Selasa, 07 Januari 2014

WAKTU Dalam Perspektif al-Qur’an



WAKTU
Dalam Perspektif al-Qur’an




Makalah Revisi
Mata kuliah Tafsir al-Maud}u>‘iy
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor

Oleh;
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu;
Prof. Drs. H. Rafi’i Yunus, M.A., Ph.D.
Dr. Kamaluddin Abu Nawas, M.Ag.


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Setiap bangsa memiliki falsafahnya sendiri tentang waktu. Bangsa Arab misalnya, mempunyai falsafah “الوقت كاسيف إن لم تقطعه قطعك[1] (waktu ibarat pedang, jika engkau tidak memutusnya maka ia akan memutusmu). Maksudnya, kalau kita pandai menggunakan pedang, maka pedang itu akan menjadi alat yang bermanfaat. Tapi kalau tidak bisa menggunakannya, maka bisa-bisa kita sendiri akan celaka. Begitu juga dengan waktu, kalau kita pandai memanfaatkannya maka kita akan menjadi orang yang sukses. Tapi kalau tidak, maka kita sendiri yang akan tergilas oleh waktu.
Sementara orang barat, mempunyai falsafah time is money, waktu adalah uang. Faham ini sangat materialisme. Kesuksesan, kesenangan, kebahagiaan, kehormatan, semuanya diukur dengan materi. Maka mereka akan merasa rugi jika ada sedikit saja waktu yang berlalu tanpa menghasilkan uang. Uang menjadi tujuan hidupnya.
Namun selaku umat Islam yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup, seharusnya mengkaji kembali tentang waktu dalam al-Qur’an. Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah swt. memulai firman-Nya dengan sumpah yang yang mengarah pada makna waktu, semisalnya wa al-‘as}r (demi masa) wa al-d}uh}a> (demi waktu dhuha), wa al-fajr (demi waktu fajar), wa al-lail (demi waktu malam), dan masih banyak lagi. Dalam ayat-ayat tersebut Allah bersumpah dengan menggunakan kata waktu. Menurut para ahli tafsir, dengan menggunakan kata waktu ketika bersumpah, Allah swt., ingin menegaskan bahwa manusia hendaknya benar-benar memperhatikan waktu, karena sangat penting dan berharga dalam kehidupan manusia.
Dalam Q.S. al-‘As}r misalnya, Allah swt. dengan tegas mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua manusia itu berpotensi menjadi orang yang merugi, baik di dunia maupun di akhirat. Lalu siapakah manusia yang beruntung? Ternyata menurut al-Qur’an, manusia yang beruntung itu bukanlah yang pangkatnya tinggi atau yang uangnya banyak. Tapi yang beruntung adalah mereka yang beriman, beramal shaleh, dan yang suka saling menasehati dalam kebenaran dan selalu saling menasihati akan kesabaran.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalah pokok dalam makalah ini adalah bagaimana wawasan al-Qur’an tentang waktu. Untuk mendapatkan jawaban terhadap rumusan pokok tersebut, dibuatlah sub-sub masalah sebagai berikut:
1.      Terma-terma apa saja yang digunakan al-Qur’an dalam mengungkap waktu?
2.      Bagaimana tabiat waktu dalam al-Qur’an?
3.      Apa saja urgensi kehadiran waktu dalam al-Qur’an?  
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Waktu
Dalam Kamus Bahasa Indonesia paling tidak terdapat 7 item yang menjadi arti dari kata waktu: 1) seluruh  rangkaian saat ketika proses; perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung; 2) lamanya (saat tertentu); 3) saat tertentu untuk melakukan sesuatu; 4) kesempatan, tempo, peluang; 5) ketika, saat; 6) hari (keadaan hari) dan 7) saat yang ditentukan berdasarkan pembagian bola dunia.[2]
Sementara dalam al-Qur’an kata yang digunakan dalam menentukan waktu sedikit agak banyak, bahkan Allah swt. berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa al-lail (demi malam), wa al-nahar (demi siang), wa al-s}ubh}i (demi waktu shubuh), wa al-fajr (demi waktu fajar), wa al-‘as}r (demi masa), dan lain-lain.
Untuk mendapatkan makna yang lebih lengkap terkait dengan terma-terma yang digunakan al-Qur’an dalam menunjuk waktu secara umum, berikut akan diuraikan satu persatu:
1.      Al-Waqt
Al-Waqt yang terdiri dari huruf و-ق-ت dalam Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah memiliki makna batasan sesuatu dan hakikat/kadar sesuatu, baik terkait dengan waktu maupun tidak.[3] Dalam al-Mu‘jam al-Wasi>t} dijelaskan bahwa waktu adalah waktu tertentu sebagai kadar bagi sebuah perkara.[4] Menurut al-Mana>wiy, waktu adalah kadar tertentu dari sebuah waktu, atau batasan yang pasti antara dua perkara yang salah satunya telah diketahui dan satunya akan diketahui.[5] Sedangkan al-waqt dalam al-Qur’an digunakan  dalam  arti  batas  akhir  kesempatan  atau peluang  untuk  menyelesaikan  suatu  peristiwa.  Karena  itu, sering  kali  al-Qur’an  menggunakannya  dalam  konteks  kadar tertentu dari satu masa.
