WAKTU
Dalam Perspektif al-Qur’an
Makalah Revisi
Mata
kuliah Tafsir
al-Maud}u>‘iy
Semester
I Kelompok Reguler Program Doktor
Oleh;
Abdul Gaffar
Dosen Pemandu;
Prof. Drs. H. Rafi’i Yunus,
M.A., Ph.D.
Dr. Kamaluddin
Abu Nawas, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Setiap
bangsa memiliki falsafahnya sendiri tentang waktu. Bangsa Arab misalnya,
mempunyai falsafah “الوقت كاسيف إن لم تقطعه قطعك”[1]
(waktu ibarat pedang, jika engkau
tidak memutusnya maka ia akan memutusmu). Maksudnya,
kalau kita pandai menggunakan pedang, maka pedang itu akan menjadi alat yang
bermanfaat. Tapi kalau tidak bisa menggunakannya, maka bisa-bisa kita sendiri
akan celaka. Begitu juga dengan waktu, kalau kita pandai memanfaatkannya maka
kita akan menjadi orang yang sukses. Tapi kalau tidak, maka kita sendiri yang
akan tergilas oleh waktu.
Sementara
orang barat, mempunyai falsafah time is money, waktu adalah uang. Faham
ini sangat materialisme. Kesuksesan, kesenangan, kebahagiaan, kehormatan,
semuanya diukur dengan materi. Maka mereka akan merasa rugi jika ada sedikit
saja waktu yang berlalu tanpa menghasilkan uang. Uang menjadi tujuan hidupnya.
Namun selaku umat Islam yang menjadikan al-Qur’an sebagai
petunjuk dan pedoman hidup, seharusnya mengkaji kembali tentang waktu dalam
al-Qur’an. Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah swt. memulai firman-Nya dengan
sumpah yang yang mengarah pada makna waktu, semisalnya wa al-‘as}r (demi
masa) wa al-d}uh}a> (demi waktu dhuha), wa al-fajr (demi waktu
fajar), wa al-lail (demi waktu malam), dan masih banyak lagi. Dalam
ayat-ayat tersebut Allah bersumpah dengan menggunakan kata waktu. Menurut para
ahli tafsir, dengan menggunakan kata waktu ketika bersumpah, Allah swt., ingin
menegaskan bahwa manusia hendaknya benar-benar memperhatikan waktu, karena
sangat penting dan berharga dalam kehidupan manusia.
Dalam Q.S. al-‘As}r misalnya, Allah swt. dengan
tegas mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua manusia itu berpotensi menjadi
orang yang merugi, baik di dunia maupun di akhirat. Lalu siapakah manusia yang
beruntung? Ternyata menurut al-Qur’an, manusia yang beruntung itu bukanlah yang
pangkatnya tinggi atau yang uangnya banyak. Tapi yang
beruntung adalah mereka yang beriman, beramal shaleh, dan yang suka saling menasehati dalam kebenaran dan
selalu saling
menasihati akan kesabaran.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalah pokok dalam makalah ini
adalah bagaimana wawasan al-Qur’an tentang waktu. Untuk mendapatkan jawaban
terhadap rumusan pokok tersebut, dibuatlah sub-sub masalah sebagai berikut:
1.
Terma-terma apa
saja yang digunakan al-Qur’an dalam mengungkap waktu?
2.
Bagaimana
tabiat waktu dalam al-Qur’an?
3.
Apa saja urgensi
kehadiran waktu dalam al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Waktu
Dalam Kamus Bahasa Indonesia paling tidak terdapat
7 item yang menjadi arti dari kata waktu: 1) seluruh rangkaian saat ketika proses; perbuatan atau
keadaan berada atau berlangsung; 2) lamanya (saat tertentu); 3) saat tertentu
untuk melakukan sesuatu; 4) kesempatan, tempo, peluang; 5) ketika, saat; 6)
hari (keadaan hari) dan 7) saat yang ditentukan berdasarkan pembagian bola
dunia.[2]
Sementara dalam
al-Qur’an kata yang digunakan dalam menentukan waktu sedikit agak banyak,
bahkan Allah swt. berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk
pada waktu-waktu tertentu seperti wa al-lail (demi malam), wa al-nahar
(demi siang), wa al-s}ubh}i (demi waktu shubuh), wa al-fajr (demi
waktu fajar), wa al-‘as}r (demi masa), dan lain-lain.
Untuk mendapatkan makna yang lebih lengkap terkait dengan
terma-terma yang digunakan al-Qur’an dalam menunjuk waktu secara umum, berikut
akan diuraikan satu persatu:
1.
Al-Waqt
Al-Waqt yang terdiri
dari huruf و-ق-ت dalam Mu‘jam Maqa>yi>s
al-Lugah memiliki makna batasan sesuatu dan hakikat/kadar sesuatu, baik
terkait dengan waktu maupun tidak.[3]
Dalam al-Mu‘jam al-Wasi>t} dijelaskan bahwa waktu adalah waktu
tertentu sebagai kadar bagi sebuah perkara.[4]
Menurut al-Mana>wiy, waktu adalah kadar tertentu dari sebuah waktu, atau
batasan yang pasti antara dua perkara yang salah satunya telah diketahui dan
satunya akan diketahui.[5]
Sedangkan al-waqt dalam al-Qur’an digunakan dalam
arti batas akhir
kesempatan atau peluang untuk
menyelesaikan suatu peristiwa.
Karena itu, sering kali al-Qur’an menggunakannya dalam
konteks kadar tertentu dari satu
masa.
2.
