Qat}‘iy dan Z}anniy
dalam Perspektif Pemikiran Islam
(Suatu Kajian Kritis)
Makalah Revisi
Mata kuliah Studi
Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok
Reguler Program Doktor
Oleh:
Abdul Gaffar
Dosen
Pemandu:
Prof. Dr.
Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin,
M.Ag.
Program
Pascasarjana (S3)
Universitas
Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Menurut Nurcholis Madjid bahwa salah satu mukjizat dalam Islam adalah
keberhasilan umat Islam pada umumnya untuk tidak memitoskan Nabinya, meskipun umat
Islam melihatnya sebagai seorang nabi terakhir.[1] Hal tersebut terjadi karena Allah senantiasa mengingatkan umat Islam bahwa
Muhammad hanyalah Nabi,[2]
bahkan ia juga seorang manusia biasa yang tak luput dari sifat-sifat kemanusiaan,
sebagaimana yang diungkapkan dalam Q.S. al-Kahf/18: 110:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.[3]
Hal ini
berbeda dengan apa yang terjadi pada umat sebelumnya. Hypatia,[4] sarjana
wanita di Iskandaria telah menjadi korban kepanatikan agama. Gereja Kristen
saat itu sedang mengkonsolidasi dirinya dan mencoba untuk mengikis habis
paganisme (praktek penyembahan berhala). Ia dituduh sebagai wanita yang hendak
mempertahankan paganisme karena menekuni ilmu pengetahuan, dan Gereja
menyamakan antara ilmu penegetahuan dengan paganisme. Hal ini disebabkan karena
kitab suci mereka berisi mitologi yang berdampak kepada anggapan ilmu
pengetahuan bertentangan dengan agama.[5]
Hal serupa juga kemudian
terjadi pada umat Islam. Klaim kebenaran pada keyakinan sendiri dan
golongannya, dan kebatilan atau kesalahan pada golongan lain sudah menjadi
bagian dari perjalanan sejarah umat Islam. Bahkan sampai hari ini, klaim
tersebut masih bisa dijumpai sejarah pemikiran Islam yang meliputi teologi,
filsafat, dan tasawuf, telah mencatat kelompok-kelompok tertentu mengkafirkan
kelompok Islam yang lainnya yang berbeda. Dan ini menjadi sangat serius ketika
yang dituduh sampai dihukum mati,[6] seperti Hypatia.
Pada masalah fikihpun
terjadi hal yang sama, kontroversi seputar syari’at Islam sedemikian tajam
karena bidang garapan fikih meliputi aspek-aspek muamalat (interaksi sesama) manusia yang sangat luas, yang
meliputi juga aspek politik, ekonomi termasuk produk-produknya.[7] Selain itu, orientasi fikih umumnya melahirkan sikap sektarian. Fikih
yang sebetulnya dirumuskan dari upaya keras para ulama untuk menarik hukum dari
al-Qur’an dan al-Sunnah disakralkan menjadi al-Qur’an dan al-sunnah itu
sendiri. Fikih
yang sangat manusiawi diangkat menjadi sangat ilahi. Menentang fikih dinggap
menentang al-Qur’an dan al-sunnah. Membantah ulama menjadi sama dengan membantah Allah.[8]
Inilah kemudian mengantarkan
perbedaan-perbedaan dalam fikih kepada perpecahan bahkan permusuhan di antara
umat Islam sendiri. Keberagamaan mereka dipecah-pecah kedalam berbagai mazhab.
Banyak orang yang merasa
bijak, mereka sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab
mana yang benar dan mana yang sesat. Seseorang akan dianggap yang paling pandai
apabila dia bisa mengetahui segala pendapat yang berbeda, lalu memutuskan bahwa
pendapat dialah yang paling benar.[9]
Ketika
banyak orang mengatakan perbedaan pendapat dalam agama akan segera berakhir
bila kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Mereka lupa bahwa ketika para ulama kembali
merujuk kepada al-Qur’an dan
al-sunnah, di situlah dimulai
perdebatan dan perbedaan pendapat. Karena dalam al-Qur’an mudah dijumpai kata maupun kalimat yang
menimbulkan multi makna, karena dari segi kebahasaan memang memungkinkan,
diperkuat lagi oleh perbedaan tingkat akademis, psikologis, dan kepentingan
politik penafsir.[10] Karenanya, tidaklah mungkin bisa untuk membuat
semua orang berpendapat sama tentang cara bagaimana menjalankan keberagamaan
yang benar.[11]
Perbedaan tersebut muncul karena pemahaman tentang mana yang qat}‘iy
dan mana yang z}anniy dalam al-Qur’an tidak sama. Sebagian mengatakan
bahwa tidak satupun ayat al-Qur’an yang qat}‘iy dan sebagian lagi
mengatakan bahwa ada yang qat}‘iy. Sementara z}anniy sudah pasti
akan menimbulkan pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, mengkaji qat}‘iy dan
z}anniy menjadi hal yang menarik untuk dibahas dan didiskusikan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang
masalah di atas, masalah pokok adalah bagaimana sikap terhadap qat}‘iy
dan z}anniy dalam pemikiran Islam dengan sub masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian qat}‘iy dan z}anniy?
2.
Bagaimana
pemikiran Islam terhadap qat}‘iy dan z}anniy?
3.
Bagaimana
sikap kritis terhadap pemikiran qat}‘iy dan z}anniy?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qat}‘iy dan Z|anniy
Qat}‘iy secara etimologi terdiri dari huruf qa-t}a-‘a
yang berarti s}arm wa iba>nah sya’i min sya’i (putus dan tampaknya
sesuatu dari sesuatu yang lain).[12]
Sementara Ibn Manz}u>r mengatakana bahwa al-qat}‘u adalah iba>nah
ba‘d} ajza>’ al-jirm min ba‘d} fad}lan (tampaknya sebagian anggota dari
bagian anggota yang lain sebagai kelebihan).[13] Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia, kata
yang berasal dari qa-t}a-‘a diartikan dengan sesuatu yang bersifat putus,
pasti, penghabisan, terakhir dan diam.[14]
Dari beberapa makna etimologi yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa
qat}‘iy adalah sesuatu yang sudah jelas atau pasti sehingga tidak
memungkinkan lagi untuk menduga-duga atau sesuatu yang tidak membutuhkan penakwilan.
