secara umum dengan proses kejadian Adam as. Penciptaan manusia secara umum melalui proses keterlibatan Allah bersama yang lain yaitu bapak-ibu sehingga Allah menggunakan kata jam‘, sedangkan dalam penciptaan Adam, Allah tidak melibatkan orang lain, sebab itulah Allah menggunakan kata mufrad sebagaiman yang tertera dalam dua ayat di atas.
Betapapun banyaknya istilah yang digunakan al-Qur’an dalam proses penciptaan manusia pertama tetapi antara satu ayat dengan ayat lain tidak pernah saling bertentangan bahkan perbedaan itu akan mengantar pada pemahaman bahwa dalam penciptaan manusia pertama (Adam as.) melalui beberapa proses.
Sementara dalam hadis, Nabi saw. hanya menjelaskan bahwa manusia tercipta dari segenggam tanah yang terambil dari semua unsur-unsur tanah sehingga berpotensi pada perbedaan warna kulit dan prilakunya. Hal tersebut dapat terlihat pada hadis berikut:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الأَرْضِ فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الأَرْضِ، فَجَاءَ مِنْهُمُ الأَحْمَرُ وَالأَبْيَضُ وَالأَسْوَدُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالسَّهْلُ وَالْحَزْنُ وَالْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ.   [51]
Artinya:
Sesungguhnya Allah swt. menciptakan Adam dari segenggam tanah yang diambil dari seluruh unsur tanah, maka anak cucuk Adam lahir menurut kadar tanah tersebut, ada yang berkulit merah, putih, hitam atau di antara warna-warna tersebut. Ada yang mudah atau susah dan ada yang jelek dan ada yang baik.
Hadis di atas menggambarkan bahwa Adam tercipta dari segenggam tanah yang diambil dari semua unsur-unsur tanah, sehingga anak cucunya berpotensi untuk berbeda warna dan tabiat atau wataknya sesuai dengan pengaruh tanah yang dominan dalam diri manusia melalui makanan yang dimakannya.[52] Oleh karena itu, warna asli dari kulit manusia adalah merah, putih dan hitam, sedangkan warna di luar itu merupakan hasil persilangan dari ketiga warna tersebut.      
Sedangkan keempat kata terakhir yang menggambarkan tentang watak, tabiat atau karakter anak cucu Adam as. Menurut al-T{i>bi> maksud dari al-sahl adalah manusia yang mempunyai watak lemah lembut, sedangkan al-khazn sebaliknya yakni bengis, kejam dan bodoh. Sementara al-t}ayyib sebagai gambaran tentang manusia yang berguna dan bermanfaat karena dari tanah yang subur dan al-khabi>s\ sebagai gambaran dari manusia yang tidak berguna karena dari tanah yang gersang.[53]
Dalam al-Qur’an, proses penciptaan Adam as. jauh lebih jelas dibandingkan hadis, di mana al-Qur’an menggunakan istilah-istilah yang berbeda, meskipun semuanya menunjuk pada tanah, mulai dari kata tura>b, t}i>n, h{ama’in masnu>n dan s}als}a>l.   
Kata tura>b misalnya yang terkait dengan penciptaan manusia dari tanah berulang sebanyak 6, yaitu pada QS. A<li ‘Imra>n (3): 59, al-Kahfi (18): 37, al-H{ajj (22): 5, al-Ru>m (30): 20, Fa>t}ir (35): 11 dan Ga>fir (40): 67.[54] Kesemua ayat tersebut menunjuk pada satu subyek yaitu Allah swt. sedangkan obyeknya ada dua yaitu Adam as. dan manusia secara umum dengan d}ami>r jam‘ muz\akkar mukha>t}ab  (خَلَقَكُمْ). Di antara ayat yang menggunakan tura>b QS. A<li ‘Imra>n (3): 59:    
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونَ.
