PENDIDIKAN USIA
DINI
(Dalam
Persfektif Hadis Nabi)
Makalah Revisi
Mata Kuliah Hadis Maud}u>‘iy
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor
Tahun Akademik 2012/2013
Oleh;
Abdul Gaffar
Dosen
Pemandu;
Prof.
Dr. Hj.
Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Baso Midong, M.Ag
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
īMAKASSAR
2013
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam
adalah syari’at Allah yang diturunkan kepada umat manusia di muka bumi agar
mereka beribadah kepada-Nya. Pelaksanaan syari’at ini menuntut adanya
pendidikan manusia, sehingga manusia pantas memikul amanat dan menjalankan
perannya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi ini. Pendidikan yang
dimaksud di sini adalah pendidikan Islam. Allah berfirman dalam Q.S. al-Ahzab
(33): 72.
إنَّا عَرَضْنَا اْلأمَانَةَ عَلَى
السَّمَوَاتٍ وَاْلأرْضَ وَالْجِبَاَلَ فَأبَينَ أنْ يَحْمِلَنَهَا وأشْفَقْنَا
مِنْهَا وَحمَلَهَا الإنْسَانُ إنّهُ
كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً.
Terjemahnya
Sesungguhnya kami telah menawarkan
amanah kepada langit, bumi dan gunung. Semuanya enggan memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan menghianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya mereka amat zalim dan bodoh. (QS. 33: 72).[1]
Syari’at
Islam hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri, generasi, dan masyarakat
supaya beriman dan tunduk kepada Allah semata serta selalu mengingat-Nya. Oleh
sebab itu, pendidikan Islam menjadi kewajiban orang tua, guru dan masyarakat di
samping juga menjadi amanat yang harus dipikul oleh suatu generasi untuk
disampaikan kepada generasi berikutnya, dan dijalankan oleh para pendidik dalam
mendidik anaknya.
Menurut
Ahmad D Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap pengembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[2]
Definisi
ini terlihat masyhur di kalangan akademis, yang terkait dengan adanya beberapa
unsur penting baik merupakan bimbingan maupun pimpinan yang dilakukan oleh
pendidik terhadap anak didik secara sadar dan terorganisir. Sasarannya bukan hanya dalam pengembangan
aspek intelektual jasmaniah, bahkan juga dalam masalah-masalah rohaniah anak
didik yang pada pokoknya untuk mengantarkan anak didik kepada terbentuknya
kepribadian yang utama.
Dengan
demikian, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia, sebab
melalui proses pendidikan, manusia dapat menjadi manusia yang sebenarnya, yakni
manusia yang memiliki kualitas dan integritas kepribadian. Pendidikan tidak
dimaksudkan untuk membunuh potensi-potensi yang di bawah oleh manusia sejak
lahir, tetapi sebagai suatu upaya untuk menjaga, memelihara dan mengembangkan
sesuai dengan karakteristik masing-masing, mengarahkan potensi dan bakat agar
mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Untuk
menelaah lebih jauh prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini, penulis tertarik
untuk mengangkat masalah ini sebagai kajian hadis, dalam penulisan ini dengan
judul “Prinsip-prinsip Pendidikan Anak dalam Hadis”. Karena hadis Nabi ditinjau
dari segi periwayatannya berbeda dengan al-Qur’an. Semua ayat-ayat al-Qur’an
periwayatannya secara mutawa>tir,
adapun hadis Nabi sebagian
periwayatannya secara mutawa>tir dan sebagian lagi berlangsung
secara ahad.[3]
Dengan demikian kedudukan al-Qur’an dari segi periwayatannya adalah qat’i
al-wurud, sedangkan hadis Nabi. Sebahagian berkedudukan sebagai qat{’i
al-wuru>d dan sebagian lagi berkedudukan sebagai z}anniy al-wuru>d.[4]
Berbeda
dengan al-Qur’an yang seluruhnya ditulis pada zaman Rasulullah saw, dan resmi
dibukukan dalam satu mushaf tidak lama setelah beliau wafat, maka hadis Nabi
tidak seluruhnya ditulis pada zaman nabi saw.[5]
Dan resmi dibukukan dalam satu mushaf sekitar seratus tahun setelah Nabi wafat.[6]
Adapun hadis Nabi yang berkembang pada zaman tersebut lebih banyak bersifat
hafalan dari pada tulisan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak
seluruhnya hadis Nabi tercatat pada masa Nabi saw. dan hadis Nabi yang telah
dihimpun oleh para ulama hadis yang mulai dari awal abad ke II Hijriah terdapat
dalam beberapa hadis yang beragam bentuk dan kualitasnya[7].
Di
antara hadis yang termuat dalam kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh para
mukharrij adalah masalah pendidikan. Dalam makalah ini akan dideskripsikan
tentang konsep pendidikan dalam hadis, khususnya tentang pendidikan anak usia
dini.
B.
Rumusan Masalah
Dari
deskripsi di atas, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini menurut hadis.?
2. Bagaimanakah tahapan dan
metode pendidikan anak usia dini menurut hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Usia Dini
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses
perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[8]
Dalam bahasa Arab dikenal kata tarbiyah, ta‘li>m
dan ta’di>b
yang dianggap mempunyai kedekatan arti dengan pendidikan. Kata tarbiyah lebih
luas penggunaannya dibanding dua kata lainnya ta‘li>m dan
ta’di>b.
Kata tarbiyah secara leksikal
mempunyai makna dasar,
diantaranya: Pertama berasal dari kata raba, yarbu yang berarti
bertambah tumbuh dan berkembang.[9]
Kedua berasal dari kata rabba yurabbiy bermakana memberi makan, mendidik
baik dari segi fisik maupun rohani.[10]
Ketiga, bentuk tarbiyah terambil dari kata rabba yarubbu yang
berarti melindungi,
menyantuni, mendidik,
mendidik aspek fisik dan moral dan menjadikannya profesional.[11]
Sementara ta‘li>m yang berasal dari huruf ‘a-li-ma
mempunyai makna dasar bekas sesuatu yang dapat membedakan dari yang lain.[12]
kemudian lafal tersebut ikut wazan s\ula>s\i> mazi>d علّم-يعلم-تعليما.
Pada umumnya lafal yang ikut wazan seperti kata علّم
menunjukan makna proses pekerjaan yang berulang-ulang kali, sehingga dapat
dipahami bahwa ta‘li>m menekankan pada proses trasnfer ilmu yang
berulang-ulang kali sehingga dapat berbekas dan menjadi pembeda dari yang
lain.
Ki
Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai tuntunan dalam hidup
tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.[13]
Sedangkan pendidikan menurut UU No. 2 Tahun 1989, adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan
bagi peranannya di masa akan datang.[14]
Dari
beberapa pengertian atau batasan tentang pendidikan yang dikemukakan tersebut,
meskipun berbeda secara redaksional, namun secara esensial terdapat kesatuan
unsur-unsur atau faktor-faktor di dalamnya, yaitu pengertian pendidikan yang
menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang mengandung
unsur pendidikan anak didik, tujuan, dan sebagainya.
Adapula
beberapa pengertian dasar pendidikan yang perlu dipahami yaitu: 1) Pendidikan
merupakan suatu proses terhadap anak didik, berlangsung sampai anak didik
mencapai pribadi dewasa susila, 2) Pendidikan merupakan pendidikan manusiawi,
3) Pendidikan merupakan hubungan antara pribadi dan peserta didik, 4) Tindakan
atau perbuatan pendidik menuntut anak didik mencapai tujuan-tujuan tertentu,
dan ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri anak didik.[15]
Sementara
usia dini adalah usia dimana seorang anak berada pada jenjang sebelum jenjang
pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaaan yang ditujukan bagi anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.
Pendidikan
anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar kea rah pertumbuhan dan perkembangan
fisik, kecerdasan, sosio emosional, bahasa dan komunikasi, sesuai dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang diallaui oleh anak usia dini.
Setiap
anak mempunyai banyak bentuk kecerdasan (Multiple Intelelligence) yang
menurut Howard gardner terdapat delapan domain kecerdasan atau intelegensi yang
dimiliki semua orang, termasuk anak. Kedelapan domain itu yaitu inteligensi
music, kinestetik tubuh, logika matemati, linguistic, spasial, naturalis,
interpersonal, dan intrapersonal. Multiple Intelligence ini perlu digali
dan ditumbuhkembangkan dengan cara member kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan secara optimal potensi-potensi yang dimiliki atas upayanya
sendiri.[16]
Oleh karena itu, tahun-tahun pertama kehidupan anak
merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang
fisik, mental, dan psikososial, yang berjalan sedemikian cepatnya sehingga
keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan hari depan anak. Penyimpangan
apapun apabila tidak diintervensi secara dini dengan baik, dan tidak terditeksi
secara nyata akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.[17]
Ada empat pertimbangan pokok
pentingnya pendidikan anak usia dini, yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang
berkualitas, (2) mendorong percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya
sosial karena tingginya produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan
pemerataan dalam kehidupan masyarakat, (4) menolong para orang tua dan
anak-anak.
B.
Hadis-hadis tentang Prinsip dan Materi
Pendidikan Usia Dini Menurut Hadis
Sebelum
menjelaskan tentang hadis-hadis pendidikan anak usia dini, terlebih dahulu
mengungkapkan tentang cara menelusuri hadis-hadis terkait dengan pendidikan
anak usia dini dengan cara melakukan takhri>j al-h}adi>s\.
Secara etimologi kata takhri>j bermakna mengeluarkan,
menampakkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan.[18] Takhri>j
juga bisa bermakna istikhra>j dan istinba>t} yakni
mengeluarkan hukum dari naskah al-Qur'an dan al-hadis.[19]
Sedangkan menurut istilah takhri>j memiliki
beberapa pengertian yang salah satunya bermakna “menunjukkan asal beberapa hadis
pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis dengan menerangkan hukum/kualitasnya”.[20]
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa
kegitan takhri>j hadis adalah kegiatan penelusuran suatu h}adis,
mencari dan mengeluarkannya dari kitab-kitab sumbernya dengan maksud untuk
mengetahui; 1) eksistensi suatu hadis benar atau tidaknya termuat dalam
kitab-kitab hadis, 2) mengetahui kitab-kitab sumber outentik suatu hadis, 3)
jumlah kitab tempat hadis dalam sebuah kitab atau beberapa kitab hadis dengan
sanad yang berbeda.
Dengan
demikian, takhrij al-hadis adalah penelusuran suatu hadis melalui
kitab-kitab hadis sebagai sumber aslinya, dari kitab sumber tersebut dikemukakan secara lengkap
mengenai matn dan sanad hadis yang bersangkutan.[21]
Dalam
mentakhrij hadis yang diteliti, penulis menempuh cara penelusuran lapaz-lapaz
yang berkaitan dengan pendidikan melalui kitab al-Mu’jam al-Mufahras li alfa>z}
al-hadi>s\ al-Nabawi< yang disusun oleh AJ. Wensinck. Lafal-lafal yang dipilih adalah wazan tarbiyah,
ta’di>b dan ta’li>m, baik dalam bentuk fi’il maupun isim.
Adapun petunjuk yang ditemukan dalam kedua kitab tersebut sebagai berikut:
1.
Rabba>
الرباني الذي يربى الناس....
2.
Addaba
أدّب:
لوأن رجلا أدب بعض رعيته
د: ديات 15، حم: 1: 41.
من عال ثلاث بنات فأدبهن وزوجهن د: أدب121، خ:
استقراض18، ن: بيوع77، حم3: 97.
أدبته أمه وأنت أدبتك أمك
م: مساجد 66.
لأن يؤدب الرجل ولده خير من أن يتصدق بصاع ت: بر33، حم: 5: 96، 102.
الرجل تكون له الأمة....ويؤدبها فليحسن أدبها خ: جهاد 145، علم 31، عتق14، 16،
أنبياء 48، نكاح 12، م: إيمان 241، ت: نكاح 25، ن: نكاح65، جه:
نكاح42، دي: نكاح 42، حم: 4: 395، 402، 405، 414.
فكرهت أن أتزوج مثلهن فلا تؤدبهن خ: جهاد 113، م: مسافاة 110.
أوقفوا أنفسكم وأهليكم بتقوى الله وأدبوهم خ: تفسير سورة 66.
ليس من اللهو إلا ثلاث تأديب الرجل فرسه.... د: جهاد 23، ت: فضائل الجهاد
11، ن: خيل 8، جه: جهاد 19، دي: جهاد 14، حم: 4: 144،
146، 148.
...كان حتما لازما لا على تأديب ن: أشربة36.
ينبغى أن يدفع هذا الحديث إلى المؤدب جه: فتن33.
ليس من مؤدب إلا وهو يحب أن.... دي: فضائل القرآن1.
أدب
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن ت: بر 33، حم: 3: 412، 4: 77، 78.
....يأخذن من أدب نساء الأنصار خ: مظالم 25، نكاح 83.
ولا ترفع عنهم عصاك أدبا حم:
5: 238.
وكان ذلك منه أدبا جه:
جنائز 31.
....أن يؤتى أدبه وإن أدب الله القرآن دي: فضائل القرآن1.
أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم جه: أدب 3.[23]
3.
Ta’li>m
وكان فيما علم الناس أنه قال.... ن: زكاة 38.
وأن محمدا، رسول الله (ص) علم فواتح الخير ن: تطبيق100، حم: 1، 408.
من، ورجل علم علما فله أجر، أجري له.... جه: مقدمة20، حم: 5: 269.
من علم القرآن ولم يعلم الفرائض دي: فرائض1.
علمه رسول الله (ص) التشهد وأمره أن يعلم الناس حم: 1: 276.[24]
Sedangkan lafal lain yang digunakan dalam melakukan takhri>j
al-h{adi>s\ adalah s}abiy,
walad dengan semua bentuknya sebagai
berikut:
- S}abiy
علموا
الصبي الصلاة ابن سبع، مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ، باب متى يؤمر الصبي
بالصلاة...راجع أيضا صبيانكم ت:
مواقيت 182، د: صلاة 26، دي: صلاة 141.[25]
- Walad
رأيت النبي (ص) أذن فى أذن الحسن يوم ولدته بالصلاة حم: 6: 392.[26]
Di
samping penelusuran hadis-hadis dengan cara di atas, ada juga cara lain yaitu
dengan mencari topik-topik hadis melalui daftar isi dari kitab-kitab mukharrij.
Untuk
lebih jelasnya, dikemukakan klasifikasi hadis yang menjadi pokok bahasan dengan
merujuk kepada kata kunci dimaksud yaitu sebagai berikut:
1.
Hadis
tentang pendidikan tauhid
a.
Sunan
Abu Da>ud
حَدَّثّنَا مُسَدَّدٌ ثَنَا يَحْيىَ عَنٍْ
سُفْيَانَ قاَلَ حَدَّثّنِي عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ
أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.[27]
Artinya:
Musaddad menceritakan kepada kami, Yahya
menceritakan kepadanya dari Sufyan dari Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidllah
bin Abi Rafi; bersumber dari ayahnya katanya: Saya melihat Rasulullah saw.
mengumandangkan azan ditelinga al-Hasan bin ali ketika fatimah melahirkannya.
b.
Sunan al-Turmuz\i
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِى قَالاَ:
أَخْبَرَنَا سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ
أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.[28]
Artinya:
Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami,
Yahya bin Said dan Abd. Rahman bin Mahdiy menceritakan kepada kami (Muhammad),
keduanya berkata; kami menerima berita dari Sufyan dari Ashim bin Ubaidillah,
dari Ubaidllah bin Abi Rafi; bersumber dari ayahnya katanya: Saya melihat
Rasulullah saw. mengumandangkan azan ditelinga al-Hasan bin ali ketika fatimah
melahirkannya.
c.
Musnad
Ahmad
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ
بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ.[29]
Artinya:
Waki’ menceritakan kepada kami, Sufya>n
menceritakan kepada kami (Waki’), dari Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidllah bin
Abi Rafi; bersumber dari ayahnya katanya: Saya melihat Rasulullah saw.
mengumandangkan azan ditelinga al-Hasan bin ali ketika fatimah melahirkannya.
d.
Musnad Ahmad
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ
عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ
الْحَسَنِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ بِالصَّلاَةِ.[30]
Artinya:
Yahya> bin Sa’i>d menceritakan kepada kami
dari Sufya>n dari Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidllah bin Abi Rafi;
bersumber dari ayahnya katanya: Saya melihat Rasulullah saw. mengumandangkan
azan ditelinga al-Hasan bin ali ketika fatimah melahirkannya.
2. Hadis
tentang Pendidikan Ibadah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ عِيْسَى يَعْنِى
إِبْنُ الطِّباَعِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ اْلمَلِكِ بْنِ
الرَّبِيْعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مُرُوْا الصَّبِىَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ
سَبْعَ سِنِيْنَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا.[31]
Artinya:
Muhammad
bin Isa yakni bin al-Thabi’ mencertiakan kepada kami, Ibrahim bin Sa’ad
menceritakan kepada kami dari ‘Abd. al-Malik bin Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya
(Rabi’) dari kekeknya (Sabrah) berakta, bersabda Rasulllah saw, perintahkanlah
anak-anak kalian mengerjakan shalat apabila telah berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka bila berusia sepuluh tahun jika mereka meninggalkannya”.
3. Hadis tentang Pendidikan Akhlak
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ
حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ أَبِي عَامِرٍ الْخَزَّازُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلِ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ.[32]
Artinya:
Nasir
bin Ali al-Jahdhaniy mencertiakan kepada kami, yang bersumber dari ‘Amin bin
‘Ali bin Abi ‘Amr al-Khazzaz, yang ersumber dari Ayyub bin Musa dari Bapaknya
dari kakeknya sesungguhnya Rasulullah bersabda “Tidak ada suatu pemberian yang
diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama dari pada pemberian
budi pekerti yang baik.
C. Kritik Sanad dan Matan Hadis
Dalam makalah ini, penulis membatasi kritik sanad
dan matan pada hadis pertama saja, yaitu hadis tentang pendidikan akidah,
sedangkan dua hadis yang lain yaitu hadis tentang pendidikan ibadah dan akhlak
cukup diungkapkan status hadisnya berikut alasan-alasannya.
1.
Kritik Sanad
1)
Abu>
Da>ud
Abu> Da>ud, nama lengkapnya
adalah Abu> Da>ud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ish{a>q bin Basyi>r bin
Syadda>d al-Sajasta>ni<. Ia lahir pada tahun 202 H. dan wafat pada
tahun 275 H. dan termasuk salah satu mukharrij al-kita>b.[33]
2)
Musaddad
Nama lengkapnya Musaddad bin
Musarhad bin Musarbal. Ia wafat tahun 228 H. Gurunya antara lain: Umayyah bin
Kha>lid, Sufya>n bin Uyainah, Yahya bin Sa’i>d, Isa bin
Yu>nus. Muridnya antara lain: Abu> Daud, al-Bukha>ri, Muhammad bin
Yahya. Menurut Ja’far al-T{aya>lisi> ia s|iqah, adapun menurut Muhammad bin
Ha>run ia s|udu>q dan al-Zahabi> mengatakan ia ha>fiz{.[34]
3)
Yah{ya>
Nama lengkapnya adalah Yahya bin
Sa’i>d bin Furu>kh al-Qat}t}a>n. Ia lahir pada tahun `120 H dan wafat
tahun 198 H. Gurunya antara lain: Usa>mah bin Zaid, Syu’bah bin
al-Hajja>j, Sufya>n al-S|auri>, Ja’far bin Maimu>n.
sedangkan muridnya antara lain: Musaddad bin Musarhad, ‘Ali bin
al-Madani>, Abdullah bin Ha>syim. Ibn hajar berpendapat ia s\iqah, mutqin,
h{a>fiz{. Adapun menurut al-Zahabi> bahwasanya Yahya itu al-h{a>fiz{
al-Kabi>r.[35]
4)
Sufya>n
Sufya>n
bernama lengkap
Sufya>n bin Sa’i>d bin Masru>q al-Ans}a>ri> Abu> ‘Abdillah
al-Ku>fi. Ia lahir pada tahun 97 H. yaitu pada masa pemerintahan
Sulaima>n bin ‘Abd al-Malik. dan wafat di Basrah pada tahun 161 H. Di antara
gurunya adalah Ibra>him bin Abd al-A’la>, al-Aswad bin Qais, H{amma>d bin
Abi> Sulaima>n, ‘A<s}im bin ‘Ubaidillah, Yah}ya> bin
Sa’i>d al-Ans}a>ri>. Sedangkan muridnya antara lain adalah Umayyah bin
Kha>lid, Sufya>n bin ‘Uyainah, Muhammad bin ‘Ajla>n, Yahya> bin
Sa’i>d al-Qat}t}a>n. Syu’bah, Sufya>n bin ‘Uyainah, Ibn Ma’i>n dan yang lain mengatakan bahwa
Sufya>n adalah seorang ami>r al-mu’mini>n fi al-hadis.[36]
5)
“A<s}im
bin ‘Ubaidillah
Nama
lengkapnya adalah ‘A<s}im bin ‘Ubaidillah bin ‘A<s}im bin ‘Umar bin
al-Khat}t}a>b al-Qurasyi> al-‘Adawi> al-Madani>. Dia wafat pada
awal pemerintahan Abu> al-‘Abba>s dari Bani> ‘Abba>siyah tahun 132
H. Di antara gurunya adalah Ja>bir bin ‘Abdillah, ‘Abdullah bin ‘Umar bin
al-Khat}t{a>b, ‘Ubaidillah bin Abi> Ra>fi’. Sedangkan muridnya
antara lain adalah Sufya>n al-S|auri>, Syu’bah bin al-H{ajja>j,
Ma>lik bin Anas, Yahya> bin Sa’i>d al-Qat}t}a>n. Syu’bah berkata
bahwa setiap kali ‘A<s}im ditanya maka dia akan menjawabnya dengan riwayat
hingga Nabi saw (ungkapan celaan), Yahya> bin Ma’i>n menilainya d}a’i>f/lemah,
Ibn Sa’ad menilainya banyak hadis tapi tidak bisa dijadikan hujjah, Abu>
Ha>tim berkata munkar al-hadi>s\ mud}t}arib al-hadi>s\ tidak
satupun hadisnya bisa diperpegangi, al-Bukha>ri berkata munkar
al-hadi>s\, al-Nasa>i berkata “Ma>lik tidak pernah meriwayatkan
hadis dari orang lemah yang terkenal kelemahannya kecuali dari ‘A<s}im,
al-Da>raqut}ni berkata hadisnya ditinggal karena termasuk pelupa. Meskipun
demikian hadisnya tetap ditulis/dibukukan.[37]
6)
‘Ubaidillah
bin Abi> Ra>fi’
Nama
lengkapnya ‘Ubaidillah bin Abi> Ra>fi’ al-Madani>. Dia pernah menjabat
sebagai sekretaris ‘Ali bin Abi> T{a>lib. Di antara gurunya adalah ‘Ali bin
Abi> T{a>lib, ayahnya Abu> Ra>fi’, Abu> Hurairah dan
ibunya Salma>. Sedangkan muridnya antara lain adalah al-H{akam bin ‘Utaibah,
‘Abd al-Rah{ma>n bin Hurmuz, Muhammad bin Muslim al-Zuhri>, ‘A<s}im bin
‘Ubaidillah. Abu> H{a>tim dan Abu> Bakr al-Khat}i>b s\iqah, Ibn H{ibba>n menggolongkannya s\iqah, Ibn Sa’ad
mengatakan bahwa dia s\iqah banyak hadisnya.[38]
7)
Abu>
Ra>fi’
Nama
lengkapnya Abu> Ra>fi’ al-Qibt}i> pelayan Nabi saw., Abu> Ra>fi’
adalah nama yang digunakan setelah masuk Islam, sedangkan nama sebelumnya
adalah Ibra>hi>m, S|a>bit atau Hurmuz. Awalnya dia menjadi budak
al-‘Abba>s bin ‘Abd al-Mut}t}alib kemudian diberikan kepada Nabi saw. lalu
dimerdekakan pada saat al-‘Abba>s masuk Islam. Di antara gurunya adalah Rasulullah
saw., ‘Abdullah bin Mas’u>d. Sedangkan muridnya antara lain al-H{asan bin
‘Ali, beberapa putranya seperti al-Hasan, Ra>fi’, ‘Ubaidillah dan istrinya
Salma>. Dia wafat sebelum terbunuhnya ‘Us\ma>n, meskipun ada yang
mengatakan pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi> T}a>lib.[39]
2.
Kritik Matan
Menurut M. Syuhudi Ismail,
langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis dapat dikelompokkan
dalam tiga bagian penelitian matan dengan melihat kualitas sanadnya, penelitian
susunan lafal berbagai matan yang semakna dan penelitian kandungan matan.[40]
Dengan
demikian, dalam makalah ini, penulis menggunakan tiga langkah metodologis
tersebut sebagai acuan.
1.
Kualitas Sanad Hadis yang Dikaji
Setelah
melakukan penelitian terhadap sanad hadis yang menjadi objek kajian dalam
makalah ini, ditemukan bahwa sanad hadis tersebut lemah. Hal itu dikarenakan salah
satu perawinya dinyatakan bermasalah, yaitu ‘A<s}im bin ‘Ubaidillah yang
dinilai kurang baik hafalannya.
Dengan
demikian, seharusnya penelitian terhadap matan hadis yang menjadi objek kajian
dalam makalah ini tidak dapat dilanjutkan karena sanadnya sudah tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
2.
Matan Hadis yang Semakna
Penelitian
matan hadis dilakukan untuk melacak apakah terjadi riwa>yah bi
al-ma’na> sehingga terjadi perbedaan lafaz hadis dengan cara
membandingkan matan-matan hadis yang semakna.
Berdasarkan
penelusuran terhadap hadis-hadis tentang azan untuk bayi yang baru lahir
ditemukan empat matan sebagai berikut:
a. Matan
hadis riwayat Abu> Daud.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
بِالصَّلاَةِ.
b. Matan
hadis riwayat al-Turmuz\i>
رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
بِالصَّلاَةِ.
c. Matan
hadis riwayat Ah{mad bin H{ambal
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ
حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ.
d. Matan
hadis riwayat Ah{mad bin Hambal
رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ يَوْمَ
وَلَدَتْهُ بِالصَّلاَةِ.
Dengan
membadingkan keempat matan hadis tersebut, terlihat jelas bahwa terjadi perbedaan
lafaz, kecuali pada matan ketiga yang tidak menyebutkan kata بِالصَّلاَةِ.
Dengan demikian, matan hadis di atas dapat
dikategorikan sebagai bukan riwa>yah bi al-ma’na> karena keduanya
sama-sama menunjukkan satu peristiwa, yakni perbuatan Nabi saw. terhadap
al-Hasan ketika dilahirkan.
3.
Kandungan Hadis yang Dikaji
Dalam
meneliti kandungan matan, perlu diperhatikan matan-matan atau dalil-dalil yang
lain yang berkenaan dengan topik masalah yang sama. Untuk mengetahui ada atau
tidaknya matan lain yang memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan pencarian
hadis secara tematik.
Berdasarkan
penelusuran terhadap hadis-hadis tentang azan untuk bayi yang baru lahir,
penulis tidak menemukan matan yang berbeda terkait dengan azan terhadap bayi
yang dilahirkan, sehingga sulit untuk melacak terjadinya tanawwu’[41]
dalam hadis.
3.
Hasil Kritik Hadis
Merujuk
pada takhrij al-hadis hingga kritik hadis di atas, dapat dibuat
kesimpulan bahwa hadis yang menjadi kajian dalam makalah ini dianggap lemah
atau d}a’i>f dengan beberapa alasan:
1.
Hadis tersebut tidak memenuhi kaidah
kesahihan sanad, karena salah satu unsur kaidah mayor yaitu bersifat d{a>bit
} tidak terpenuhi, karena kenyataannya salah satu perawinya
dipertanyakan intelegensianya atau hafalannya.
2.
Penulis tidak menemukan hadis-hadis
yang menjadi dapat menjadi sya>hid atau muta>bi’ yang dapat
mengangkat status hadis tersebut.
3.
Meskipun hadis tentang azan terhadap
bayi yang baru dilahirkan dianggap lemah, bukan berarti tidak dapat diamalkan
karena penelitian hadis hanya menetapkan apakah ungkapan atau perbuatan
tersebut bisa dikategorikan sebagai hadis Nabi atau tidak, bukan pada persoalan
apakah ungkapan atau perbuatan tersebut dapat diamalkan atau tidak, karena bisa
jadi pengamalannya bukan karena kedudukannya sebagai hadis, tetapi kedudukannya
sebagai hasil ijtihad ulama atau ungkapan bijak yang subtansinya tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi saw..
Skema
Sanad Hadis tentang Pendidikan akidah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Untuk kritik hadis tentang pendidikan di bidang ibadah dan akhlak, penulis cukup mencantumkan hasilnya sebagai berikut:
Hadis lain yang menjadi objek penelitian adalah
hadis mengenai pendidikan ibadah. Sanad dari hadis tersebut berkualitas hasan.
Dari hasil penelitian antara sanad dan matan maka dapat dinyatakan bahwa hadis
yang diteliti berkualitas hasan sehingga dapat dijadikan pegangan dalam
pendidikan walaupun berkualitas hasan, karena menurut sebagian ulama, hadis
hasan hanya tidak boleh menjadi dalil untuk menetapkan hukum.[42]
Satu hadis lainnya yang menjadi objek penelitian
adalah hadis mengenai pendidikan akhlak, sanad dari hadis ini gari>b dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa hadis tentang pendidikan akhlak yang diteliti dalam
makalah ini adalah hadis gari>b karena hanya memiliki satu sanad saja.
Namun demikian dapat dijadikan pegangan dalam mendidik anak.
D. Syarh Hadis
- Prinsip dan Materi Pendidikan Anak Usia Dini
Isitlah
tauhid secara umum, sudah tidak asing lagi bagi setiap orang yang mengaku
muslim. Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata kerja وَحَّدَ – يُوَحِّدُ - تَوْحِيْدًا yang secara
harfiah bermakna “menyatukan atau mengesakan”. Apabila kata ini disandarkan
kepada Allah maka bermakna “mengesakan atau
menganggap-Nya satu” (tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun).
Kata benda kerja (verbal noun) aktif (yakni memerlukan pelengkap penderita atau
obyek), sebuah kata derivasi atau tasrif dari kata wa>hid yang
artinya satu atau esa. Oleh karena itu, makna harfiah tauhid ialah menyatukan
atau mengesakan.[43]
Pendidikan
tauhid termasuk salah satu prinsip yang harus mendapat perhatian penuh oleh
pendidik terutama orang tua, sebab pendidikan tauhid merupakan pokok ajaran
yang sangat esensial dan penting dalam rangka menumbuhkan keimanan terhadap
Allah. pendidikan tauhid berarti menyangkal kekuatan spritual yang bersifat
naluri yang ada pada anak melalui bimbingan agama serta membekali anak dengan
pengetahuan agama dan kebudayaan Islam sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah saw.
Hal ini dimaksudkan agar kalimat tauhid merupakan
kalimat yang pertama sekali didengar, diucapkan oleh lidah anak, dan merupakan
kata-kata yang pertama kali dipahami. Karena itu disyaratkan azan dan iqamat di
telinga bayi yang baru lahir, merupakan dasar dalam mengingatkan anak pada tendensi
keimanan dan tauhid. Oleh karena itu, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z senantiasa
melakukan ritual azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri ketika ada
anak yang baru dilahirkan.[44]
Wahbah
al-Zuhaili dalam bukunya “al-Fiqh al-Islami…” mengatakan bahwa meskipun
hadis terkait dengan azan pada bayi yang baru dilahirkan itu lemah, namun hal
itu tetap penting dilakukan agar kalimat-kalimat t}ayyibah/baik yang
pertama kali didengar anak ketika lahir ke dunia ini, sebagaimana kalimat itu
pula yang perdengarkan dan dibimbingkan kepada orang yang menghadapi sakrat
al-maut.[45]
Hal tersebut terungkap dalam sabda Nabi saw.:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوْا
مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلَّا الله.[46]
Artinya:
“Dari Abu
Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda “Bimbinglah orang yang sedang
menghadapi kematian dengan la> ila>ha illa Allah”.
Bahkan
lebih lanjut Wahbah mengatakan, kalimat-kalimat azan merupakan perisai kepada
anak-anak yang baru dilahirkan agar tidak diganggu dan digoda oleh syetan yang
memang bertugas untuk memalingkan manusia dari Tuhannya, sebab syetan akan lari
karena mendengar azan dikumandangkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: إِذَا سَمِعَ الشَّيْطَانُ الأَذَانَ وَلَّى وَلَهُ ضُرَاطٌ ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ
الصَّوْتَ.[47]
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah saw. bersabda: Jika syetan mendengar azan, dia akan berpaling dengan
perut yang berbunyi seperti kentut hingga dia tidak mendengar lagi suara azan
tersebut”.
Pendidikan
ibadah termasuk salah satu dari beberapa prinsip pendidikan yang harus mendapat
perhatian penuh dari pendidik sebab pendidikan ibadah khususnya shalat
merupakan pokok ajaran yang sangat esensial dan penting, dalam rangka
menjadikan anak beriman dan bertakwa kepada Allah swt., maka orang tua atau
pendidik perlu mengarahkan dan menuntun anak dalam melaksanakan ‘ibadah
khususnya shalat, sebagaimana yang telah digariskan dalam ajaran Islam.
Pembinaan
orang tua terhadap anak mengenai ibadah (shalat) termasuk dalam kategori
tanggungjawab pendidikan iman orang tua terhadap anak. Ulama dalam
penjelasannya mengatakan bahwa tanggungjawab pendidikan iman dari orang tua
kepada anaknya meliputi, perintah mengawali mendidik anak dengan kalimat tauhid
لا إله إلا الله . setelah itu
orang tua memperkenalkan halal dan haram sebagaimana yang pertama dipahami,[48]
dalam arti untuk tahap pengenalan pertama dalam bentuk pemahaman yang sederhana
agar mudah dimengerti oleh anak selanjutnya orang tua mendidik anak mengerjakan
shalat sejak mereka berumur tujuh tahun sebagaimana hadis Nabi saw.
Menurut
logika anak yang telah diperintahkan dan dididik untuk mengerjakan shalat sejak
umur tujuh tahun wajar saja bila pada usia sepuluh tahun jika meninggalkan atau
tidak mengerjakan shalat mendapat sanksi atau hukuman. Hal ini dikarenakan
sebelum usia sepuluh tahun, anak memang telah diperintahkan dan dididik untuk
mengerjakan shalat. Tiga tahun sebelum umur sepuluh tahun, merupakan proses
atau tahap pembiasaan dan pendidikan anak untuk melaksanakan kewajiban shalat,
baik itu diberikan oleh orang tua maupun pendidik yang bertanggungjawab
terhadap anak tersebut. selama tiga tahun melalui proses pembiasaan dan suri
tauladan dari orang tua dan pendidik, anak sudah harus menyadari bahwa shalat
itu adalah suatu kewajiban, meskipun harus disadari oleh pendidik bahwa sanksi
yang diberikan kepada anak yang meninggalkan shalat haruslah ada tata caranya
yaitu sanksi yang mendidik.
Pendidikan
akhlak berkaitan dengan pendidikan agama tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
pendidikan akhlak dalam pengertian islam adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari pendidikan agama, yang baik menurut akhlak adalah apa yang baik menurut
ajaran agama, dan yang buruk menurut akhlak adalah apa yang dianggap buruk oleh
ajaran agama.Hampir sepakat para Filosof pendidikan Islam bahwa pendidikan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan tetinggi pendidikan Islam
adalah mendidik jiwa dan akhlak.[49]
Kaitannya
dengan pendidikan akhlak terhadap anak, Rasulullah saw memberikan nasehat dan
petunjuk kepada para pendidik dengan sabdanya.
Berdasarkan
hadis paedagogis di atas dapat dikatakan bahwa para pendidik, terutama orang
tua, mempunyai tanggungjawab sangat besar dalam mendidik anak-anak dengan
kebaikan dan dasar-dasar moral. Orang tua dan pendidik hendaknya memberikan
contoh tauladan yang baik tentang akhlak ini terhadap anaknya, baik melalui
perkataan maupun perbuatannya. Hal ini sangat wajar dilakukan oleh orang tua
maupun pendidik, sebab orang tua dan pendidik yang memilih intergritas
kepribadian yang baik dapat meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang
diajarkan.
Ibn Sina dalam bukunya al-Siyasah sebagaimana yang
dikutip oleh Hasan Abd. Ali telah membentangkan pendapat yang berharga dalam
pendidikan dan pengajaran anak. Beliau menasehatkan supaya pendidikan anak
dimulai dengan pelajaran al-Qur’an, yaitu setelah anak siap secara fisik dan
mental untuk belajar. Pada waktu yang sama ia belajar a, b, c, membaca, menulis
dan mempelajari dasar-dasar agama, setelah itu, belajar syair-syair dan dimulai
dengan yang singkat-singkat, karena menghafal syair-syair pendek itu lebih
gampang dan mudah. Kemudian dipilih syair-syair terbaik perihal kesopanan yang
tinggi, pujian terhadap ilmu, celaan terhadap kejahilan. Juga dianjurkan untuk
menghafal syair-syair yang mendorong berbuat baik kepada ibu-bapak, melakukan
amal saleh, memuliakan tamu, dan lain-lain kejahilan. Bila sianak telah selesai
menghafal al-Qur’an dan mengerti tata bahasa Arab, barulah dilihat diarahkan,
dan diberikan petunjuk kepada ilmu yang sesuai dengan bakat dan kesediaannya.[50]
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa orang yang telah
sepakat untuk mendidik anak mereka berdasarkan adab syariah, dan menjadikan
anak terbiasa dengannya, kemudian sesudah itu ia memperhatikan buku-buku yang
berkaitan dengan akhlak hingga anak berkata jujur. Setelah itu baru
memperhatikan berhitung dan ilmu, yaitu kebahagiaan yang sempurna.[51]
Demikian pula Ibnu al-‘Arabi>
menjelaskan materi pendidikan dan pengajaran anak di Timur, bahwa setiap negara
dalam pendidikan itu mempunyai sejarah yang indah, yaitu anak-anak apabila
mereka telah berakal dikirim ke sekolah, apabila setelah menganggap bahwa anak
pantas diterima, maka sekolah mengajarkan menulis, perhitungan dan tata bahasa
Arab kepada mereka. jika anak telah menguasai semua itu, kemudian mereka
dikirim kepada seorang ahli qira’at untuk belajar al-Qur’an, lalu
menghafalnya setiap hari seperempat, setengah dan satu surat, hingga akhirnya
anak hafal al-Qur’an.[52]
- Tahapan dan Metode Pendidikan Usia Dini
a. Pendidikan
Pranikah
Untuk menciptakan generasi emas tentu membutuhkan suasana
keluarga yang penuh dengan saki>nah, mawaddah wa raḥmah. Keluarga merupakan tempat berlindung alami yang
berfungsi melindungi anak dan memeliharanya, baik memelihara pertumbuhan jasad,
pikiran, dan jiwa anak-anak, sehingga di sanalah didapatkan rasa kasih sayang,
yang tentunya akan mencetak anak yang diidam-idamkan.[53]
Anak manusia merupakan makhluk hidup yang paling lama
hidup dalam kekanak-kanakannya. Hal ini disebabkan masa kanak-kanak merupakan
masa persiapan dan pelatihan untuk melakukan peranan dalam kehidupan kelak.
Untuk itu, dalam al-Qur’an dan hadis, keluarga yang harmonis lebih lekat dengan
tatanan kemanusiaan yang fitrah, sehingga kiranya mereka hendak memilih
pasangan hidup dengan penuh kehati-hatian.
Dengan demikian, proses pemilihan pasangan hidup[54]
merupakan langkah awal dalam melakukan pembinaan usia dini. Hal tersebut
tercermin dari ungkapan Allah swt. dalam Q.S.
al-Baqarah/2:
221, yang berbunyi:
وَلاَ
تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن
مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ ﴿٢٢١﴾
Terjemahnya:
Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Dan tentu wanita
hamba sahaya mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik laki-laki (dengan
wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Dan tentu lelaki hamba sahaya
mukmin lebih baik dari lelaki musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak (kamu dan anak-anak yang lahir dari buah perkawinan ) ke neraka,
sedangkan Allah mengajak (kamu dan siapapun menuju amalan-amalan yang dapat
mengantar) ke syurga dan ampunan dengan izi-Nya. Dan Dia menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.[55]
Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa menikah dengan
seorang hamba sahaya muslim, lebih baik daripada menikah dengan wanita musyrik.
Artinya, kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan kekeluargaan dengan
orang-orang musyrik melalui pernikahan, disebabkan perempuan adalah tempat
laki-laki meletakkan kepercayaan untuk diri, anak-anak dan hartanya. Kecenderungan
penjelasan ayat tersebut bahwa seorang perempuan musyrik terkadang mengkhianati
suaminya serta merusak akidah anak-anaknya.[56]
Hal tersebut diperkuat dengan penggalan ayat Ula>ika yad‘u>na ila al-na>r. Makna yang terkandung di dalam penggalan ayat
tersebut bahwa, bergaul dengan orang-orang musyrik bisa merusak akidah.[57]
Dalam pemahaman pemakalah, ayat di atas menggambarkan
bahwa Allah swt. melarang menikah dengan orang yang tidak baik, meskipun satu
agama. Sebab kemusyrikan bukanlah agama melainkan sikap seseorang yang
menyekutukan Allah swt., sehingga sikap tersebut dapat masuk dalam agama apapun.
Oleh karena itu, dalam Q.S. al-Ma>idah/5: 5 dijelaskan bahwa perempuan
baik-baik dari agama sebelum kamu itu halal bagi umat Islam.
Kedua ayat di atas diperkuat lagi oleh hadis Nabi saw.
yang berpesan agar meletakkan sperma pada rahim perempuan yang baik, seperti
sabdanya:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ.[58]
Artinya:
Dari ‘A<isyah berkata: Rasulullah
saw. bersabda: Pilihlah buat menitipkan nuthfah
(benih) kalian
dan menikahlah dengan orang-orang
yang sekufu’ (sepadan).
Rasulullah saw., sangat menganjurkan untuk berhati-hati
dalam memilih pasangan hidup. Karena pasangan kelak akan menjadi seseorang yang
menjadi tempat menyimpan nutfah dalam
rahim atau tempat tumbuh dan berkembangnya benih yang akan menjadi manusia.
Shiddiqi Mazheruddin dalam bukunya women in Moslem,
mengatakan “one of the most essential
factors of happy marriage is the right of free choice by either party”.[59]
Pilihan pasangan ini juga erat hubungannya terhadap masalah keturunan, baik
pada perawatan atau pembinaan tak terkecuali ketika masih dalam kandungan.
Meskipun ayat memberikan lampu hijau menikah dengan lain
agama, akan tetapi beberapa ayat dan hadis mengindikasikan kuat agar memilih
pasangan yang seakidah dan seiman. Jelas bahwa laki-laki dan wanita yang
berasal dari satu jiwa (khalaqa Zawjaha>)[60]
tidak ada celah bagi keduanya untuk tidak seakidah dalam memilih pasangan.
Karena itulah Rasulullah menghimbau kepada pihak siapapun untuk memilih
pasangan yang kuat agamanya.
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. [61]
Artinya:
Perempuan dinikahi
karena empat hal, yaitu kekayaan, keturunan, kecantikan, dan agamanya, maka
pilihlah yang mempunyai agama yang kuat, niscaya kamu akan beruntung.
Makna yang terkandung dalam hadis tersebut, ada empat
kriteria pasanagn untuk dinikahi. Pertama
kekayaan, boleh jadi kekayaan itu
menjadi utama namun, sifat dan kekekalan kekayaan itu tidaklah menjamin
kebahagiaan yang abadi. Kedua, keturunan,
namun itu tidak menjadi pondasi yang kuat untuk melangsungkan kehidupan rumah
tangga. Ketiga kecantikan. Hal ini merupakan dambaan pada
setiap laki-laki, namun perlu menjadi nasehat, bahwa kecantikan itu mempunyai
batasan usia, semakin berjalan usia seorang perempuan semakin tampaklah garis-garis ketuaan dan kecantikan lambat
laun mulai pudar. Keempat, agama. Rasulullah
saw., sengaja menempatkan kriteria ini pada urutan terakhir, disebabkan bahwa
agama merupakan tolok ukur dari segala kriteria yang ada, karena agama mampu
menaungi dan merangkul kriteria yang lain. Sekaligus sebagai indikator bahwa
perempuan yang taat beragama berarti mendapat pembinaan yang baik dari kedua
orang tuanya sebagai guru pertama di saat hadir di dunia. Bekal tersebut kelak bisa dijadikan
sebagai pedoman bahwa ia juga akan mampu
mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak hanya melihat harta, kecantikan, dan
keturunan.
b. Pendidikan
dalam Kandungan
Setelah
mendapatkan pasangan yang berakhlak baik dan memiliki iktikad dalam
berumah tangga demi memperolah keturunan yang baik, maka perhatian selanjutnya
yang tidak kalah penting adalah pendidikan anak dalam kandungan, yang
seharusnya bagi kaum calon ibu untuk memperhatikan firman Allah swt., maupun sabda
Rasulullah saw. sebagai panutan bagi seluruh umat.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini tidak hanya dimulai sejak
lahir, akan tetapi sebelum menikah, bahkan pada saat melakukan hubungan suami
istripun dianjurkan agar membaca doa sebagai bentuk perlindungan orang tua
terhadap anaknya kelak dari segala gangguan. Salah satu hadis Nabi saw.,
tentang doa yang dibaca pada saat melakukan hubungan suami istri.
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ يَبْلُغُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ
لَمْ يَضُرُّهُ. [62]
Artinya:
Dari Ibn ‘Abba>s dan sampai kepada Nabi saw., beliau bersabda: “Jika
salah seorang dari kalian ingin mendatangi isterinya (untuk berhubungan), maka
hendaklah ia membaca; (artinya) “Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rizkikan (anak) kepada kami). Jika
dikaruniai anak dari hubungan keduanya maka setan tidak akan dapat mencelakakan
anak itu.
Al-Nawawiy mengungkapkan
penyebutan nama Allah swt. dalam setiap tindakan menjadi sebab terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan. Seseorang yang membaca basmalah ketika masuk rumah maka setan agar berkata “la>
mabi>ta” (tidak ada tempat tinggal).
Begitu juga seseorang yang melakukan hubungan suami istri lalu membaca basmalah dan doa di atas, maka setan tidak mempunyai peluang untuk melakukan
ganguan.[63]
Selanjutnya, pendidikan yang
penting diperhatikan adalah pendidikan terhadap hasil hubungan yang
masih dalam kandungan. Pendidikan dalam kandungan merupakan momentum yang sangat tepat dalam
melakukan pembinaan khususnya anak, disebabkan janin dalam rahim seorang ibu
kini menggunakan istilah pranatal. Nilai-nilai kebaikan yang dilakukan oleh seorang calon ibu tersebut
mengalir ke dalam tubuh sijanin.
Pasangan
suami istri hendaknya melakukan beberapa hal, yang dapat diistilahkan triologi
pembinaan anak dalam kandungan sebagai berikut:
1) Memperbanyak kalimat t}ayyibah
Kalimat t}ayyibah yang dimaksud di sini adalah kalimat-kalimat yang sifatnya mengandung unsur-unsur religius. Di samping
itu, sikap atau perilaku seorang
ibu juga perlu terkontrol, seperti tidak mudah
risau dan sedih. Oleh karena itu, seorang ibu sebagai lembaga
utama seharusnya memperbanyak mengucapkan kalimat-kalimat t}ayyibah dan senantisa membaca ayat-ayat al-Qur’an.
Ibu sebagai lembaga pembinaan utama
dalam kandungan hendaknya menciptakan suasana kerja yang sejalan dengan
tuntunan al-Qur’an dan hadis. Kalimat-kalimat tersebut terus-menerus diucapkan setiap saat ada
kesempatan. Misalnya, kalimat syahadat mengandung unsur pembaruan dan peremajaan
keimanan. Kalimat syahadat tersebut juga merupakan kalimat yang paling berat
dalam timbangan. Kalimat syahadat menjadi simbol
keluarnya seseorang dari kekufuran untuk masuk Islam dan menjadi golongan orang-orang yang mengesakan Allah swt.[64]
Sistem pendidikan anak usia dini dalam
kandungan mempunyai corak religius, sehingga seorang yang memiliki integritas muslim yang
bertauhid tinggi, tatkala seorang ibu duduk-duduk dengan mengucapkan kalimat la>
ila>h illalla>h Muh}ammad rasu>lullah, sambil mengusap-usap kandungannya, sehingga secara kejiwaan
ucapan-ucapan ibu tersebut masuk de dalam hati lalu bersemayam ke tubuh calon
bayi tersebut.
Adapun waktu terbaik untuk
memperdengarkan ayat-ayat suci al-Qur’an, menurut Mansur adalah ketika bayi berumur 18 minggu atau memasuki
bulan kelima kehamilan. Karena saat itu bayi sudah dapat mendengar suara dari
luar walau masih dalam kandungan.[65] Menurut hemat
penulis, memperdengarkan ayat-ayat suci al-Qur’an bagi bayi tersebut, bukan saja kandungan memasuki bulan kelima, namun
setiap saat, sepanjang seorang ibu tersebut mempersiapkan diri selaku lembaga
utama dalam membina dan mendidik dalam kandungan.
2) Mengkonsumi makanan yang halal
dan baik
Hal terpenting bagi pendidikan anak
dalam kandungan adalah memberinya makanan yang halal lagi baik. Makanan yang
dimaksud adalah pemenuhan gizi yang sangat berguna utamanya di dalam kandungan.
Gizi yang baik memegang peranan penting dalam hal pertumbuhan rambut, kulit,
otot-otot, urat saraf, mata dan lain sebagainya.[66]
Gizi sendiri dalam bahasa Arab di sebut
al-giz\yu.[67] Olehnya itu, makanan gizi atau makanan yang sehat adalah
tentunya makanan yang mengandung semua zat yang diperlukan tubuh manusia serta
dikonsumsi dalam takaran yang cukup (seimbang). Sehingga di dalam al-Qur’an ditemukan ada tiga ayat yang dapat dijadikan rujukan,
yakni Q.S. al-Baqarah/2: 168, 172, dan Q.S. al-Ma>idah/5: 88. Salah satunya
adalah Q.S. al-Baqarah/2: 168:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ.
Terjemahnya:
Hai sekalian manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik
dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah
syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah yang nyata bagimu.[68]
Ketiga bunyi ayat tersebut di atas,
semuanya menganjurkan mengkomsumsi makanan yang “حَلاَلاً
طَيِّباً “. Secara etimologi , kata “طيبا” berarti kebalikan dari kotor dan najis atau dengan kata lain bersih dan
suci.[69]
Sedangkan secara leksikal, berarti semua yang dianggap lezat menurut perasaan
dan jiwa atau semua yang tidak mengandung najis, kotor dan penyakit.[70]
Al-Qurt}ubiy ketika
menafsirkan kalimat “h}ala>l t}ayyib”, menafsirkan makanan yang boleh
dimakan adalah makanan yang bermanfaat dari berbagai aspeknya.[71] Sementara
al-A<lūsiy menafsirkan lafal t}ayyib dengan makanan yang lezat, suci dari kotoran, dan syubhat.[72]
Selanjutnya al-A<lu>siy menegaskan bahwa
diperintahkannya seseorang untuk memakan makanan yang demikian itu, karena
makanan tersebut dapat mempengaruhi keadaan tubuh. Karenanya, dalam pencarian
harta hendaknya ditempuh dengan cara yang baik dan halal. Dengan kata lain, al-Qur’an tidak membenarkan seseorang
bekerja asal dapat memperoleh harta saja, melainkan harus menempuh jalan yang
baik. [73]
c. Pendidikan Pascalahir
Setelah dipahami hakikat pendidikan anak dalam kandungan,
maka kali ini juga diuraikan
tentang pendidikan anak setelah
lahir. Masa kelahiran bayi adalah masa
yang ditunggu-tunggu. Setiap anak yang lahir akan menggantungkan kebutuhannya secara penuh pada keadaan
kondisi manusia lainnya yang lebih sempurna. Kelemahan pada bentuk fisik anak yang lemah
mencerminkan akan
keseluruhan yang dimilikinyapun
lemah.
1)
Memperdengarkan
azan
Subtansi azan adalah pembekalan tauhid kepada anak, maksudnya kalimat yang pertama sekali didengar,
diucapkan oleh lidah anak, dan merupakan kata-kata yang pertama kali dipahami
adalah tentang keimanan dan tauhid. Hal tersebut sejalan dengan hadis Nabi saw.:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ
فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ.[74]
Terjemahnya:
Dari ‘Ubaidilla>h bin Abi> Ra>fi‘
dari bapaknya ia berkata: Aku melihat Rasulullah saw. mengumandangakan adzan
layaknya adzan shalat pada telinga al-H{asan bin ‘Ali ketika dilahirkan oleh
ibunya, Fa>t}imah.
Dalam hadis ini terdapat pengertian secara tersirat bahwa
anak yang baru lahir sudah bisa
menghayati kejadian-kejadian yang timbul di sekelilingnya, meskipun ia belum
bisa mengamalkannya. Bahkan rahasia azan dan iqamat, menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah
mengemukakan hikmah yaitu, pertama, agar yang pertama-tama mengetuk
pendengaran manusia adalah kalimat yang memuat keagungan dan kebesaran Ilahi
serta syahadat yang merupakan jalan yang harus ditempuh untuk menganut agama
Islam. Kedua, larinya syetan dari kalimat-kalimat azan karena sebelum
itu syetan itu selalu mengintai bayi sampai ia lahir, dengan azan itu syetan
akan lemah ketika pertama kali hendak mendekati manusia. ketiga, agar
seruan azan yang mengandung tauhid dan seruan
kepada ibadah mendahului seruan setan.[75]
Wahbah al-Zuhaili berpendapat, meskipun hadis terkait
dengan azan pada bayi yang baru dilahirkan itu lemah, namun hal itu tetap
penting dilakukan agar kalimat-kalimat t}ayyibah/baik yang pertama kali
didengar anak ketika lahir ke dunia ini, sebagaimana kalimat itu pula yang
perdengarkan dan dibimbingkan kepada orang yang menghadapi sakrat al-maut,
sekaligus perisai kepada anak yang baru dilahirkan agar tidak diganggu dan
digoda oleh setan.[76]
2)
Menyusui hingga
dua tahun
Pemberian dan pemenuhan air susu ibu (ASI) maupun kebutuhan psikis seperti
dekapan dan kasih sayang ketika menyusui. Keutamaan ASI pada bayi adalah
menurut beberapa pandangan ahli gizi dikatakan air susu ibu adalah sebuah
cairan khusus yang ada pada ibu untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dan
melindunginya dalam melawan kemungkinan serangan penyakit. Keseimbangan zat-zat
gizi dalam air susu ibu berada pada tingkat terbaik. Air susunya memiliki
bentuk paling baik bagi tubuh bayi.
Pada saat yang sama, ASI mengandung pula zat sari-sari makanan yang
mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem syaraf.[77]
Ia merupakan proses biologis dan psikis yang mempunyai pengaruh yang jauh dalam pembentukan tubuh, emosi, dan
sosial anak.[78]
Penyusuan alami mempunyai manfaat bagi ibu dan bayi. Di
antaranya adalah ASI merupakan minuman siap pakai dan steril sehingga radang
perut yang kronis dan radang sistem pernafasan yang diderita bayi yang menyusui
dari botol dapat tereliminir. Susu Ibu tidak ada bandingnya karena tersusun
untuk memenuhi kebutuhan anak setiap hari sejak kelahirannya sampai besar
menjelang masa penyapihan. Unsur Colostrum (ASI pertama setelah kelahiran)
adalah cairan kuning yang dikeluarkan payudara secara langsung setelah tiga
hari atau empat hari, dan mengandung sejumlah bahan konsentrat berupa protein
yang telah tercerna serta bahan-bahan yang mengandung antimikroba dan kuman.
Unsur-unsur tersebut efektif mentransfer sistem kekebalan (imunitas) dari ibu
ke bayi.
Pertumbuhan anak-anak yang menuyusu dari ibu mereka
lebih cepat dan lebih sempurna dibandingkan mereka yang menyusu dari botol. Bayi yang
minum air susu dari ibu mereka mengalami perkembangan psikis yang baik, sebab banyak dari
mereka yang menyusu dari botol mengalami berbagai penyakit psikis. Bayi yang menyusu dari botol rentan terhadap penyakit
kulit dengan segala macam bentuknya, asma dan indera sistem pencernaan, disamping
juga radang perut kronis,
sementara anak-anak yang menyusu dari ibu secara langsung hanya
sangat sedikit yang menderita penyakit-penyakit tersebut.[79]
Demikian pentingnya penyusuan terhadap bayi, Allah
swt., berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2
: 233 yang berbunyi :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ
وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ
مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن
تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا
آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٣﴾
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf,
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayat karena
anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa baginya bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.[80]
Menurut Ibnu
Qayyim bahwa ayat di atas mengindikasikan sejumlah hukum dan ketentuan. Pertama, masa penyusuan yang sempurna
adalah dua tahun, itu hak anak di saat membutuhkannya. Kedua, jika orang tua ingin menyapihnya sebelum batas waktu di
atas, maka ada musyawarah di antara mereka serta tidak menimbulkan resiko bagi
bayi. ketiga, jika bapak hendak
menyewa jasa perempuan selain isterinya untuk menyusui anaknya maka harus
dengan catatan tidak ada resiko bagi ibu dan bayinya.[81]Al-Ghazāli menambahkan selama masa
mengasuh dan menyusui jangan menggunakan jasa wanita penyusu selain wanita
shaleh, beragama kuat dan yang memakan sesuatu halal. Sebab susu yang diperoleh
dari sumber yang haram tidak akan ada berkahnya.[82]
Air susu ibu sendiri tidak tertandingi kualitasnya dengan
air susu manapun, karena air susu hari pertama mengandung banyak lemak dan
bersamaan itu juga ibu mentransfer kebiasaannya, kesehatannya, penyakitnya dan
emosi-emosinya kepada si bayi yang disusuinya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu keharusan
bagi anak, sebab dengan pendidikan, ia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Oleh karena itu anak yang merupakan karunia dan amanah Allah kepada kedua orang
tua haruslah dididik dan ditumbuh kembangkan menjadi anak yang bertakwa.
Pertumbuhan dan pekembangan anak baik jasmani maupun rohani bisa berjalan
secara sempurna, apabila bimbingan, perhatian dan arahan orang tua diberikan
secara baik. Pendidikan yang berlangsung di lingkuangan keluarga sangat
menentukan dalam membentuk kepribadian anak.
1.
Prinsip-prinsip pendidikan anak
dalam hadis meliputi prinsip pendidikan tauhid, ibadah dan akhlak. Kesemua
prinsip ini, merupakan prinsip pendidikan yang perlu ditanamkan kepada anak
sejak dalam kandungan. Apabila kesemua prinsip ini telah terbentuk oleh pribadi
setiap anak maka anak akan tumbuh menjadi anak yang berkualitas sebagaimana
yang diharapkan oleh setiap orang tua.
2.
Tahapan dan metode pendidikan anak usia dini dalam al-Qur’an kiranya dengan tegas
dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: Pertama; pendidikan
anak sebelum menjadi sepasang suami isteri.Kedua; pendidikan anak
dalam kandungan. Keturunan yang sangat berpengaruh dari padanya, sehingga
ketika menjadi seorang ibu, ada tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan yaitu; memperbanyak mengucapkan kalimat t}ayyibah. Hal ini turut menghadirkan setetes nut}fah dalam rahim
seorang ibu akan sadar tentang pembinaan
sistem corak religius. Begitu juga seorang ibu agar memperhatikan makanan yang
harus memenuhi unsur hala>l t}ayyib. Ketiga; pendidikan anak setelah
lahir, seperti mengumandangkan azan dan menyusuinya hingga 2 tahun.
B.
Implikasi
Hadis-hadis
yang telah diteliti ini dapat dijadikan pegangan dalam mendidik anak, khsusnya
dalam menanamkan prinsip-prinsip pendidikan terhadap anak. Pendidikan yang
dianjurkan oleh Rasulullah saw. dalam hadis-hadis tersebut dapat dijadikan
pedoman dan diterapkan pada kondisi sekarang ini, karena dari hadis-hadis itu
menggambarkan bahwa mendidik anak itu harus dengan cara bertahap. Selain itu
orang tua dan para pendidik hendaklah memperhatikan dan memberikan pendidikan
kepada anak sejak dini, dengan pola pendidikan yang terdapat dalam syariat
agama dan hadis Rasulullan saw., semoga dengan memberikan pendidikan seperti
itu, mereka akan tumbuh menjadi anak yang beriman dan bertakwa yang memiliki
wawasan keilmuan.
Orang
tua dalam mendidik anak haruslah memberikan keteladanan yang baik serta
membiasakan anak untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, karena
keteladanan dan pembiasan sangat penting bagi jiwa dan perkembangan anak.
Hadis-hadis Nabi saw. yang terdapat dalam makalah ini merupakan salah satu
contoh kongkrit bagi orang tua dalam menanamkan prinsip-prinsip pendidikan
terhadap anak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A<lūsi>, Abu> al-Fad}l Syiha>b al-Din Muḥammad al-Bagdādi>. Ru>h}
al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n wa al-Sab‘i
al-Mas\a>ni>. Bairut: Dār Ih}ya>’ al-Tura>s\
al-‘Arabī, t.th.
Anis,
Ibrahim. al-Mu’jam
al-Wasi>t},
Juz I. Cet. I; Istambul al-Maktabah Al-Islamiyah, 1972 M.
Al-‘Arabi>, Abu> Bakar. Ah}ka>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabah al-Sa’a>dah, 1331
H.
Al-‘Asqala>ni>, Abu> al-Fad}l Ahmad bin Hajar. Fath}
al-Ba>ri> Syarh S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. t.t; Da>r al-Fikr
al-Maktabah al-Salafiyah t.th.
-----------------, Nuz}a>l al-Naz}ar Syarh Nukhbat al-Fikr. Makkah: al-Maktabah al-Islamiy,
t.th.
-----------------, Tahz\i>b al-Tahz\i>b. Cet.
I; Da>r al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M.
-----------------, Bulu>g
al-Mara>m. Bandung: al-Ma‘a>rif, t.th.
Al-Azdi>,
Abu> Da>wud
Sulaima>n bin al-Sajista>ni>. Sunan Abi> Da>wud. Beirut: Dar al-fikr, t.th.
Al-Barr, Muh}ammad ‘Ali. ‘Amal al-Mar’ah fi al-Mi>za>n. Jeddah: al-Da>r al-Sa‘u>diyyah,
1412 H.
Departemen
Agama RI., Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 1991/1992 M.
---------------, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah Press, 1989
M.
Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I;
Jakarta: Balai Pustaka, 1989 M.
Al-Gaza>li>,
Abu> H{amid. Ihya>’
Ulu>m al-Di>n. Kairo: Da>r
Ih{ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.
Hanbal, Abu> ‘Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin. Musnad Ah}mad bin H}ambal, Juz. VI. Cet. I; Beirut: ‘A>lam al-Kutub, 1419
H./1998 M.
Isjoni. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 M.
Ismail,
M. Syuhudi. Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah. Jakarta:
Bulan Bintang, 1988 M.
---------------------, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992 M.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Tuh}fat al-Maudu>d. Kairo : al-Mat}ba‘ah al-Mis}riyyah, t.th.
Al-Khat}i>b, ‘Ajja>j. Us}u>l
al-H}adi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh. Beirut: Da>r
al-Fikr, 1975 M.
Khon, Abdul Majid. Ulum al-Hadis. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008 M.
Langgulung,
Hasan. Manusia
dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989 M.
Ma’luf,
Lois. al-Munjid
fi al-Lugah wa al-Adab wa al-‘Ulu>m. Cet. XV; Beirut: al-Maktabah al-Kotolikiyah, 1956 M.
Mansur. Mendidik
Anak Sejak dalam kandungan. Cet.I; Yogyakarta: Mirta Pustaka , 2005.
Al-Mara>gi>, Aḥmad Mus}t}afa>. Tafsi>r
al-Mara>giy. Mesir: Mus}t}āfa> al-Bābiy al-H{alabiy wa Syirkahu, t.th.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: al-Ma'arif, 1987 M.
Marimba,
Ahmad D. Pengantar
Filsafat Pendidikan.
Cet. VIII; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989 M.
Maskwaih, Ibnu. Tahz\i>b al-Akhla>q wa Tark al-A’ra>qi. Kairo:
al-Khairiyah, 1322 H.
Mazheruddin, Shiddiqi. Women in Moslem. New Delhi: Adam Publisheren and Distributors,
t.th.
Al-Mizzi>,
Abu> al-Hajja>j Yu>suf bin al-Zaki>. Tahz\i>b al-Kama>l. Cet. I; Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
Al-Muba>rakfu>ri>, Abu> al-‘Ala> Muhammad ‘Abd
al-Rah{ma>n bin ‘Abd al-Rah{i>m. Tuh{fah al-Ah{waz\i>. Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Must}afa>, Ibrahim. et.ol., al-Mu‘jam
al-Wasi>t{. Teheran: al-Mat}ba‘ah al-Isla>miyyah, t.th.
Al-Naisa>bu>ri>, Abu> al-H{usain
Muslim bin al-Hajja>j. S{ah{i>h{ Muslim. Beirut: Da>r Ih{ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Nawawiy, Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf
bin Murrah. Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah{i>h} Muslim. Cet. II; Beirut:
Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.
Al-Qa>simi>,
Muhammad Jala>l al-Di>n. Qawa>’id al-Ta>rikh min
Funu>n Mus}t}alih} al-H}adi>s\. Beirut: Da>r al-Kutub al-Isla>mi>, t.th.
------------------, Tafsi>r
al-Qa>simiy. Mesir: Mus}t}āfa> al-Bābiy wa al-H{alabiy wa Awlāduh, 1388 H.
Al-Qurt}ūbī, Abu> ‘Abdillah
Muḥammad bin Aḥmad al-Ans}a>ri>.
al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n. t.p.; Da>r al-Kutub al-‘Arabiy, t.th.
Qutub, Sayyid. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Cet.
II; Mesir: ‘i<sa> al-Bābī al-H{alabī wa Syurakah,
t.th.
Al-S}a>lih}, S}ubh}i>.‘Ulu>m al-H{adi>s\
wa Mus}t}alah}uh. Beirut:
Da>r al-‘Ilmi, al-Mala>yin, 1977 M.
Al-S}abba>g,
Muhammad. al-H}adi>s\
al-Nabawi> (Riya>d:
Maktabah al-Islami, 1392 H/1972M.
Al-Sabi>li>,
Mus}t}afa>. al-Sunnah
wa Maka>natuha> fi al-Tasyri>’ al-Isla>mi>. t.t; Da>r al-Qawiyah, 1996 M.
Sediaoetoma, Ahmad
Djeni. Ilmu Gizi Untuk Profesi dan
Mahasiswa. t.p.; PT. Dian Rakyat, t.th.
Shihab, M. Quraish Al-Qur’an dan Maknanya. Cet.I; Jakarta: Lentera
Hati, 2010.
Sunarso. Pengantar Umum Pendidikan. Jakrta: Aksara Baru, 1985 M.
Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n Abd
al-Rah{ma>n bin Abi Bakr. Ta>rikh al-Ra>wi Syarh
Targi>b al-Nawawi>. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Sunnah al-Nabawiyah, 1979 M.
Al-Syalt}u>t},
Kha>lid Ah}mad. Tarbiyah
al-Bana>t li al-Bait al-Muslim. Jeddah: al-Mujtama‘, 1413 H.
Al-Syat}i>bi>, Abu Ishak Ibrahim. al-Muwa>faqat
fi Us}u>l al-Syarh Abdullah Darra>z. Mesir: al-Maktabah
al-Tija>riyah al-Kubra>, t.th.
Al-T{ah}h}a>n, Mah{mu>d. Taisi>r
Mus}t}alah} al-H}adi>s\. Beirut: Dar al-Qalam , 1398 H/1979
M.
Tienje,
Nurlaila. Pendidikan
Anak Usia Dini untuk Mengembangkan Multiple Intelligence, Jakarta: Darma Graha Group, 2004 M.
Al-Turmuz\i>,
Abu> ‘I<sa> Muhammad bin ‘I<sa> bin Saurah. Sunan al-Turmuz\i>, Juz IV. Kitab al-Azhari, Bab XVII.
Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
‘Ulwa>n,
‘Abdullah Na>sikh. Tarbiyah
al-Aula>d fi al-Isla>m, Juz I> Beirut: Da>r al-Sala>m, 1978 M.
Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
Yahya, Harun. High-Risk Newbon- The Benefits of Mother’s Own Milk. University of Utah Healt Siences
Center, t.th.
Zahwa>,
Abu. al-H}adi>s\
wa al-Muh}addis\u>n.
Meisr: Maktabah Mishr, t.th.
Al-Zain, Muhammad. Wa>jiba>t
al-Āba>’ Nahw al-Abna>’. Kairo: al-Mu’assasah al-Sa‘u>diyyah, 1406 H.
Zakariya>, Abu al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin. Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Juz I. Cet. I; Beirut Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1999 M.
Al-Zar‘iy, Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Abī Bakar Ayyūb. Tuhfat al-Mawdu>d bi
Ah}ka>m al-Mau>lu>d. Damsyiq: Maktabah Dār al-Bayān, 1391H./1971 M.
Al-Zuhaili>,
Wahbah bin Mus}t}afa>. al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuh, Juz. IV. Cet. IV; Beirut: Da>r
al-Fikr, 1418 H./1997 M.
[1]Departemen Agama. RI. Al-Qur’an
dan Terjemahannya (Bandung: Gema Risalah Press, 1989 M.), h. 680.
[2]Ahmad D. Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Cet. VIII; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989 M.), h.19
[3]Pengertian Mutawatir
adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat sanadnya,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat terlebih dahulu berdusta.
Sebahagian ulama ada yang menambahkan unsur penyaksian panca indera sebagai
salah satu persyaratan hadis mutawatir tersebut. Lihat Jala>l al-Di>n
‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, Ta>rikh
al-Ra>wi Syarh Targi>b al-Nawawi>, juz II (Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Sunnah al-Nabawiyah, 1979 M.), h. 176. Hadis Ahad adalah hadis
yang diriwayatkan oleh periwayat yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Lihat
Mus}t}afa> al-Sabi>li>, al-Sunnah wa Maka>natuha> fi
al-Tasyri>’ al-Isla>mi> (t.t; Da>r al-Qawiyah, 1996 M.), h.
150. Abu> al-Fad}l Ah}mad bin Hajar al-Asqala>ni, Nuz}a>l al-Naz}ar
Syarh Nukhbat al-Fikr (Makkah: al-Maktabah al-Isla>mi>, t.th.), h. 9.
S}ubh}i al-S}a>lih}, ‘Ulu>m al-H}adi>s\ wa Mus}t}alah}uh (Beirut:
Da>r al-‘Ilmi, al-Mala>yin, 1977 M.), h. 146-147; Mah{mu>d
al-T}ah}h}a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r
al-Qalam , 1398 H/1979 M.), h. 18-22. ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l
al-H}adi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1975
M.), h. 302-303. Muhammad al-S{abba>g, al-H}adi>s\ al-Nabawi> (Riya>d:
Maktabah al-Islami>, 1392 H/1972 M.), h. 167-168.
[4]Qat{’i al-wuru>d atau qat’i al-s\ubu>t
ialah absolut (mutlak) kebenaran beritanya, sedangkan z{anniy al-wuru>d
atau z}anni al-s\ubu>t (relatif) atau tidak mutlak tingkat
kebenarannya. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 4. sebagaiman dikutif dari al-Ad}abi>, Manhaj
Naqd al-Matn (Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1403 H/1983 M.),
h. 239; S}ubh}i al-S}a>lih}, op. cit., h. 151. Abu> Isha>q
Ibrahim al-Syat}i>bi>, al-Muwa>faqat fi Us}u>l al-Syarh Abdullah
Darra>z (Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, t.th.), h.
15-16.
[5]Beberapa alasan yang menjadikan
mengapa hadis Nabi tidak tercatat secara keseluruhan pada masa Nabi, antara
lain bahwa sangatlah sulit untuk mencatat semua kegiatan orang yang masih
hidup, apalagi untuk mengikuti dan mencatat apa saja yang berasal dari Nabi,
terutama yang terjadi hanya dihadapan satu atau dua orang sahabat saja.
Disamping itu pada masa Nabi, sahabat yang dapat menulis masih sedikit
jumlahnya, sedangkan para penulis pada waktu itu disibukkan oleh urusan
penulisan wahyu yang turun kepada Nabi. Di pihak lain juga Nabi pernah melarang
dan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis Nabi. Adanya kebijaksanaan Nabi
yang bertentangan itu menurut bin Najjar al-Asqalaniy (w. 852 H/1449 M) cara
penyelesaiannya adalah dengan menggunakan metode al-Jam’u yakni larangan khusus
bagi yang kuat hafalannya, sedangkan kebolehan berlaku bagi yang tidak kuat
hafalannya. Selain itu juga digunakan metode al-Na>sikh wa al-Mansu>kh,
yaitu larangan merupakan kebijaksanaan Nabi pada awal Islam, yang ketika itu
umat islam masih dikhawatirkan belum cermat dalam mencatat wahyu al-Qur’an yang
bukan al-Qur’an sedangkan perintah kebolehan merupakan kebijakan semua. Abu>
al-Fad}l Ah}mad bin Hajar al-Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri> Syarh
S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz I (t.t; Da>r al-Fikr, t.th.), h.
208. Penjelasan Bin H}ajr al-‘Asqala>ni> tersebut dikutip, dikritik dan
ditambah oleh ulama berikutnya, lebih lanjut lihat ‘Ajja>j al-Khat}i>b, op.
cit., h. 152 –153.
[6]Sejarah penghimpunan hadis
secara resmi yang dilakukan oleh seorang Kepala Negara adalah pada masa khalifah
‘Umar bin Ab. Azis (w. 101 H.720 M), Khalifah kelima dari Daulat Umaiyah. Lebih
lanjut lihat Muhammad Jala>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa>’id
al-Ta>rikh min Funu>n Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r
al-Kutub al-Isla>mi>, t.th.), h. 71. S}ubh}i al-S}a>lih}, op. cit.,
h. 44. al-‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s\, op.
cit., h. 179. M. Syuhudi Ismail, Metodologi, op. cit., h. 16-17. M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988 M.), h. 221.
[7]Adanya penilaian ulama dan
pembuatan kriteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadis
setelah kegiatan penghimpunan hadis melahirkan istilah al-Kutub al-Khamsah
(lima kitab standar), al-Kutub al-Sittah (enam kitab standar), al-Kutub
al-Sab’ah (tujuh kitab standar), lihat Syuhudi Ismail “Kaedah”, op.
cit., h. 103; Abu> Zahwa>, al-H}adi>s\ wa al-Muh}addis\u>n
(Meisr: Maktabah Mes}ir, t.th.), h. 177-199.
[8]Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. I;
Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 204.
[9]Abu> al-H{usain Ah}mad bin
Fa>ris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah, Jilid I
(Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999 M.), h. 509.
[10]Lois Ma’luf, al-Munjid fi
al-Lugah wa al-Adab wa al-‘Ulu>m (Cet. XV; Beirut: al-Maktabah
al-Kato>likiyah, 1956 M.), h. 247.
[11]Ibrahim Anis, al-Mu’jam
al-Wasi>t} Juz I (Cet. I; Istambul al-Maktabah Al-Isla>miyah, 1972
M.), h. 321.
[13]Ahmad
D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma'arif,
1987 M.), h. 19.
[14]Departemen
Agama RI., Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta:
Dirjen Bimbaga Islam, 1991/1992 M.), h. 3.
[15]Lihat
Sunarso, Pengantar Umum Pendidikan (Jakrta: Aksara Baru, 1985 M.), h. 2.
[16]Nurlaila Tienje, Pendidikan
Anak Usia Dini untuk Mengembangkan Multiple Intelligence, (Jakarta: Darma
Graha Group, 2004 M), h. 15.
[17]Lihat Isjoni, Saatnya
Pendidikan Kita Bangkit (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 M), h.3
[18]Al-Jauhari>, al-S}ih}a>h}
fi al-Lug}ah, jilid I, http://www.alwarraq.com (CD Rom Maktabah Syami>lah),
h. 166.
[19]Abdul Majid Khon, Ulum
al-Hadis (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008), h. 115.
[21]Lihat M.Syuhudi Ismail, op.cit.,
h.43
[25]Juz
III, h. 246.
[27]Abu>
Da>ud Sulaima>n bin al-Sajista>ni> al-Azdi>, Sunan Abi>
Da>ud, Juz II (Beirut: Da>r al-fikr, t.th.), h. 479.
[28]Abu> ‘I<sa> Muh}ammad
bin ‘I<sa> bin Saurah al-Turmuz\i>, Sunan al-Turmuz\i>, Juz
IV, Kitab al-Azhari, Bab 17 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 82.
[29]Abu> ‘Abdillah Ah}mad bin
Muh}ammad bin H}ambal, Musnad Ah}mad bin H}ambal, Juz. VI (Cet. I;
Beirut: ‘A>lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 391.
[31]Abu> Da>ud Sulaima>n bin
al-Sajista>ni> al-Azdi>, op.cit., Juz I, h. 197.
[32]Al-Turmuz\i>, op. cit., Juz
IV, h. 338. Hadis yang sama terdapat pada: Ah}mad bin Muh}ammad bin H}ambal, Musnad
Ah}mad, op.cit., Juz. III, h. 412, Juz. IV, h. 77 dan 78.
[33]Abu> al-Fad}l Ahmad bin Hajar
al-Asqala>ni, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz IV, (Cet. I; Da>r al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984
M), h. 149.
[34]Ibid. Juz X, h. 109.
[35]Ibid., Juz XI, h. 190
[36]Abu> al-Hajja>j Yu>suf bin
al-Zaki> al-Mizzi>, Tahz\i>b al-Kama>l, Juz. XI (Cet. I;
Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.), h. 154.
[37]Ibid., Juz. XIII, h. 500.
[41]Istilah tanawwu’ pada
dasarnya masih perlu diklasifikasi dalam beberapa bagian agar tidak terjadi
salah pemahaman terhadap istilah tersebut, karena tanawwu’ yang dapat
dijadikan dalam satu skema adalah tanawwu’ al-alfa>z} (lafaz yang
beraneka ragam tapi kasusnya sama) dan tanawwu’ al-wuqu>’ (kasus yang
berbeda). Sedangkan tanawwu’ al-maud}u’ (topik/pembahasan yang berbeda)
tidak dapat disatukan dalam satu skema sanad.
[42]Diantara ulama yang menolak
adalah al-Bukhari dan Ibnu Arabiy, lebih lanjut lihat ‘Ajja>j
al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1409
H/1989 M.), h. 332-333.
[43]Lihat Lois
Ma’luf, op.cit., h. 890.
[44]Abu> al-‘Ala> Muhammad
‘Abd al-Rah{ma>n bin ‘Abd al-Rah{i>m al-Muba>rakfu>ri>, Tuh{fah
al-Ah{waz\i>, Juz. V (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h.
89.
[45]Wahbah bin Mus}t}afa>
al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuh, Juz. IV (Cet. IV;
Beirut: Da>r al-Fikr, 1418 H./1997 M.), h. 288.
[46]Abu> al-H{usain Muslim bin al-Hajja>j
al-Naisabu>ri>, S{ah{i>h{ Muslim, Juz. II (Beirut: Da>r
Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 631.
[48]Lihat ‘Abdullah Na>sikh
‘Ulwa>n, Tarbiyah al-Aula>d fi al-Isla>m, Juz I (Beirut:
Da>r al-Sala>m, 1978 M.) h. 155.
[49]Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1989 M.), h. 373.
[51]Lihat Ibnu
Miskwaih, Tahz\i>b al-Akhla>q wa Tark al-A’ra>q (Kairo:
al-Khairiyah, 1322 H.), h. 17.
[52]Lihat Abu> Bakar
al-‘Arabi>, Ah}ka>m Al-Qur’a>n, Juz II (Kairo: Maktabah
al-Sa’a>dah, 1331 H), h. 29.
[53]Sayyid
Qutub, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n,
Juz XVIII (Cet. II; Mesir: ‘i<sa> al-Bābī
al-H{alabī wa
Syurakah, t.th.), h. 17.
[54]Dalam
ilmu pendidikan masa kini dikenal istilah prakonsepsi, yaitu suatu upaya
persiapan pendidikan anak yang dimulai sejak seseorang memilih pasangan hidup
hingga terjadi pembuahan dalam rahim ibu. Lebih
lanjut lihat:
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), h. 24.
[55]M.
Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Cet.I; Jakarta: Lentera
Hati, 2010), h. 35.
[56]Aḥmad Mus}t}afa>
al-Mara>gi>, Tafsi>r
al-Mara>giy, Juz II (Mesir: Mus}t}āfa> al-Bābiy al-H{alabiy wa Syirkahu, t.th.), h. 152.
[59]Shiddiqi Mazheruddin, Women in Moslem (New Delhi: Adam Publisheren and Distributors,
t.th.), h. 49.
[60]Kalimat
khalaqa zawjaha>, dapat dilihat pada Q.S. al-Nisa>’/4: 1 yang
bermakna Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Lihat Quraish Shihab, Perempuan (Cet. I; Jakarta: Lentera
Hati, 2005), h, 136. Lihat pula Muḥammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simiy, Tafsi>r al-Qa>simiy, Juz V (Mesir:
Mus}t}āfa> al-Bābiy wa al-H{alabiy wa Awlāduh, 1388 H.), h. 1959.
[62]Al-Bukha>riy, op. cit., Juz
I, h. 65.
[63]Abu> Zakariyya> Yah{ya>
bin Syaraf bin Murrah
al-Nawawiy, Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah{i>h} Muslim, Juz XIII
(Cet. II; Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.), h.
185.
[64]Muhammad
al-Zain, Wa>jiba>t al-Āba>’ Nahw al-Abna>’ (Kairo:
al-Mu’assasah al-Sa‘u>diyyah, 1406 H.), h. 28.
[65]Mansur,
Mendidik Anak Sejak dalam kandungan
(Cet.I; Yogyakarta: Mirta Pustaka , 2005), h. 176.
[66]Lihat,
Ahmad Djeni sediaoetoma, Ilmu Gizi Untuk
Profesi dan Mahasiswa (t.p.; PT. Dian Rakyat, t.th., h. 22-23.
[67]Lihat,
Ibrahim Must}afa>, et.ol., al-Mu‘jam al-Wasi>t{, Juz II
(Teheran: al-Mat}ba‘ah al-Isla>miyyah, t.th.), h. 603.
[68]Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit ., h. 41
[69]Abu
al-Husāin Aḥmad bin Fāris bin Zakariyya>, Mu‘jām
Muqa>yis al-Lugah, Juz III (Kairo:
Must}afa> al-Bābī al-H{alabī wa Aulādah, 1969), h. 435.
[71]Lihat,
Abu> ‘Abdillah Muḥammad
bin Aḥmad al-Ans}a>ri> al-Qurt}ūbī, al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n, (t.p.; Da>r al-Kutub al-‘Arabiy,
t.th.), h. 567.
[72]Lihat:
Abu> al-Fad}l Syiha>b al-Din Muḥammad al-A<lūsi> al-Bagdādi>, Ru>h} al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n wa al-Sab‘i
al-Mas\a>ni>, Juz I (Bairut: Dār Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabī, t.th.), h. 83.
[73]Lihat:
Ibid., h. 91.
[74]Abu>
Da>wud, op. cit., Juz II, h. 749, al-Turmuz|iy, op. cit., Juz
IV, h. 97, Ah{mad bin H{anbal, op. cit., Juz VI, h. 9 dan 391.
[75]Lihat:
Abū ‘Abdullah
Muḥammad bin
Abī Bakar Ayyūb al-Zar‘iy, Tuhfat
al-Mawdu>d bi Ah}ka>m al-Mau>lu>d (Damsyiq: Maktabah Dār al-Bayān, 1391H./1971 M.), h. 31.
[76]Wahbah al-Zuh{aili>, op.
cit., Juz I, h. 634.
[77]Harun
Yahya, High-Risk Newbon- The Benefits of
Mother’s Own Milk, (University of Utah Healt Siences Center, t.th), h. 1. Penelitian
ilmiah telah membuktikan bahwa perkembangan kemampuan otak pada bayi yang
diberi konsumsi ASI jauh lebih sempurna. Artinya IQ (intelektual quession/tingkat
kecerdasan) bagi bayi yang diberi ASI lebih tinggi 5 angka dari pada bayi yang
lainnya (yang tidak memanfaatkan dengan mengkomsumsi ASI).
[78]Kha>lid Ah}mad al-Syantu>t, Tarbiyah al-Bana>t li al-Bait al-Muslim (Jeddah: al-Mujtama‘,
1413 H.), h. 30.
[79]Muh}ammad ‘Ali al-Barr, ‘Amal al-Mar’ah fi al-Mi>za>n
(Jeddah: al-Da>r al-Sa‘u>diyyah,
1412 H.),
h. 102-103.
[81]Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Tuh}fat al-Maudu>d
(kairo : al-Mat}ba‘ah al-Mis}riyyah, t.th.), h. 166.
[82]Abu>
H{amid al-Gaza>li>, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, Jilid III dalam pengantar
oleh Badawi T}aba>nah, (Kairo: Da>r Ih{ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah,
t.th.), h. 70.
How to Open an NJ Casino - JTM Hub
BalasHapusCasino online allows you 김제 출장안마 to play 고양 출장안마 all your favorite casino games including slots, 대구광역 출장마사지 video 상주 출장마사지 poker, 청주 출장마사지 blackjack, roulette, and many more.