2.      Al-‘As}r
Kata al-‘as}r dengan segala derivasinya digunakan dalam al-Qur’an sebanyak lima  kali yang tersebar di dalam empat surah (tiga surah makkiyah dan satu surah madaniyyah).[6] Dari segi etimologi, Ibn Fa>ris menjelaskan bahwa al-‘as}r mempunyai tiga makna yaitu al-dahr atau h{i>n/masa atau memeras sesuatu hingga menghasilkan susu atau hubungan sesuatu/tempat berlindung.[7]       
Al-‘As}r, a‘s}ir dan ya‘s}ir artinya adalah sesuatu yang diringkas atau sari dari sesuatu yang diperas seperti yang terdapat dalam Q.S. Yu>suf/12: 36 dan 49. Awan yang mengandung butir-butir air kemudian berhimpun kemudian menjadi awan berat dan akhirnya hujan. Awan yang demikian itu disebut al-mu‘s}ira>t (al-Naba’/78:14). Udara yang tekanannya demikian keras dan memporak-porandakan segala sesuatu sehingga tampak/keluar bagian-bagian tersembunyi dinamakan ‘is}a>r (Q.S. al-Baqarah/2: 103). Dengan demikian, ada tiga makna dari al-‘as}r yaitu perasan, masa dan waktu sore.[8]

Ayat tersebut memberikan isyarat, bahwa yang tidak melakukan persiapan di pagi hari, yang tidak belajar dan mempergunakan kemampuan akalnya di waktu kecil, yang tidak membuat perancanaan di waktu muda dan seterusnya, maka di waktu tua dia akan menyesal dan menjadi orang yang merugi. Memang kerugian baru dirasakan seseorang, ketika sudah memasuki hari senja. Seperti seorang pedagang, untung dan rugi barulah dihitung ketika hari sudah sore dan matahari menjelang terbenam. Akan tetapi, ketika itu kondisi sudah tidak bisa lagi diperbaiki, selain penyesalan dan meratapi diri ketika dihadapkan pada kerugian, akibat kelalaian sendiri.
3.      Al-Dahr
Al-Dahr yang akar katanya terdiri dari huruf د-ه-ر mempunyai makna al-galabah/kemenangan dan al-qahr/pemaksaan.[9] Al-Dahr dimaknai demikian karena setiap kali ia datang maka pasti ia akan memenangkannya. Namun dalam al-Qur’an, kata al-dahr dengan segala derivasinya digunakan hanya dua kali, yaitu pada Q.S. al-Ja>s\iyah/45: 24 dan Q.S. al-Insa>n/76: 1.
Teks ayat dalam Q.S. al-Ja>s\iyah/45: 24 adalah:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ (24)
Terjemahnya:
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”.[10]
Ibn ‘A<syu>r ketika menafsirkan kata الدهر dalam ayat tersebut berkata bahwa ia adalah waktu yang terus berlangsung di saat siang dan malam silih berganti.[11] Sedangkan al-Zuhailiy mengatakan bahwa yang dimaksud الدهر dalam ayat tersebut adalah masa keberadaan alam semesta.[12]   
Sedangkan teks ayat pada Q.S. al-Insa>n/76: 1 adalah:
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (1)
Terjemahnya:
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?.[13]
Ketika menafsirkan kata حين من الدهر, al-Zuhailiy berpendapat bahwa حين adalah waktu yang terbatas hingga sebagian ulama mengatakan 40 tahun, sedangkan الدهر adalah waktu yang panjang tanpa batas.[14] Sementara al-Ra>ziy mengatakan bahwa ulama dalam memaknai حين terbagi dalam dua pendapat, yaitu حين diartikan sebagai sebagian dari waktu yang sangat panjang dan tidak ditentukan; kedua, sebagian waktu yang ditentukan.[15]      
Jika diklasifikasi dari sekian banyak penafsiran terhadap lafal al-dahr maka dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.       Al-Dahr adalah masa sejak sebelum penciptaan.
b.      Al-Dahr adalah masa yang dilalui alam semesta mulai masa penciptaan hingga kehancurannya sebagaimana pendapat al-As}faha>niy.
c.       Al-Dahr adalah waktu berlangsungnya malam dan siang.[16]
Perbedaan pendapat ulama tentang arti al-dahr terjadi karena perbedaan pendapat tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan al-insa>n pada Q.S. al-Insa>n/76: 1. Sebagian mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Nabi Adam as. Sedangkan mufasir lain berpendapat bahwa al-insa>n adalah setiap manusia mulai dari Nabi Adam as. hingga anak cucunya yang terakhir.[17] Di samping perbedaan penafsiran kata al-insa>n, sebagian lagi berpedoman pada Q.S. al-Ja>s\iyah/45: 24 bahwa yang dimaksud dengan al-dahr adalah siang dan malam. Hal tersebut berlandaskan pada masyarakat Jahiliyah yang menganggap bahwa yang membinasakan mereka adalah siang dan malam karena siang dan malamlah yang menghidupkan dan mematikan mereka sehingga mereka mencacinya.
Sebenarnya ketiga pendapat tersebut dapat dikompromikan dengan menganggap bahwa pendapat kedua dan ketiga merupakan bagian dari pendapat pertama sehingga jika disatukan akan memunculkan pemahaman bahwa yang dimaksud al-dahr masa yang sangat panjang yang dimulai dari masa sebelum penciptaan hingga kehancuran alam semesta. Dalam masa yang panjang tersebut, siang dan malah silih berganti.
Dari kedua penggunaan al-dahr dalam al-Qur’an yang telah ditafsirkan ulama, dapat dipahami bahwa yang dimaksud al-dahr adalah waktu atau saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan  dunia  ini, yaitu sejak diciptakan hingga sampai punahnya alam semesta. Dengan demikian, al-dahr waktu yang sangat panjang hingga punahnya alam karena dikalahkan dan dipaksa oleh al-dahr.
4.      Al-Ajal
Al-Ajal secara etimologi berasal dari akar kata أ-ج-ل dapat menunjuk pada lima makna yang berbeda dan tidak mungkin saling dikaitkan satu sama lain, yaitu 1) akhir dari sebuah waktu; 2) potongan badan dari sapi liar, 3) sakit di leher, 4) pengganti/penahanan; dan 5) karena/alasan.[18] Ibn Manz{u>r berpendapat bahwa al-ajal adalah akhir waktu pada kematian, jatuh tempo dalam masalah hutang piutang dan masa sesuatu.[19] Sementara dalam Bahasa Indonesia, ajal diartikan sebagai batas waktu hidup atau batas janji, atau diartikan mati.[20] 
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, al-ajal dengan digunakan sebanyak 56 kali.[21] Penelusuran terhadap ayat-ayat yang menggunakan kata al-ajal, ditemukan dari 56 kali berulang, 55 kata mengarah pada makna waktu berakhirnya sesuatu, kecuali 1 kata yang tidak menunjuk makna waktu, yaitu Q.S. al-Ma>idah/5: 32:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا...
Terjemahnya:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.[22]
Sedangkan 55 yang lain menunjukkan makna waktu berakhirnya sesuatu, baik akhir dari kehidupan seseorang dengan datangnya kematian, seperti pada Q.S. al-A‘ra>f/7: 34:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ (34)
Terjemahnya:
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.[23]
Sementara al-ajal yang menunjuk pada berakhirnya masa perjanjian, seperti dalam Q.S. al-Qas}as}/28: 29:
فَلَمَّا قَضَى مُوسَى الْأَجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ جَذْوَةٍ مِنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ (29)
Terjemahnya:
Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan Dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: "Tunggulah (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan".[24]
Sedangkan al-ajal yang menunjuk pada berakhirnya masa penantian/‘iddah, seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 231:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ...
Terjemahnya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kita>b dan al-h{ikmah (al-sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[25]
5.      Al-Amad
Al-Amad terdiri dari huruf أ-م-د. Dalam Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah diartikan sebagai al-ga>yah atau puncak/akhir.[26] Dengan demikian, al-amad dapat diartikan sebagai masa, jarak, jangka waktu atau akhir dari sesuatu.
Dalam al-Qur’an, al-Amad berulang sebanyak 4 kali dalam 4 surah, yaitu Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 30, al-Kahfi/18: 12, al-H{adi>d/57: 16 dan al-Jin/72: 25.[27] Dari keempat al-amad tersebut, pada dasarnya digunakan untuk masa waktu yang mempunyai batas, namun tidak diketahui batasnya jika tidak dirangkaikan dengan kata lain. Dengan demikian, al-amad terkadang ditandemkan dengan kata بعد agar menunjuk waktu yang terbatas meskipun sangat panjang, seperti dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 30:
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (30)
Terjemahnya:
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.[28]
Muh{ammad ‘Abduh ketika menafsirkan ayat tersebut berpendapat bahwa al-amad dapat diartikan sebagai akhir, ajal atau tempat. Namun ia mengutip pendapat al-Ra>gib al-As}faha>niy bahwa al-amad dan al-abad sangat dekat maknanya, hanya saja al-abad adalah waktu yang tidak terbatas dan tidak terikat, sedangkan al-amad digunakan pada waktu yang terbatas akan tetapi tidak akan diketahui jika tidak dikaitkan dengan lafal lain.[29]  
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang pendosa setelah mengetahui azab yang mesti diterima menginginkan agar supaya ada masa yang panjang antara mereka dan hari akhir, sekiranya cukup untuk mempersiapkan bekal akhirat.
Sementara dalam Q.S. al-H{adi>d/57: 16, kata al-amad berfungsi sebagai fa>‘il dari kata طال yang berarti panjang. Dengan demikian, al-amad dalam ayat ini mengacu pada jangka waktu yang panjang. Ayat ini berbicara tentang golongan ahl al-kita>b yang terjerumus ke jurang kesesatan karena berlalunya masa yang panjang pada mereka. Sementara al-amad al-Kahfi/18: 12 dan al-Jin/72: 25 tidak dirangkaikan dengan kata lain sebagai penjelas atau pembatas. Q.S. al-Kahfi/18: 12 berbicara tentang pemuda beriman yang ditidurkan oleh Allah swt. dalam gua selama beratus tahun. Penjelasan mengenai jangka waktu diketahui setelah membaca al-Kahfi/18: 25. Sedangkan Q.S. al-Jin/72: 25 disamping tidak dirangkaian dengan pembatas juga tidak dijelaskan oleh ayat selanjutnya. Dengan demikian, masa kedatangan azab itu mungkin sudah dekat dan mungkin masih jauh. 
6.      Al-Abad
Al-Abad yang terangkai dari akar kata أ-ب-د diartikan sebagai masa yang panjang. Sedangkan dalam al-Qur’an al-abad dengan segala derivasinya berulang sebanyak 28 kali,[30] pada umumnya lafal al-abad digunakan sebagai tauki>d atau penguat terhadap lafal khulu>d, khususnya yang terkait dengan penghuni surga dan penghuni neraka dengan karakteristik masing-masing.
Sedangkan kata al-abad yang diucapkan manusia dapat dijumpai pada kisah-kisah, seperti keenggenan umat Nabi Mu>sa> as. memasuki daerah Syam setelah mereka selamat dari Fir’aun dalam Q.S. al-Ma>idah/5: 24. Nasihat As}h}a>b al-Kahf kepada temannya supaya berhati-hati dalam melangkah supaya tidak tercium raja mereka, kisah Rasulullah saw. yang memboikot orang-orang munafik untuk tidak diikutkan perang dan masih banyak lagi.