Artinya:
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah dia.[55]
Al-Qurt}ubi> mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan bahwa kekaguman orang Nasrani tentang penciptaan ‘I><sa> as. tanpa bapak sebenarnya tidak lebih mengherankan daripada penciptaan Adam as. tanpa bapak dan ibu, bahkan Adam as. tercipta dari tanah, sementara ‘I<sa> tidak tercipta dari tanah.[56]
Sementara Muh{ammad ‘Abduh sebagaimana yang dikutip Rasyi>d Rid{a> menjelaskan bahwa kata tura>b dalam ayat tersebut bermakna tanah keras kemudian diberi air hingga menjadi t}i>n.[57]
Kata t}i>n yang terkait dengan penciptaan manusia juga berulang dalam al-Qur’an, seperti dalam QS. A<li ‘Imra>n (3): 49, al-Ma>idah (5): 110, al-An‘a>m (6): 2, al-A‘ra>f (7): 12, al-Mu’minu>n (23): 12, al-Isra>’ (17): 61, al-Sajadah (32): 7, al-S}affa>t (37): 11 dan S}a>d (38): 71, 76.[58] Di antara ayat yang menggunakan kata t}i>n adalah QS. al-Sajadah (32): 7.
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ.
Terjemahnya:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.[59]
Al-Ra>zi> menguraikan bahwa pemilihan kata t}i>n oleh Allah terhadap permulaan penciptaan dimaksudkan bahwa manusia tercipta dari unsure tanah kering dan air. Prosesnya adalah semua manusia pada dasarnya tercipta dari sperma, sedang sperma asalnya dari makanan, sementara makanan terdiri dari nabati dan hewan, sedang keduanya selalu berada di tanah dan air dan itulah yang disebut t}i>n.[60]
Sedangkan kata hama’in masnu>n selalu digandengan dengan s}als}a>l, di mana s}als}a>l berasal dari h{ama’in masnu>n. kedua kata tersebut berulang 3 kali dalam satu surah saja, yaitu pada QS. al-H{ijir (15): 26, 28 dan 33.[61] Salah satu bunyi ayat tersebut adalah QS.:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ (26)
Terjemahnya:
Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.[62]
Menurut al-Zuhaili>, rentetan ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penciptaan Adam as. mengalami proses dan tahapan-tahapan. Menurutnya, tahapan pertama dari tura>b, kemudian berubah menjadi t}i>n, kemudian berubah menjadi h}ama’in masnu>n hingga menjadi menjadi s}al}s}a>l.[63]
Senada dengan al-Zuhaili>, Quraish Shihab berpandangan bahwa Adam as. mengalami proses penciptaan. Dia berawal dari tura>b (tanah biasa) lalu tanah itu dijadikan t}i>n (tanah yang bercampur air) kemudian t}i>n itu mengalami proses hingga menjadi min hama’in masnu>n, maksudnya hama’in adalah tanah yang bercampur air lagi berbau sedangkan masnu>n berarti dituangkan sehingga siap dan dengan mudah dibentuk dalam berbagai bentuk yang dikehendaki, setelah mengalami proses seperti itu, lalu tanah tersebut dibiarkan kering hingga pada akhirnya menjadi s}als}a>l (tanah kering) dan dari s}als}a>l itulah sang Adam diciptakan oleh Allah.[64]
Dengan demikian, manusia sudah pasti tercipta dari tanah. Ia adalah putra bumi yang semua kebutuhannya berasal dari bumi, berkembang juga di tanah mulai dari masa bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa bahkan sampai ia mati manusia tidak pernah berpisah dari tanah karena memang dia berasal dari tanah.
Bahkan tak satupun unsur dalam jasad manusia yang tidak memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi mulai zat besi, zat gula dan sebagainya kecuali rahasia yang sangat halus yaitu ruh ciptaan Tuhan.
Tujuan uraian ayat di atas adalah untuk membuktikan betapa Allah Mahakuasa dalam menciptakan sesuatu. Manusia yang diciptakan dari unsur-unsur yang remeh seperti tanah bahkan menjijikkan bisa menjadi makhluk yang paling mulia melebihi malaikat yang tercipta dari cahaya dan bisa anjlok pada posisi yang paling rendah melebihi binatang yang tak memiliki akal seperti manusia.[65]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manusia merupakan kesatuan dari dua unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena adanya unsur tanah maka ia dipengaruhi oleh kekuatan alam, sama halnya dengan makhluk-makhluk hidup di bumi lainnya. Ia butuh makan, minum, hubungan perkawinan dan lain-lainnya. Sedangkan unsur ruh menjadikan manusia meningkat dari dimensi kebutuhan tanah menuju dimensi kebutuhan ilahi walau ia tidak dapat melepaskan diri dari tanah karena tanah merupakan subtansi kejadiannya.[66]
Ruh juga memiliki kebutuhan-kebutuhan agar dapat terus menghiasi manusia. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non materi yang tidak dapat dikenal oleh alam materi. Meningkatnya manusia dari alam materi ke alam fikir dan ruh merupakan langkah yang tidak mungkin terlaksana melalui evolusi material akan tetapi melalui kekuatan yang maha dahsyat yaitu Sang pencipta. Dimensi ruhaniyah itulah yang mengantar manusia cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, peribadatan dan lain-lain sebagainya.    