Al-‘As}r
Kata al-‘as}r dengan segala derivasinya digunakan
dalam al-Qur’an sebanyak lima kali yang
tersebar di dalam empat surah (tiga surah makkiyah dan satu surah madaniyyah).[6]
Dari segi etimologi, Ibn Fa>ris menjelaskan bahwa al-‘as}r mempunyai
tiga makna yaitu al-dahr atau h{i>n/masa atau memeras sesuatu
hingga menghasilkan susu atau hubungan sesuatu/tempat berlindung.[7]
Al-‘As}r, a‘s}ir dan
ya‘s}ir artinya adalah sesuatu yang diringkas atau sari dari sesuatu yang
diperas seperti yang terdapat dalam Q.S. Yu>suf/12: 36 dan 49. Awan yang
mengandung butir-butir air kemudian berhimpun kemudian menjadi awan berat dan
akhirnya hujan. Awan yang demikian itu disebut al-mu‘s}ira>t
(al-Naba’/78:14). Udara yang tekanannya demikian keras dan memporak-porandakan
segala sesuatu sehingga tampak/keluar bagian-bagian tersembunyi dinamakan ‘is}a>r
(Q.S. al-Baqarah/2: 103). Dengan demikian, ada tiga makna dari al-‘as}r yaitu
perasan, masa dan waktu sore.[8]
Ayat tersebut memberikan isyarat, bahwa yang tidak
melakukan persiapan di pagi hari, yang tidak belajar dan mempergunakan
kemampuan akalnya di waktu kecil, yang tidak membuat perancanaan di waktu muda
dan seterusnya, maka di waktu tua dia akan menyesal dan menjadi orang yang
merugi. Memang kerugian baru dirasakan seseorang, ketika sudah memasuki hari
senja. Seperti seorang pedagang, untung dan rugi barulah dihitung ketika hari
sudah sore dan matahari menjelang terbenam. Akan tetapi, ketika itu kondisi
sudah tidak bisa lagi diperbaiki, selain penyesalan dan meratapi diri ketika
dihadapkan pada kerugian, akibat kelalaian sendiri.
3.
Al-Dahr
Al-Dahr yang akar
katanya terdiri dari huruf د-ه-ر mempunyai
makna al-galabah/kemenangan dan al-qahr/pemaksaan.[9]
Al-Dahr dimaknai demikian karena setiap kali ia datang maka pasti ia
akan memenangkannya. Namun dalam al-Qur’an, kata al-dahr dengan segala
derivasinya digunakan hanya dua kali, yaitu pada Q.S. al-Ja>s\iyah/45: 24
dan Q.S. al-Insa>n/76: 1.
Teks ayat dalam Q.S. al-Ja>s\iyah/45: 24 adalah:
وَقَالُوا مَا هِيَ
إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ (24)
Terjemahnya:
Dan mereka
berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati
dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa, dan
mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga saja”.[10]
Ibn
‘A<syu>r ketika menafsirkan kata الدهر
dalam ayat tersebut berkata bahwa ia adalah waktu yang terus berlangsung di
saat siang dan malam silih berganti.[11]
Sedangkan al-Zuhailiy mengatakan bahwa yang dimaksud الدهر
dalam ayat tersebut adalah masa keberadaan alam semesta.[12]
Sedangkan teks ayat pada Q.S. al-Insa>n/76: 1 adalah:
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ
مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (1)
Terjemahnya:
Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan
sesuatu yang dapat disebut?.[13]
Ketika menafsirkan kata حين من الدهر,
al-Zuhailiy berpendapat bahwa حين adalah waktu
yang terbatas hingga sebagian ulama mengatakan 40 tahun, sedangkan الدهر adalah waktu yang panjang tanpa
batas.[14]
Sementara al-Ra>ziy mengatakan bahwa ulama dalam memaknai حين terbagi dalam dua pendapat, yaitu حين diartikan sebagai sebagian dari
waktu yang sangat panjang dan tidak ditentukan; kedua, sebagian waktu yang
ditentukan.[15]
Jika diklasifikasi dari sekian banyak penafsiran terhadap
lafal al-dahr maka dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Al-Dahr adalah masa
sejak sebelum penciptaan.
b.
Al-Dahr adalah masa
yang dilalui alam semesta mulai masa penciptaan hingga kehancurannya sebagaimana
pendapat al-As}faha>niy.
Perbedaan
pendapat ulama tentang arti al-dahr terjadi karena perbedaan pendapat
tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan al-insa>n pada Q.S.
al-Insa>n/76: 1. Sebagian mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
Nabi Adam as. Sedangkan mufasir lain berpendapat bahwa al-insa>n
adalah setiap manusia mulai dari Nabi Adam as. hingga anak cucunya yang
terakhir.[17]
Di samping perbedaan penafsiran kata al-insa>n, sebagian lagi
berpedoman pada Q.S. al-Ja>s\iyah/45: 24 bahwa yang dimaksud dengan al-dahr
adalah siang dan malam. Hal tersebut berlandaskan pada masyarakat Jahiliyah
yang menganggap bahwa yang membinasakan mereka adalah siang dan malam karena
siang dan malamlah yang menghidupkan dan mematikan mereka sehingga mereka
mencacinya.
Sebenarnya
ketiga pendapat tersebut dapat dikompromikan dengan menganggap bahwa pendapat
kedua dan ketiga merupakan bagian dari pendapat pertama sehingga jika disatukan
akan memunculkan pemahaman bahwa yang dimaksud al-dahr masa yang sangat
panjang yang dimulai dari masa sebelum penciptaan hingga kehancuran alam
semesta. Dalam masa yang panjang tersebut, siang dan malah silih berganti.
Dari kedua
penggunaan al-dahr dalam al-Qur’an yang telah ditafsirkan ulama, dapat
dipahami bahwa yang dimaksud al-dahr adalah waktu atau saat berkepanjangan
yang dilalui alam raya dalam kehidupan
dunia ini, yaitu sejak diciptakan
hingga sampai punahnya alam semesta. Dengan demikian, al-dahr waktu yang
sangat panjang hingga punahnya alam karena dikalahkan dan dipaksa oleh al-dahr.
4.
