Selasa, 07 Januari 2014

Qat‘iy dan Zanniy dalam Perspektif Pemikiran Islam (Suatu Kajian Kritis)



Qat}‘iy dan Z}anniy
dalam Perspektif Pemikiran Islam
(Suatu Kajian Kritis)

 






Makalah Revisi
Mata kuliah Studi Kritis Pemikiran Islam
Semester I Kelompok Reguler Program Doktor

Oleh:
Abdul Gaffar

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Dr. Salahuddin, M.Ag.

Program Pascasarjana (S3)
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Menurut Nurcholis Madjid bahwa salah satu mukjizat dalam Islam adalah keberhasilan umat Islam pada umumnya untuk tidak memitoskan Nabinya, meskipun umat Islam melihatnya sebagai seorang nabi terakhir.[1] Hal tersebut terjadi karena Allah senantiasa mengingatkan umat Islam bahwa Muhammad hanyalah Nabi,[2] bahkan ia juga seorang manusia biasa yang tak luput dari sifat-sifat kemanusiaan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Q.S. al-Kahf/18: 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.[3]
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada umat sebelumnya. Hypatia,[4] sarjana wanita di Iskandaria telah menjadi korban kepanatikan agama. Gereja Kristen saat itu sedang mengkonsolidasi dirinya dan mencoba untuk mengikis habis paganisme (praktek penyembahan berhala). Ia dituduh sebagai wanita yang hendak mempertahankan paganisme karena menekuni ilmu pengetahuan, dan Gereja menyamakan antara ilmu penegetahuan dengan paganisme. Hal ini disebabkan karena kitab suci mereka berisi mitologi yang berdampak kepada anggapan ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama.[5]
Hal serupa juga kemudian terjadi pada umat Islam. Klaim kebenaran pada keyakinan sendiri dan golongannya, dan kebatilan atau kesalahan pada golongan lain sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah umat Islam. Bahkan sampai hari ini, klaim tersebut masih bisa dijumpai sejarah pemikiran Islam yang meliputi teologi, filsafat, dan tasawuf, telah mencatat kelompok-kelompok tertentu mengkafirkan kelompok Islam yang lainnya yang berbeda. Dan ini menjadi sangat serius ketika yang dituduh sampai dihukum mati,[6] seperti Hypatia.
Pada masalah fikihpun terjadi hal yang sama, kontroversi seputar syari’at Islam sedemikian tajam karena bidang garapan fikih meliputi aspek-aspek muamalat (interaksi sesama) manusia yang sangat luas, yang meliputi juga aspek politik, ekonomi termasuk produk-produknya.[7] Selain itu, orientasi fikih umumnya melahirkan sikap sektarian. Fikih yang sebetulnya dirumuskan dari upaya keras para ulama untuk menarik hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah disakralkan menjadi al-Qur’an dan al-sunnah itu sendiri. Fikih yang sangat manusiawi diangkat menjadi sangat ilahi. Menentang fikih dinggap menentang al-Quran dan al-sunnah. Membantah ulama menjadi sama dengan membantah Allah.[8]
Inilah kemudian mengantarkan perbedaan-perbedaan dalam fikih kepada perpecahan bahkan permusuhan di antara umat Islam sendiri. Keberagamaan mereka dipecah-pecah kedalam berbagai mazhab.
Banyak orang yang merasa bijak, mereka sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab mana yang benar dan mana yang sesat. Seseorang akan dianggap yang paling pandai apabila dia bisa mengetahui segala pendapat yang berbeda, lalu memutuskan bahwa pendapat dialah yang paling benar.[9]
Ketika banyak orang mengatakan perbedaan pendapat dalam agama akan segera berakhir bila kembali kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Mereka lupa bahwa ketika para ulama kembali merujuk kepada al-Quran dan al-sunnah, di situlah dimulai perdebatan dan perbedaan pendapat. Karena dalam al-Quran mudah dijumpai kata maupun kalimat yang menimbulkan multi makna, karena dari segi kebahasaan memang memungkinkan, diperkuat lagi oleh perbedaan tingkat akademis, psikologis, dan kepentingan politik penafsir.[10] Karenanya, tidaklah mungkin bisa untuk membuat semua orang berpendapat sama tentang cara bagaimana menjalankan keberagamaan yang benar.[11]
Perbedaan tersebut muncul karena pemahaman tentang mana yang qat}‘iy dan mana yang z}anniy dalam al-Qur’an tidak sama. Sebagian mengatakan bahwa tidak satupun ayat al-Qur’an yang qat}‘iy dan sebagian lagi mengatakan bahwa ada yang qat}‘iy. Sementara z}anniy sudah pasti akan menimbulkan pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, mengkaji qat}‘iy dan z}anniy menjadi hal yang menarik untuk dibahas dan didiskusikan.  
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang masalah di atas, masalah pokok adalah bagaimana sikap terhadap qat}‘iy dan z}anniy dalam pemikiran Islam dengan sub masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian qat}‘iy dan z}anniy?
2.      Bagaimana pemikiran Islam terhadap qat}‘iy dan z}anniy?
3.      Bagaimana sikap kritis terhadap pemikiran qat}‘iy dan z}anniy?       
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Qat}‘iy dan Z|anniy
Qat}‘iy secara etimologi terdiri dari huruf qa-t}a-‘a yang berarti s}arm wa iba>nah sya’i min sya’i (putus dan tampaknya sesuatu dari sesuatu yang lain).[12] Sementara Ibn Manz}u>r mengatakana bahwa al-qat}‘u adalah iba>nah ba‘d} ajza>’ al-jirm min ba‘d} fad}lan (tampaknya sebagian anggota dari bagian anggota yang lain sebagai kelebihan).[13]   Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia, kata yang berasal dari qa-t}a-‘a diartikan dengan sesuatu yang bersifat putus, pasti, penghabisan, terakhir dan diam.[14]
Dari beberapa makna etimologi yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa qat}‘iy adalah sesuatu yang sudah jelas atau pasti sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menduga-duga atau sesuatu yang tidak membutuhkan penakwilan. 