Dari argumen-argumen di atas, dapat dipahami bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan tidak mengalami evolusi dalam artian perubahan dari kera seperti yang diyakini oleh Charles Darwin cs. dengan adanya penemuan fosil-fosil purba yang hidup ratusan ribu tahun yang silam.
Hal tersebut diperkuat oleh hadis Nabi saw. yang mengindikasikan penolakan terhadap evolusi manusia melalui sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ.[67]
Artinya:
Dari Abu> Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: Allah menciptakan Adam dengan panjang 60 hasta. Kemudian Allah berkata: Pergilah dan ucapkan salam kepada para malaikat itu dan dengarkanlah bagaimana penghormatan mereka kepadamu dan keturunanmu, lalu Adam berkata: Al-Sala>m ‘alaikum, lalu mereka menjawab: al-sala>m ‘alaik wa rah}matulla>h. mereka menambahkan kata wa rah}matulla>h, maka setiap orang akan masuk surga dalam bentuk Adam. Lalu makhluk akan senantiasa berkurang hingga sekarang.
Al-‘Asqala>ni> ketika menjelaskan hadis tersebut mengatakan bahwa Adam ketika diciptakan mencapai 60 hasta, namun ukuran tersebut semakin berkurang dari masa ke masa. Namun menurutnya, pemahaman seperti itu terasa janggal dan bertentangan dengan penemuan peninggalan umat terdahulu, seperti rumah S|amu>d yang menunjukkan bahwa tinggi mereka tidak signifikan jauhnya dengan tinggi manusia saat ini. Menurutnya, kalau memang manusia mengalami pengurangan tinggi dari masa ke masa maka seharusnya mereka jauh lebih tinggi dari pada manusia saat ini yang notabene mereka lebih dekat dengan masa Nabi Adam as.[68]
Sementara al-Mana>wi> menjelaskan maksud dari kalimat فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ dalam masalah ciptaan/fisik, rezeki dan ajal hingga pada suatu masa, umat manusia hidup dengan rezeki yang sedikit dengan fisik yang lemah dalam jangka yang pendek, bahkan al-Mana>wi> mengutip ungkapan ahli hikmah bahwa usia manusia terbagi empat yaitu usia anak-anak, remaja, dewasa (30-50 lebih tahun) dan lanjut usia (60-70 tahun). Pada usia lanjut itulah, manusia akan mengalami kemerosotan kekuatan fisik, sehingga sebaiknya pada usia tersebut lebih memperhatikan dan mempersiapkan diri pada urusan-urusan ukhrawi.[69]


C.   Tujuan Penciptaan Manusia
Pernyataan yang mengatakan bahwa setiap penciptaan pasti memiliki tujuan. Oleh karena itu, penciptaan manusia mempunyai tujuan, bukan untuk kebaikan Allah, akan tetapi demi kebaikan manusia. Manusia diciptakan untuk beribadah mematuhi setiap perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Hal tersebut dapat tercermin dari firman Allah dalam Q.S. al-Z|a>riya>t/51: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
Terjemahnya:
Dan tidak kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.[70]
Namun berbeda dari robot yang tidak memiliki kemungkinan untuk membantah perintah pembuatnya, manusia dibekali akal selain naluri yang membedakannya dengan hewan. Akal inilah yang seringkali membuat manusia memiliki agenda sendiri ketika melakukan tujuan penciptaannya, bahkan tak jarang bertentangan dengan misi penciptaan dirinya.
Untuk merealisasikan tujuan penciptaannya, di samping dibekali dengan akal, manusia juga diberi tuntunan yang bisa membantu akal dalam memahami tujuan penciptaannya yaitu kitab suci dan para utusan yang berfungsi untuk membimbing mereka pada kebenaran. Namun manusia diberi pilihan apakah mau ikut atau tidak? Apakah mampu menggunakan tiga alat petunjuk (akal, kitab suci dan para nabi). Itulah yang termaktub dan tersirat dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Terjemahnya:
Dan kami Tunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan).[71]
Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya dengan syarat konsekwensi dari sebuah pilihan tentu ada.[72] Sangat jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bi al-tiba>‘).