Al-Ajal
Al-Ajal secara
etimologi berasal dari akar kata أ-ج-ل
dapat menunjuk pada lima makna yang berbeda dan tidak
mungkin saling dikaitkan satu sama lain, yaitu 1) akhir dari sebuah waktu; 2) potongan
badan dari sapi liar, 3) sakit di leher, 4) pengganti/penahanan; dan 5) karena/alasan.[18]
Ibn Manz{u>r berpendapat bahwa al-ajal adalah akhir waktu pada
kematian, jatuh tempo dalam masalah hutang piutang dan masa sesuatu.[19]
Sementara dalam Bahasa Indonesia, ajal diartikan sebagai batas waktu hidup atau
batas janji, atau diartikan mati.[20]
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, al-ajal dengan
digunakan sebanyak 56 kali.[21]
Penelusuran terhadap ayat-ayat yang menggunakan kata al-ajal, ditemukan dari
56 kali berulang, 55 kata mengarah pada makna waktu berakhirnya sesuatu,
kecuali 1 kata yang tidak menunjuk makna waktu, yaitu Q.S. al-Ma>idah/5: 32:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ
كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ
فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا
أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا...
Terjemahnya:
Oleh karena itu
Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.[22]
Sedangkan 55 yang lain menunjukkan makna waktu
berakhirnya sesuatu, baik akhir dari kehidupan seseorang dengan datangnya
kematian, seperti pada Q.S. al-A‘ra>f/7: 34:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ
أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
(34)
Terjemahnya:
Tiap-tiap umat
mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.[23]
Sementara al-ajal yang menunjuk pada berakhirnya
masa perjanjian, seperti dalam Q.S. al-Qas}as}/28: 29:
فَلَمَّا قَضَى مُوسَى
الْأَجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لِأَهْلِهِ
امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ جَذْوَةٍ
مِنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ (29)
Terjemahnya:
Maka tatkala
Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan Dia berangkat dengan
keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya:
"Tunggulah (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan aku
dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa)
sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan".[24]
Sedangkan al-ajal yang menunjuk pada berakhirnya
masa penantian/‘iddah, seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 231:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ
ظَلَمَ نَفْسَهُ...
Terjemahnya:
Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf
(pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kita>b dan al-h{ikmah
(al-sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[25]
5.
Al-Amad
Al-Amad terdiri dari
huruf أ-م-د. Dalam Mu‘jam Maqa>yi>s
al-Lugah diartikan sebagai al-ga>yah atau puncak/akhir.[26]
Dengan demikian, al-amad dapat diartikan sebagai masa, jarak, jangka
waktu atau akhir dari sesuatu.
Dalam al-Qur’an, al-Amad berulang sebanyak 4 kali
dalam 4 surah, yaitu Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 30, al-Kahfi/18: 12,
al-H{adi>d/57: 16 dan al-Jin/72: 25.[27]
Dari keempat al-amad tersebut, pada dasarnya digunakan untuk masa waktu
yang mempunyai batas, namun tidak diketahui batasnya jika tidak dirangkaikan
dengan kata lain. Dengan demikian, al-amad terkadang ditandemkan dengan
kata بعد agar menunjuk waktu yang terbatas
meskipun sangat panjang, seperti dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 30:
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ
نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ
أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ
رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (30)
Terjemahnya:
Pada hari
ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu
(juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia
dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap
siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.[28]
Muh{ammad ‘Abduh ketika menafsirkan ayat tersebut
berpendapat bahwa al-amad dapat diartikan sebagai akhir, ajal atau
tempat. Namun ia mengutip pendapat al-Ra>gib al-As}faha>niy bahwa al-amad
dan al-abad sangat dekat maknanya, hanya saja al-abad adalah
waktu yang tidak terbatas dan tidak terikat, sedangkan al-amad digunakan
pada waktu yang terbatas akan tetapi tidak akan diketahui jika tidak dikaitkan
dengan lafal lain.[29]
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang pendosa
setelah mengetahui azab yang mesti diterima menginginkan agar supaya ada masa
yang panjang antara mereka dan hari akhir, sekiranya cukup untuk mempersiapkan
bekal akhirat.
Sementara dalam Q.S. al-H{adi>d/57: 16, kata al-amad
berfungsi sebagai fa>‘il dari kata طال
yang berarti panjang. Dengan demikian, al-amad dalam ayat ini mengacu
pada jangka waktu yang panjang. Ayat ini berbicara tentang golongan ahl
al-kita>b yang terjerumus ke jurang kesesatan karena berlalunya masa
yang panjang pada mereka. Sementara al-amad al-Kahfi/18: 12 dan
al-Jin/72: 25 tidak dirangkaikan dengan kata lain sebagai penjelas atau
pembatas. Q.S. al-Kahfi/18: 12 berbicara tentang pemuda beriman yang ditidurkan
oleh Allah swt. dalam gua selama beratus tahun. Penjelasan mengenai jangka
waktu diketahui setelah membaca al-Kahfi/18: 25. Sedangkan Q.S. al-Jin/72: 25
disamping tidak dirangkaian dengan pembatas juga tidak dijelaskan oleh ayat
selanjutnya. Dengan demikian, masa kedatangan azab itu mungkin sudah dekat dan
mungkin masih jauh.
6.
Al-Abad
Al-Abad yang terangkai
dari akar kata أ-ب-د diartikan
sebagai masa yang panjang. Sedangkan dalam al-Qur’an al-abad dengan
segala derivasinya berulang sebanyak 28 kali,[30]
pada umumnya lafal al-abad digunakan sebagai tauki>d atau
penguat terhadap lafal khulu>d, khususnya yang terkait dengan penghuni
surga dan penghuni neraka dengan karakteristik masing-masing.