Kata z}anniy yang berakar kata z}a-na-na dalam Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah mempunyai dua makna, yaitu al-yaqi>n wa al-syakk (yakin dan ragu).[15] Ibn Manz}u>r mengatakan bahwa z}ann memang mempunyai dua makna, yakni yakin dan ragu hanya saja keyakinan tersebut bukan keyakinan pasti, akan tetapi adalah keyakinan tadabbur/merenung atau berfikir.[16] Namun dalam keseharian lebih banyak pemakaiannya dalam arti yang kedua yaitu ragu, perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Karenanya, sangkaan/tuduhan dalam bahasa Arab disebut al-z}innah, dan tersangka disebut al-z}a>nin, sedangkan al-z{anun adalah buruk sangka, yang dalam arti aslinya adalah sumur yang tidak diketahui apakah di dalamnya ada air atau tidak.[17]
Istilah qat}‘iy dan z}anniy, yang menjadi pembahasan ilmu Ushul Fiqh, masing-masing terdiri dari dua bagian, yang pertama menyangkut kebenaran sumber atau teks (al-s\ubu>t/al-wuru>d), dan kedua menyangkut kandungan maknanya (al-dila>lah).[18] Terkait dengan al-Quran, semua umat Islam sepakat bahwa kebenaran sumber (al-s\ubu>t)-nya adalah qat}‘iy,[19] yang hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah ma’lum min al-di>n bi al-d}aru>rah (sesuatu yang sudah sangat jelas, aksiomatik dalam ajaran agama)[20]. Sedangkan hadis, umumnya bersifat z}anny al-s\ubu>t/al-wuru>d,[21] yang disebabkan oleh banyak hal yang salah satunya adalah terjadinya periwayatan secara makna, yang telah memunculkan problem menyangkut teks hadis.[22]
Sedangkan dari segi kandungan makna atau kepastian argumen (dila>lah)-nya, baik al-Quran maupun hadis masing-masing ada yang qat}‘iy dan ada yang z}anniy. Abd al-Wahha>b Khalla>f mendefinisikan qat}‘iy sebagai sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis), tidak mengandung kemungkinan ta’wi>l (pengalihan dari makna asal kepada makna lain) serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjuk oleh teks. Sedangkan z}anniy adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang dipahami dari teks (ayat atau hadis), tatapi mengandung kemungkinan makna lain dari pemahaman teks tersebut.[23]
B.   Qat}‘iy al-Dila>lah dalam al-Qur’an
Sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab bahwa para mufasir berpendapat qat}‘iy al-dila>lah tidak terdapat dalam al-Qur’an. Menurut ‘Abdullah Darra>z bahwa tidak ada satu ayatpun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu kandungan makna. Ibarat sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil, jika orang lain dipersilahkan memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang dilihat oleh orang sebelumnya.[24] Karena dalam ulu>m al-Qur’a>n, persoalan qat}‘iy dan z}anniy tidak ikut menjadi pokok pembahasan.[25] Ulama-ulama tafsir menekankan bahwa al-Qur’an h}amalat li al-wuju>h (mengandung banyak interpretasi), sehingga muncul sebuah ungkapan bahwa seseorang tidak dinamai mufasir kecuali ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat al-Qur’an.[26] Hal ini sejalan dengan komentar/pendapat Muhammad Arkoun yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang terbatas, kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud mutlak. Dengan demikian, ayat selalu terbuka untuk diinterpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[27]
Al-Sya>t}ibiy sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Dahlan dkk,[28] mengemukakan sepuluh premis yang harus dipenuhi agar suatu dalil yang berdiri sendiri dapat dikatakan bersifat qat}‘iy, yaitu:
a.       Riwayat kebahasaan (al-lugah)
b.      Riwayat yang berkaitan dengan gramatika (nahw)
c.       Riwayat yang berkaitan dengan perubahan kata (s}arf)
d.      Redaksinya bukan kata bertimbal  atau bersifat ganda (musytarak)
e.       Tidak mengandung perahilan makna (ta’wi>l)
f.        Redaksinya bukan kata meteforis (maja>z)
g.      Bukan sisipan (id}ma>r)
h.      Bukan pendahuluan dan pengakhiran (taqdi>m wa ta’khi>r)
i.        Bukan pembatalan hukum (naskh)
j.        Tidak mengandung penolakan yang logis (adam al-mua>rid} li al-aql).[29]
Tiga yang pertama kesemuanya bersifat z}anniy, karena riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ah}ad. Tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui al-istiqra>’ al-ta>mm (metode induktif sempurna), dan hal ini mustahil. Yang bisa dilakukan hanyalah al-istiqra>’ al-na>qis} (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini tidak menghasilkan kepastian atau sesuatu yang bersifat z}anniy.[30]
Karenanya, menurut al-Sya>t}ibiy, jika dalil berdiri sendiri, amat jarang ditemukan dalil yang mengandung satu makna secara pasti, kepastian baru didapat ketika beberapa dalil dijajarkan menjadi satu, sehingga saling melengkapi. Kepastian makna (qat}‘iy al-dila>lah) satu nash muncul dari sekumpulan dalil z}anniy yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil  yang beraneka ragam itu memberi kekuatan tersendiri. Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kakuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat z}anniy lagi. Ia telah meningkat menjadi semacam mutawa>tir manawiy. Dengan demikian dinamailah ia sebagai qat}‘iy al-dila>lah.[31]