Untuk mengetahui lebih jauh tentang tujuan penciptaan manusia, Allah swt. melalui al-Qur’an menjelaskan dalam beberapa ayat, antara lain, Q.S. al-Muminu>n/23: 115:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
Terjemahnya:
Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.[73]
Dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 191, Allah swt. berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Terjemahnya:
.....Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.[74]
Agar seluruh aktivitas manusia bernilai ibadah maka Allah menjadikannya sebagai pemimpin di muka bumi ini (Khali>fah fi al-ard}) (Q.S. al-Baqarah/2: 30). Sejatinya sebagai khalifah, manusia harus bisa mengemban amanat (baik terkait dengan hukum, pengelolaan dan tugas-tugas yang lain)[75] ini yang secara dialekta tidak diberikan kepada langit, bumi, malam, matahari begitu juga kepada hewan. Dengan begitu manusia adalah makhluk yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan keruwetan (sofistikasi ) yang bahasa al-Qur’annya disebut ah}san taqwi>m (Q.S. al-Ti>n/95:4).
Mengutip perkataan Nurcholis Madjid. Sebagai khalifah maka tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar supaya dapat difahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi karena tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima pesan-pesan ilahi ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Sedangkan dalam bahasa Jal al-Di>n Ru>mi yakni: ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita akan mendapatkan semerbak mawar? Jawabnya adalah air mawar. Yang dimaksud oleh Rumi adalah ketika Alllah swt. yang ghaib, tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasul-lah maka pesan dan berita diri-Nya dapat diperoleh, bukan dengan jalan pemikiran agar agama harus diartikulasikan sebagai entitas yang harus relevan dengan perkembangan zaman.
Manusia dikarunia akal adalah sebagai perangkat agar kelak mereka bisa memahami makna hakekat penciptaannya dan yang lainnya bukan untuk mengingkari makna tersebut. Al-Gaza>li> (w. 1111) menganologikan akal sebagai wazi>r yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh hawa nafsunya, yaitu nafsu syahwat yang bertugas sebagai tax collector, dan nafsu gad}abiyah yang bertugas sebagai polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang wazi>r maka keadaan negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan.
Dengan begitu secara eksplisit manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan memilih yang hal ini di pandang semu oleh kaum Jabariyah dan bahkan Asy’ariyah begitu juga oleh sebagian orang-orang sufi. Dimana manusia diberi kebebasan penuh dalam memilih (ikhtiya>r) jalan mana yang mau mereka pilih sebagai jalan hidupnya. Dan barangkali ini adalah sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Tetapi di balik itu Allah juga mempunyai rencana lain. Sebab, Allah swt. menciptakan manusia tidak hanya dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban sebagaimana penjelasan dalam Q.S. al-Qiya>mah/75: 36:
أَيَحْسَبُ الإنسان أَن يُتْرَكَ سُدًى
Dengan demikian, dalam jejak kehidupan manusia secara dogmatis ataupun de fakto, manusia mempunyai dua jalan yang harus dipilihnya untuk mengarungi roda kehidupannya di muka bumi ini. Mereka harus bisa memilih salah satu diantara jalan tersebut sebagai jalur kehidupannya kelak, karena jika tidak maka akan terjadi diskontinuitas di sepanjang sejarah kehidupannya. Dalam hal ini Allah swt. pun telah menyediakan hadiah yang sudah disediakan di dua ujung jalan tersebut bagi manusia.[76]
Dan manusia akan meraih kesempurnaan dirinya melalui jalan ibadah dan beramal, dan di dalam ibadah dan amal itu sendiri mengandung sifat kesempurnaan, dan kesempurnaan ini akan dicapai manusia setelah kematian menjemputnya. Yang merupakan kehidupan yang terbaik dari sisi jasmani dan rohani. Dengan kata lain, dunia tempat bercocok tanam dan akhirat tempat memetik hasilnya.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tentang manusia dalam al-Qur’an di atas, pemakalah membuat beberapa poin sebagai kesimpulan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Term dalam al-Qur’an yang merujuk pada manusia ada yang menunjuk pada makna umum dan ada yang menunjuk pada makna khusus. Terma umum seperti al-basyar, al-ins, al-na>s dan al-insa>n, sedangkan terma khusus seperti al-rajul, imra’ah dan sejenisnya. Namun dalam makalah ini, pemakalah menjelaskan tentang al-basyar yang menunjuk pada manusia dari aspek makhluk fisik yang dapat diamati secara empirik, al-insa>n yang dapat dihubungkan ke dalam 3 aspek, yaitu: insa>n dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah, insa>n dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia, dan insa>n dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insa>n menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual, sedangkan al-na>s yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial.