Jika ditelusuri penggunaan al-abad dalam al-Qur’an, maka didapatkan kesimpulan bahwa al-abad digunakan dalam dua makna, yaitu kekekalan permanen dan kekekalan yang terbatas. Kekekalan permanen digunakan jika al-abad dikaitkan dengan surga dan neraka, sedangkan kekekalan terbatas jika dikaitkan dengan selain surga dan neraka.
Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa Indonesia), yaitu:
a.       Kata al-ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah swt. sendiri.
b.      Kata al-dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu.
c.       Kata al-waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, Bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.
d.      Kata al-‘as}r memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja keras, memeras keringat dan pikiran untuk beribadah kepada Allah swt.
Sedangkan terma-terma yang digunakan untuk merujuk pada waktu-waktu tertentu, bukan keseluruhan waktu adalah sebagai berikut:
1.    Al-Lail
Kata lail bermakna setelah siang dan permulaan dari terbenamnya matahari.[31] Kata lail memiliki derivasi makna yang beraneka ragam, misalnya kata al-yal (اليل) diartikan panjang dan hitam, umm al-lail (أم الليل) bermakna minuman keras yang berwarna hitam, sedangkan kata (ليلى) bermakna minuman keras pada tahap-tahap pemabukannya. Dari pengertian kata diatas kata lail dimaknai kegelapan dan hitam pekatnya situasi ketika itu. Kata ini disebut 74 kali dalam al-Qur’an. Dari beberapa ayat yang menyebukan kata lail , maka dapat diketahui bahwa kata tersebut dipakai untuk arti malam hari dan dari kandungan ayat-ayat tersebut al-Qur’an mempergunakannya dalam beberapa konteks yaitu:
-          Dalam konteks ibadah (misalnya QS. al-Baqarah (2): 187
-          Dalam konteks perjalanan di malam hari (QS. Al-Isra>’ (17): 1
-          Dalam konteks pengajaran terhadap orang-orang yang berakal (QS. Al-Nu>r (24): 44
-          Dalam konteks siksaan terhadap orang kafir yang tidak membedakan antara siang dan malam (QS. Al-H{a>qqah (69): 7
-          Dalam konteks penerimaan wahyu di malam hari (QS. Al-Baqarah (2): 51
-           Dalam konteks anjuran berdakwah di malam hari (QS. Nu>h (71): 5)
2.    Al-S{ubh
Kata al-s}ubh bermakna fajar, pagi atau permulaan munculnya siang, yaitu memerahnya ufuk yang menutup matahari.[32] Kata ini disebut 45 kali dalam al-Qur’an dan memiliki beberapa  derivasi yaitu al-s}aba>h, al-is}ba>h, mis}ba>h, mas}a>bih, s{abbaha. Kata s}ubh dalam terminologi ibadah dan kehidupan sehari-hari digunakan untuk menunjuk waktu shalat subuh. Untuk menunjukkan waktu shalat subuh dalam al-Qur’an digunakan kata qur’a>n al-fajr. 
3.    Al-D{uha>
Kata d}uha> memiliki arti “waktu tertentu di siang hari”, yaitu waktu ketika matahari naik sepenggalan di pagi hari hingga mendekati tengah hari sehingga shalat yang dilakukan pada saat itu disebut shalat d}uha>, demikian halnya dengan hari raya kurban atau idul adha karena binatang kurban pada hari itu berkumpul untuk disembelih pada waktu d}uha>. Kata d}uha> digunakan sebanyak enam kali dalam al-Qur’an, salah satunya adalah surah al-D{uha>. Surah ini dimulai dengan qasam. Menurut Muhammad Abduh, sumpah dengan d}uha> dimaksudkan untuk mnunjukkan pentingnya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya, sekaligus untuk menarik perhatian manusia bahwa yang demikian termasuk tanda-tanda kekuasaannya. Al-Ra>zi>  menjelaskan bahwa d}uha> merupakan gambaran waktu yang datang silih berganti antara malam dan siang. Sesekali saat malam bertambah, maka saat siangpun berkurang dan kali lain terjadi sebaliknya dan hal tersebut ada hikmahnya.[33]  
4.    Al-Naha>r
Kata al-Naha>r berasal dari akar kata nahara yang berarti darah, mengalir, menyembur, memancar. Dalam bentuk masdar, kata nahr sama dengan al-Naha>r yang memiliki arti waktu tersebarnya cahaya. Adapun kata naha>r diartikan dengan siang yang amat terang dan juga dapat berarti fajar menyingsing atau طلوع الفجر. Kata nahar dengan berbagai bentuknya terdapat 113 kali dalam al-Qur’an. Dengan memperhatikan makna mufradat dan makna penggunaannya dalam al-Qur’an maka kata nahar dapat dipahami dalam berbagai bentuknya sesuai dengan konteks ayatnya yang mana lebih banyak menggunakan kata siang hari yang merupakan pasangan malam hari dan siang hari untuk berusaha mencari penghidupan.
5.    Al-Fajr
Kata fajr  bermakna terbukanya kegelapan malam dengan munculnya cahaya subuh.[34] Menurut Raghib al-As}faha>ni>, Kata fajr diartikan sebagai terbelahnya sesuatu secara lebar. Adapun kata fajr  yang disebut dalam bentuk fi’il madi dan mudari’ hamper semuanya berarti memancar, mengalir dan meluap. Sedangkan kata fajr yang di sebut dalam bentuk masdar semuanya berarti waktu subuh.
B.  Tabiat waktu dalam al-Qur’an
Penting untuk diketahui bahwa waktu terus berputar dan berlalu tanpa pernah kembali. Dengan demikian, waktu mempunyai tabiat sebagai berikut:
1.      Waktu cepat berlalu.
Sekilas ungkapan di atas sangat sederhana akan tetapi faktanya banyak orang mengetahui akan tetapi tidak mewaspadainya. Jika seseorang mencoba merenungi tentang waktu yang sudah terlewati, maka waktu sangat ceoat berlalu, terkadang tidak disadari bahwa usia seseorang terus bertambah dua puluh tahun, tiga puluh tahun, empat puluh tahun, lima puluh tahun dan seterusnya. Dengan demikian, al-Qur’an menegaskan hal tersebut ketika ia menggambarkan diantara fenomena hari kebangkitan nanti. Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Na>zi‘a>t/79: 46:
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا (46)
Terjemahnya:
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.[35]
Al-Samarqandiy ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa orang-orang yang kufur kepada Allah swt. merasa bahwa hidup di dunia Cuma sekitar setengah hari, baik di sore hari atau pagi hari.[36] Beda halnya dengan Abu> H{ayya>n yang mengatakan bahwa ‘asyiyyah adalah satu hari sedangkan d{uh{a> adalah setengah hari. Menurutnya orang-orang kafir merasa hidup di dunia paling lama adalah sehari bahkan terasa cuma setengah hari.[37] Senada dengan Abu> H{ayya>n, Ibn Kas\i>r berpendapat bahwa ungkapan tersebut akan keluar jika mereka dibangkitkan dari alam kubur dan digiring ke padang mahsyar, mereka kemudian menganggap masa kehidupan dunia sangat singkat, seakan-akan masanya hanya sehari atau setengah hari.[38]  
Ayat di atas kemudian diperkuat oleh ayat lain terkait dengan waktu yang sangat singkat dalam kehidupan dunia ini sebagaimana dalam Q.S. Yu>nus/10: 45.
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَة مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ...
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan.
2.      Waktu tidak akan kembali
Waktu yang sudah berlalu tidak mungkin kembali lagi. Setiap tahun yang telah berlalu, bulan yang lalu, pekan yang lalu, bahkan menit yang lalu, tidak mungkin bisa dikembalikan sekarang. Inilah yang pernah disampaikan olah al-H{asan al-Basriy: “Tidak ada satu haripun yang menampakkan fajarnya kecuali ia akan menyeru “Wahai anak Adam, aku adalah harimu yang baru, yang akan menjadi saksi atas amalmu, maka carilah bekal dariku, karena jika aku telah berlalu aku tidak akan kembali lagi hingga Hari Kiamat.”


3.      Aset yang berharga
Tabiat waktu di antaranya adalah waktu merupakan aset paling berharga. Ketika waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kembali dan tidak bisa tergantikan, maka waktu adalah aset yang paling mahal bagi manusia. Dan mahalnya nilai sebuah waktu lantaran ia adalah wadah bagi setiap amal dan produktivitas. Waktu adalah modal utama bagi individu maupun masyarakat. Al-Hasan al-Basriy pernah berkata: “Saya melihat ada segolongan manusia yang memberikan perhatian kepada waktu lebih daripada perhatian kalian terhadap dirham dan dinar”.
Waktu tidak bisa dihargai dengan uang, seperti kata pepatah. Karena waktu lebih berharga dari uang, lebih berharga dari emas, harta dan kekayaan. Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Karena kehidupan bagi seseorang adalah waktu dan detik-detik yang dijalaninya mulai ia lahir hingga wafat kemudian.
C.  Relatavitas Waktu
Manusia tidak dapat melepaskan diri  dari  waktu  dan  tempat. Mereka  mengenal  masa  lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris  dan lingkungan.  Kesadaran  tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya  (malam  saat terbenam  dan  siang  saat  terbitnya), maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya  matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
Perhitungan  semacam  ini  telah  menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan  diakui  oleh  al-Quran, seperti  setahun sama dengan dua belas bulan,[39] al-Quran  juga memperkenalkan  adanya  relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu  yang dialaminya  kelak  di  hari  kemudian.  Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Dalam Q.S. al-Kahfi/18: 19 dinyatakan:
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا (19)
Terjemahnya:
Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.[40]
As}ha>b al-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga  ratus  tahun lebih,  menduga  bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang. Hal itu dikarenakan mereka sedang  ditidurkan  oleh  Allah, sehingga  walaupun  mereka  berada  dalam  ruang yang sama dan dalam rentang waktu  yang  panjang, mereka  hanya  merasakan beberapa saat saja.
Allah swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam al-Quran  ditemukan  kata  kerja  bentuk  masa  lampau   (past tense/ma>d}iy) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Nah}l/16: 1:
أَتَى أَمْرُ اللَّهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (1)
Terjemahnya:
Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.[41]
Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai  makna yang  dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi lain jika memang telah datang  seperti  bunyi  ayat, mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu akan terjawab jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang  akan datang  sama  saja.  Dari sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
Ketika al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat al-Quran menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain, seperti dalam Q.S. al-Ma‘a>rij/70: 4:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (4)
Terjemahnya:
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.[42]
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk nai ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia, seperti dalam Q.S. al-Sajadah/32: 5:
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ (5)
Terjemahnya:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.[43]
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan pada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi  mencapai hal yang dikehendakinya, seperti yang difirmankan Allah swt. dalam Q.S. al-Qamar/54: 50:
وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ (50)
Terjemahnya:
Dan perintah Kami hanyalah satu Perkataan seperti kejapan mata.[44]
Kejapan mata dalam firman di atas tidak hanya dapat dipahami dalam pengertian dimensi  manusia,  karena  Allah  berada  di  luar dimensi tersebut, dan karena Allah juga telah menegaskan dalam Q.S. Ya>sin/36: 82:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (82)
Terjemahnya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.[45]
Inipun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat  di  atas hanya  ingin  menyebutkan  bahwa  Allah  swt.  berada  di luar dimensi ruang dan waktu.
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara mutlak, seperti pemahaman populer dewasa ini. Allah menciptakan alam raya selama enam hari tidak mesti dipahami sebagai enam kali dua puluh empat jam, bahkan boleh jadi kata tahun dalam al-Quran tidak berarti 365 hari, walaupun  kata yaum dalam al-Quran yang berarti hari hanya terulang 365 kali, karena umat manusia berbeda dalam menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat manusia  mengenal  pula  perhitungan yang lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun,[46] tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan syamsiah atau qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim (panas,  dingin,  gugur,  dan  semi) sehingga setahun perhitungan kita yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230 tahun.
Al-Quran  mengisyaratkan  perbedaan  perhitungan syamsiah dan qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (as}h}a>b al-Kahfi) tertidur, sebagaimana dalam Q.S. al-Kahfi/18: 25:
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا (25)
Terjemahnya:
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).[47]
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan syamsiah, sedangkan penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan qamariah dan syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari dibagi, atau sama dengan sembilan tahun.
D.  Urgensi waktu dalam al-Qur’an
Perhatian al-Qur’an terhadap waktu dapat terlihat dengan banyaknya ayat yang berbicara tentang waktu, bahkan Allah swt. menggunakan beberapa terma waktu sebagai sumpah yang mengindikasikan bahwa waktu sangat penting bagi manusia. 
Di antara fungsi waktu yang diungkapkan al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun inplisit adalah:
1.      Alat atau media dalam menentukan ibadah
Salah satu ayat yang menjelaskan tentang urgensi waktu adalah Q.S. al-Baqarah/2: 189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ...
Terjemahnya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji....[48]
Asba>n al-Nuzu>l ayat diturunkan oleh Allah swt. paling tidak ada tiga pendapat. Pertama; ayat ini turun karena Mu‘a>z\ bin Jabal berkepada kepada Rasulullah saw. bahwa orang-orang Yahudi banyak bertanya tentang ahillah/bulan sabit, pendapat kedua dari riwayat Qata>dah bahwa ayat ini turun karena orang-orang Quraisy bertanya kepada Rasulullah saw. kenapa Allah swt. menciptakan bulan sabit, ketiga dari riwayat al-Kalbiy bahwa ayat ini turun kepada Mu‘a>z\ bin Jabal dan S|a‘labah bin ‘Animah yang bertanya kepada Rasulullah saw. apa dengan bulan sabit yang terbit sedikir demi sedikit, dari kecil terus membesar hingga berubah menjadi purnama kemudian berkurang sedikit demi sedikit hingga seperti semula, kenapa tidak satu keadaan saja.[49] Lalu turunlah ayat tersebut di atas.   
Kalau melihat asba>b al-Nuzu>l di atas, seakan-akan mereka bertanya bukan tentang urgensi atau fungsi waktu, akan tetapi bertanya tentang hakikat ahillah, namun Allah swt. menjawab dengan jawaban yang lebih dibutuhkan yaitu fungsi bulan sebagai alat menetapkan waktu bagi manusia dan sebagai alat penentu ibadah haji. 
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas mengisyaratkan tentang peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci, seperti perjalanan  dari bulan sabit ke purnama, harus dapat difungsikan oleh manusia untuk  menyelesaikan suatu tugas. Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah yang dalam hal ini  dicontohkan dengan ibadah  haji, karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun Islam. Keadaan bulan seperti itu juga untuk  menyadarkan bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil  bagai  sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.[50]
2.      Media Introspeksi
Di antara fungsi waktu yang diungkapkan al-Qur’an adalah fungsi introspeksi diri. Hal tersebut tergambar dalam firman Allah swt. Q.S. al-Furqa>n/25: 62:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا (62)
Terjemahnya:
Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.[51]
Ibn Kas\i>r ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa tujuan Allah swt. menjadikan siang dan malam silih berganti agar waktu ibadahnya jelas dan sekaligus introspeksi diri jika ada ibadah yang terlalaikan di siang hari dapat dilakukan pada malam hari, sebaliknya jika ada ibadah yang terlalaikan di malam hari dapat dilakukan pada siang hari.[52] Hal tersebut diperkuat oleh hadis Nabi saw. bahwa Allah senantiasa menunggu taubat hamba-hambanya. 