Kewajiban shalat misalnya, tidak bisa hanya dilandaskan kepada nash yang berbunyi  أقيموا الصلاةsaja, sebab ternyata banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi perintah tidak dinilai bermakna wajib. Kepastian kewajiban itu datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain yang walaupun dengan redaksi atau konteks yang berbeda-beda disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama, yaitu adanya ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain: pujian untuk orang-orang yang shalat, celaan, ancaman bahkan perintah memerangi bagi orang yang meremehkan atau meninggalkannya, perintah untuk melaksanakannya dalam segala keadaan (sehat, sakit, damai, perang, dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring, atau bahkan dengan isyarat sekalipun), dan pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi Muhammad saw., para sahabat dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkan shalat.[32]
Al-Syat}ibiy sependapat dengan beberapa ahli tafsir yang mengatakan bahwa satu dalil (ayat atau hadis) tidak dapat dikatakan qat}‘iy apabila ia berdiri sendiri. Kepastian hukum hanya didapatkan apabila satu dalil didukung oleh dalil-dalil lain dalam topik yang sama.
Perbedaan konsepsi qat}‘iy dan z}anniy bagi al-Qur’an dan hadis, disikapi secara berbeda oleh para ulama terdahulu. Al-Sya>fiiy sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Menurut al-Sya>fiiy, ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi pada dasarnya harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teks adalah taabbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syari’at sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunti teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.[33]
Kajian illat dalam pandangan al-Sya>fiiy, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk mengembangkan hukum. Karena itu, kaidah al-h}ukm yadu>r maa illatih wuju>dan wa adaman hanya dapat diterapkan hasil qiya>s, bukan terhadap bunyi teks al-Qur’an dan hadis. Sebagai contoh, lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nika>h} dan zawa>j, karena bunyi hadis saw. menyatakan “istah}laltum furu>jahunna bi kalimatillah”, sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan Allah dalam al-Qur’an untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawa>j dan nika>h}.[34]
Berbeda dengan al-Sya>fi‘iy, Abu> H{ani>fah berpendapat bahwa hanya teks-teks hadis dalam bidang ibadah saja yang harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat tidak. Bidang ini menurutnya adalah maqu>l al-mana> dapat dijangkau oleh nalar, karena mereka tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Sebagai contoh beliau membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli.[35]
Menurut pemakalah, ungkapan bahwa al-Qur’an tidak ada yang qat}‘iy al-dila>lah manakala ayatnya sendiri-sendiri dapat dibenarkan jika yang dimaksud qat}‘iy pada seluruh aspeknya, namun jika yang dimaksud qat}‘iy pada aspek tertentu, misalnya hukumnya maka ayat-ayat al-Qur’an banyak yang qat}‘iy.
Oleh karena itu, pemakalah cenderung sepakat dengan ulama us}u>l al-fiqh bahwa suatu ayat atau hadis mutawa>tir bisa menjadi qat}‘iy dan z}anniy secara bersamaan. Sebagai contoh potongan ayat wamsah}u> biru’u>sikum adalah qat}‘iy al-dila>lah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwudhu, tetapi ia z}anniy al-dila>lah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Ke-qat}‘iy-an dan ke-z}anniy-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama sepakat menyatakan kewajiban membasuh kepala dengan berbagi argumentasi. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan pada lafal biru’u>sikum. Inilah yang dikatakan dengan qat}‘iy dari satu sisi dan z}anniy dari sisi lain (qat}‘iy bi itiba>r wa z}anniy bi itiba>r).
C.   Pemikiran Islam tentang Qat}‘iy dan Z}anniy
Kalau dicermati paparan tentang qat’iy dan zhanny di atas, maka tidak salah jika dikatakan bahwa tidak mungkin siapapun untuk membuat semua orang berpendapat sama tentang cara bagimana menjalankan keberagaman yang benar.
Adanya aneka mazhab, semestinya menciptakan dalam benak umat Islam satu prinsip dasar yaitu terdapat lebih dari satu mazhab dan lebih dari satu pendapat, dan semua pendapat-pendapat tersebut benar adanya dan tidak satupun di antara menjadi juru bicara resmi yang memonopoli pembicaraan atas nama ajaran Islam. Karenanya, dalam perbedaan dan keragaman pendapat tentang kebergaman ini, hal yang penting adalah bagaimana menjaganya agar tetap menjadi keharmonisan dalam hidup, sehingga apa yang selalu didengungkan dengan istilah perbedaan itu adalah rahmat benar-benar dapat dirasakan.