2.      Proses penciptaan manusa terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an menjelaskan dengan detail tentang proses penciptaan manusia, baik manusia pertama maupun manusia selanjutnya. Hal tersebut dapat dipahami dari penggunaan kata yang digunakan mulai dari tura>b berubah menjadi t}i>n, berubah menjadi h}ama’in masnun dan akhirnya menjadi s}als}a>l. Dengan demikian, penggabungan informasi yang ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis menguatkan tentang proses penciptaan tersebut. Pada akhir proses penciptaan itu, Allah swt. meniupkan ru>h} sebagai penggerak jasadnya.
3.      Sementara tujuan penciptaan manusia
B.   Implikasi
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam bukunya wawasan al-Qur’an bahwa semakin mendalami manusia maka semakin tidak tahu karena begitu banyaknya aspek yang harus diperhatikan dalam mengkajinya, sehingga wajar jika muncul sebuah pernyataan (terlepas dari perdebatan apakah hadis atau perkataan sahabat) bahwa orang yang mengetahui akan dirinya berarti dia telah mengetahui Tuhannya.
Betapa membingungkannya manusia, hingga bermunculan berbagai teori tentangnya. Di antara teori tersebut adalah teori evolusi yang ditawarkan Charles Darwin yang diyakini benar oleh sekelompok orang. Teori tersebut merupakan hasil penelitian yang membutuhkan pembuktian keabsahan teori tersebut. Teori evolusi yang menyatakan bahwa spesies makhluk hidup terus-menerus berevolusi menjadi spesies lain, namun ketika dibandingkan makhluk hidup dengan fosil-fosil mereka, ditemukan bahwa mereka tidak berubah setelah jutaan tahun lamanya.
Akhirnya, makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, bagi para pembaca khususnya yang mendalami tentang manusia dalam perspektif al-Qur’an dan hadis, sebaiknya merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan hadis yang lebih kompoten, lengkap dan valid.


DAFTAR PUSTAKA
A<ba>di>, Abu> al-T{ayyib Muh{ammad Syams al-H{aq al-‘Az}i>m. ‘Aun al-Ma‘bu>d. Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.
Amin, Muhammadiyah. Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Al-As}faha>ni>, Al- Ra>gib. al-Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Maa>rif, t.th.
Al-‘Asqala>ni>, Abu> al-Fad}l Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar. Fath{ al-Ba>ri>. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.
Asy’ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an. Cet. I; Yogyakarta: LESFI, 1992.
Al-Azdi>, Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy‘as\. Sunan Abi> Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Ba>qi>, Muh}ammad Fua>d ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m. al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, 1364 H.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Cet. III; Beirut: da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
H{anbal, Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh{ammad bin. Musnad Ah{mad bin H{anbal. Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Al-Ha>im, Syiha>b al-Di>n Ah{mad bin Muh}ammad. al-Tibya>n fi> Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n. Cet. I; al-Qa>hirah: Da>r al-S}ah}a>bah, 1992.
Al-Jurja>ni>, ‘Ali> bin Muh{ammad bin ‘Ali>. al-Ta‘ri>fa>t. Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.
Al-Mana>wi>, ‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
--------------, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta‘a>ri>f. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1410 H.
Matdawam, M. Noor. Manusia, Agama dan Kebatinan. Cet. V; Yogyakarta: Bina Karier, 1999.
Al-Mis}ri>, Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r. Lisa>n al-‘Arab. Mesir: Da>r al-Mis}riyyah, 1992.
Al-Muba>rakfu>ri>, Abu> al-‘Ala> Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd al-Rah{i>m.Tuh}fah al-Ah{waz\i>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000.
Al-Ra>zi>, Muh{ammad Fakr al-Di>n. Mafa>ti>h} al-Gaib. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Raharjo, Dawam. Pandangan al-Qur’an tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: LPPI, 1999.