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.[53]
Hadis mengisyaratkan bahwa seseorang yang senantiasa introspeksi terhadap apa yang telah dilakukan lalu menyadari kesalahan yang dialaminya maka Allah swt. akan senantiasa membuka kedua tangan-Nya sebagai lambang pintu taubat masih terbuka bagi yang mau introspeksi.[54] Menurut al-Nawawiy, penggunaan kata bast} al-yad karena orang Arab jika rela terhadap sesuatu maka ia akan membuka tangannya untuk menerimanya, namun jika tidak rela maka dia akan menggenggam tangannya sebagai tanda penolakan.[55]
Quraish Shihab menegaskan bahwa lafal تذكّر (mengingat) erat kaitannya dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah menggunakan segala potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan  penganugerahannya, dan  ini menuntut upaya dan kerja keras.[56]
Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan agar melihat kejadian-kejadian itu sebagai media pembelajaran dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 137:
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (137)
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).[57]
3.      Plaining masa depan   
Salah satu fungsi dari keberadaan waktu adalah sebagai media untuk melakukan plaining masa depan. Hal tersebut dapat terlihat dalam ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan, atau berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa depan. Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[58]
Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah  bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan. Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang dialami.  Kata gad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam al-Quran sebanyak lima kali, tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.[59]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat dibuat beberapa poin sebagai jawaban atas rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Waktu dalam secara etimologi adalah menunjuk pada sesuatu yang menunjukan waktu tertentu. Al-Qur’an menggunakan banyak istilah untuk menunjuk waktu, di antaranya adalah al-waqt, al-‘as}r, al-dahr, al-ajal, al-amad dan al-abad. Di samping itu, al-Qur’an juga menggunakan waktu-waktu tertentu dalam al-Qur’an seperti al-lail, al-naha>r, al-s}ubh}, al-fajr, al-d}uh}a> dan lain-lain. Dari sekian terma yang digunakan al-Qur’an, ditemukan bahwa masing-masing terma tersebut mempunyai karakter dan penekanan. Al-waqt misalnya dikhususkan pada batas akhir kesempatan atau peluang menyelesaikan suatu peristiwa. Al-Ajal menekankan pada waktu berakhirnya sesuatu, al-dahr menunjukan waktu yang dilalui alam raya. Al-As}r waktu yang menunjukan hasil perasan, al-amad menekankan pada waktu yang terbatas, sedangkan al-abad menekankan pada waktu yang panjang tanpa batas.
2.      Tabiat waktu adalah waktu berlalu dengan cepat sehingga dalam al-Qur’an banyak diungkap tentang yang merasa hidup di dunia hanya sehari atau setengah hari. Tabiat waktu yang kedua adalah waktu tidak pernah kembali sehingga seseorang yang tidak menggunakan waktunya dengan baik maka penyesalanlah yang akan muncul dikemudian hari, sedangkan tabait waktu yang ketiga adalah waktu sangat berharga.
3.      Urgensi waktu paling tidak ada tiga, yaitu waktu sebagai tanda dimulai atau barakhirnya sebuah ibadah, semisal ibadah shalat, ibadah haji dan ibadah-ibadah yang lain, urgensi adalah waktu sebagai media introspeksi sehingga kesalahan-kesalahan kemarin tidak berulang kembali pada masa akan datang dan kesalahan-kesalahan agar dimintakan ampunan kepada Allah swt. dan yang ketiga dari urgensi waktu adalah sebagai plaining masa akan datang sesuai dengan perintah Allah swt.   
B.   Implikasi
Al-Qur’an telah membuktikan bahwa waktu sangat penting bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam yang dianjurkan agar menjadikan dunia sebagai mazra‘ah al-a>kihrah dan sekaligus hanya sebagai ‘a>bir sabi>l sehingga kesannya dunia bukanlah tujuan akan tetapi ia hanyalah tempat yang dijadikan sebagai ladang dalam melakukan segala amal ibadah dalam makna yang luas, bukan ibadah dalam makna yang sempit.
Akhirnya, makalah ini penuh dengan kekurangan, sehingga saran dan kritikan sangat diharapkan demi perbaikan ke depannya. Di samping itu, 


DAFTAR PUSTAKA
Al-‘A<miriy, Ah}mad bin ‘Abd al-Kari>m. al-Jadd al-H{as\i>s\ fi> Baya>n Ma> Laisa bi H{adi>s\. t.t.: Da>r ibn H{azam, t.th.
‘A<syu>r, Muhammad al-T{a>hir bin. al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Tunis: al-Da>r al-Tu>nisiyah, 1984.
Abu> H{ayya>n, Muh{ammad bin Yu>suf al-Andalu>siy, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh{i>t}. Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H/1993 M.
Al-Ba>qiy, Muh{ammad Fua>d ‘Abd. al-Mu‘‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m. al-Qa>hirah: Mat}ba‘at Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1364 H.
Al-Bukha>riy, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad bin Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>riy. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li al-T{iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418 H.
Departemen Pendidikan RI, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Al-H{ajja>j, Abu> al-H}usain Muslim bin. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.
Kas\i>r, Abu> al-Fida>’ Isma>‘i>l bin. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Jaizah: Maktabah Awla>d al-Syaikh li al-Tura>s\, t.th.
Al-Mana>wiy, ‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r. Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
------------------, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta‘a>ri>f. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1410 H.
Al-Mis}riy, Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r. Lisa>n al-‘Arab. Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, t.th.
Mus}t}afa>, Ibra>hi>m dkk, al-Mu‘jam al-Wasi>t}. (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.
Al-Nawawiy, Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf. Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim. Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.
Al-Ra>ziy, Abu> ‘Abdillah Fakhr al-Di>n. Mafa>ti>h} al-Gaib. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M.
Rid}a>, Muh{ammad Rasyi>d bin ‘Ali. Tafsi>r al-Mana>r. Beirut: al-Haiat al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.
Al-Samarqandiy, Bah}r al-‘Ulu>m, Juz. IV (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.)
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
----------------,Wawasan al-Qur’an. Cet. XVI; Bandung: Mizan, 2005.
Al-Suyu>t}iy, Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakar. Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-‘Ulu>m, t.th.
Al-Wa>h}idiy, Abu> al-H{asan ‘Ali bin Ah{mad. Asba>b al-Nuzu>l. al-Qa>hirah: Da>r al-Ittih}a>d al-‘Arabiy, 1388 H/1968 M.
Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut: Da>r Ittih{a>d al-‘Arabiy, 1423 H/2002 M.
Al-Zuhailiy, Wahbah bin Mus}t}afa>. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘àh wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.


[1]Ah}mad bin ‘Abd al-Kari>m al-‘A<miriy, al-Jadd al-H{as\i>s\ fi> Baya>n Ma> Laisa bi H{adi>s\ (t.t.: Da>r ibn H{azam, t.th.), h. 253.
[2]Departemen Pendidikan RI, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1613.  
[3]Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz. VI (Beirut: Da>r Ittih{a>d al-‘Arabiy, 1423 H/2002 M), h. 99. Selanjutnya disebut Ibn Fa>ris.
[4]Ibra>hi>m Mus}t}afa> dkk, al-Mu‘jam al-Wasi>t}, Juz. II (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.), h. 1020.
[5]Muh{ammad ‘Abd al-Rau>f al-Mana>wiy, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta‘a>ri>f (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1410 H), h. 731.
[6]Muh{ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Mat}ba‘at Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1364 H), h, 463.  
[7]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. IV, h. 274.
[8]M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, Juz. I (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 34.
[9]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. II, h. 250.
[10]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li al-T{iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418 H), h. 818.   
[11]Muhammad al-T{a>hir bin ‘A<syu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Juz. XXV (Tunis: al-Da>r al-Tu>nisiyah, 1984), Juz. 25, h. 361.  
[12]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuhailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘àh wa al-Manhaj, Juz. XXV (Cet. II; Damsyiq: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H), h. 281. Selanjutnya disebut al-Zuhailiy.  
[13]Departemen Agama RI, op. cit., h. 1003.
[14]Al-Zuhailiy, op. cit., Juz. XXIX, h. 281.
[15]Abu> ‘Abdillah Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy, Mafa>ti>h} al-Gaib (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. 235.   
[16]M. Quraish Shihab, Ensiklopedia....op. cit., Juz. I, h. 157.  
[17]Ibid., Juz. I, h. 157.
[18]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. I, h. 84.
[19]Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r al-Mis}riy, Lisa>n al-‘Arab, Juz. XI (Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, t.th.), h. 11.
[20]Departemen Pendidikan RI, op. cit., h. 24.
[21]Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, op. cit., h. 15.
[22]Departemen Agama RI, op. cit., h. 226.
[23]Ibid., h. 226.
[24]Ibid., h. 614.
[25]Ibid., h. 56
[26]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. I, h. 141. Lihat juga Ibn Manz}u>r, op. cit., Juz. III, h. 74.
[27]Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, op. cit., h. 75.
[28]Departemen Agama RI, op. cit., h. 80.  
[29]Muh{ammad Rasyi>d bin ‘Ali Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz. III (Beirut: al-Haiat al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M), h. 232.
[30]Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, op. cit., h. 1.
[31]Lisa>n al-‘Arab, Juz XI, h. 607.
[32]Ibid, Juz II, h. 502.
[33]Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Juz 17, h. 69.
[35]Departemen Agama RI, op. cit., h. 1022.
[36]Al-Samarqandiy, Bah}r al-‘Ulu>m, Juz. IV (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.), h. 368.
[37]Muh{ammad bin Yu>suf Abu> H{ayya>n al-Andalu>siy, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh{i>t}, Juz. VIII (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H/1993 M), h. 416.
[38]Abu> al-Fida>’ Isma>‘i>l bin Kas\i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Juz. XIV (Jaizah: Maktabah Awla>d al-Syaikh li al-Tura>s\, t.th.), h. 245.
[39]Lihat: Q.S. al-Taubah/9: 36.   
[40]Departemen Agama RI, op. cit., h. 445.   
[41]Ibid., h. 402. 
[42]Ibid., h. 973.
[43]Ibid., h. 660.
[44]Ibid., h. 883.
[45]Ibid., h. 714.
[46]Lihat: Q.S. al-‘Ankabu>t/29: 14.
[47]Departemen Agama RI, op. cit., h. 447. 
[48]Ibid., h. 46.
[49]Abu> al-H{asan ‘Ali bin Ah{mad al-Wa>h}idiy, Asba>b al-Nuzu>l (al-Qa>hirah: Da>r al-Ittih}a>d al-‘Arabiy, 1388 H/1968 M), h. 32. Lihat juga: Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakar al-Suyu>t}iy, Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-‘Ulu>m, t.th.), h. 137.
[50]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet. XVI; Bandung: Mizan, 2005), h. 552.
[51]Departemen Agama RI, op. cit., h. 568.
[52]Ibn Kas\i>r, op. cit., Juz. X, h. 319.
[53]Abu> ‘Abdillah Muh{ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz. VI (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M), h. 2552. Selanjutnya disebut al-Bukha>riy. Lihat juga: Abu> al-H}usain Muslim bin al-H{ajja>j, S}ah}i>h} Muslim, Juz. IV (Beirut: Da>r ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.), h. 2113.
[54]‘Abd al-Rau>f al-Mana>wiy, Faid} al-Qadi>r, Juz. II (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H), h. 281.
[55]Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh} al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim, Juz. XVII (Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H), h. 76.
[56]M. Quraish Shihab, Wawasan...op. cit., h. 552.  
[57]Departemen Agama RI, op. cit., h. 98.
[58]Ibid., h.  
[59]Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, op. cit., h. 496.

1 komentar:

  1. Best Slingo for Real Money (다모아 카지노 프모아 카지노 dafabet link dafabet link 제왕카지노 제왕카지노 12bet 12bet 카지노사이트 카지노사이트 dafabet dafabet 987 Online Casinos in Asia | Best 7 Pokies Pokies Pokies Pokies - Casinoinjapan

    BalasHapus