Salah satu langkah yang ingin dilakukan untuk meingimplimentasikan bahwa tidak ada yang qat}‘iy adalah apa yang dilakukan Munawir Sjadzali dengan meminjam istilah Ibrahim Hosen untuk memfikihkan hukum qat}‘iy. Langkah Munawir bukan tanpa landasan pendapat yang ada sebelumnya. Munawir dalam berbagai kesempatan berulang kali mengutip pendapat al-T}u>fi dengan teori mas}lah}ah-nya dan Abu> Yu>suf dengan pandangannya tentang tradisi (al-‘urf wa al-‘a>dah).[36]
Munawir Sjadzali berusaha untuk menerjemakan ajaran yang universal menjadi down to earth atau dalam bahawa membumikan al-Qur’an, atau menzamankan al-Qur’an sehingga memberi manfaat nyata dan efektif.[37] Gagasan ini sudah mulai dilemparkan pada masyarakat sejak awal tahun 1985 dan mendapat tanggapan biasa-biasa saja. Baru setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul pro-kontra yang cukup keras.
Gagasan ini muncul dari keresahan Munawir yang menganggap masih banyak sikap mendua dalam beragama. Dua contoh yang diangkat adalah pertama, banyak yang berpendirian bahwa bunga bank itu riba, sementara mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan dalam kehidupan sehari-hari juga banyak menggunakan jasa bank, bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga dengan alasan darurat, padahal dalam al-Qur’an, kelonggaran yang diberikan kepada umat Islam dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial. Kedua, dalam pembagian harta warisan, yang menyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lipat lebih besar dari pada anak perempuan, tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakaf Islam di Indonesia, baik secara langsung maupu tidak.
Ketika seorang keluarga muslim meninggal, banyak yang kemudian pergi ke Pangadilan Negeri dan meninggalkan pengadilan agama untuk meminta memberlakukan sistem pembagian yang lain, yamg tidak sesuai dengan fara>’id}. Sikap seperti tidak hanya dilakukan orang-orang awam, melainkan juga banyak kepala keluarga yang mengambil kebajikan preventif dengan membagikan sebagian besar dari kekayaan kepada anak-anaknya, masing-masing mendapat bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin sebagai hibah.
Menurut Munawir, hal yang seperti ini memang secara formal tidak terjadi menyimpang dari ketentuan al-Quran, tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian itu sudah betul? apakah tindakan itu termasuk dalam kategori h}i>lah? apakah dari segi keyakinan Islam, kebijaksanaan seperti itu tidak lebih berbahaya, karena dengan begitu membuat asumsi bahwa kalau tidak mengambil langkah seperti itu, maka anak-anak perempuan akan dirugikan oleh berlakunya hukan fara>’id}?[38]
Ada beberapa argumen yang dikemukakan Munawir untuk mendukung ide tersebut, di antanya:
1.      Bahwa kedua ide di atas berada pada lingkungan hukum yang menyangkut muamalah duniawi, yang ruang gerak untuk penalaran intelektual lebih luas, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama.
2.      Kalau dalil tentang bagian warisan dianggap qat}‘iy yang tidak boleh diubah, maka pemberian izin pengunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri (ayat 3 Q.S. al-Nisa>’, ayat 6 Q.S. al-Mu’minu>n, ayat 52 Q.S. al-Ah}za>b, dan ayat 30 Q.S. al-Maa>rij) walaupun nabi saw. selalu menghimbau para pemilik budak untuk berlaku manusiawi atau membebaskan mereka. Namun kenyataannya sampai Nabi saw. wafat dan wahyu turun, Islam belum secara tuntas menghapuskan perbudakan, juga berdasar atas dalil qat}‘iy. Kalau ada yang mengatakan bahwa hal itu (belum tuntasnya pengahapusan perbudakan)disebabkan karana Nabi masih khawatir terhadap reaksi masyarakat waktu itu jika Nabi tegas mengikis habis perbudakan. Kalau alur penalaran itu diterima, maka apakah sebagai umat Muhammad tidak seharusnya belajar dari kebijakan Nabi sebagai panutan?[39]
Alasan gagasan Munawir untuk menyamakan warisan laki-laki dan perempuan, M. Atho Mudzhar meringkasnya sebagai berikut: “Dahulu pada masa sebelum Islam, wanita sama sekali tidak dapat bagian warisan. Setelah Islam datang, wanita diberi bagian warisan meskipun hanya setengah dari bagian laki-laki. Ini berarti secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat perempuan. Ajaran Islam memang sering diberlakukan secara bertahap sehingga perempuan tidak diberi bagian yang sama dengan laki-laki sekaligus, sama halnya dengan penetapan pengharaman khamar yang membutuhkan proses. Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa dari ayat warisan tersebut ialah bahwa pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan derajat perempuan harus terus dilakukan dan tidak boleh terhenti. Kemudian oleh karena kehidupan modern sekarang ini telah memberi kewajiban yang lebih besar kepada perempuan dibanding pada masa lalu sehingga perempuan kini juga dapat memberikan peran yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja kalau hak-hakanya dalam warisan juga ditingkatkan agar sama dengan laki-laki, bahkan ia memperkuat dari segi pemahaman tentang struktur sosial,[40] bahkan sekurang-kurangnya dalam pelaksanaanya dari segi pemahaman struktur keluarga.[41]

D.  Kimiawi Pemikiran Islam
Sub masalah ini dibahas dan dikaji oleh pemakalah karena pada faktanya, sulit menerapkan hukum yang pada ulama generasi tertentu menjadi qat}‘iy kemudian berubah menjadi z}anniy dengan berbagai argumentasi. Hal tersebut terjadi karena adanya kimiawi dalam pemikiran Islam.
Istilah kimiawi pemikiran Islam dilontarkan oleh Qasim Mathar dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat dan Pemikiran Modern dalam Islam.[42] Kimiawi pemikiran Islam adalah sebuah analogi pemikiran Islam dengan proses kimiawi yaitu beberapa zat, beberapa inti, beberapa substansi atau esensi yang bersenyawa dan dari persenyawaan itu akan melahirkan zat yang baru yang berbeda dengan zat-zat yang sudah ada dari racikan sebelumnya.
Ide dasarnya adalah terjadinya perubahan-perubahan mendasar di kalangan kaum muslim dalam melihat Islam, khususnya kitab suci al-Qur’an yang pada gilirannya akan merubah cara pandang mereka terhadap al-Qur’an dan Islam secara umum. Dua hal yang dijadikan contoh dalam perubahan mendasar dari cara pandang tersebut adalah, pertama, perubahan pandang menyangkut hal-hal yang dipandang qat}‘iy dan z}anniy di dalam Islam. Kedua, menyangkut soal na>sikh-mansu>kh.
Dalam persoalan qat}‘iy dan z}anniy yang sudah dipaparkan di atas, ada dua hal yang menjadi sorotan Qasim Mathar; Pertama, qat}‘iy al-dila>lah sebagai produk istiqra>’iy yang oleh pakar us}u>l al-fiqh biasa disebut sebagai ijmak, dan kedua, persoalan dalam qat}‘iy dan z}anniy.
Pada masalah pertama, Qasim mengetengahkan dua persoalan, pertama, perubahan hasil ijmak tersebut karena nash-nash/dalil-dalil pendukunganya dikaji dan dinilai ulang oleh pakar yang datang kemudian, dan ternyata pengkajian dan penilaian ulang mereka berbeda dengan pakar sebelumnya? Kedua, mana-mana sajakah yang benar-benar merupakan ijmak, sehingga ia qat}‘iy al-dila>lah, dan mana pula yang hanya merupakan kesepakatan antara ulama mazhab tertentu saja, sehingga pada hakekatnya ia bukan qat}‘iy al-dila>lah?
Pada masalah kedua, Qasim melangkah lebih jauh dengan memberi contoh, ayat aqi>mu> al-s}ala>h yang selama ini dianggap telah mapan dengan menyebut bisa saja dikatakan qat}‘iy dari sisi ide universal yang ia kandung, tetapi pada saat yang sama ia juga z}anny dari sisi ide rincian kandungan berhubungan dalil/nash yang mendukung rincian tersebut masih bisa diperselisikan.[43]
Inti dari pemikiran Qasim Mathar ini adalah apa yang ditulis pada dua peragraf terakhir dari pidatonya, yaitu menyadarkan umat Islam bahwa persoalah keagamaan di masa kini harus didekati, dikaji, dan dipahami dari berbagai segi metode dan pendekatan atau dengan kata lain agama kini dilihat tidak lagi dari cara pandang tertentu saja, tetapi dari bermacam-macam cara pandang. Perbedaan pemaham terhadap suatu persoalan keagamaan sudah terjadi sejak masa-masa silam, sampai sekarang. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa tidak mungkin menyeragamkan pemahaman keagamaan umat manusia, walau dalam satu kelompok agama, seperti Islam selanjutnya Qasim menulis:
Biarlah Islam tumbuh bagi satu pohon bertangkai, bercabang, bertunas, berdaun, dan berbunga. Biarkanlah jika ada seseorang mengambil satu cabang atau tangkai dari pohon Islam  itu, kemudian mencangkok dan menanamnya di tanah lain, maka tumbuhan baru itu tetap bernama Islam. Analogi serupa, jika Islam dan kitab suci al-Qur’an ibarat zat-zat, maka biarkanlah para ahli meramu dan meracik zat-zat itu. Apapun yang lahir dari ramuan dan racikan itu, saya berpendapat itulah Islam dan itu pula semangat dari al-Qur’an. Kitab suci tersebut sesunguhnya dihidangkan ke meja sejarah kemanusiaan. Silahkan yang mau mencicipinya siapa saja, silahkan yang mau mencangkoknya siapa saja, yang mau meraciknya siapa saja. karena pada akhirnya semua hasil cangkokan dan racikan itu adalah misi besar para nabi dan rasul, siapun mereka. Inilah kecenderungan hari ini dan manjadi urusan umat Islam di masa depan.[44]
E.   Studi Kritik terhadap Qat}‘iy dan Z}anniy  
Pemikiran Munawir Sjadzali dan Qasim Mathar terhadap qat}‘iy dan z}anniy merupakan langkah terobosan terhadap sikap umat Islam, khususnya di Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya cenderung takli>d kepada mazhab-mazhab dalam segala bidang keilmuan tanpa mau membuka ruang ijtihad untuk mengkaji apa sebenarnya dalil dan alasannya.
Kepanitikan terhadap mazhab akan menutup pintu untuk mengikuti al-Qur’an dan sunnah secara komprehensif karena bisa jadi pendapat dan pemikiran mazhab terhadap al-Qur’an dan sunnah hanyalah parcial yang disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya yang bisa jadi berbeda dengan kondisi saat ini.
Umat Islam pada hakikatnya sangat mendambakan mengikuti al-Qur’an secara keseluruhan dan Nabi Muhammad saw. Sebagai personalisasi dari al-Qur’an, hanya saja terjadi perbedaan interpretasi yang mengakibatkan keragaman pendapat dan pengamalan. Hal tersebut terjadi karena tidak ditemukan petunjuk pasti manyangkut masalah yang diperselisihkan itu dari al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw.
Interperetasi yang berbeda itu pula bisa jadi kesemuanya benar, seperti halnya yang ingin mencapai angka sepuluh. Yang berkata 5+5 atau 6+4 atau 13-3 dan masih banyak lainya. Kesemuanya adalah benar sepuluh yang diharapkan adalah mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Dari sini, pakar berkata bahwa apa yang dinamai ketetapan Allah adalah hasil ijtihad seorang mujtahid kendati berbeda-beda karena ketetapan-ketetapan Allah berisi aneka wadah yang berisi beberapa macam minuman serta gelas-gelas kosong yang disodorkan kepada para tamu. Minuman manapun yang dipilihnya selama dari talam yang dihidangkan dan sesuai kadar gelasnya, maka itu diperkenankan oleh tuan rumah dan diangap bahwa itulah kehendak  yang terbaik buat yang bersangkutan.[45]
Oleh karena itu, ijtihad diberikan kepada setiap insan sebagai kebebasan untuk menemukan ketetapan hukum Allah yang digambarkan dengan pilihan tamu terhadap minuman yang disodorkan tuan rumah, sedangkan pembatasannya adalah nash yang digambarkan dengan talam yang berisi aneka macam minuman yang bias dipilih oleh tamu. Karenanya memahami konteks harus dengan tidak mengabaikan teks yang bersifat qat}‘iy walaupun dengan dalih kemaslahatan, karena di mana ada teks agama yang bersifat qat}‘iy di sana pula terdapat kemaslahatan, namun demikian, harus diakui bahwa teks yang bersifat qat}‘iy, sangat sedikit dan boleh jadi satu ayat bagian penggalannya bersifat qat}‘iy dan penggalan lainya bersifat z}anniy.[46]
Ketika Islam membenarkan ijtihad bagi para ulama yang memiliki kemampuan untuk menetapkan rincian pandangan agama dengan merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah, maka ketika itu juga Islam telah mengakui kemungkinan timbulnya perbedaan pendapat dan lahirnya kelompok-kelompok.[47]
Kasus perberbedaan penafsiran terhadap pesan Nabi saw. agar tidak shalat Asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah,[48] yang dipahami oleh sebagian sahabat secara kontekstual dan sebagian lagi memahaminya tekstual dengan dalil dan argumentasi masing-masing menjadi wujud nyata dari ijtihad dan hasilnya yang kemungkinan akan berbeda. Dan sungguh di luar dugaan, Nabi saw. tidak mempersalahkan kedua kelompok yang berbeda tersebut. Ini menunjukan bahwa arah dan tujuan yang sama yakni melaksanakan apa yang ditetapakan oleh Rasulullah saw. sesuai pemahaman masing-masing sekaligus sebagai pembenaran atas statemen di atas.
Walau ijtihad seluas-luasnya diberikan kepada umat Islam dan siapapun tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an karena hal ini adalah perintah al-Qur’an sendiri[49] bukan berarti tanpa batas dan aturan-aturan. Sebab, jika batasan diabaikan akan menimbulkan polusi dalam pemikiran, bahkan malapetaka dalam kehidupan. Sebagi contoh, bagaimana jadinya kalau setiap orang bebas berbicara dan praktek dalam bidang kedokteran, padahal mereka tidak memiliki keahlian pada bidangnya.
Di antara batasan yang diperlukan dalam memahami al-Qur’an dan hadis, baik yang terkait dengan qat}‘iy maupun yang z}anniy adalah memiliki wawasan dan keilmuan yang cukup, sebab tidak dapat dibayangkan jika seseorang tidak paham sama sekali tentang bahasa Arab kemudian menafsirkan al-Qur’an yang notabene berbahasa Arab. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kemukjizatannya.  
Batasan lain dalam memahami al-Qur’an dan hadis adalah memahami materi ayat al-Qur’an dan hadis. Artinya tidak semua ayat al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, karena menurut Ibn ‘Abba>s bahwa ayat-ayat al-Qur’an terbagi kepada empat bagian, yaitu:
a.       Ayat yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah
b.      Ayat yang diketahui oleh ulama
c.       Ayat yang dipahami orang arab dari bahasanya
d.      Ayat yang bisa dipahami oleh siapapun.[50]   
Terkait dengan batasan ini, perlu kehati-hatian dalam hal-hal yang bersifat eskatologi. Wilayah suprarasional atau eskatologi dari ajaran agama, untuk tidak ditafsirkan terlalu jauh hingga di luar jangkauan akal pikiran manusia, bagitu juga ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh al-Quran. Sebagai contoh, ketika menafsirkan ayat 6-7 dari Q.S. al-Qa>riah tentang timbangan amal perbuatan di akhirat, ‘Abduh berkata: bahwa cara Tuhan menimbang amal perbuatan dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu tidak lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang diketahui manusia, maka hendalah menyerahkan kepada Allah atas dasar keimanan.[51]
Batasan berikutnya adalah menghindarkan pemahaman yang lahir dari hawa nafsu, atau dengan kata lain sikap yang lahir dari subjektifitas yang berlebih. Karena apa bila hawa nafsu atau subjektif berlebihan terlihat dalam kegiatan ilmiah atau agama, maka hasilnya pasti keliru, salah, bahkan dalam itilah agama d}ala>l (kesesatan).[52] Dan agar terhindar dari sikap subjektif hendaknya tidak mempersempit pandangan dengan membatasi diri pada mazhab tertentu atau menetapkan hukum hanya melihat teks secara harfiah tanpa memperhatikan konteks dan kemaslahatan hakiki, dan tidak pula memperluas pandangan sehingga menetapkan hukum atas dasar dugaan kemaslahatan, atau mengandalkan penelitian terbatas atau pertimbangan kondisi sosial yang lahir akibat faktor negatif manusia dan dampak buruk globalisasi.
Di samping batasan-batasan di atas, sangat penting untuk tidak menjadikan sesuatu yang qat}‘iy yang jumlahnya sedikit sebagai z}anniy dengan menempatkan teks tersebut bukan pada tempatnya dan tidak pula menjadikan sesuatu yang masih diperselisihkan sebagai ijmak, selama masih ada ulama yang tidak menyetujuinya.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas, dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Qat}‘iy dan z}anniy merupakan kajian disiplin ilmu us}ul al-fiqh, masing-masing menyangkut akusari sumber (al-s\ubut/al-wuru>d) dan kandungan makna (al-dila>lah). Dari segi akurasi sumber, al-Qur’an adalah qat}‘iy, sedangkan al-sunnah umunya z}anniy. Sedangkan dari segi al-dila>lah, umunya bersifat z}anny dan sedikit sekali bersifat qat}‘iy. Ada juga nash yang qatiy bi i‘tiba>r wa z}anniy bi i‘tiba>r (qat}‘iy dan z}anniy pada saat yang sama). Dengan demikian, qat}‘iy qat}‘iy sebagai sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis), tidak mengandung kemungkinan ta’wi>l (pengalihan dari makna asal kepada makna lain) serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjuk oleh teks. Sedangkan z}anniy adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang dipahami dari teks (ayat atau hadis), tatapi mengandung kemungkinan makna lain dari pemahaman teks tersebut.
2.      Keanekaan mazhab, semestinya menciptakan dalam benak umat Islam satu prinsip dasar yaitu terdapat lebih dari satu mazhab dan lebih dari satu pendapat, dan semua pendapat-pendapat tersebut benar adanya dan tidak satupun di antara mereka yang dapat menjadi juru bicara resmi yang memonopoli pembicaraan atas nama ajaran Islam. Oleh karena itu, pemikiran tentang qat}‘iy dan z}anniy tidak pernah usai karena bisa jadi dalam generasi tertentu itu menjadi qat}‘iy, akan tetapi pada generasi berikutnya itu menjadi z}anniy. Alasan perdebatan qat}‘iy dan z}anniy tidak pernah usai karena Allah dan Rasul-Nya tidak menvonis satupun ayat atau hadis yang qat}‘iy. Di samping itu, kimiawi pemikiran Islam pasti terjadi karena manusia dengan kehidupannya juga dinamis, sehingga potensi untuk berbeda memang diciptakan.   
3.      Dalam menilai pemikiran ulama terhadap qat}‘iy dan z}anniy pemakalah tidak pada posisi untuk membenarkan maupun menyalahkan, akan tetapi perlu mendudukan masalahnya pada posisi yang profersional. Artinya ada ayat dan hadis yang memang dapat diterima sebagai dalil qat}‘iy dan ada juga ayat yang diterima secara bersamaan, yakni qat}‘iy dan z}anniy. Di samping itu, pemakalah perlu menekankan bahwa dalam menilai ayat atau hadis qat}‘iy dan z}anniy harus mempunyai landasan serta batasan-batasan, di antaranya memahami tentang bahasa yang digunakan, materi yang dikandung, sikap mufasir dan mendudukan ayat pada tempatnya. 
B.   Implikasi
Qat}‘iy dan z}anniy merupakan bagian dari khazanah keilmuan yang perlu dikaji dan didalami, sehingga dengan ilmu tersebut akan terlahir pemahaman yang berdasar dan obyektif demi menyelesaikan dan menjawab tantangan zaman, bukan sebagai alat untuk membanggakan diri dan bukan juga sebagai alat untuk mengklaim kebenaran.
Kajian terhadap qat}‘iy dan z}anniy dalam makalah ini masih sangat terbatas, terlebih lagi masalah tentang qat}‘iy dan z}anniy dapat masuk ke dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kedewasaan dan keterbukaan dalam mendengarkan pendapat sangat dibutuhkan.
Meyakini sebuah penafsiran tidak berarti bahwa itulah yang benar dan satu-satunya yang benar, sebaliknya meragukan dan menolak sebuah penafsiran tidak berarti menolak keyakinan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlabiy, S}ala>h} al-Di>n bin Ah{mad. Manhaj Naqd al-Matan ‘inda ‘Ulama>’ al-H}adi>s\ al-Nabawiy. Cet. I; Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1403 H./1983 M.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Ambary, Hasan Maurif. dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid I. Cet. III; Jakarta: Ichtir Baru Van Hoeve, 1994.
Al-Bukha>riy, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz IV. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Dahlan, Abdul Aziz. dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V. Cet. I; Jakarta; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
Al-Dimasyqiy, T{a>hir al-Jaza>iriy. Tauji>h al-Naz}r ila> Us}u>l al-As\ar. Cet. I; Halb: Maktabah al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah, 1416 H./1995 M.
Hidayat, Kamaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika. Cet I; Jakarta: Peramadina 1996.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992.
Itr, Nu>r al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi> ’Ulu>m al-H}adi>s\. Cet. III; Dimsyiq: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. Ilmu Us}u>l al-Fiqh. Cet.XI; Kuwait: Da>r al-Qalam, 1977.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuat Telah kritis Terhadap Maslah Keimanan, Kemanusiaan, dn Kemoderanan. Cet. III ; Jakarta: Paramadina, 1995.
Mathar, Moch Qasim. Kimiawi Pemikiran Islam; Arus Utama Islam Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru Bersar Ilmu Pakultas Filsafat Dan Pemikiran Modrn Dalam Islam Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Aluddin Makasar, Pada Hari Senin, Tanggal 12 Nopember 2007.
Al-Mis}riy, Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab, Juz VIII. Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.
Munawir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yokyakarta: Pesantren al-Munawwir Krepyak 1984.
Al-Qa>simiy, Muh{ammad Jama>l al-Di>n. Qawa>’id al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s\ t.d.
Rahmat, Jalaludin. Mengapa Ada Perbedaan Antara Doktrin Dengan Pengamalan dalam al-Tawir Bulletin Dakwah Yayasan Muthahhari, Bandung, Nomor 210 Edisi 7 April 2002/ 24 Muharram 1422.
Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?; Kajian Atas ajaran dan Pemikiran. Cet II; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
----------------, Membumikan al-Quran; Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004.  
Sjadzali, Munawir. Gagasan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk, (editor) Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
Al-Sya>t}ibiy, Abu> Isha>q. al-Muwa>faja>t fi Us}u>l al-Syari>‘ah. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.
Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin. Mujam Maqa>yi>s al-Lugah. Juz V. Beirut: Ittih{a>d al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.


[1]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuat Telah kritis Terhadap Maslah Keimanan, Kemanusiaan, dn Kemoderanan (Cet. III ; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 43. 
[2]Lihat: Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 144.
[3]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 459.
[4]Nurcholis Madjid, op. cit. h. xxxi. 
[5]Ibid.
[6]Moch Qasim Mathar, Kimiawi Pemikiran Islam; Arus Utama Islam Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru Bersar Ilmu Pakultas Filsafat Dan Pemikiran Modrn Dalam Islam Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Aluddin Makasar, Pada Hari Senin, Tanggal 12 Nopember 2007 Hal.3 
[7]Ibid.
[8]Jalaludin Rahmat, Mengapa Ada Perbedaan Antara Doktrin Dengan Pengamalan dalam al-Tawir Bulletin Dakwah Yayasan Muthahhari, Bandung, Nomor 210 Edisi 7 April 2002/ 24 Muharram 1422, h.2
[9]Ibid.
[10]Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika (Cet I; Jakarta: Peramadina 1996), h. 165.
[11]Jalaluddin Rahmat , loc.  cit.
[12]Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Mujam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz V (Beirut: Ittih{a>d al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), h. 83.  Selanjutnya disebut Ibn Fa>ris.
[13]Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, Juz VIII (Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.), h. 276. Selanjutnya disebut Ibn Manz}u>r.
[14]Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yakyakarta: Pesantren al-Munawwir Krepyak 1984), h. 1219.
[15]Ibn Fa>ris, op. cit., Juz III, h. 361.
[16]Ibn Manz{u>r, op. cit., Juz XIII, h. 272.  
[17]Ibn Fa>ris, op. cit., h.  463.
[18]Qat{‘iy al-wuru>d atau sering juga disebut qat}‘iy al-s\ubu>t bermakna kepastian dating. Artinya kebenaran berita tersebut mutlak atau absolut sehingga tidak dapat diragukan karena diriwayatkan secara mutawa>tir. Dalam kajian ilmu hadis, mutawa>tir adalah hadis yang diriwayatkan sekelompok orang yang mustahil sepakat untuk berdusta, mulai dari awal hingga akhir sanad, sedangkan z}anniy al-wuru>d atau z}anniy al-s\ubu>t memiliki makna dugaan datang. Artinya berita tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya, namun hanya dapat diduga kuat. Istilah ini muncul jika berita itu diriwayatkan secara a>h}ad, yaitu  hadis yang tidak memenuhi syarat hadis mutawa>tir, baik diriwayatkan oleh satu orang saja (gari>b), dua orang (‘azi>z) maupun tiga atau lebih yang tidak mencapai jumlah hadis mutawa>tir (masyhu>r). Untuk lebih jelasnya, lihat: S}ala>h} al-Di>n bin Ah{mad al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda ‘Ulama>’ al-H}adi>s\ al-Nabawiy (Cet. I; Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1403 H./1983 M.), h. 239. Lihat juga: ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Ilmu Us}u>l al-Fiqh (Cet.XI; Kuwait: Da>r al-Qalam, 1977), h. 24, 34 dan 42. Sedangkan penjelasan tentang mutawa>tir dan a>h}a>d dapat dilihat: Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ’Ulu>m al-H}adi>s\ (Cet. III; Dimsyiq: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 404. Lihat juga: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992), h. 13. Bandingkan dengan: Muh{ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa>’id al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s\ (t.d.), h. 146. Bandingkan juga dengan: T{a>hir al-Jaza>iri> al-Dimasyqi>, Tauji>h al-Naz}r ila> Us}u>l al-As\ar (Cet. I; Halb: Maktabah al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah, 1416 H./1995 M.), h. 108.
[19]Lihat misalnya, Abd al-Wahha>b Khalla>f, op. cit, h. 34.
[20]M. Qurish Shihab, Membumikan al-Quran; Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004), h. 137.
[21]Abd al-Wahha>b Khalla<f, op. cit, h. 42, 
[22]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
[23]Lihat: S}ala>h} al-Di>n bin Ah{mad al-Adlabiy, op. cit., h. 239. Lihat juga: ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, op. cit., h. 24, 34 dan 42.
[24]M. Quraish, op. cit., h. 138.
[25]Abdul Aziz Dahlan dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V (Cet. I; Jakarta; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 145-1455. Lihat Pula Hasan Maurif Ambary dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid I (Cet. III; Jakarta: Ichtir Baru Van Hoeve, 1994), h.137.
[26]M. Quraish Shihab,  op.cit, hal. 137
[27]Moch. Qasim Mahar, op. cit., h. 12.
[28]Abdul Aziz Dahlan dkk (editor), op. cit., h. 1455.
[29]Abu> Isha>q al-Sya>t}ibiy, al-Muwa>faja>t fi Us}u>l al-Syari>‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), h. 24.
[30]Abdul Aziz Dahlan dkk (editor), loc. cit.
[31]Al-Sya>t}ibiy, op. cit., h. 25-26.
[32]Al-Sya>t}ibiy, op. cit., h. 26. Lihat pula kutipannya dalam M. Quraish Shihab, op. cit h. 140.
[33]M. Quraish, op. cit., h. 125.
[34]Ibid.
[35]Ibid., h. 125-126.
[36]Munawir Sjadzali, Gagasan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk, (editor) Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), h. 87.
[37]Nurcholis Madjid,  op. cit., h. ixxxiii.
[38]Lebih lengkapnya, lihat: ibid., h. 87-90.
[39]Lebih lengkapnya, lihat:  ibid., h. 92-95.
[40]Dalam masyarakat Arab yang menganut sistem patrilian, maka aturan memberi bagian laki-laki sama dengan fungsi positif dalam melestarikan sistem kekerabatan itu. Dalam masyarakat modern yang cenderung memberikan kesempatan seimbang kepada laki-laki dan perempuan (bilateral), maka wajar saja kalau aspirasinya mengenai hak dan kewajiban juga seimbang, dalam hal ini termasuk hak dalam warisan. Ibid., hal. 313.
[41]Sebagai contoh, seorang meniggal dunia dengan meniggalkan istri, ibu bapak, dan dua orang perempuan, maka menurut al-Quran pembagiannya adalah 1/8 untuk istri, masing-masing 1/6 untuk ibu dan bapak, dan 2/3 untuk dua orang anak perempuan, sehingga jumlah keseluruhannya setelah disamakan penyebutnya adalah 27/24. karena penyebutnya lebih kecil dari pembilangnya, maka dilaksanakan konsep ‘aul dengan cara penyebutnya disamakan pembilangnya yaitu 27/27. maka istri yang tadinya kebagian 3/24, dia akan memperoleh 3/27 atau 1/9, ibu dan bapak masing-masing 4/27 dari tadinya 4/24, dan dua anak perempuan yang seharusnya 16/24 menjadi hanya 16/27. Ibid., h. 313-314.
[42]H. Moch. Qasim Mathar, op. cit.
[43]Ibid., h. 10-11.
[44] Ibid. h., 28-29
[45]M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?; Kajian Atas ajaran dan Pemikiran (Cet II; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 2-3.
[46]Ibid.
[47]Ibid, h. 36
[48]Teks Arabnya, lihat: Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Juz IV (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 1510.   
[49]Lihat: Q.S. S}a>d/38: 29.
[50]Al-Z|ahabiy, op. cit., h. 42.
[51]M. Quraish Shihab,  op. cit.,  h. 78.
[52]Ibid., h. 40.

1 komentar:

  1. As reported by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason this country's women get to live 10 years longer and weigh 19 kilos lighter than we do.

    (And really, it has totally NOTHING to do with genetics or some hard exercise and EVERYTHING to about "how" they are eating.)

    P.S, What I said is "HOW", not "what"...

    TAP this link to see if this little questionnaire can help you find out your real weight loss possibility

    BalasHapus