Rasjidi, H.M. Persoalan-Persoalan Filsafat. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali>.Tafsi>r al-Mana>r. Mesir: al-Haiah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.
Shihab, M Quraish. Tafsir al-Mishbah. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2005.
---------------, Dia Ada Dimana-mana. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2006.   
---------------, Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.
---------------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, 1998.
Al-Sya>t}i, A<isyah bint. Manusia dalam Perspektif al-Qura>n, terj. Ali Zawawi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Al-Syauka>ni>, Muh}ammad bin Ali bin Muh}ammad. Fath} al-Qadi>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H./1994 M.
Al-T{abari>, Abu> Jafar Muh}ammad bin Jari>r. Ja>mi al-Baya>n fi> Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n yang lebih dikenal dengan Tafsi>r al-T}abari>. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H./1992 M.
TPKP3B (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1997.
Al-Turmuz\i>, Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa>. Sunan al-Turmuz\i>. Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Zakariya>, Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, t.th.
Al-Zamakhsyari>, Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin Amar bin Ah}mad. Tafsi>r al-Kasysya>f. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1995 M.
Al-Zuh{aili>, Wahbah bin Mus}t}afa>.Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.
----------------, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li al-Zuhaili>. Cet. I; Damsyiq: Da>r al-Fikr, 1422 H.


[1]M. Quraish Shihab, Dia Ada Dimana-mana (Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 111.   
[2]M. Noor Matdawam, Manusia, Agama dan Kebatinan (Cet. V; Yogyakarta: Bina Karier, 1999), h. 10.
[3]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Cet. XVI; Jakarta: Mizan, 2005), h. 278.
[4]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 
[5]M. Quraish Shihab, Dia...., h. 111.
[6]H.M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan Filsafat (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 54.
[7]TPKP3B (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1997), h. 629.
[8]Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 564-565.
[9]Ibid.,h. 629
[10]Lihat Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), h. 18.  
[11]Lihat: Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), h. 5.  
[12]Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, 1364 H.), h. 120. Selanjutnya disebut Muh{ammad Fua>d.
[13]Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Beirut: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, t.th.), h. 237. Selanjutnya disebut Ibn Fa>ris.
[14]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1998) h. 277.  
[15]Al- Ra>gib al-As}faha>ni>, al-Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n  (Beirut: Da>r al-Maa>rif, t.th.), h. 46-49.  
[16]Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, Juz VII (Mesir: Da>r al-Mis}riyyah, 1992), h. 306-315.  
[17]Di antaranya lihat, Q.S. Hu>d/11: 2. Q.S. Yusuf/12: 96. Q.S. al-Kahfi/18: 110. Q.S. Al-Furqan/25: 48. Q.S. Saba’/34: 28. Q.S. al-Ahqa>f/46: 12. 
[18]Muhammadiyah Amin dalam Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakat, Juz I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 138.
[19]A<isyah bint al-Sya>t}i, Manusia dalam Perspektif al-Qura>n, terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 1-2. 
[20]Muh}ammad Fua>d, op. cit., h. 93.
[21]Syiha>b al-Di>n Ah{mad bin Muh}ammad al-Ha>im, al-Tibya>n fi> Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n (Cet. I; al-Qa>hirah: Da>r al-S}ah}a>bah, 1992), h. 56.
[22]M. Quraish Shihab, op. cit., h. 280. 
[23]Muh}ammad bin ‘Ali al-Syauka>ni>, Fath} al-Qadi>r, (Kairo: Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H{alibi>. 1964), h. 465. 
[24]Lihat, Q.S. al-Ti>n/95): 6. 
[25]Departemen Agama RI, op. cit., h. 413.
[26]Ibid., h. 527.
[27]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), h. 69-70.  
[28]‘A<isyah bint al-Sya>t}i’, op. cit., h. 7-8. 
[29]Muh}ammad Fua>d, op. cit., h. 93.
[30]Departemen Agama RI, op. cit., h. 209.
[31]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz I, h. 147.
[32]Ibid., Juz I, h. 377. 
[33]Departemen Agama RI, op. cit., h. 862.
[34]‘Abd al-Ba>qi>, op. cit., h. 895-899 
[35]Al- Ra>gib al-As}faha>ni>, op. cit., h. 509.  
[36]Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 25.
[37]Departemen Agama RI, op. cit., h. 12.