Sedangkan kata al-abad yang diucapkan manusia
dapat dijumpai pada kisah-kisah, seperti keenggenan umat Nabi Mu>sa> as.
memasuki daerah Syam setelah mereka selamat dari Fir’aun dalam Q.S. al-Ma>idah/5:
24. Nasihat As}h}a>b al-Kahf kepada temannya supaya berhati-hati
dalam melangkah supaya tidak tercium raja mereka, kisah Rasulullah saw. yang
memboikot orang-orang munafik untuk tidak diikutkan perang dan masih banyak
lagi.
Jika ditelusuri penggunaan al-abad dalam
al-Qur’an, maka didapatkan kesimpulan bahwa al-abad digunakan dalam dua
makna, yaitu kekekalan permanen dan kekekalan yang terbatas. Kekekalan permanen
digunakan jika al-abad dikaitkan dengan surga dan neraka, sedangkan
kekekalan terbatas jika dikaitkan dengan selain surga dan neraka.
Dari
kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan al-Qur’an mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa Indonesia), yaitu:
a.
Kata al-ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu
ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali
Allah swt. sendiri.
b.
Kata
al-dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu
pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan
ia terikat oleh waktu.
c.
Kata al-waqt
digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir
suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari
waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis
mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, Bulan,
tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan
dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.
d.
Kata
al-‘as}r
memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan
kerja keras, memeras keringat dan pikiran untuk
beribadah kepada Allah swt.
Sedangkan terma-terma yang digunakan untuk merujuk pada
waktu-waktu tertentu, bukan keseluruhan waktu adalah sebagai berikut:
1.
Al-Lail
Kata
lail bermakna setelah siang dan permulaan dari terbenamnya matahari.[31]
Kata lail memiliki derivasi makna yang beraneka ragam, misalnya kata al-yal
(اليل) diartikan
panjang dan hitam, umm al-lail (أم
الليل) bermakna minuman keras yang berwarna hitam, sedangkan kata (ليلى) bermakna
minuman keras pada tahap-tahap pemabukannya. Dari pengertian kata diatas kata lail dimaknai
kegelapan dan hitam pekatnya situasi ketika itu. Kata ini disebut 74
kali dalam al-Qur’an. Dari beberapa ayat yang menyebukan kata lail ,
maka dapat diketahui bahwa kata tersebut dipakai untuk arti malam hari dan dari
kandungan ayat-ayat tersebut al-Qur’an mempergunakannya dalam beberapa konteks
yaitu:
-
Dalam konteks ibadah (misalnya QS. al-Baqarah (2): 187
-
Dalam konteks perjalanan di malam hari (QS.
Al-Isra>’ (17): 1
-
Dalam konteks pengajaran terhadap orang-orang yang
berakal (QS. Al-Nu>r (24): 44
-
Dalam konteks siksaan terhadap orang kafir yang tidak
membedakan antara siang dan malam (QS. Al-H{a>qqah (69): 7
-
Dalam konteks penerimaan wahyu di malam hari (QS.
Al-Baqarah (2): 51
-
Dalam konteks
anjuran berdakwah di malam hari (QS. Nu>h (71): 5)
2.
Al-S{ubh
Kata al-s}ubh bermakna fajar, pagi atau permulaan
munculnya siang, yaitu memerahnya ufuk yang menutup matahari.[32]
Kata ini disebut 45 kali dalam al-Qur’an dan memiliki beberapa derivasi yaitu al-s}aba>h,
al-is}ba>h, mis}ba>h, mas}a>bih, s{abbaha. Kata s}ubh dalam
terminologi ibadah dan kehidupan sehari-hari digunakan untuk menunjuk waktu
shalat subuh. Untuk menunjukkan waktu shalat subuh dalam al-Qur’an digunakan
kata qur’a>n al-fajr.
3.
Al-D{uha>
Kata d}uha> memiliki arti “waktu tertentu di
siang hari”, yaitu waktu ketika matahari naik sepenggalan di pagi hari hingga
mendekati tengah hari sehingga shalat yang dilakukan pada saat itu disebut
shalat d}uha>, demikian halnya dengan hari raya kurban atau idul adha
karena binatang kurban pada hari itu berkumpul untuk disembelih pada waktu d}uha>.
Kata d}uha> digunakan sebanyak enam kali dalam al-Qur’an, salah
satunya adalah surah al-D{uha>. Surah ini dimulai dengan qasam. Menurut
Muhammad Abduh, sumpah dengan d}uha> dimaksudkan untuk mnunjukkan
pentingnya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya, sekaligus untuk menarik
perhatian manusia bahwa yang demikian termasuk tanda-tanda kekuasaannya.
Al-Ra>zi> menjelaskan bahwa d}uha>
merupakan gambaran waktu yang datang silih berganti antara malam dan siang.
Sesekali saat malam bertambah, maka saat siangpun berkurang dan kali lain
terjadi sebaliknya dan hal tersebut ada hikmahnya.[33]
4.
Al-Naha>r
Kata al-Naha>r berasal dari akar kata nahara
yang berarti darah, mengalir, menyembur, memancar. Dalam bentuk masdar,
kata nahr sama dengan al-Naha>r yang memiliki arti waktu
tersebarnya cahaya. Adapun kata naha>r diartikan dengan siang yang
amat terang dan juga dapat berarti fajar menyingsing atau طلوع الفجر. Kata nahar
dengan berbagai bentuknya terdapat 113 kali dalam al-Qur’an. Dengan
memperhatikan makna mufradat dan makna penggunaannya dalam al-Qur’an maka kata nahar
dapat dipahami dalam berbagai bentuknya sesuai dengan konteks ayatnya yang
mana lebih banyak menggunakan kata siang hari yang merupakan pasangan malam
hari dan siang hari untuk berusaha mencari penghidupan.
5.
Al-Fajr
Kata fajr bermakna terbukanya kegelapan malam dengan
munculnya cahaya subuh.[34]
Menurut Raghib al-As}faha>ni>, Kata fajr diartikan sebagai
terbelahnya sesuatu secara lebar. Adapun kata fajr yang disebut dalam bentuk fi’il madi dan
mudari’ hamper semuanya berarti memancar, mengalir dan meluap. Sedangkan kata fajr
yang di sebut dalam bentuk masdar semuanya berarti waktu subuh.
B.
Tabiat waktu
dalam al-Qur’an
Penting untuk diketahui bahwa waktu terus berputar dan
berlalu tanpa pernah kembali. Dengan demikian, waktu mempunyai tabiat sebagai berikut:
1.
Waktu cepat berlalu.
Sekilas
ungkapan di atas sangat sederhana akan tetapi faktanya banyak orang mengetahui
akan tetapi tidak mewaspadainya. Jika seseorang mencoba merenungi tentang waktu yang
sudah terlewati, maka waktu sangat ceoat berlalu, terkadang tidak
disadari bahwa usia seseorang terus bertambah dua puluh tahun, tiga puluh tahun, empat
puluh tahun, lima puluh tahun dan seterusnya. Dengan demikian, al-Qur’an
menegaskan hal tersebut ketika
ia menggambarkan diantara fenomena hari kebangkitan nanti. Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Na>zi‘a>t/79: 46:
كَأَنَّهُمْ
يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا (46)
Terjemahnya:
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka
merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu
sore atau pagi hari.[35]
Al-Samarqandiy ketika menafsirkan ayat tersebut
mengatakan bahwa orang-orang yang kufur kepada Allah swt. merasa bahwa hidup di
dunia Cuma sekitar setengah hari, baik di sore hari atau pagi hari.[36]
Beda halnya dengan Abu> H{ayya>n yang mengatakan bahwa ‘asyiyyah
adalah satu hari sedangkan d{uh{a> adalah setengah hari. Menurutnya
orang-orang kafir merasa hidup di dunia paling lama adalah sehari bahkan terasa
cuma setengah hari.[37]
Senada dengan Abu> H{ayya>n, Ibn Kas\i>r berpendapat bahwa ungkapan
tersebut akan keluar jika mereka dibangkitkan dari alam kubur dan digiring ke
padang mahsyar, mereka kemudian menganggap masa kehidupan dunia sangat singkat,
seakan-akan masanya hanya sehari atau setengah hari.[38]
Ayat di atas kemudian diperkuat oleh ayat lain terkait
dengan waktu yang sangat singkat dalam kehidupan dunia ini sebagaimana dalam
Q.S. Yu>nus/10: 45.
وَيَوْمَ
يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَة مِنَ النَّهَارِ
يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ...
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah
mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak
pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka
saling berkenalan.
2.
Waktu tidak akan kembali
Waktu
yang sudah berlalu tidak mungkin kembali lagi. Setiap tahun yang telah berlalu,
bulan yang lalu, pekan yang lalu, bahkan menit yang lalu, tidak mungkin bisa
dikembalikan sekarang. Inilah yang pernah disampaikan olah al-H{asan al-Basriy: “Tidak ada satu haripun yang
menampakkan fajarnya kecuali ia akan menyeru “Wahai anak Adam, aku adalah
harimu yang baru, yang akan menjadi saksi atas amalmu, maka carilah bekal
dariku, karena jika aku telah berlalu aku tidak akan kembali lagi hingga Hari
Kiamat.”
3.
Aset yang berharga
Tabiat waktu di antaranya adalah waktu
merupakan aset paling berharga. Ketika waktu adalah sesuatu yang tidak bisa
kembali dan tidak bisa tergantikan, maka waktu adalah aset yang paling mahal
bagi manusia. Dan mahalnya nilai sebuah waktu lantaran ia adalah wadah bagi
setiap amal dan produktivitas. Waktu adalah modal utama bagi individu maupun
masyarakat. Al-Hasan
al-Basriy pernah berkata: “Saya melihat ada
segolongan manusia yang memberikan perhatian kepada waktu lebih daripada
perhatian kalian terhadap dirham dan dinar”.
Waktu tidak bisa dihargai dengan
uang, seperti kata pepatah. Karena waktu lebih berharga dari uang, lebih
berharga dari emas, harta dan kekayaan. Waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Karena kehidupan bagi seseorang adalah waktu dan detik-detik yang dijalaninya
mulai ia lahir hingga wafat kemudian.
C.
Relatavitas
Waktu
Manusia tidak
dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat.
Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan
manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan
lingkungan. Kesadaran tentang waktu berhubungan dengan bulan dan
matahari, baik dari segi perjalanannya (malam saat terbenam
dan siang saat terbitnya), maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit
sampai terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam
berikutnya.
Perhitungan
semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus
digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui
oleh al-Qur’an, seperti
setahun sama dengan dua belas bulan,[39] al-Qur’an juga memperkenalkan adanya
relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun
pelaku.
Waktu yang dialami
manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak
di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat
berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Dalam Q.S. al-Kahfi/18: 19 dinyatakan:
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ
قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ
قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ
هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ
بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا (19)
Terjemahnya:
Dan
Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka
sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu
berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau
setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di
antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah
Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan
itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun.[40]
As}ha>b al-Kahfi yang ditidurkan
Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa
mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang. Hal itu dikarenakan mereka sedang
ditidurkan oleh Allah, sehingga walaupun mereka
berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.
Allah swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam al-Qur’an ditemukan
kata kerja bentuk masa lampau (past
tense/ma>d}iy) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa
depan. Allah swt. berfirman dalam
Q.S. al-Nah}l/16: 1:
أَتَى أَمْرُ اللَّهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (1)
Terjemahnya:
Telah
pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan
(datang) nya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan.[41]
Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi
lain jika memang telah datang
seperti bunyi ayat, mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu akan terjawab jika disadari
bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini,
dan masa yang akan datang sama saja. Dari sekian ayat
yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
Ketika al-Qur’an berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat al-Quran menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain, seperti
dalam Q.S. al-Ma‘a>rij/70: 4:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ
كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (4)
Terjemahnya:
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada
Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.[42]
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk nai ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia, seperti dalam
Q.S. al-Sajadah/32: 5:
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ
يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
(5)
Terjemahnya:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu.[43]
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran
yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan pada keyakinan bahwa ada
sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang
dikehendakinya, seperti yang difirmankan Allah swt. dalam Q.S. al-Qamar/54: 50:
وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ
(50)
Terjemahnya:
Dan
perintah Kami hanyalah satu Perkataan seperti kejapan mata.[44]
Kejapan mata dalam firman di atas tidak hanya dapat dipahami dalam pengertian dimensi manusia, karena Allah
berada di luar dimensi tersebut, dan karena Allah juga telah
menegaskan dalam Q.S. Ya>sin/36: 82:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ
كُنْ فَيَكُونُ (82)
Terjemahnya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.[45]
Inipun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan
Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas
hanya ingin menyebutkan bahwa Allah swt.
berada di luar dimensi ruang dan waktu.
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara mutlak, seperti pemahaman populer dewasa
ini. Allah menciptakan
alam raya selama enam hari tidak mesti dipahami sebagai enam kali dua puluh empat jam, bahkan boleh jadi kata tahun dalam al-Qur’an tidak berarti 365 hari, walaupun kata yaum dalam al-Qur’an yang berarti hari hanya terulang 365 kali, karena umat manusia berbeda dalam menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan
atau matahari, tetapi karena umat manusia mengenal pula perhitungan
yang lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s. hidup di tengah-tengah
kaumnya selama 950 tahun,[46] tidak harus
dipahami dalam konteks perhitungan syamsiah atau qamariah. Karena umat
manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim (panas, dingin, gugur, dan semi)
sehingga setahun perhitungan kita yang menggunakan ukuran perjalanan
matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi
Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230 tahun.
Al-Qur’an mengisyaratkan perbedaan perhitungan syamsiah dan qamariah
melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (as}h}a>b al-Kahfi) tertidur,
sebagaimana dalam Q.S. al-Kahfi/18: 25:
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ
وَازْدَادُوا تِسْعًا (25)
Terjemahnya:
Dan
mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi).[47]
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan
syamsiah, sedangkan penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan
qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun
antara perhitungan qamariah dan syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu
adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari dibagi, atau sama dengan sembilan
tahun.
D.
Urgensi waktu
dalam al-Qur’an
Perhatian al-Qur’an terhadap waktu dapat terlihat dengan banyaknya ayat yang berbicara tentang waktu, bahkan Allah swt. menggunakan beberapa terma waktu sebagai sumpah yang mengindikasikan bahwa waktu sangat penting bagi manusia.
Di antara fungsi waktu yang diungkapkan al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun inplisit adalah:
1. Alat atau media dalam menentukan ibadah
Salah satu ayat yang menjelaskan tentang urgensi waktu adalah Q.S. al-Baqarah/2: 189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ...
Terjemahnya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji....[48]
Asba>n al-Nuzu>l ayat diturunkan oleh Allah swt. paling tidak ada tiga pendapat. Pertama; ayat ini turun karena Mu‘a>z\ bin Jabal berkepada kepada Rasulullah saw. bahwa orang-orang Yahudi banyak bertanya tentang ahillah/bulan sabit, pendapat kedua dari riwayat Qata>dah bahwa ayat ini turun karena orang-orang Quraisy bertanya kepada Rasulullah saw. kenapa Allah swt. menciptakan bulan sabit, ketiga dari riwayat al-Kalbiy bahwa ayat ini turun kepada Mu‘a>z\ bin Jabal dan S|a‘labah bin ‘Animah yang bertanya kepada Rasulullah saw. apa dengan bulan sabit yang terbit sedikir demi sedikit, dari kecil terus membesar hingga berubah menjadi purnama kemudian berkurang sedikit demi sedikit hingga seperti semula, kenapa tidak satu keadaan saja.[49] Lalu turunlah ayat tersebut di atas.
Kalau melihat asba>b al-Nuzu>l di atas, seakan-akan mereka bertanya bukan tentang urgensi atau fungsi waktu, akan tetapi bertanya tentang hakikat ahillah, namun Allah swt. menjawab dengan jawaban yang lebih dibutuhkan yaitu fungsi bulan sebagai alat menetapkan waktu bagi manusia dan sebagai alat penentu ibadah haji.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas mengisyaratkan tentang peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci, seperti perjalanan dari bulan sabit ke purnama, harus dapat difungsikan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas. Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun Islam. Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.[50]
2. Media Introspeksi
Di antara fungsi waktu yang diungkapkan al-Qur’an adalah fungsi introspeksi diri. Hal tersebut tergambar dalam firman Allah swt. Q.S. al-Furqa>n/25: 62:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا (62)
Terjemahnya:
Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.[51]
Ibn Kas\i>r ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa tujuan Allah swt. menjadikan siang dan malam silih berganti agar waktu ibadahnya jelas dan sekaligus introspeksi diri jika ada ibadah yang terlalaikan di siang hari dapat dilakukan pada malam hari, sebaliknya jika ada ibadah yang terlalaikan di malam hari dapat dilakukan pada siang hari.[52] Hal tersebut diperkuat oleh hadis Nabi saw. bahwa Allah senantiasa menunggu taubat hamba-hambanya.
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.[53]
Hadis mengisyaratkan bahwa seseorang yang senantiasa introspeksi terhadap apa yang telah dilakukan lalu menyadari kesalahan yang dialaminya maka Allah swt. akan senantiasa membuka kedua tangan-Nya sebagai lambang pintu taubat masih terbuka bagi yang mau introspeksi.[54] Menurut al-Nawawiy, penggunaan kata bast} al-yad karena orang Arab jika rela terhadap sesuatu maka ia akan membuka tangannya untuk menerimanya, namun jika tidak rela maka dia akan menggenggam tangannya sebagai tanda penolakan.[55]
Quraish Shihab menegaskan bahwa lafal تذكّر (mengingat) erat kaitannya dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah menggunakan segala potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya, dan ini menuntut upaya dan kerja keras.[56]
Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan agar melihat kejadian-kejadian itu sebagai media pembelajaran dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 137:
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (137)
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).[57]
3. Plaining masa depan
Salah satu fungsi
dari keberadaan waktu adalah sebagai media untuk melakukan plaining masa
depan. Hal tersebut dapat terlihat dalam ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan, atau
berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa
depan. Salah
satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[58]
Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah
ketakwaan. Hari
esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut
pengertian dimensi waktu yang dialami. Kata gad dalam ayat di atas yang
diterjemahkan dengan
esok, ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak lima kali, tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari
esok duniawi,
dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.[59]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat
dibuat beberapa poin sebagai jawaban atas rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Waktu dalam
secara etimologi adalah menunjuk pada sesuatu yang menunjukan waktu tertentu.
Al-Qur’an menggunakan banyak istilah untuk menunjuk waktu, di antaranya adalah al-waqt,
al-‘as}r, al-dahr, al-ajal, al-amad dan al-abad. Di samping itu,
al-Qur’an juga menggunakan waktu-waktu tertentu dalam al-Qur’an seperti al-lail,
al-naha>r, al-s}ubh}, al-fajr, al-d}uh}a> dan lain-lain. Dari sekian
terma yang digunakan al-Qur’an, ditemukan bahwa masing-masing terma tersebut
mempunyai karakter dan penekanan. Al-waqt misalnya dikhususkan pada
batas akhir kesempatan atau peluang menyelesaikan suatu peristiwa. Al-Ajal
menekankan pada waktu berakhirnya sesuatu, al-dahr menunjukan waktu yang
dilalui alam raya. Al-As}r waktu yang menunjukan hasil perasan, al-amad
menekankan pada waktu yang terbatas, sedangkan al-abad menekankan pada
waktu yang panjang tanpa batas.
2.
Tabiat waktu
adalah waktu berlalu dengan cepat sehingga dalam al-Qur’an banyak diungkap
tentang yang merasa hidup di dunia hanya sehari atau setengah hari. Tabiat waktu
yang kedua adalah waktu tidak pernah kembali sehingga seseorang yang tidak
menggunakan waktunya dengan baik maka penyesalanlah yang akan muncul dikemudian
hari, sedangkan tabait waktu yang ketiga adalah waktu sangat berharga.
3.
Urgensi waktu
paling tidak ada tiga, yaitu waktu sebagai tanda dimulai atau barakhirnya
sebuah ibadah, semisal ibadah shalat, ibadah haji dan ibadah-ibadah yang lain,
urgensi adalah waktu sebagai media introspeksi sehingga kesalahan-kesalahan
kemarin tidak berulang kembali pada masa akan datang dan kesalahan-kesalahan
agar dimintakan ampunan kepada Allah swt. dan yang ketiga dari urgensi waktu
adalah sebagai plaining masa akan datang sesuai dengan perintah Allah
swt.
B.
Implikasi
Al-Qur’an telah membuktikan bahwa waktu sangat penting
bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam yang dianjurkan agar menjadikan
dunia sebagai mazra‘ah al-a>kihrah dan sekaligus hanya sebagai ‘a>bir
sabi>l sehingga kesannya dunia bukanlah tujuan akan tetapi ia hanyalah tempat
yang dijadikan sebagai ladang dalam melakukan segala amal ibadah dalam makna
yang luas, bukan ibadah dalam makna yang sempit.
Akhirnya, makalah ini penuh dengan kekurangan, sehingga
saran dan kritikan sangat diharapkan demi perbaikan ke depannya. Di samping
itu,
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘A<miriy, Ah}mad bin ‘Abd al-Kari>m. al-Jadd
al-H{as\i>s\ fi> Baya>n Ma> Laisa bi H{adi>s\. t.t.: Da>r
ibn H{azam, t.th.
‘A<syu>r, Muhammad al-T{a>hir bin. al-Tah}ri>r
wa al-Tanwi>r. Tunis: al-Da>r al-Tu>nisiyah, 1984.
Abu> H{ayya>n, Muh{ammad bin Yu>suf
al-Andalu>siy, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh{i>t}. Cet. I; Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H/1993 M.
Al-Ba>qiy, Muh{ammad Fua>d ‘Abd. al-Mu‘‘jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m. al-Qa>hirah:
Mat}ba‘at Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1364 H.
Al-Bukha>riy, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad bin
Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>riy. Cet. III; Beirut: Da>r
Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah
al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li al-T{iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418
H.
Departemen Pendidikan RI, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.
Al-H{ajja>j, Abu> al-H}usain Muslim bin. S}ah}i>h}
Muslim. Beirut: Da>r ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.
Kas\i>r, Abu> al-Fida>’ Isma>‘i>l bin. Tafsi>r
al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Jaizah: Maktabah Awla>d al-Syaikh li
al-Tura>s\, t.th.
Al-Mana>wiy, ‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r. Cet.
I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
------------------, al-Tauqi>f ‘ala>
Muhimma>t al-Ta‘a>ri>f. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr
al-Mu‘a>s}ir, 1410 H.
Al-Mis}riy, Muh{ammad bin Mukrim bin Manz{u>r. Lisa>n
al-‘Arab. Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, t.th.
Mus}t}afa>, Ibra>hi>m dkk, al-Mu‘jam
al-Wasi>t}. (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.
Al-Nawawiy, Abu> Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf. Syarh}
al-Nawawiy ‘ala> S}ah}i>h} Muslim. Cet. II; Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H.
Al-Ra>ziy, Abu> ‘Abdillah Fakhr al-Di>n. Mafa>ti>h}
al-Gaib. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M.
Rid}a>, Muh{ammad Rasyi>d bin ‘Ali. Tafsi>r
al-Mana>r. Beirut: al-Haiat al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b,
1990 M.
Al-Samarqandiy, Bah}r al-‘Ulu>m, Juz. IV (CD
ROM al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.)
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian
Kosakata. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
----------------,Wawasan al-Qur’an. Cet. XVI;
Bandung: Mizan, 2005.
Al-Suyu>t}iy, Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n bin
Abi> Bakar. Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l. Beirut:
Da>r Ih}ya>’ al-‘Ulu>m, t.th.
Al-Wa>h}idiy, Abu> al-H{asan ‘Ali bin Ah{mad. Asba>b
al-Nuzu>l. al-Qa>hirah: Da>r al-Ittih}a>d al-‘Arabiy, 1388
H/1968 M.
Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris
bin. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut: Da>r Ittih{a>d
al-‘Arabiy, 1423 H/2002 M.
Al-Zuhailiy, Wahbah bin Mus}t}afa>. al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘àh wa al-Manhaj. Cet.
II; Damsyiq: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.
[1]Ah}mad
bin ‘Abd al-Kari>m al-‘A<miriy, al-Jadd al-H{as\i>s\ fi>
Baya>n Ma> Laisa bi H{adi>s\ (t.t.: Da>r ibn H{azam, t.th.), h.
253.
[3]Abu>
al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s
al-Lugah, Juz. VI (Beirut: Da>r Ittih{a>d al-‘Arabiy, 1423 H/2002 M),
h. 99. Selanjutnya disebut Ibn Fa>ris.
[4]Ibra>hi>m
Mus}t}afa> dkk, al-Mu‘jam al-Wasi>t}, Juz. II (CD ROM
al-Maktabah al-Sya>milah, t.th.), h. 1020.
[5]Muh{ammad
‘Abd al-Rau>f al-Mana>wiy, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t
al-Ta‘a>ri>f (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1410
H), h. 731.
[6]Muh{ammad
Fua>d ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘‘jam al-Mufahras li Alfa>z}
al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Mat}ba‘at Da>r al-Kutub
al-Mis}riyyah, 1364 H), h, 463.
[7]Ibn
Fa>ris, op. cit., Juz. IV, h. 274.
[8]M.
Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, Juz. I (Cet.
I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 34.
[10]Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah:
Mujamma’ al-Malik Fahd li al-T{iba>‘a>t al-Mus}h}af, 1418 H), h.
818.
[11]Muhammad
al-T{a>hir bin ‘A<syu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Juz.
XXV (Tunis: al-Da>r al-Tu>nisiyah, 1984), Juz. 25, h. 361.
[12]Wahbah bin
Mus}t}afa> al-Zuhailiy, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah
wa al-Syari>‘àh wa al-Manhaj, Juz. XXV (Cet. II; Damsyiq: Da>r
al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H), h. 281. Selanjutnya disebut al-Zuhailiy.
[15]Abu>
‘Abdillah Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy, Mafa>ti>h} al-Gaib (Cet.
I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. 235.
[19]Muh{ammad
bin Mukrim bin Manz{u>r al-Mis}riy, Lisa>n al-‘Arab, Juz. XI (Cet.
I; Beirut: Da>r S{a>dir, t.th.), h. 11.
[29]Muh{ammad
Rasyi>d bin ‘Ali Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz. III
(Beirut: al-Haiat al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M), h. 232.
[31]Lisa>n al-‘Arab, Juz XI, h.
607.
[33]Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Mafa>tih
al-Gaib, Juz 17, h. 69.
[37]Muh{ammad
bin Yu>suf Abu> H{ayya>n al-Andalu>siy, Tafsi>r al-Bah}r
al-Muh{i>t}, Juz. VIII (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1413 H/1993 M), h. 416.
[38]Abu>
al-Fida>’ Isma>‘i>l bin Kas\i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n
al-‘Az}i>m, Juz. XIV (Jaizah: Maktabah Awla>d al-Syaikh li
al-Tura>s\, t.th.), h. 245.
[49]Abu>
al-H{asan ‘Ali bin Ah{mad al-Wa>h}idiy, Asba>b al-Nuzu>l (al-Qa>hirah:
Da>r al-Ittih}a>d al-‘Arabiy, 1388 H/1968 M), h. 32. Lihat juga: Abu>
al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakar al-Suyu>t}iy, Luba>b
al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-‘Ulu>m, t.th.), h. 137.
[53]Abu>
‘Abdillah Muh{ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>riy, S}ah}i>h}
al-Bukha>riy, Juz. VI (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407
H/1987 M), h. 2552. Selanjutnya disebut al-Bukha>riy. Lihat juga: Abu>
al-H}usain Muslim bin al-H{ajja>j, S}ah}i>h} Muslim, Juz. IV
(Beirut: Da>r ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabiy, t.th.), h. 2113.
[54]‘Abd
al-Rau>f al-Mana>wiy, Faid} al-Qadi>r, Juz. II (Cet. I; Mesir:
al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H), h. 281.
[55]Abu>
Zakariyya> Yah{ya> bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh} al-Nawawiy ‘ala>
S}ah}i>h} Muslim, Juz. XVII (Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabiy, 1392 H), h. 76.
Best Slingo for Real Money (다모아 카지노 프모아 카지노 dafabet link dafabet link 제왕카지노 제왕카지노 12bet 12bet 카지노사이트 카지노사이트 dafabet dafabet 987 Online Casinos in Asia | Best 7 Pokies Pokies Pokies Pokies - Casinoinjapan
BalasHapus