Kata z}anniy yang berakar kata z}a-na-na dalam Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah mempunyai
dua makna, yaitu al-yaqi>n
wa al-syakk (yakin dan ragu).[15] Ibn
Manz}u>r mengatakan bahwa z}ann memang mempunyai dua
makna, yakni yakin dan ragu hanya saja keyakinan tersebut bukan keyakinan
pasti, akan tetapi adalah keyakinan tadabbur/merenung atau
berfikir.[16]
Namun dalam keseharian lebih banyak pemakaiannya dalam arti yang kedua yaitu ragu, perkiraan,
sangkaan (antara benar dan salah). Karenanya, sangkaan/tuduhan dalam bahasa
Arab disebut al-z}innah, dan tersangka disebut al-z}a>nin,
sedangkan al-z{anun adalah
buruk sangka, yang dalam arti aslinya adalah sumur yang tidak diketahui apakah
di dalamnya ada air atau tidak.[17]
Istilah qat}‘iy dan
z}anniy, yang
menjadi pembahasan ilmu Ushul Fiqh, masing-masing terdiri dari dua bagian,
yang pertama menyangkut kebenaran sumber atau teks (al-s\ubu>t/al-wuru>d), dan kedua menyangkut kandungan
maknanya (al-dila>lah).[18]
Terkait
dengan al-Qur’an, semua umat Islam sepakat bahwa kebenaran sumber (al-s\ubu>t)-nya adalah qat}‘iy,[19] yang hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang
dikenal dengan istilah ma’lum min al-di>n bi al-d}aru>rah (sesuatu yang sudah sangat
jelas, aksiomatik dalam ajaran agama)[20].
Sedangkan hadis, umumnya bersifat z}anny al-s\ubu>t/al-wuru>d,[21] yang
disebabkan oleh banyak hal yang salah satunya adalah terjadinya periwayatan
secara makna, yang telah memunculkan problem menyangkut teks hadis.[22]
Sedangkan dari segi
kandungan makna atau kepastian argumen (dila>lah)-nya, baik al-Qur’an maupun
hadis masing-masing ada yang qat}‘iy dan
ada yang z}anniy. ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f mendefinisikan qat}‘iy sebagai sesuatu yang
menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau
hadis), tidak mengandung kemungkinan ta’wi>l (pengalihan
dari makna asal kepada makna lain) serta tidak ada tempat atau peluang untuk
memahami makna lain selain makna yang ditunjuk oleh teks. Sedangkan z}anniy adalah
sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang dipahami dari teks (ayat
atau hadis), tatapi mengandung kemungkinan makna lain dari pemahaman teks
tersebut.[23]
B.
Qat}‘iy
al-Dila>lah dalam al-Qur’an
Sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab bahwa para mufasir berpendapat qat}‘iy al-dila>lah tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Menurut ‘Abdullah Darra>z
bahwa tidak ada
satu ayatpun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu kandungan makna. Ibarat
sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa
yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil, jika orang lain dipersilahkan memandangnya,
maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang dilihat oleh
orang sebelumnya.[24] Karena dalam ulu>m al-Qur’a>n, persoalan qat}‘iy dan
z}anniy tidak ikut menjadi pokok pembahasan.[25] Ulama-ulama tafsir menekankan bahwa al-Qur’an h}amalat li al-wuju>h (mengandung banyak interpretasi), sehingga
muncul sebuah ungkapan bahwa seseorang tidak dinamai mufasir kecuali ia mampu
memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat al-Qur’an.[26] Hal ini sejalan dengan komentar/pendapat Muhammad Arkoun yang mengatakan
bahwa ayat-ayat al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang
terbatas, kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasan pada
tingkat wujud mutlak. Dengan demikian, ayat selalu terbuka untuk diinterpretasi baru, tidak pernah pasti dan
tertutup dalam interpretasi tunggal.[27]
Al-Sya>t}ibiy sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Dahlan dkk,[28] mengemukakan sepuluh premis yang harus dipenuhi agar suatu dalil yang
berdiri sendiri dapat dikatakan bersifat qat}‘iy,
yaitu:
a. Riwayat
kebahasaan (al-lugah)
b. Riwayat
yang berkaitan dengan gramatika (nahw)
c. Riwayat
yang berkaitan dengan perubahan kata (s}arf)
d. Redaksinya
bukan kata bertimbal atau bersifat ganda
(musytarak)
e. Tidak
mengandung perahilan makna (ta’wi>l)
f.
Redaksinya bukan kata meteforis (maja>z)
g. Bukan
sisipan (id}ma>r)
h. Bukan
pendahuluan dan pengakhiran (taqdi>m wa ta’khi>r)
i.
Bukan pembatalan hukum (naskh)
Tiga yang pertama kesemuanya
bersifat z}anniy,
karena riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ah}ad. Tujuh sisanya hanya dapat
diketahui melalui al-istiqra>’ al-ta>mm (metode induktif sempurna),
dan hal ini mustahil. Yang bisa dilakukan hanyalah al-istiqra>’ al-na>qis} (metode induktif yang tidak
sempurna), dan ini tidak menghasilkan kepastian atau sesuatu yang bersifat z}anniy.[30]
Karenanya, menurut al-Sya>t}ibiy, jika dalil berdiri sendiri, amat
jarang ditemukan dalil yang mengandung satu makna secara pasti, kepastian baru
didapat ketika beberapa dalil dijajarkan menjadi satu, sehingga saling
melengkapi. Kepastian makna (qat}‘iy al-dila>lah)
satu nash muncul dari sekumpulan dalil z}anniy
yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama
dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu
memberi kekuatan tersendiri. Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan
masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kakuatan dari himpunan
tersebut menjadikannya tidak bersifat z}anniy
lagi. Ia telah meningkat menjadi semacam mutawa>tir ma‘nawiy. Dengan
demikian dinamailah ia sebagai qat}‘iy al-dila>lah.[31]
Kewajiban shalat misalnya,
tidak bisa hanya dilandaskan kepada nash yang berbunyi أقيموا الصلاةsaja, sebab ternyata banyak
ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi perintah tidak dinilai bermakna wajib.
Kepastian kewajiban itu datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain yang
walaupun dengan redaksi atau konteks yang berbeda-beda disepakati bahwa
kesemuanya mengandung makna yang sama, yaitu adanya ayat atau hadis yang
menjelaskan antara lain: pujian untuk orang-orang yang shalat, celaan, ancaman
bahkan perintah memerangi bagi orang yang meremehkan atau
meninggalkannya, perintah untuk melaksanakannya dalam segala keadaan (sehat,
sakit, damai, perang, dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring, atau bahkan
dengan isyarat sekalipun), dan pengalaman-pengalaman yang diketahui secara
turun-temurun dari Nabi Muhammad saw., para sahabat dan generasi sesudahnya,
yang tidak pernah meninggalkan shalat.[32]
Al-Syat}ibiy sependapat dengan beberapa ahli tafsir yang mengatakan bahwa
satu dalil (ayat atau hadis) tidak dapat dikatakan qat}‘iy apabila ia berdiri sendiri. Kepastian hukum hanya didapatkan apabila satu
dalil didukung oleh dalil-dalil lain dalam topik yang sama.
Perbedaan konsepsi qat}‘iy dan z}anniy bagi al-Qur’an dan hadis,
disikapi secara berbeda oleh para ulama terdahulu. Al-Sya>fi‘iy sangat ketat dalam memahami
teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Menurut al-Sya>fi‘iy,
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi pada dasarnya harus dipertahankan
bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi
teks-teks adalah ta‘abbudiy,
sehingga tidak boleh diubah. Maksud syari’at sebagai maslahat harus dipahami
secara terpadu dengan bunti teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan
arti lahiriah teks.[33]
Kajian ‘illat dalam pandangan al-Sya>fi‘iy,
dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk mengembangkan hukum.
Karena itu, kaidah al-h}ukm yadu>r ma‘a ‘illatih wuju>dan wa ‘adaman
hanya dapat diterapkan hasil qiya>s, bukan terhadap bunyi teks
al-Qur’an dan hadis. Sebagai contoh, lafal yang mengesahkan hubungan dua
jenis kelamin, hanya lafal nika>h} dan zawa>j, karena bunyi hadis saw.
menyatakan “istah}laltum furu>jahunna bi kalimatillah”, sedangkan kalimat (lafal)
yang digunakan Allah dalam al-Qur’an untuk keabsahan hubungan tersebut hanya
lafal zawa>j dan nika>h}.[34]
Berbeda dengan al-Sya>fi‘iy, Abu> H{ani>fah
berpendapat bahwa hanya teks-teks hadis dalam bidang ibadah saja yang harus
dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat tidak. Bidang ini
menurutnya adalah ma‘qu>l al-ma‘na> dapat dijangkau
oleh nalar, karena mereka tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam
teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Sebagai contoh beliau membolehkan
membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan
perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli.[35]
Menurut pemakalah, ungkapan bahwa al-Qur’an tidak ada yang qat}‘iy
al-dila>lah manakala ayatnya sendiri-sendiri dapat dibenarkan jika yang
dimaksud qat}‘iy pada seluruh aspeknya, namun jika yang dimaksud qat}‘iy
pada aspek tertentu, misalnya hukumnya maka ayat-ayat al-Qur’an banyak yang
qat}‘iy.
Oleh karena itu, pemakalah cenderung sepakat dengan ulama us}u>l al-fiqh bahwa suatu ayat atau hadis mutawa>tir bisa menjadi qat}‘iy dan z}anniy secara bersamaan. Sebagai contoh potongan ayat wamsah}u> biru’u>sikum
adalah qat}‘iy al-dila>lah
menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwudhu, tetapi ia z}anniy al-dila>lah
dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Ke-qat}‘iy-an dan
ke-z}anniy-an
tersebut disebabkan karena seluruh ulama sepakat menyatakan kewajiban
membasuh kepala dengan berbagi argumentasi. Tetapi mereka berbeda pendapat
tentang arti dan kedudukan pada lafal biru’u>sikum. Inilah yang dikatakan
dengan qat}‘iy dari satu sisi dan z}anniy
dari sisi lain (qat}‘iy bi i‘tiba>r wa z}anniy bi i‘tiba>r).
C.
Pemikiran
Islam tentang Qat}‘iy dan Z}anniy
Kalau dicermati paparan
tentang qat’iy dan zhanny di atas, maka tidak salah jika dikatakan
bahwa tidak mungkin siapapun untuk membuat semua orang berpendapat sama tentang
cara bagimana menjalankan keberagaman yang benar.
Adanya aneka mazhab,
semestinya menciptakan dalam benak umat Islam satu prinsip dasar yaitu terdapat lebih dari satu
mazhab dan lebih dari satu pendapat, dan semua pendapat-pendapat tersebut benar
adanya dan tidak satupun di antara menjadi juru bicara resmi yang memonopoli
pembicaraan atas nama ajaran Islam. Karenanya, dalam perbedaan dan keragaman
pendapat tentang kebergaman ini, hal yang penting adalah bagaimana
menjaganya agar tetap menjadi keharmonisan dalam hidup, sehingga apa yang
selalu didengungkan dengan istilah perbedaan itu adalah rahmat benar-benar dapat dirasakan.
Salah satu langkah
yang ingin dilakukan untuk meingimplimentasikan bahwa
tidak ada yang qat}‘iy adalah apa yang dilakukan Munawir Sjadzali dengan
meminjam istilah Ibrahim Hosen untuk memfikihkan hukum qat}‘iy. Langkah Munawir bukan tanpa landasan pendapat yang ada sebelumnya. Munawir dalam
berbagai kesempatan berulang kali mengutip pendapat
al-T}u>fi
dengan teori mas}lah}ah-nya dan Abu> Yu>suf
dengan pandangannya tentang tradisi (al-‘urf wa al-‘a>dah).[36]
Munawir Sjadzali berusaha untuk menerjemakan ajaran yang universal menjadi down to earth atau dalam bahawa membumikan
al-Qur’an, atau menzamankan al-Qur’an sehingga memberi manfaat nyata dan efektif.[37] Gagasan ini sudah mulai
dilemparkan pada masyarakat sejak awal tahun 1985 dan mendapat tanggapan
biasa-biasa saja. Baru setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul
pro-kontra yang cukup keras.
Gagasan ini muncul dari
keresahan Munawir yang menganggap masih banyak sikap mendua dalam beragama. Dua contoh
yang diangkat adalah pertama, banyak
yang berpendirian bahwa bunga bank itu riba, sementara mereka tidak hanya hidup
dari bunga deposito, melainkan dalam kehidupan sehari-hari juga banyak menggunakan
jasa bank, bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga dengan alasan darurat,
padahal dalam al-Qur’an, kelonggaran yang diberikan kepada umat
Islam dalam
keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak
lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial. Kedua,
dalam pembagian harta warisan, yang menyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah
dua kali lipat lebih besar dari pada anak perempuan, tetapi ketentuan tersebut
sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakaf Islam di Indonesia, baik secara
langsung maupu tidak.
Ketika seorang keluarga
muslim meninggal, banyak yang kemudian pergi ke Pangadilan Negeri dan meninggalkan pengadilan
agama untuk meminta memberlakukan sistem pembagian yang lain, yamg
tidak sesuai dengan fara>’id}. Sikap seperti tidak
hanya dilakukan orang-orang awam, melainkan juga banyak kepala
keluarga yang mengambil kebajikan preventif dengan membagikan sebagian
besar dari kekayaan kepada anak-anaknya, masing-masing mendapat bagian yang
sama besar tanpa membedakan jenis kelamin sebagai hibah.
Menurut Munawir, hal yang seperti ini memang secara formal tidak terjadi
menyimpang dari ketentuan al-Qur’an, tetapi apakah melaksanakan
ajaran agama dengan semangat demikian itu sudah betul? apakah tindakan itu termasuk
dalam kategori h}i>lah? apakah dari segi keyakinan
Islam, kebijaksanaan seperti itu tidak lebih berbahaya, karena dengan begitu
membuat asumsi bahwa kalau tidak mengambil langkah seperti itu, maka anak-anak
perempuan akan dirugikan oleh berlakunya hukan fara>’id}?[38]
Ada beberapa argumen yang dikemukakan
Munawir untuk mendukung ide tersebut, di antanya:
1.
Bahwa kedua ide di atas
berada pada lingkungan hukum yang menyangkut muamalah duniawi, yang ruang gerak
untuk penalaran intelektual lebih luas, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar
pertimbangan atau tolok ukur utama.
2.
Kalau dalil tentang bagian warisan dianggap qat}‘iy
yang tidak boleh diubah, maka pemberian izin pengunaan budak-budak sahaya
sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri
(ayat 3 Q.S. al-Nisa>’, ayat 6 Q.S. al-Mu’minu>n, ayat 52 Q.S. al-Ah}za>b, dan
ayat 30 Q.S. al-Ma‘a>rij) walaupun nabi saw. selalu
menghimbau para pemilik budak untuk berlaku manusiawi atau membebaskan mereka. Namun kenyataannya
sampai Nabi saw. wafat dan wahyu turun, Islam belum secara tuntas menghapuskan
perbudakan, juga berdasar atas dalil qat}‘iy. Kalau ada yang mengatakan
bahwa hal itu (belum tuntasnya pengahapusan perbudakan)disebabkan karana Nabi masih
khawatir terhadap reaksi masyarakat waktu itu jika Nabi tegas mengikis habis perbudakan. Kalau
alur penalaran itu diterima, maka apakah sebagai umat Muhammad tidak seharusnya belajar
dari kebijakan Nabi sebagai panutan?[39]
Alasan
gagasan Munawir untuk menyamakan warisan laki-laki dan perempuan, M. Atho
Mudzhar meringkasnya sebagai berikut: “Dahulu pada masa sebelum Islam, wanita
sama sekali tidak dapat bagian warisan. Setelah Islam datang, wanita diberi
bagian warisan meskipun hanya setengah dari bagian laki-laki. Ini berarti
secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat perempuan. Ajaran Islam memang sering
diberlakukan secara bertahap sehingga perempuan tidak diberi bagian yang sama
dengan laki-laki sekaligus, sama halnya dengan penetapan pengharaman khamar yang membutuhkan proses. Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa dari ayat warisan tersebut
ialah bahwa pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan derajat perempuan harus
terus dilakukan dan tidak boleh terhenti. Kemudian oleh karena kehidupan modern
sekarang ini telah memberi kewajiban yang lebih besar kepada perempuan dibanding
pada masa lalu sehingga perempuan kini juga dapat memberikan
peran yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja kalau
hak-hakanya dalam warisan juga ditingkatkan agar sama dengan laki-laki, bahkan ia memperkuat
dari segi pemahaman tentang struktur sosial,[40] bahkan sekurang-kurangnya
dalam pelaksanaanya dari segi pemahaman struktur keluarga.[41]
D. Kimiawi Pemikiran Islam
Sub masalah ini dibahas dan dikaji oleh pemakalah karena pada faktanya,
sulit menerapkan hukum yang pada ulama generasi tertentu menjadi qat}‘iy
kemudian berubah menjadi z}anniy dengan berbagai argumentasi. Hal
tersebut terjadi karena adanya kimiawi dalam pemikiran Islam.
Istilah kimiawi pemikiran Islam dilontarkan oleh Qasim Mathar dalam Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat dan Pemikiran Modern dalam Islam.[42]
Kimiawi pemikiran
Islam adalah sebuah analogi pemikiran Islam dengan proses kimiawi yaitu
beberapa zat, beberapa inti, beberapa substansi atau esensi yang bersenyawa dan
dari persenyawaan itu akan melahirkan zat yang baru yang berbeda dengan zat-zat
yang sudah ada dari racikan sebelumnya.
Ide dasarnya adalah
terjadinya perubahan-perubahan mendasar di kalangan kaum muslim dalam melihat
Islam, khususnya kitab suci al-Qur’an yang pada gilirannya akan merubah cara
pandang mereka terhadap al-Qur’an dan Islam secara umum. Dua hal yang
dijadikan contoh dalam perubahan mendasar dari cara pandang tersebut adalah, pertama, perubahan pandang menyangkut
hal-hal yang dipandang qat}‘iy dan
z}anniy
di dalam Islam. Kedua, menyangkut
soal na>sikh-mansu>kh.
Dalam persoalan qat}‘iy dan z}anniy
yang sudah dipaparkan di atas, ada dua hal yang menjadi sorotan Qasim Mathar; Pertama, qat}‘iy al-dila>lah sebagai produk istiqra>’iy
yang oleh pakar us}u>l
al-fiqh biasa disebut sebagai ijmak, dan kedua, persoalan dalam qat}‘iy
dan z}anniy.
Pada masalah pertama, Qasim mengetengahkan dua
persoalan, pertama, perubahan hasil
ijmak tersebut karena nash-nash/dalil-dalil pendukunganya dikaji dan
dinilai ulang oleh pakar yang datang kemudian, dan ternyata pengkajian dan
penilaian ulang mereka berbeda dengan pakar sebelumnya? Kedua, mana-mana sajakah yang benar-benar merupakan ijmak, sehingga
ia qat}‘iy al-dila>lah,
dan mana pula yang hanya merupakan kesepakatan antara ulama mazhab tertentu
saja, sehingga pada hakekatnya ia bukan qat}‘iy al-dila>lah?
Pada masalah kedua, Qasim melangkah lebih jauh dengan
memberi contoh, ayat aqi>mu>
al-s}ala>h yang
selama ini dianggap telah mapan dengan menyebut bisa saja dikatakan qat}‘iy dari sisi ide universal
yang ia kandung, tetapi pada saat yang sama ia juga z}anny
dari sisi ide rincian kandungan berhubungan dalil/nash yang mendukung rincian
tersebut masih bisa diperselisikan.[43]
Inti dari pemikiran Qasim Mathar ini adalah apa
yang ditulis pada dua peragraf terakhir dari pidatonya, yaitu menyadarkan umat Islam bahwa
persoalah keagamaan di masa kini harus didekati, dikaji, dan dipahami dari berbagai segi metode
dan pendekatan atau dengan kata lain agama kini dilihat tidak lagi dari cara pandang
tertentu saja, tetapi dari bermacam-macam cara pandang. Perbedaan pemaham
terhadap suatu persoalan keagamaan sudah terjadi sejak masa-masa silam, sampai
sekarang. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa tidak mungkin menyeragamkan
pemahaman keagamaan umat manusia, walau dalam satu kelompok agama, seperti Islam
selanjutnya Qasim menulis:
Biarlah Islam tumbuh bagi
satu pohon bertangkai, bercabang, bertunas, berdaun, dan berbunga. Biarkanlah
jika ada seseorang mengambil satu cabang atau tangkai dari pohon Islam itu, kemudian mencangkok dan menanamnya di
tanah lain, maka tumbuhan baru itu tetap bernama Islam. Analogi serupa, jika Islam
dan kitab suci al-Qur’an ibarat zat-zat, maka biarkanlah para ahli meramu dan meracik
zat-zat itu. Apapun yang lahir dari ramuan dan racikan itu, saya berpendapat
itulah Islam dan itu pula semangat dari al-Qur’an. Kitab suci
tersebut sesunguhnya dihidangkan ke meja sejarah kemanusiaan. Silahkan yang mau
mencicipinya siapa saja, silahkan yang mau mencangkoknya siapa saja, yang mau meraciknya siapa
saja. karena pada akhirnya semua hasil cangkokan dan racikan itu adalah
misi besar para nabi dan rasul, siapun mereka. Inilah kecenderungan hari ini
dan manjadi urusan umat Islam di masa depan.[44]
E.
Studi
Kritik terhadap Qat}‘iy dan Z}anniy
Pemikiran Munawir Sjadzali dan Qasim Mathar terhadap qat}‘iy dan z}anniy
merupakan langkah terobosan terhadap sikap umat Islam, khususnya di
Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya cenderung takli>d kepada
mazhab-mazhab dalam segala bidang keilmuan tanpa mau membuka ruang ijtihad
untuk mengkaji apa sebenarnya dalil dan alasannya.
Kepanitikan terhadap mazhab akan menutup pintu untuk mengikuti al-Qur’an
dan sunnah secara komprehensif karena bisa jadi pendapat dan pemikiran mazhab
terhadap al-Qur’an dan sunnah hanyalah parcial yang disesuaikan dengan kondisi
masyarakatnya yang bisa jadi berbeda dengan kondisi saat ini.
Umat Islam pada hakikatnya sangat
mendambakan mengikuti al-Qur’an secara keseluruhan dan Nabi Muhammad saw. Sebagai
personalisasi dari al-Qur’an,
hanya saja terjadi perbedaan interpretasi yang
mengakibatkan keragaman pendapat dan pengamalan. Hal tersebut terjadi karena tidak ditemukan petunjuk pasti manyangkut masalah yang diperselisihkan itu
dari al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw.
Interperetasi yang berbeda itu pula
bisa jadi kesemuanya benar, seperti halnya yang ingin mencapai angka sepuluh.
Yang berkata 5+5 atau 6+4 atau 13-3 dan masih banyak lainya. Kesemuanya adalah benar sepuluh yang
diharapkan adalah mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Dari sini, pakar berkata bahwa apa yang
dinamai ketetapan Allah adalah hasil ijtihad seorang mujtahid kendati berbeda-beda karena ketetapan-ketetapan Allah berisi aneka wadah yang berisi
beberapa macam minuman serta gelas-gelas kosong yang disodorkan kepada para
tamu. Minuman
manapun yang dipilihnya selama dari talam yang dihidangkan dan sesuai kadar gelasnya, maka itu diperkenankan
oleh tuan rumah dan diangap bahwa itulah kehendak yang terbaik buat yang bersangkutan.[45]
Oleh karena itu, ijtihad diberikan kepada setiap insan sebagai kebebasan untuk menemukan
ketetapan hukum Allah yang digambarkan dengan pilihan tamu terhadap minuman yang disodorkan
tuan rumah, sedangkan pembatasannya adalah nash yang digambarkan dengan talam
yang berisi aneka macam minuman yang bias dipilih oleh tamu. Karenanya memahami konteks
harus dengan tidak mengabaikan teks yang bersifat qat}‘iy
walaupun dengan dalih kemaslahatan, karena di mana ada teks agama yang bersifat
qat}‘iy di sana pula terdapat kemaslahatan, namun
demikian, harus diakui bahwa teks yang bersifat qat}‘iy,
sangat sedikit dan boleh jadi satu ayat bagian penggalannya bersifat qat}‘iy dan penggalan lainya bersifat z}anniy.[46]
Ketika Islam membenarkan
ijtihad bagi para ulama yang memiliki kemampuan untuk menetapkan rincian
pandangan agama dengan merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah, maka ketika itu juga
Islam telah mengakui kemungkinan timbulnya perbedaan pendapat dan lahirnya kelompok-kelompok.[47]
Kasus perberbedaan
penafsiran terhadap pesan Nabi saw. agar tidak shalat Asar kecuali di perkampungan
Bani Quraizhah,[48]
yang dipahami oleh sebagian sahabat secara kontekstual dan
sebagian lagi memahaminya tekstual dengan dalil dan argumentasi masing-masing
menjadi wujud nyata dari ijtihad dan hasilnya yang kemungkinan akan berbeda.
Dan sungguh di luar dugaan, Nabi saw. tidak mempersalahkan kedua kelompok yang berbeda tersebut.
Ini menunjukan bahwa arah dan tujuan yang sama yakni melaksanakan apa yang
ditetapakan oleh Rasulullah saw. sesuai pemahaman masing-masing sekaligus sebagai
pembenaran atas statemen di atas.
Walau ijtihad seluas-luasnya diberikan kepada umat Islam dan siapapun tidak dapat dihalangi untuk
merenungkan, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an karena hal ini adalah
perintah al-Qur’an sendiri[49] bukan berarti tanpa batas dan aturan-aturan. Sebab, jika batasan diabaikan akan
menimbulkan polusi dalam pemikiran, bahkan malapetaka dalam kehidupan. Sebagi
contoh, bagaimana jadinya kalau setiap orang bebas berbicara dan praktek dalam
bidang kedokteran, padahal mereka tidak memiliki keahlian pada bidangnya.
Di antara batasan yang diperlukan dalam memahami al-Qur’an dan hadis, baik
yang terkait dengan qat}‘iy maupun yang z}anniy adalah memiliki
wawasan dan keilmuan yang cukup, sebab tidak dapat dibayangkan jika seseorang
tidak paham sama sekali tentang bahasa Arab kemudian menafsirkan al-Qur’an yang
notabene berbahasa Arab. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kemukjizatannya.
Batasan lain dalam memahami al-Qur’an dan hadis adalah memahami materi ayat
al-Qur’an dan hadis. Artinya tidak semua ayat al-Qur’an dapat dipahami dengan
mudah oleh setiap orang, karena menurut Ibn ‘Abba>s bahwa ayat-ayat al-Qur’an
terbagi kepada empat bagian, yaitu:
a.
Ayat yang tidak diketahui
maknanya kecuali oleh Allah
b.
Ayat yang diketahui oleh ulama
c.
Ayat yang dipahami orang arab
dari bahasanya
Terkait dengan batasan ini, perlu kehati-hatian dalam hal-hal yang bersifat eskatologi. Wilayah suprarasional atau eskatologi dari ajaran agama, untuk tidak
ditafsirkan terlalu jauh hingga di luar jangkauan akal pikiran manusia, bagitu juga ayat-ayat
yang samar atau tidak terperinci oleh al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika
menafsirkan ayat 6-7 dari Q.S. al-Qa>ri‘ah tentang timbangan amal
perbuatan di akhirat, ‘Abduh berkata: bahwa cara Tuhan menimbang amal
perbuatan dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu tidak lain
kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang diketahui manusia, maka
hendalah menyerahkan kepada Allah atas dasar keimanan.[51]
Batasan
berikutnya adalah menghindarkan pemahaman yang lahir dari hawa nafsu, atau
dengan kata lain sikap yang lahir dari subjektifitas yang berlebih. Karena apa bila
hawa nafsu atau subjektif berlebihan terlihat dalam kegiatan ilmiah atau agama,
maka hasilnya pasti keliru, salah, bahkan dalam itilah agama d}ala>l (kesesatan).[52]
Dan agar terhindar dari sikap subjektif hendaknya tidak mempersempit pandangan
dengan membatasi diri pada mazhab tertentu atau menetapkan hukum hanya melihat teks secara
harfiah tanpa memperhatikan konteks dan kemaslahatan hakiki, dan tidak pula
memperluas pandangan sehingga menetapkan hukum atas dasar dugaan kemaslahatan,
atau mengandalkan penelitian terbatas atau pertimbangan kondisi sosial yang
lahir akibat faktor negatif manusia dan dampak buruk globalisasi.
Di samping batasan-batasan di atas, sangat penting untuk tidak menjadikan sesuatu
yang qat}‘iy yang jumlahnya sedikit
sebagai z}anniy dengan menempatkan teks tersebut bukan pada tempatnya dan tidak pula
menjadikan sesuatu yang masih diperselisihkan sebagai ijmak, selama masih ada ulama
yang tidak menyetujuinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian dalam pembahasan di atas, dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Qat}‘iy
dan z}anniy
merupakan kajian disiplin ilmu us}ul al-fiqh, masing-masing menyangkut
akusari sumber (al-s\ubut/al-wuru>d) dan kandungan makna (al-dila>lah). Dari segi
akurasi sumber, al-Qur’an adalah qat}‘iy, sedangkan al-sunnah umunya z}anniy.
Sedangkan dari segi al-dila>lah,
umunya bersifat z}anny
dan sedikit sekali bersifat qat}‘iy.
Ada juga nash yang qat‘iy bi i‘tiba>r wa z}anniy bi i‘tiba>r (qat}‘iy dan z}anniy
pada saat yang sama). Dengan demikian, qat}‘iy qat}‘iy sebagai
sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks
(ayat atau hadis), tidak mengandung kemungkinan ta’wi>l (pengalihan
dari makna asal kepada makna lain) serta tidak ada tempat atau peluang untuk
memahami makna lain selain makna yang ditunjuk oleh teks. Sedangkan z}anniy adalah
sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang dipahami dari teks (ayat
atau hadis), tatapi mengandung kemungkinan makna lain dari pemahaman teks
tersebut.
2.
Keanekaan mazhab, semestinya
menciptakan dalam benak umat Islam satu prinsip dasar yaitu terdapat lebih dari satu
mazhab dan lebih dari satu pendapat, dan semua pendapat-pendapat tersebut benar
adanya dan tidak satupun di antara mereka yang dapat menjadi juru bicara resmi
yang memonopoli pembicaraan atas nama ajaran Islam. Oleh
karena itu, pemikiran tentang qat}‘iy dan z}anniy tidak pernah
usai karena bisa jadi dalam generasi tertentu itu menjadi qat}‘iy, akan
tetapi pada generasi berikutnya itu menjadi z}anniy. Alasan perdebatan qat}‘iy
dan z}anniy tidak pernah usai karena Allah dan Rasul-Nya tidak
menvonis satupun ayat atau hadis yang qat}‘iy. Di samping itu, kimiawi
pemikiran Islam pasti terjadi karena manusia dengan kehidupannya juga dinamis,
sehingga potensi untuk berbeda memang diciptakan.
3.
Dalam
menilai pemikiran ulama terhadap qat}‘iy dan z}anniy pemakalah
tidak pada posisi untuk membenarkan maupun menyalahkan, akan tetapi perlu
mendudukan masalahnya pada posisi yang profersional. Artinya ada ayat dan hadis
yang memang dapat diterima sebagai dalil qat}‘iy dan ada juga ayat yang
diterima secara bersamaan, yakni qat}‘iy dan z}anniy. Di samping
itu, pemakalah perlu menekankan bahwa dalam menilai ayat atau hadis qat}‘iy dan
z}anniy harus mempunyai landasan serta batasan-batasan, di antaranya
memahami tentang bahasa yang digunakan, materi yang dikandung, sikap mufasir
dan mendudukan ayat pada tempatnya.
B.
Implikasi
Qat}‘iy dan z}anniy merupakan bagian dari khazanah
keilmuan yang perlu dikaji dan didalami, sehingga dengan ilmu tersebut akan
terlahir pemahaman yang berdasar dan obyektif demi menyelesaikan dan menjawab
tantangan zaman, bukan sebagai alat untuk membanggakan diri dan bukan juga
sebagai alat untuk mengklaim kebenaran.
Kajian terhadap qat}‘iy dan z}anniy dalam makalah ini masih
sangat terbatas, terlebih lagi masalah tentang qat}‘iy dan z}anniy dapat
masuk ke dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kedewasaan dan
keterbukaan dalam mendengarkan pendapat sangat dibutuhkan.
Meyakini sebuah penafsiran tidak berarti bahwa itulah yang benar dan
satu-satunya yang benar, sebaliknya meragukan dan menolak sebuah penafsiran tidak
berarti menolak keyakinan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlabiy, S}ala>h} al-Di>n bin Ah{mad. Manhaj Naqd al-Matan ‘inda
‘Ulama>’ al-H}adi>s\ al-Nabawiy. Cet. I; Beirut: Da>r al-Afa>q
al-Jadi>dah, 1403 H./1983 M.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru
Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr.
Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Ambary, Hasan Maurif. dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid I. Cet. III; Jakarta: Ichtir Baru Van Hoeve, 1994.
Al-Bukha>riy,
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l. S}ah}i>h}
al-Bukha>riy, Juz IV. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407
H./1987 M.
Dahlan, Abdul Aziz. dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V. Cet. I; Jakarta; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah al-Munawwarah:
Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
Al-Dimasyqiy, T{a>hir
al-Jaza>iriy. Tauji>h al-Naz}r ila> Us}u>l al-As\ar. Cet.
I; Halb: Maktabah al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah, 1416 H./1995 M.
Hidayat, Kamaruddin. Memahami
Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika. Cet I; Jakarta: Peramadina 1996.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cet.
I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992.
‘Itr,
Nu>r al-Di>n. Manhaj
al-Naqd fi> ’Ulu>m al-H}adi>s\. Cet.
III; Dimsyiq: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. ‘Ilmu
Us}u>l al-Fiqh. Cet.XI; Kuwait: Da>r al-Qalam, 1977.
Madjid, Nurcholis. Islam
Doktrin dan Peradaban; Sebuat Telah kritis Terhadap Maslah Keimanan,
Kemanusiaan, dn Kemoderanan. Cet. III ; Jakarta: Paramadina, 1995.
Mathar, Moch Qasim. Kimiawi
Pemikiran Islam; Arus Utama Islam Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru Bersar Ilmu
Pakultas Filsafat Dan Pemikiran Modrn Dalam Islam Fakultas Ushuluddin Dan
Filsafat UIN Aluddin Makasar, Pada Hari Senin, Tanggal 12 Nopember 2007.
Al-Mis}riy,
Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab, Juz VIII. Cet.
I; Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.
Munawir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia. Yokyakarta: Pesantren al-Munawwir Krepyak 1984.
Al-Qa>simiy,
Muh{ammad Jama>l al-Di>n. Qawa>’id
al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s\ t.d.
Rahmat, Jalaludin. Mengapa
Ada Perbedaan Antara Doktrin Dengan Pengamalan dalam al-Tawir Bulletin Dakwah
Yayasan Muthahhari, Bandung, Nomor 210 Edisi 7 April 2002/ 24 Muharram 1422.
Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan
Mungkinkah?;
Kajian Atas ajaran dan Pemikiran. Cet II; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
----------------,
Membumikan al-Qur’an;
Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan
Masyarakat. Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004.
Sjadzali, Munawir. Gagasan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk,
(editor) Kontekstualisasi Ajaran Islam;
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
Al-Sya>t}ibiy, Abu> Isha>q. al-Muwa>faja>t fi Us}u>l al-Syari>‘ah. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.
Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin. Mu‘jam Maqa>yi>s
al-Lugah. Juz V. Beirut: Ittih{a>d
al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.
[1]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuat Telah kritis Terhadap Maslah
Keimanan, Kemanusiaan, dn Kemoderanan (Cet. III ; Jakarta: Paramadina,
1995), h. 43.
[3]Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah:
Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 459.
[4]Nurcholis Madjid, op. cit. h. xxxi.
[6]Moch Qasim Mathar, Kimiawi Pemikiran Islam; Arus Utama Islam Masa Depan, Pidato
Pengukuhan Guru Bersar Ilmu Pakultas Filsafat Dan Pemikiran Modrn Dalam Islam
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Aluddin Makasar, Pada Hari Senin, Tanggal
12 Nopember 2007 Hal.3
[8]Jalaludin Rahmat, Mengapa Ada Perbedaan Antara Doktrin Dengan
Pengamalan dalam al-Tawir Bulletin Dakwah Yayasan Muthahhari, Bandung,
Nomor 210 Edisi 7 April 2002/ 24 Muharram 1422, h.2
[9]Ibid.
[10]Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian
Hermeneutika (Cet I; Jakarta: Peramadina 1996), h. 165.
[11]Jalaluddin Rahmat , loc.
cit.
[12]Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin
Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz V (Beirut: Ittih{a>d
al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.),
h. 83.
Selanjutnya disebut Ibn Fa>ris.
[13]Muh}ammad
bin Mukrim bin Manz}u>r al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, Juz VIII
(Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.), h. 276. Selanjutnya disebut Ibn
Manz}u>r.
[14]Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia
(Yakyakarta: Pesantren al-Munawwir Krepyak 1984), h. 1219.
[18]Qat{‘iy al-wuru>d atau sering juga disebut qat}‘iy al-s\ubu>t bermakna kepastian dating. Artinya kebenaran berita tersebut
mutlak atau absolut sehingga tidak dapat diragukan karena diriwayatkan secara mutawa>tir.
Dalam kajian ilmu hadis, mutawa>tir adalah hadis yang diriwayatkan sekelompok orang yang mustahil
sepakat untuk berdusta, mulai dari awal hingga akhir sanad, sedangkan z}anniy al-wuru>d atau z}anniy al-s\ubu>t memiliki makna dugaan datang. Artinya berita tersebut tidak
dapat dipastikan kebenarannya, namun hanya dapat diduga kuat. Istilah ini
muncul jika berita itu diriwayatkan secara a>h}ad, yaitu hadis yang tidak memenuhi
syarat hadis mutawa>tir, baik diriwayatkan oleh satu orang saja (gari>b),
dua orang (‘azi>z) maupun tiga atau lebih yang tidak mencapai jumlah
hadis mutawa>tir (masyhu>r).
Untuk lebih
jelasnya, lihat: S}ala>h} al-Di>n bin Ah{mad al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda
‘Ulama>’ al-H}adi>s\ al-Nabawiy (Cet. I; Beirut: Da>r
al-Afa>q al-Jadi>dah, 1403 H./1983 M.), h. 239. Lihat juga: ‘Abd
al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilmu Us}u>l al-Fiqh (Cet.XI; Kuwait: Da>r al-Qalam, 1977), h. 24, 34 dan
42. Sedangkan penjelasan tentang mutawa>tir dan a>h}a>d dapat
dilihat: Nu>r al-Di>n
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ’Ulu>m al-H}adi>s\ (Cet. III; Dimsyiq:
Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 404. Lihat juga: M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulang
Bintang, 1992), h. 13. Bandingkan dengan: Muh{ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>,
Qawa>’id al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s\ (t.d.),
h. 146. Bandingkan juga dengan: T{a>hir al-Jaza>iri> al-Dimasyqi>, Tauji>h
al-Naz}r ila> Us}u>l al-As\ar (Cet. I; Halb: Maktabah
al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah, 1416 H./1995 M.), h. 108.
[20]M. Qurish Shihab, Membumikan al-Qur’an;
Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan
Masyarakat
(Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004), h. 137.
[22]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
[23]Lihat: S}ala>h} al-Di>n bin Ah{mad al-Adlabiy, op. cit., h. 239. Lihat
juga: ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, op. cit., h. 24, 34 dan 42.
[25]Abdul Aziz Dahlan dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V (Cet.
I; Jakarta; Ichtiar
Baru Van
Hoeve, 1996), h. 145-1455. Lihat Pula Hasan Maurif Ambary dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid I (Cet. III; Jakarta: Ichtir Baru Van Hoeve, 1994), h.137.
[26]M. Quraish Shihab, op.cit,
hal. 137
[29]Abu> Isha>q al-Sya>t}ibiy, al-Muwa>faja>t fi Us}u>l al-Syari>‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), h. 24.
[36]Munawir Sjadzali, Gagasan Reaktualisasi
Ajaran Islam,
dalam Muhammad
Wahyuni Nafis dkk, (editor) Kontekstualisasi
Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), h. 87.
[40]Dalam masyarakat Arab yang menganut sistem patrilian, maka aturan memberi bagian
laki-laki sama dengan
fungsi positif dalam melestarikan
sistem kekerabatan itu. Dalam masyarakat modern yang cenderung memberikan
kesempatan seimbang kepada laki-laki dan perempuan (bilateral), maka wajar saja
kalau aspirasinya mengenai hak dan kewajiban juga seimbang, dalam hal ini
termasuk hak dalam warisan. Ibid., hal. 313.
[41]Sebagai contoh, seorang meniggal
dunia dengan meniggalkan istri, ibu bapak, dan dua orang perempuan, maka
menurut al-Qur’an
pembagiannya adalah 1/8 untuk istri, masing-masing 1/6 untuk ibu dan bapak, dan
2/3 untuk dua orang anak perempuan, sehingga jumlah keseluruhannya setelah
disamakan penyebutnya adalah 27/24. karena penyebutnya lebih kecil dari
pembilangnya, maka dilaksanakan konsep ‘aul dengan cara penyebutnya
disamakan pembilangnya yaitu 27/27. maka istri yang tadinya kebagian 3/24, dia
akan memperoleh 3/27 atau 1/9, ibu dan bapak masing-masing 4/27 dari tadinya
4/24, dan dua anak perempuan yang seharusnya 16/24 menjadi hanya 16/27. Ibid.,
h. 313-314.
[44] Ibid. h., 28-29
[45]M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan
Tangan Mungkinkah?; Kajian Atas ajaran dan Pemikiran (Cet II;
Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 2-3.
[46]Ibid.
[48]Teks
Arabnya, lihat: Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l
al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz IV (Cet. III; Beirut:
Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 1510.
As reported by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason this country's women get to live 10 years longer and weigh 19 kilos lighter than we do.
BalasHapus(And really, it has totally NOTHING to do with genetics or some hard exercise and EVERYTHING to about "how" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", not "what"...
TAP this link to see if this little questionnaire can help you find out your real weight loss possibility