[38]Ibid., h. 661. 
[39]Ibid., h. 714. 
[40]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz I, h. 282.  
[41]Muh{ammad ‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta‘a>ri>f (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1410 H.), 30.
[42]‘Ali> bin Muh{ammad bin ‘Ali> al-Jurja>ni>, al-Ta‘ri>fa>t (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), h. 21.
[43]‘Abd al-Ba>qi>, op. cit., h. 24.
[44]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh{aili>, Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Juz VI (Cet. II; Damsyiq: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.), h. 151.
[45]Departemen Agama RI, op. cit., h. 712.
[46]Ibid., h. 224.
[47]Pemahaman tersebut dipahami dari kaitan antara ayat 26 jika dikaitkan dengan ayat 27 dari Q.S. al-A‘ra>f/7. 
[48]Departemen Agama RI, op. cit., h. 712.
[49]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 1076.
[50]Ibid., h. 1076.
[51]Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy‘ats al-Azdi>, Sunan Abi> Da>wud, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 634. Selanjutnya disebut Abu> Da>wud. Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Turmuz\i>, Sunan al-Turmuz\i>, Juz V (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 204. Selanjutnya disebut al-Turmuz\i>. Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad bin Muh{ammad bin H{anbal, Musnad Ah{mad bin H{anbal, Juz IV (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 400. Selanjutnya disebut Ah{mad bin H{anbal.
[52]Abu> al-T{ayyib Muh{ammad Syams al-H{aq al-‘Az}i>m A<ba>di>, ‘Aun al-Ma‘bu>d, Juz. XII (Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.), h. 298.
[53]Abu> al-‘Ala> Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd al-Rah{i>m al-Muba>rakfu>ri>, Tuh}fah al-Ah{waz\i>, Juz. VIII (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 233.
[54]Muh}ammad Fua>d, op. cit., h. 153. 
[55]Departemen Agama RI, op. cit., h. 85.
[56]Al-Qurt}ubi>, op. cit., Juz. IV, h. 102.
[57]Muh}ammad Rasyi>d bin ‘Ali> Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz. III (Mesir: al-Haiah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.), h. 263.
[58]Muh}ammad Fua>d, op. cit.,  h. 433.
[59]Departemen Agama RI, op. cit., h. 661.
[60]Muh{ammad Fakr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Gaib, Juz. XXV (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 174.
[61]Muh}ammad Fua>d, op. cit., h. 216.
[62]Departemen Agama RI, op. cit., h. 392.
[63]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuhaili>, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li al-Zuhaili>,  Juz. II (Cet. I; Damsyiq: Da>r al-Fikr, 1422 H.), h. 1218.
[64]M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Juz. VII (Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 119.
[65]Lihat: QS. al- A‘ra>f/7: 179.
[66]Hal tersebut digambarkan dalam al-Qur’an Q.S. al-H{ijr/15: 28-29.
[67]Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz III (Cet. III; Beirut: da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 1210. 
[68]Abu> al-Fad}l Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath{ al-Ba>ri>, Juz. VI (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1379 H.), h. 367.
[69]‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz II (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.), h. 11.
[70]Departemen Agama RI, op. cit., h. 862
[71]Mayoritas ulama tafsir menasirkan seperti di atas, meskipun ada beberapa ulama yang menafsirkan lain. Untuk lebih jelasnya, baca: Abu> Jafar Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, Ja>mi al-Baya>n fi> Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n yang lebih dikenal dengan Tafsi>r al-T}abari>, Juz VIII (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H./1992 M.), h. 24. 
[72]Oleh karena itu, manusia yang tidak memiliki pilihan (semisal gila, sakit atau terpaksa) tidak mempunyai konsekwensi hukum dan tidak bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya. Baca buku-buku ushul fiqhi yang menjelaskan tentang takli>f.
[73]Departemen Agama RI, op. cit., h. 540.
[74]Ibid., h. 110.  
[75]Dalam tafsir al-Kasysya>f dijelaskan secara panjang lebar hikmah dan tujuan manusia dijadikan sebagai khalifah. Lihat: Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin Amar bin Ah}mad al-Zamakhsyari>, Tafsi>r al-Kasysya>f , Juz I (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1995 M.), h. 79.
[76]Muh}ammad bin Ali bin Muh}ammad al-Syauka>ni>, Fath} al-Qadi>r, Juz VII (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H./1994 M.), h. 370.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar